NovelToon NovelToon

Menembus Puncak Bela Diri

Hang Jihan

Di tengah keceriaan Desa Qingshen, angin lembut membawa aroma harum dari taman-taman yang memperindah setiap jalan berbatu. Kelopak bunga lepas dengan gemulai, melayang hingga mendarat lembut di sebuah rumah kayu yang tampak sederhana.

Melalui jendela, tangan halus seorang wanita muncul, meraih kelopak bunga dengan penuh kelembutan. Keindahan wajahnya tercermin dalam sinar mentari, mengungkapkan keanggunan dan keindahan dari kedua bola matanya.

Ini adalah kecantikan alami, bukan hanya fisik tetapi juga representasi dari kelembutan hati yang tercermin melalui senyum tipisnya.

Namun, tanpa diduga, ketika wanita itu memegang erat kelopak bunga, serentetan batuk mendadak menyergapnya. Ekspresi pucat yang tersembunyi di balik kecantikannya kini terungkap dengan jelas; tubuhnya menjadi lemas, hingga pada akhirnya, bercak darah merah mengalir keluar di salah satu sudut mulutnya.

Tak mau tunduk pada takdir, wanita itu terus berjuang. Meski pil obat sudah ditelannya secara rutin, namun kondisinya tak kunjung membaik. Ia bagaikan putri raja yang terbelenggu di atas kasur, tak berdaya melawan penyakit yang menggerogoti hidupnya.

Melihatnya, terpancar jelas bahwa pertempuran panjang telah ia lalui. Tekadnya bagaikan baja, tak gentar meski penyakit terus merenggut kekuatannya.

Namun tak lama setelahnya, tiba-tiba,

*Trak...*

Gemuruh pintu terbuka, mengumumkan kedatangan seorang anak yang muncul dengan senyuman ceria. Tanpa perasaan bersalah, anak itu memanggil-manggil nama ibunya.

"Ibu, aku berhasil! Semua usaha kita tidak sia-sia!" ucapnya penuh semangat, merubah suasana yang sebelumnya diselimuti oleh kesedihan menjadi penuh kegembiraan. Getaran optimis meresapi setiap sudut ruangan, membawa kehangatan dan kebahagiaan yang melimpah untuk waktu yang singkat.

Orang itu adalah Hang Jihan, seorang anak jenius dari keluarga sederhana, kini harus menjadi tulang punggung keluarga setelah kepergian ayahnya. Ibunya yang telah lama menderita penyakit, menjadi tanggung jawabnya untuk disembuhkan. Meskipun rintangan yang dihadapi begitu berat, tekadnya untuk membantu sang ibu tidak pernah goyah.

Prinsip itu menjadi landasan hidupnya, menciptakan gambaran seorang anak yang berbakti dan penuh kasih sayang. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa bayangan kesedihan selalu mengikutinya. Di usianya yang baru belasan tahun, ia terpaksa menanggung beban berat yang seharusnya tidak menjadi bagian dari kehidupannya.

Keheningan menyambut Hang Jihan begitu dia membuka pintu rumah. Hanya terdengar batuk tersengal-sengal yang menggema dari salah satu sudut ruangan. Suara itu bagaikan palu yang menghantam semangatnya, memicu kekhawatiran yang mendalam. Secepat kilat, dia melangkah menuju sumber suara, teriakan paniknya memecah keheningan dan menggema di seluruh ruangan.

"Ibu... Ibu... Ibuu!"

Langkah Hang Jihan terhenti di ambang pintu kamar. Matanya terpaku pada wanita yang duduk di atas ranjang, raut wajahnya penuh keterkejutan. Mungkin karena penyakitnya, wanita itu nyaris tak menyadari kedatangan anaknya yang diliputi kecemasan. Atau mungkin penyakitnya yang semakin parah telah merenggut salah satu inderanya.

Tanpa disadari Hang Jihan, sang ibu dengan sigap membersihkan darah di telapak tangannya dengan sehelai kain. Gerakannya cepat dan cekatan, seolah ingin menyembunyikan sesuatu. Tindakannya mencerminkan kepedulian terhadap kondisi mental anaknya, memberikan pesan bahwa semuanya baik-baik saja. Ini adalah rahasia umum seorang ibu, memilih diam agar anaknya tidak terbebani dengan kekhawatiran yang tak seharusnya.

