NovelToon NovelToon

Hulmun

Episode 1

...Hai selamat datang di Novel baru saya, Happy reading ya jangan lupa dirate bintang 5 ok! dan jangan lupa follow juga akunku, Ow ya bagi yang belum baca novel saya dengan judul “Quality Love” jangan lupa mampir ya!...

*Icon Timur Tengah

11 Tahun sebelumnya....

Seorang Findya Kecil yang mengenakan seragam SMP saat ini tengah duduk rapih di dalam kelas mengikuti mata pelajaran Bahasa Indonesia yang tengah berlangsung, kala itu seluruh Siswa di minta untuk menuliskan mimpi terbesar mereka dalam 5 menit pada selebaran kertas yang ada di halaman paling belakang buku tulis mereka masing-masing.

Dengan waktu yang tak banyak semua siswa langsung menunduk dan menuliskan cita-cita yang ada di kepala mereka, setelah selesai pak Andi selaku guru Bahasa Indonesia tersebut berjalan lalu menghampiri dari meja ke meja setiap siswa lalu membaca serta menanyakan alasan dari tulisan mereka.

"Cita-cita mau jadi Polisi, kenapa Iksan mau jadi Polisi?"

"Biar bisa membasmi kejahatan pak!" Ikshan menjawab dengan tegas.

"Bagus..bagus..." ia lalu berjalan lagi ke meja sebelah, masih dengan hal yang sama, ia membuka catatan siswa lalu membaca serta menanyakan alasan mereka.

"Wulan kenapa mau jadi Dokter?"

"Biar bisa merawat orang sakit pak"

"Saya mau jadi Pilot biar bisa keliling dunia pak!"

"Saya mau jadi guru karena guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa"

"Saya mau jadi Arsitek biar bisa merancang gedung-gedung tinggi pak"

Terdengar beberapa siswa yang juga memberikan alasan dari tulisannya.

Sejauh ini tulisan para siswa yang dibacanya, masih normal-normal saja, hingga pak Andi mulai berjalan ke meja Findya, ia lalu meminta Findya untuk menunjukkan tulisannya, setelah melihat tulisan Findya ia lantas tertawa sedikit membahak di hadapan Findya.

"Findya nulis apa ini? Kok nulisnya unta, padang pasir dan Al-Haram?" sontak semua siswa tertawa terbahak-bahak mendengar mimpi Findya, rasanya lucu bercampur mustahil kok ada ya orang yang punya mimpi seperti itu, benak mereka sepakat menyimpulkan itu.

"Dia mau jadi gembala Unta kali pak, hahah!" Salah satu siswa terdengar mengejek Findya.

"Atau jangan-jangan dia udah bosan kali, nyebur di sungai, makanya dia pengen nyebur ke pasir, maklum di rumahnya kan gak ada kamar mandi, haha" tambah Fariq mengejek, yang langsung di serbu tawa oleh in the gengnya.

Pun pak Andi sendiri juga turut tertawa dibuatnya, ia belum menangkap maksud dari tulisan Findya tersebut, setelah puas tertawa, pak Andi lalu meminta para siswa untuk tenang karena ia juga sangat penasaran dengan alasan Findya yang harus menulis "Unta, padang pasir, dan Al-Haram"

"Ini maksudnya apa? coba Findya ke depan jelasin ke teman-temannya"

Findya menggeser sedikit meja lalu berjalan perlahan menuju mimbar di depan, ia menarik napas lalu mengangkat muka seraya menatap seluruh teman-temannya.

"Jadi kenapa saya menulis Unta, padang pasir dan Al-Har...."

"Hahaha..." baru saja Findya memulai tiba-tiba Fariq dan sekawanannya langsung menertawakannya lagi, Findya cukup tersindir sampai-sampai ia tak bernyali untuk melanjutkan ucapannya.

Findya menunduk sekali dan hampir mengepal telapak tangannya namun ia urungkan, lalu mendongak menatap Fariq dengan sejuta Kejengkelan, hingga bola mata Findya pun mulai terlihat memerah.

"Makin jelek aja kamu kek gitu..." Fariq menyanggah jengkel atas tatapan Findya.

Fariq dan Findya adalah anak dari dua lelaki yang bersahabat baik, rumah mereka hanya di perjarak 2 buah rumah tetangga, namun kehidupan ke duanya berbanding terbalik, dimana Fariq merupakan anak orang kaya di daerah tersebut, ayahnya seorang Jendral Polisi yang masih aktif, sedangkan ayahnya Findya hanya sekedar buruh tani dengan kehidupan ekonomi mereka yang bisa di bilang pas-pasan, namun hubungan ke dua ayah tersebut selalu terjalin dengan baik, sementara Findya dan Fariq merupakan bias dari hubungan ayah mereka, hampir setiap hari dua anak sebaya itu tak ada damai-damainya.

Wajar saja jika Fariq tahu betul bagaimana kondisi keseharian Findya di rumah, bahkan ia tau kalau di rumah Findya juga tidak ada kamar mandi, karena sering sekali ia melihat Findya dan keluarganya bulak-balik ke sungai yang ada belakang rumahnya untuk nyuci dan mandi.

"Tenang dulu anak-anak, kita kasih kesempatan Findya dulu untuk menjelaskan cita-citanya, ayok Findya lanjutkan..." pak Andi kembali menengahi.

"Kenapa saya menulis 3 icon yang ada di timur tengah, karena...Arab Saudi adalah mimpi terbesar saya, 3 Icon itu ada disana..." pak Andi terbelalak, sementara Fariq dan para siswa lainnya masih belum berekspresi apa-apa, mereka terlihat serius menyimak apa yang akan dituturkan Findya selanjutnya.

"Unta, saya sangat penasaran dengan hewan tahan haus ini dan kalau bertemu dia nanti tentu saya juga akan berada di atas punggungnya" Findya tertawa kecil membayangkannya, pun teman-teman yang lain juga ikut tertawa membayangkan Findya yang berada di atas punggung unta.

"Padang pasir, saya akan menjejakkan ke dua telapak kaki saya di permukaannya, lalu mengambil segenggam untuk ku simpan sebagai wudhu tayamun di pesawat nantinya"

"Al-Haram, menggambarkan Masjidil haram yang di tengah-tengahnya berdiri sebuah ruangan kosong yang di tutupi kain hitam yang dijadikan sebagai arah sujud kita, aku ingin menyentuh kain itu secara nyata, lalu menempelkan dahi di lantai Masjidil haram tanpa sajadah, itu mimpi terbesar saya dan mimpi terbesar teman-teman semua"

Pak Andi di buat terpukau dengan alasan Findya, seolah yang berbicara itu, bukanlah bocah yang baru berumur 13 tahun, kalimatnya begitu rapih terangkai dan memiliki makna yang masuk akal.

"Itu yang ngajarin Findya siapa?"

"Gak ada yang ngajarin pak, itu mimpi Findya, bukan mimpi orang lain" sontak pak Andi tertegun beberapa saat, lalu memberikan tepuk tangan, di ikuti tepuk tangan beruntun dari para siswa lainnya, terlihat juga Fariq dengan wajah tak ikhlasnya tengah memberikan tepuk tangan untuk Findya sembari berbisik dengan teman yang ada di sebelahnya.

*****

"Triiing....triiing...." bel pulang telah berbunyi.

Setelah usai mengikuti apel siang, seluruh siswa langsung bergegas keluar pintu gerbang sekolah dengan variasi mereka masing-masing, ada yang menyanyi, ada yang tengah mengobrol, ada juga yang tengah menjaili temannya, tetapi tidak dengan Findya, ia malah asyik membaca buku di tengah-tengah keramaian yang ada, tidak jauh dari hadapannya terlihat Fariq yang juga diam-diam tengah memerhatikan Findya.

"Hei cewek Unta..." Fariq kembali meledek, namun Findya tak menghiraukannya, merasa kesal Fariq langsung menarik tas ransel Findya dengan keras hingga Findya hampir terjatuh akibat ulahnya itu.

"Kenapa sih?" Findya membentak sembari merapihkan tali ranselnya.

"Kamu jelek..." pun Fariq menindih.

"Gendut kek gini, punya mimpi mau naikin unta?"

"Ahaha....." Teman-teman Fariq pun terlihat turut memanas-manasi suasana, sementara Findya hanya membungkam menanggapi hal itu, Findya yakin setelah mereka puas, mereka akan berhenti dan capek sendiri nantinya.

Episode 2

*Good bye Indonesia

Kembali dimana saat ini Findya akan melakukan perjalanan panjang bersama dua orang rekannya yang baru saja mereka saling berjabat tangan seraya menyebutkan nama.