"Ji...han? Akhirnya kamu kembali," bisik sang ibu dengan senyuman, sejenak melupakan rasa sakit yang menjalar di sekujur tubuhnya. Kebahagiaan terpancar jelas di raut wajahnya, seolah memiliki makna yang tak terlukiskan. Tanpa disadari, air mata bening mengalir dari sudut matanya.

Melihat sang ibu tampak baik-baik saja, rasa lega membanjiri hati Hang Jihan. Tanpa keraguan, ia berlari dan memeluk erat sang ibu dengan penuh kasih sayang.

"Ibu!!!" serunya sambil menangis tersedak di pelukan sang ibu. Air matanya mengalir deras, tak mampu terbendung lagi. Tangisan itu adalah ungkapan emosi yang tak terlukiskan, mencerminkan rasa rindu Hang Jihan yang mendalam terhadap sosok ibunya.

Reaksi Hang Jihan terbilang wajar. Beberapa bulan terakhir, dia terpaksa meninggalkan sang ibu untuk pergi ke gunung suci, mengikuti seleksi murid sekte pedang Awan.

Sekte Pedang Awan, menurut sumber informasi, adalah perguruan bela diri aliran pedang yang meniti jalan kebenaran. Perguruan ini telah melahirkan banyak individu berbakat yang menjadi pilar penting di wilayah Kekaisaran.

Keberangkatan Hang Jihan ke tempat ini bukan tanpa alasan. Kabar tentang pil yang diyakini mampu memulihkan jiwa dan menyembuhkan penyakit langka sang ibu telah menariknya perhatiannya. Namun pil tersebut hanya dibagikan kepada mereka yang berhasil menjadi murid sekte Pedang Awan.

Meskipun terkesan seperti strategi pemasaran, bagi Hang Jihan, berita ini bagaikan oasis di tengah padang pasir, membuka peluang besar untuk menyembuhkan penyakit yang telah menghantui sang ibu selama ini.

Semangat Jihan saat mengikuti seleksi mencerminkan tekadnya yang kuat. Pengorbanan besar yang ia lakukan demi kesembuhan sang ibu terlihat Jelas dari setiap usahanya.

"Sebenarnya, Ibu, lihatlah ini..." ucap Hang Jihan sambil dengan hati-hati mengeluarkan sebuah botol porselen dari saku bajunya.

Tanpa ragu, Hang Jihan membuka penutup botol porselen, menciptakan gelombang fluktuasi menyegarkan yang menyebar di seluruh ruangan. Sekarang, terlihat sebuah pil mengambang dengan cahaya yang memancar di seluruh lapisannya, menciptakan pemandangan yang menakjubkan bagi siapapun yang melihatnya.

"Ini..." Sontak, ibunya terkejut.

"Ya, ini adalah Pil Jiwa tingkat lima! Konon, pil ini digunakan oleh para praktisi bela diri untuk membantu pelatihan dan menguatkan jiwa mereka," jawab Hang Jihan dengan ekspresi sombong, tetapi sangat menggemaskan.

Namun, sebelum Hang Jihan menjelaskan lebih lanjut, sang ibu mengambil alih pembicaraan, ia masih tidak percaya dengan apa yang dilihat, membuat pikirannya menjadi kacau dan melayang pada kemungkinan yang tak terduga.

"Tunggu, Jihan kecil, dari mana kamu mendapatkan barang berharga seperti ini? Jangan bilang kamu pergi selama ini—"

"Ehemm ibu tidak perlu khawatir, Jihan mendapatkannya dari kakak seperguruan sebagai imbalan karena berhasil lolos sebagai murid sekte Pedang Awan," jelas Hang Jihan, menundukkan kepala dengan perasaan bersalah. Telunjuk di kedua tangannya saling berhadapan, menciptakan gambaran anak yang berharap agar tidak dimarahi oleh ibunya.

"Apaaa?!" Terkejut mendengar penjelasan Jihan, sang ibu menjadi lemas hingga kehilangan kesadaran.

Kegelisahan merayap di hati Hang Jihan saat situasi berubah tiba-tiba. Pikirannya dipenuhi kekhawatiran akan keselamatan sang Ibu. Hang Jihan mengutuk dirinya sendiri karena menyembunyikan rahasia selama ini.

Meskipun Hang Jihan menduga situasi ini bisa terjadi, ia tak pernah membayangkan sang Ibu akan pingsan saat mendengar penjelasannya. Peristiwa ini benar-benar di luar kendalinya.

Saat meninggalkan rumah beberapa bulan lalu, Hang Jihan mendapat restu dari sang Ibu untuk berlatih di luar, tanpa menjelaskan tujuannya secara detail. Saat kembali, dia membawa kabar yang mengejutkan: dia tak hanya mengembangkan keterampilannya, tetapi juga berhasil bergabung sebagai murid luar di salah satu sekte terkemuka – sebuah prestasi yang memicu rasa iri, terutama di kalangan praktisi bela diri.

Kabar inilah yang menyebabkan sang Ibu terkejut hingga kehilangan kesadaran. Hang Jihan tak menyangka bahwa prestasinya akan membawa dampak yang begitu besar bagi sang Ibu.

Sekali lagi, Hang Jihan memanggil nama ibunya dengan penuh kekhawatiran. Suaranya yang lantang berhasil menggetarkan seisi rumah.

"Ibu, bangunlah! Ibu...!!"

Stagnansi

Empat hari berlalu dengan cepat di halaman rumah yang sederhana. Di bawah langit biru, Hang Jihan tenggelam dalam meditasi. Semilir angin yang lembut menyelimuti tubuhnya, menyapu daun-daun berguguran di bawah pohon rindang.

Hang Jihan merasakan aliran energi yang mengalir masuk ke lautan primordialnya. Di dunia bela diri, lautan primordial merupakan wilayah penyimpanan energi yang terkonsentrasi. Di sana, kekuatan mengalir bagaikan badai, membuka peluang Hang Jihan untuk menerobos kapan saja.

Jauh sebelum menjadi murid sekte Pedang Awan, Hang Jihan tak pernah membayangkan dirinya melakukan aktivitas seperti ini. Ia merasa terbawa arus takdir yang tak menentu, di mana bahaya bisa mengintainya kapan saja.

Saat merenungkan nasib sang ibu yang terperangkap dalam takdir serupa, Hang Jihan terjebak dalam dilema. Pikirannya menjadi kacau sehingga menghambat proses kultivasinya saat ini.

Sayangnya, Hang Jihan belum sepenuhnya menyadari situasinya. Dia masih terpaku pada dilemanya, tanpa solusi yang terlihat.

Sementara itu, di hamparan laut yang tak terbatas, badai energi terus bergemuruh, menghasilkan gelombang fluktuasi yang beberapa kali mencuat. Peristiwa ajaib itu perlahan mengkonstruksi pondasi yang jelas seperti kristal, di mana terasa hasrat untuk melakukan penerobosan.

Situasi ini penuh ketegangan, mempertaruhkan harapan dan kenyataan.

Namun, tanpa terduga bunyi retakan menggema di seluruh lautan, menggambarkan sekumpulan garis yang tidak beraturan. Saat retakan itu semakin menyelimuti seluruh lapisan, tiba-tiba saja kristal itu runtuh, memupus perjuangan Hang Jihan yang telah dirintisnya sejak berjam-jam yang lalu.

Kejadian itu sungguh memberikan pukulan di dalam diri Hang Jihan, menyisakan kekecewaan yang mendalam; perasaan suram yang tak tertahankan.

"Ahhh, nenek beruang, lagi-lagi gagal," desah Hang Jihan dengan kesal.

Sudah tiga hari Hang Jihan mendedikasikan waktu luangnya untuk melakukan penerobosan. Namun, dengan keanehan yang sulit dijelaskan, saat pondasi kelima mulai terbentuk, pondasi itu selalu runtuh tanpa alasan yang jelas, seolah-olah ada persyaratan yang belum ia penuhi. Situasi ini terus berulang, menghadirkan rasa frustrasi yang tak tertahankan. Ia meraba-raba dalam kebingungan, bertanya-tanya "apa yang sebenarnya terjadi?".

Sebelumnya, saat Hang Jihan berada di gunung suci untuk mengikuti seleksi calon murid, kondisi ini tak pernah terjadi. Bahkan hanya dengan mendengar instruksi dari para tetua sekte, ia berhasil menembus empat tingkat di ranah Pembentukan Pondasi. Kecepatan yang luar biasa, dari seorang yang baru saja menjadi seorang praktisi.

Namun, kenyataan bahwa dirinya sekarang terjebak dalam stagnasi benar-benar tidak terelakkan.