"Lifia"

"Ovi"

Keduanya tersenyum lebar menatap Findya, Lifia menempelkan telapak tangan di pundak Findya seraya berkata untuk menguatkan Findya yang tengah berduka kala itu.

"Kami turut berduka cita ya, aku baru mendengar kabar ini kemaren dari mas Andre" ungkapan itu langsung di sambut anggukan kepala oleh Findya.

Lifia dan Ovi adalah dua orang sejawatnya yang baru saja bertatap muka dengan Findya hari ini, sebelumnya mereka memang sudah saling mengenal nama masing-masing melalui komunikasi dengan mas Andre yakni seseorang yang bertanggung jawab penuh atas keberangkatan dan penempatan mereka di Saudi Arabia nantinya, namun karena kabar duka yang menyita waktu Findya, hingga akhirnya mereka tak punya waktu untuk saling bertemu.

*****

Findya mengedipkan mata cukup lama saat terngiang lagi pesan ibunya tadi siang "Setelah kontrak kerja kamu selesai, segera lah pulang ke Indonesia, tunaikan amanah bapak kamu nak"

Terlihat dari raut wajah dan sorotan matanya seolah hari-hari Findya begitu berat untuk ia lewati, tak lama kemudian terdengar suara pramugari yang hendak memberikan aba-aba sesaat sebelum take off.

"Para penumpang yang terhormat, selamat datang di penerbangan Emirate EK 021 dengan tujuan Saudi Arabia Penerbangan ke Saudi Arabia akan kita tempuh dalam waktu kurang lebih 9 jam dan 35 menit...."

Findya kemudian mengatur posisi duduk, lalu mengenakan seat bel, setelah siap, pandangannya kembali beralih ke sisi jendela, seraya menatap cahaya lampu yang berjejeran rapih menyinari area landasan pacu.

Perempuan yang bernama lengkap Findya Hannah Azzurah itu merupakan seorang perempuan berusia 23 tahun yang saat ini berprofesi sebagai Perawat, ia terlahir dari pasangan suami isteri dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah, ia tumbuh dan besar bersama tiga saudaranya yang lain di sebuah desa kecil, terpencil dan tertinggal.

Dua orang kakaknya kini berprofesi sebagai guru SMA di desanya dan sudah berstatus sebagai pegawai negeri sipil, sementara adik bungsunya saat ini tengah getir-getirnya menyiapkan berbagai berkas untuk melakukan pendaftaran militer.

Satu minggu yang lalu, sebelum Findya memutuskan untuk berangkat ke luar negeri, keluarga kecil ini pernah merundingkan masalah biaya pendaftaran militer si adik bungsu, yang jelas saja itu tidaklah sedikit, sebenarnya jika mengandalkan credit dari 2 orang kakaknya yang sudah berstatus sebagai pegawai negeri sipil tentunya bisa lebih dari cukup untuk menutupi semuanya, tapi lagi-lagi untuk menghindari riba sang ibu tidak menyetujui hal itu tak terkecuali dengan Findya, kini tatapan mata dua orang kakaknya itu mulai menyorot tajam pada Findya seolah satu-satunya solusi ada di tangan Findya.

Jelas saja saat ini Findya di landa kebimbangan berat untuk menentukan pilihan, di satu sisi ia berhasil mendapatkan beasiswa S2 di salah satu Universitas terbaik di Amerika Serikat, diwaktu yang bersamaan iya juga lulus kontrak kerja selama 2 tahun di Negeri petro dollar, dengan gaji yang cukup fantastis, berdasarkan surat kontrak yang sampai saat ini belum juga ia tanda tangani, tertera gaji yang akan ia peroleh perbulannya itu sebnyak 8.500 SAR atau setara dengan 31 juta 875 ribu rupiah.

"Houuft..." Findya seketika menghela nafas, tanpa mengeluarkan opininya, berat bagi Findya untuk melepaskan beasiswa S2 yang selama ini sudah menjadi bagian dari setengah mimpinya.

"Gimana?" tanya Debi kakak pertamanya, dengan tatapan yang terus menagih keputusan Findya.

"Selama apapun kamu mengulur, pada akhirnya kamu akan tetap memilih satu dari keduanya" tambah Hiva kakak keduanya.

"Ayah baru saja meninggal, fikiranku belum siap untuk memutuskan apa-apa" Findya yang masih menggenggam tissu kini berjalan menuju kamar seraya terus menyeka air matanya.