"Nenek beruang, kenapa ini jauh lebih sulit? bahkan Jika seandainya aku gila karena ini, aku bersumpah akan mengutuk para dewa!" Batinnya dengan kekecewaan yang mendalam.

Tanpa berniat tenggelam dalam kesedihan yang melanda, angin lembut menderu dari kejauhan, langkah kaki terdengar mendekat, memaksa Hang Jihan untuk berpaling sejenak. Momen itu, seolah membawa aura keindahan yang dengan cepat memenuhi atmosfer, memberikan sentuhan segar layaknya oasis di tengah gurun sahara.

"Jihan kecil! " Sontak, kejutan menyapu dirinya saat suara wanita yang tak asing lagi bergema di kepalanya.

"Ibu?... tunggu, ibu bisa berjalan!" seru Hang Jihan dengan keterkejutan, menyiratkan ketidakpercayaan mendalam terhadap keajaiban yang tengah terjadi di hadapannya.

Setelah itu, Hang Jihan mengambil tindakan konkret dengan mencubit pipinya, namun rasa sakit yang melanda memberikan keyakinan bahwa ini bukanlah ilusi semata. Belum merasa puas dengan tindakan tersebut, ia merasa dorongan untuk memukul kepalanya sendiri, mencari bukti lebih lanjut atas kenyataan yang dilihatnya.

Saat ia sedang dalam proses mengevaluasi kenyataan melalui tindakan fisik, tiba-tiba terdengar seruan tegas yang menghentikannya, "Jihan, berhenti!" Suara tersebut seolah membawa pesan yang lebih dalam, mengundang pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Hang Jihan pun menenangkan dirinya, ia pun dengan suka cita berlari menghampiri ibunya dengan penuh kebahagiaan. Selain itu, ia memiliki keinginan mendalam untuk memastikan apakah pil jiwa tingkat lima yang telah ia berikan empat hari yang lalu telah benar-benar berhasil menyembuhkan penyakit ibunya, atau ada efek samping yang mungkin diterimanya.

"Ibu, apakah mungkin pil itu—"

Sebelum Hang Jihan menyelesaikan kalimatnya, Sang Ibu dengan cermat memotongnya. Sebagai seorang ibu, ia tak ingin membuat anaknya terlalu khawatir.

"Bocah Lugu, kamu tak perlu merasa cemas. Ibu telah pulih sepenuhnya, meskipun, uhuk...uhuk," ucap Sang Ibu. Namun, sebelum ia berhasil menjelaskan, serangan batuk kecil yang tak terduga memotong kata-katanya.

Situasi yang penuh hambatan itu sungguh menjadi penghalang bagi sang ibu dalam upayanya meyakinkan Hang Jihan bahwa ia telah pulih sepenuhnya.

".....meskipun, Ibu belum pulih sepenuhnya, bukan?" lanjut Jihan dengan mantap.

Mendengar itu, ekspresi Sang Ibu terasa ragu, wajahnya menggambarkan kekonyolan seolah-olah menyimpan rahasia yang tengah dia sembunyikan. Tidak ingin anaknya curiga, Sang Ibu dengan cekatan mengalihkan pembicaraan,

"Sudahlah. Oh ya, Jihan kecil, apakah kamu sedang berlatih akhir-akhir ini?"

Melihat perubahan tiba-tiba, Hang Jihan merasa kebingungan, menyadari ada sesuatu yang disembunyikan ibunya. Namun, ia segera menepis kecurigaannya itu. Bagaimanapun, Hang Jihan merasa lega, saat melihat perubahan positif yang terjadi pada ibunya.

"Sejak ibu menghabiskan waktu untuk memulihkan diri, aku memanfaatkan waktuku untuk berlatih... Namun, sayangnya, ada sesuatu yang mengganjal perkembanganku."

"Hm, apa itu?" Tanya Sang Ibu dengan penasaran.

"Entahlah, aku sendiri tidak tahu. Tetapi, aku merasa khawatir bahwa pilihan yang aku ambil akan membahayakan Ibu. Hal ini membuat pikiranku menjadi tidak stabil," ucap Hang Jihan, mencurahkan semua isi hatinya.

Air mata mengalir di pipi Sang Ibu saat mendengar perkataan Hang Jihan. Tak disangka, perhatian anaknya begitu dalam, menimbulkan perasaan haru bercampur aduk. Kesedihannya berbalut kebahagiaan yang mendalam.