Hingga beberapa hari berlalu akhirnya Findya menebalkan tekadnya untuk membubuhi tanda tangan di atas materai yang bertuliskan huruf arab, sebagai tanda ia menerima kontrak kerja tersebut lalu merelakan beasiswa S2nya terbengkalai atau mungkin saja akan dipinang oleh orang lain, ke tiga kaka beradik itu sepakat untuk mulai menabung sedikit demi sedikit keuangan mereka untuk memenuhi biaya militer Denis.

Di desanya, keluarga pak Abdul Hamid yakni mendiang ayahnya, sangat di kenal oleh warga karena kegigihannya dalam bekerja, pun tak berbeda jauh dengan bu Royati, meski pasangan suami isteri ini mengais uang dengan pekerjaan hanya sebagai tani namun siapa sangka pemilik gubuk itu mampu menyekolahan ke tiga anaknya sampai lulus sarjana, hal itu berbanding lurus dengan kecerdasan intelektual anak-anaknya, di lemari mini yang ada diruang tamu terlihat jelas 3 lembar piagam penghargaan yang bertuliskan lulusan Cumlaude, hal itu tentu saja dipertuan oleh Debi, Hiva dan Findya.

Menjadi Debi dan Hiva cukup membanggakan bagi warga desa, karena dari 35 orang peserta CPNS yang terdaftar dari desanya hanya mereka berdua yang berhasil lulus menjadi pegawai negeri sipil, bagi masyarakat kampung menjadi PNS adalah impian terbaik untuk para orang tua terhadap anak-anaknya.

Sebagian mulut warga desa juga tengah ramai memperbincangkan Findya, satu-satunya anak perempuan dari desa itu yang sebelumnya berhasil mendapatkan beasiswa di Universitas Indonesia, dan kali ini, lagi-lagi ia mendapatkan beasiswa S2 jalur internasional di AS, namun banyak yang menyayangkan kesempatan itu tak diambil oleh Findya, ia lebih memilih mengais riyal di negeri minyak meski kejujuran seakan berkata sedikit tak rela Findya memotong rantai beasiswa S2nya itu.

*****

Ia mengamati sebuah jam tangan kecil yang melingkar di pergelangan tangan yang kini tengah menunjukkan pukul 24.45 WIB, perlahan-lahan pesawat mulai mengayunkan badannya hingga mencapai titik ketinggian yang sudah di tentukan, saat pesawat mulai berayun stabil, kini tatapan Findya masih saja menyoroti bayangan gelap yang ada dibalik jendela, berharap ia akan melihat awan namun sayangnya itu adalah angan yang tak mungkin.

"Find? mau makan apa?" Tiba-tiba Ovi mengejutkannya dari samping.

"Hah?" Dengan cepat Findya beralih ke arah Ovi yang duduk di kursi tengah, ia lalu menatap Ovi dengan tatapan bingung.

"Tuh, ditanyain ama pramugaranya" bisiknya, Findya kemudian mendongak ke arah pria yang berwajah khas timur tengah itu, belum sempat ia berbicara, tiba-tiba tatapan Findya tersorot pada papan nama pramugara tersebut yang bertuliskan "Muhammed Fariq"

Tiba-tiba ia mulai teringat lagi pesan mendiang ayahnya, yakni sebuah permintaan yang sulit untuk diiyakan oleh Findya, dua hari sebelum ayahnya meninggal dunia, Findya di mintai langsung oleh sang ayah untuk menikah dengan Fariq, namun Findya tidak langsung mengiyakan permintaan itu, karena menurutnya ia dan Fariq tidak terbilang dekat, bahkan mereka cukup asing satu sama lain, terakhir kali mereka berpapasan sekitar 7 tahun yang lalu itupun mereka tak saling sapa, karena ia tau sejak dulu Fariq memang tidak suka dengannya apatah lagi punya niat sampai berumah tangga, oh tidak Findya bukanlah tipe wanita idaman seorang Fariq.

Sedikit biografi tentang Fariq, ia merupakan teman kecil Findya yang tak pernah akur tentunya, yang sekarang sudah menjadi seorang prajurit TNI dengan pangkat Perwira pertama, merupakan anak dari seorang pensiunan jendral polisi, sejak dulu ayahnya memang sangat menyukai Findya, bahkan sempat terlontar kalimat candaan "Menantuku" dari mulut sang jendral yang ia tujukan untuk Findya, namun Findya tidak pernah menanggapinya dengan serius, karena bukan cuman kali ini ia mendapat kalimat candaan seperti itu, bahkan hampir semua orang tua di desanya yang memiliki anak laki-laki pernah melontarkan kalimat candaan seperti itu untuknya.