Sang ibu memahami kendala yang menghambat perkembangan Hang Jihan. Ia pun menyadari, bahwa sebagian tanggung jawab atas hal ini juga ada pada dirinya. Oleh karena itu, sang ibu memberikan nasihat kepada Hang Jihan untuk keluar dari masalahnya saat ini.

"Jihan kecil, Ibu sangat menghargai kepedulianmu, tetapi kecemasanmu terhadap Ibu dapat menghambat perkembanganmu. Seperti kata pepatah, 'Air yang tenang menghanyutkan, air yang deras menyimpan batu.' Mungkin saat yang tepat bagi kita untuk merenung, seiring dengan usaha dan pertimbangan dalam menjalani kehidupan ini. Terkadang, jalur yang tampak terbuka dapat menutupi risiko yang tak terduga."

Hang Jihan merenung sejenak, tenggelam dalam pemikirannya terhadap kata-kata ibunya. Ia berusaha menggali makna di baliknya, mencari pemahaman baru yang dapat diambil.

"Tidak, jika begitu, bukankah seharusnya aku mempertahankan kepedulianku terhadap Ibu?" ucapnya, mencermati dilema yang muncul dari kata-kata bijak ibunya.

"Tidak, kamu tidak harus mempertahankan kepedulianmu itu, namun ada saatnya kamu berpikir secara rasional, dalam kehidupan ini hanya ada kamu dan dirimu sendiri. Jangan terbebani oleh sesuatu yang berada di luar kendalimu, sesungguhnya orang hebat bukan lah mereka yang memiliki kekuatan, namun mereka yang mampu mengendalikan dirinya sendiri"

Mendengar itu, tiba-tiba saja Hang Jihan merasa tercerahkan, di mana kekhawatiran yang selama ini menjadi hambatannya lenyap begitu saja, dan kini, di dalam batas-batas tubuhnya, terasa lonjakan energi yang signifikan, menciptakan perasaan yang begitu luar biasa, seolah-olah di depannya terbentang prospek peningkatan yang sangat menakjubkan.

"Ibu sangatlah bijaksana" ucap Jihan, dengan penuh hormat sambil membungkukkan dirinya.

Melihat Jihan yang sedang membungkuk, sang ibu dengan sigap membangunkannya, memberikan kontribusi aktif pada momen tersebut.

"Jihan kecil, bangunlah. Tidak perlu mengucapkan terima kasih, karena pada hakikatnya, kamu telah berhasil menyelesaikan permasalahanmu sendiri," balas ibunya dengan senyuman hangat, menyelipkan kesan kebijaksanaan.

"Terima kasih, Ibu—" Sebelum Hang Jihan selesai berbicara, tiba-tiba terjadi letupan energi yang melonjak dalam diri Hang Jihan, sesuatu yang sepenuhnya tak terduga, bahkan dirinya sendiri tak mampu menahan guncangan tersebut.

Melihat kondisi Hang Jihan, sang ibu dengan cekatan memberikan arahan untuk segera melakukan penerobosan. Dirinya juga tidak menyangka bahwa pencerahan yang Hang Jihan dapat kali ini merupakan sesuatu yang besar dan sangat mendalam.

Tanpa menyia-nyiakan waktu, Hang Jihan dengan cepat mempersiapkan posisi duduknya, siap untuk menyerap dan mengintegrasikan energi yang bergelora di dalam lautan primordial miliknya.

***

Di hutan Jura.

Desingan nyaring dua bilah pedang yang saling beradu memecah keheningan malam di pedalaman hutan. Pertarungan sengit pun terjadi antara Karavan Pedagang dan kelompok Bandit Hutan.

Ketegangan menyelimuti atmosfer, memicu kekacauan di antara kedua belah pihak. Para pedagang berusaha bertahan dari gempuran bandit, memberikan perlawanan sekuat tenaga.

Namun, malam berdarah itu tampaknya tak terelakkan. Jumlah bandit yang terus berdatangan membuat pengawal karavan kewalahan. Peluang untuk meraih kemenangan semakin memudar.

Jeritan para pedagang karavan memekakkan telinga. Di bawah rimbunnya pohon, kemah-kemah berserakan menjadi saksi kekejaman para bandit. Bagi yang bukan seorang praktisi, hanya nasib pahit yang menanti. Terjebak dalam kegelapan tanpa harapan, mereka pasrah.

Namun, nona muda bersama kedua pengawalnya tak ingin menyerah. Diam-diam, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk melangkah keluar dari perkemahan. Dengan langkah hati-hati, mereka berhasil menyelamatkan diri dari pembantaian.

Awalnya, semuanya berjalan lancar. Namun, tiba-tiba,

*Krekk... *

Bunyi ranting patah, menarik perhatian para bandit.

Dihadapkan situasi tak terduga, kedua pengawal hanya bisa menghela nafas. Kesetiaan mereka terlihat jelas di wajah mereka, siap melindungi nona muda. Sementara itu, nona muda hanya bisa tersenyum malu, menyadari kesalahannya.

Spontan para bandit berseru, "Kejar mereka! Jangan biarkan satu pun lolos!"

Mendengar teriakan itu, para pengawal berlari menerobos kegelapan hutan, menggendong nona muda di tengah kepungan bandit. Jumlah bandit yang mengejar membuat tugas mereka semakin berat.

Langkah demi langkah, mereka menerobos semak belukar hutan belantara yang gelap gulita. Tekad membara membakar semangat mereka untuk menembus kegelapan dan menyelamatkan nona muda.

*Slashh*

Suara tebasan pedang menandakan serangan brutal para bandit. Meski sigap menghindar, suasana semakin mencekam. Beberapa bandit berhasil menyusul, menambah ketegangan dan mempersempit peluang mereka untuk lolos

"Hahaha, gadis kecil, tak ada lagi tempat bagimu untuk melarikan diri," ujar pemimpin kelompok bandit dengan senyuman licik. Orang tersebut adalah Baili Sedum, tuan muda ketiga dari kelompok bandit hutan.

"Cih, sekumpulan makhluk hina," balas nona muda dengan acuh tak acuh.

Mendengar itu, amarah meledak dalam diri pemimpin bandit. Dia memerintahkan anak buahnya untuk menyerang.

"Bagus gadis kecil, jangan salahkan aku jika aku bertindak kasar!"

Sekali lagi dua pengawal Nona muda menghela nafas, menyadari bahwa pertarungan tak terelakkan.

Sesaat sebelum bersiap, salah satu pengawal melepaskan pelukan nona muda kepada adiknya, yang tak lain adalah Zhan Chen.

"Larilah, aku titipkan nona muda ini kepadamu," desisnya tepat di telinga adiknya.

"Tapi, Kakak—"

"Sudahlah, jangan banyak bicara! Prioritas kita saat ini adalah keselamatan nona muda. Pergilah!"

Dengan tegas, sang kakak memberikan jalan agar adiknya menjauh dari para bandit.

Air mata mengalir di pipi sang adik, membasahi rona merah jambu yang memudar. Dalam bisikan hati yang lembut, ia berjanji, "Kakak, aku takkan membiarkan pengorbananmu berakhir sia-sia." Tekad yang membara tercermin dari sorot matanya yang berkaca-kaca.

Kakinya melangkah, berlari sekuat tenaga. Ia tak peduli dengan rasa lelah yang mendera, ataupun rasa sakit yang menusuk di kakinya. Yang ada di benaknya hanyalah satu tujuan: menyelamatkan nona muda dan mewujudkan impian sang kakak.

Sementara itu, nona muda meronta-ronta dalam gendongan Zhang Chen. Air mata mengalir tanpa henti di pipinya yang pucat pasi. Ia tak ingin terpisahkan dari pengawal setianya itu, tak ingin terjebak dalam situasi yang tak terkendali ini.

Pemandangan di hadapan mereka begitu memilukan. Tangan sang nona muda terentang ke arah pengawal yang rela mengorbankan diri, penuh dengan rasa sedih dan putus asa. Kenyataan pahit menimpanya, bagaikan badai yang menghancurkan seluruh kebahagiaannya.

Peningkatan

Langit mulai meredup, menandakan malam menjelang. Tiga jam telah berlalu sejak Hang Jihan memulai penerobosan. Dengan mata terpejam rapat, ia fokus sepenuhnya, seolah terisolasi dari dunia luar. Bahkan serangga yang hinggap di sekitarnya tak dihiraukannya.

Tak jauh dari Hang Jihan, sang ibu setia menanti dengan perasaan cemas. Ia tak henti-hentinya mengamati putranya, berharap sesuatu yang luar biasa terjadi. Di balik kecemasannya, terpancar pula harapan besar di matanya.

Kondisi Hang Jihan saat ini memang menakjubkan. Tubuhnya diselimuti oleh energi yang luar biasa padat, sebuah pemandangan yang kontras dengan kondisinya beberapa bulan lalu, saat ia bahkan tidak tahu apa itu kultivasi.

Seleksi murid Sekte Pedang Awan tampaknya telah membawa perubahan besar padanya. Bocah yang dulunya tak tertarik pada dunia bela diri kini menjelma menjadi jenius yang ditakdirkan untuk kebesaran. Masa depannya terbentang di hadapannya, dipenuhi dengan rintangan dan peluang.

Di saat yang sama, di lautan energi yang luas, sebuah kristal berkilauan perlahan tercipta. Cahayanya berkilauan, memancarkan keindahan yang tiada tara. Pondasi kelima telah terbentuk, namun perjalanannya tak berhenti di situ. Energi terus mengalir, mengkontruksi pondasi baru dengan kecepatan yang menakjubkan.

Perubahan tak henti-hentinya: pondasi keenam terwujud dengan keanggunan yang memukau, disusul pondasi ketujuh dan kedelapan yang terjalin dengan harmoni yang memesona. Tak lama kemudian, pondasi kesembilan pun rampung, melengkapi rangkaian struktur kekuatan yang luar biasa.

Ketika kesembilan pondasi terintegrasi, momen itu menjelma menjadi epik. Layaknya seorang Kaisar yang memerintah surga, Hang Jihan, dengan tubuhnya yang diliputi gelombang fluktuasi energi, memancarkan aura emas yang mendominasi.

Hang Jihan membuka matanya, dan seketika disambut pelukan hangat sang ibu. Air mata kebahagiaan mengalir di pipinya, bangga atas pencapaian putranya.

"Jihan kecil, akhirnya kamu berhasil!" seru sang ibu dengan penuh sukacita, tubuhnya bergoyang kecil dalam luapan kebahagiaan. Hang Jihan, meskipun tak menunjukkan ekspresi gembira yang berlebihan, hatinya diliputi rasa bahagia yang tak terkira.

"Baiklah, Ibu," celetuk Hang Jihan dari dalam pelukan erat sang ibu. "Jika Ibu tidak melepaskan ku, aku mungkin akan mati lemas."

Mendengar kelakar putranya, sang ibu tergelak dan segera melepaskan pelukannya. Wajahnya memerah malu, bagaikan bunga mawar merah yang tersipu malu di bawah sinar mentari pagi.

Namun, seperti biasa, sang ibu dengan sigap mengalihkan topik pembicaraan, meskipun topik itu memang sudah dinanti-nantikannya.

"Oh ya, Jihan kecil, bagaimana perkembanganmu saat ini?" tanya sang ibu penuh rasa ingin tahu, ingin mengetahui kemajuan putranya yang baru terjadi beberapa menit yang lalu.

Hang Jihan, dengan sedikit kesombongan, menjawab, "Hahaha, pertanyaan yang bagus. Berkat Ibu, akhirnya aku berhasil melakukan penerobosan hingga ke ranah Pengumpulan Energi!"

Mendengar jawaban itu, sang ibu hanya bisa menghela nafas, merasa puas dengan tingkah putranya yang menggemaskan. Melihat sifat putranya seperti ini membuat hatinya tenang. Bagaimanapun, Hang Jihan masih anak berusia sepuluh tahun, tidak seharusnya memikul beban berat, terutama dalam mengurus ibunya yang menderita penyakit.

Namun, sang ibu juga harus mengingatkan Hang Jihan untuk tidak berpuas diri. "Bocah sombong," tegur sang ibu dengan nada lembut, "apa yang sebenarnya perlu kamu banggakan? Yang kamu lalui hingga kini bahkan belum mencapai sepertiga dari puncak yang sesungguhnya."

Mendengar itu Hang Jihan menatap ibunya dengan ekspresi bertanya. "Puncak yang sesungguhnya? Adakah orang yang benar-benar mencapainya? Ataukah itu hanya idealisme yang sia-sia, Ibu?"

Sang Ibu tersenyum lembut, berusaha memberikan pengertian pada putranya. "Anakku, meskipun bakatmu gemilang, pengetahuanmu masih terbatas." Kemudian, dengan nada bijak, ia melanjutkan, "Waktulah yang akan memberikan jawaban atas pertanyaanmu, pada saat yang tepat di masa depan."

Hang Jihan mengangguk, menerima penjelasan ibunya. "Bagaimana dengan tingkat yang dicapai para praktisi bela diri? Bukankah tadi Ibu menyatakan bahwa pencapaianku belum mencapai sepertiga dari puncak sesungguhnya?"

"Pertanyaanmu sangat bagus. Sejujurnya, apa yang kamu anggap sebagai pencapaian besar di dunia ini hanya lelucon bagi para master sejati. Di dunia bela diri, terdapat empat belas tingkat yang harus dilewati para praktisi, dan delapan di antaranya adalah,

Ranah Pembentukan Pondasi,

Pengumpulan Energi,

Pemurnian Tubuh,

Peleburan Jiwa,

Alam Virtual,

Petapa Agung,

Orang Suci,

Supreme,

dimana setiap lapisan terdiri dari sembilan tingkatan."

Mendengar penjelasan sang ibu, Hang Jihan mengangguk mengerti. Ia tak menyangka bahwa di dunia ini tersimpan sosok-sosok kuat yang jauh melampaui bayangannya. Jika saja ia ceroboh, mungkin saja dia telah menyinggung kekuatan besar yang bahkan belum pernah ia ketahui sebelumnya.

Namun, di saat yang sama, Hang Jihan juga diliputi rasa penasaran. Ada yang berbeda dari sang ibu, seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikannya. Selama ini, ia tahu bahwa ibunya bukanlah seorang praktisi bela diri. Bagaimana mungkin dia bisa berlatih jika sehari-harinya dihabiskan di dalam kamar? Berbagai pertanyaan muncul di benak Hang Jihan, menciptakan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Akhirnya, dengan penuh keberanian, ia memutuskan untuk menanyakan semua hal yang mengganjal dalam pikirannya.

"Oh ya, Ibu, apakah Ibu seorang praktisi bela diri?" tanya Hang Jihan dengan penasaran.

Mendengar hal itu, sang ibu tersenyum. "Hahaha, anak bodoh, apakah kamu berpikir Ibu seorang praktisi? Bahkan orang biasa pun tahu mengenai hal ini," balasnya sambil sedikit tertawa, mencairkan suasana di antara keduanya.

"Benar, Ibu tetaplah Ibu!" balas Hang Jihan dengan semangat, menghilangkan keraguan yang sempat terlintas di benaknya.

Namun, tak lama setelah itu, ekspresi kesedihan terukir di wajah Hang Jihan. Raut wajahnya menunjukkan bahwa ia ingin menyampaikan pesan bahwa tidak lama lagi ia harus berpisah dengan sang ibu untuk waktu yang tidak ditentukan.

Melihat perubahan pada Hang Jihan, sang ibu penasaran. "Jihan kecil, kenapa wajahmu tampak sedih? Bukankah ada Ibu di sini?" tanyanya.

"Bukan itu, Ibu," jawab Hang Jihan dengan sedih. "Dalam beberapa minggu ke depan, aku harus kembali ke sekte sebagai murid dan menetap di sana untuk menjalani pelatihan selama beberapa tahun."

Sang ibu terdiam sejenak, merenungkan kata-kata putranya. Kemudian, dengan penuh semangat, ia berkata, "Jihan kecil, mungkinkah kamu sudah lupa dengan apa yang Ibu katakan? 'Air yang tenang menghanyutkan, air yang deras menyimpan batu.' Dalam kehidupan ini, kamu berdiri di atas takdir sendiri. Kembalilah sebagai seorang yang bisa Ibu banggakan!"

Mendengar nasihat itu, Hang Jihan merasa tenang. Keceriaan kembali muncul di wajahnya. "Baiklah, Ibu. Aku akan berusaha keras."

"Bagus itu baru anak Ibu," kata sang ibu sambil tersenyum. "Jadi kapan kamu akan berangkat?"

"Besok," jawab Hang Jihan.

"Apa—uhuk...uhuk..." Sayangnya rentetan batuk kembali memotong perkataannya.

"Ibu, apa Ibu baik-baik saja?"

"Kamu tidak perlu khawatir, Ibu hanya kelelahan."

"Tetapi Ibu—"

"Hari sudah gelap. Lebih baik kita masuk ke dalam rumah. Besok, Ibu akan mempersiapkan bekal perjalananmu."

"Baiklah, Ibu," jawab Hang Jihan. Tanpa bisa membantah, ia menuruti perkataan ibunya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!