Siapa sangka sang jendral itu diam-diam menemui ayahnya lalu mendiskusikan masalah tersebut, diluar kehendak Findya dan Fariq, ke dua orang tua inipun saling menyetujui rencananya untuk menjodohkan putra-putri mereka, bagi pak Hamid sang jendral merupakan orang yang paling baik yang pernah ia temui, ia tak pernah memilih kasta untuk bergaul bahkan dengan orang sekecil dia sang jenderal mau duduk melipat kaki di gubuk kecilnya itu, mau ngeteh bareng di cangkir plastik dan mau mengicip pisang goreng yang di masak menggunakan kayu bakar.

Bahkan jauh sebelum itu sang jendral pernah menyelesaikan kasus sengketa lahan perkebunannya yang sempat di dambil alih oleh orang yang tak bertanggung jawab, tanpa bayaran sepeserpun yang ia berikan pada jendral bukannya tak mau ngasih tapi memang kondisi ekonomi mereka sesulit itu, jadi menurutnya sangat keterlaluan jika ia sampai menolak permintaan sang jendral yang tiada bandingnya ini atas apa yang sudah ia lakukan untuk keluarganya.

"Find?" Ovi kembali membuatnya terkejut.

"Iya...aahm..aku..." tiba-tiba pramugara itu mengernyitkan kening seolah bingung dengan tingkah Findya.

"Aku samain aja dengan mereka" tutur Findya dalam bahasa inggris, setelah menulis peasanan pramugara itu pun segera berlalu.

Findya kembali menatap sisi jendela dengan segudang ingatan yang cukup gado-gado seolah ikut terbang menemaninya malam ini, tatapan sayu dari mata kecil yang cukup sembab itu, menunjukan betapa sulitnya Findya harus meninggalkan Indonesia dengan suasana rumah yanv masih berselimut duka.

Episode 3

*Hampir salah paham

Tepat jam 10 pagi waktu setempat, pesawat Emirate yang di tumpangi Findya bersama rekannya mulai landing di bandara internasional arab saudi Muhammad Bin Abdulaziz di kota Riyadh, bukan main Findya melongo sembari wajahnya mengerat di sisi jendela, ia memerhatikan  pemandangan Bandara di detik-detik ketinggian yang kala itu hanya beberapa meter lagi akan menyentuh aspal bandara, Findya lalu menarik nafas dan menutur di dalam hati.

"Mimpikah aku sekarang?"

"Waow! bener-bener gak nyangka gue skarang udah di saudi!" Lifia bersuara lirih di sebelahnya, merasa tak sendiri sontak Findya melirik Lifia dari ujung pelupuk matanya,  sementara Ovi yang sebelumnya sudah pernah bekerja di sini reaksinya biasa-biasa saja, ia malah terlihat sangat cemas memikirkan mini kopernya yang ada di kabin depan.

"Waduh, koper aku di kabin depan lagi"

"Kamu kenapa sih, gelisah amat dari tadi?" tanya Lifia yang juga turut risih atas tingkah Ovi.

"Itu koper aku, si pramugarinya naroh di kabin depan, hadeuuh!"

"Udah gak apa-apa, entar juga di ambilin kok!"

"Gak, takutnya penumpang yang laen salah ngambil"

"Emang apa sih isinya? duit 500 juta?" Lifia bercanda dengan nada sedikit membentak.

"Gak sih, itu semua isinya makanan"

"Haah?..." Lifia menghela napas setelah tau isi dari tas Ovi ialah makanan, emang basicnya mereka berdua ialah "Ratu ngunyah" jadi apapun tentang makanan selalu menjadi yang nomor satu.

"Ok..ok...setelah pesawat landing kita sergap kabin itu!" tambahnya dengan semangat, rasanya Ovi juga mulai khawatir jika koper itu tak sengaja di ambil oleh penumpang lain.

*****

"Driver? driver? Where is the driver?" Seraya mengakat tinggi kertas putih yang bertuliskan nama mereka bertiga, Ovi berteriak kencang di tengah-tengah kerumunan orang yang juga tengah melakukan hal yang sama sepertinya.

Tidak lama kemudian, terlihat seorang pria paru baya yang datang terburu-buru menghampiri Ovi, Lifia dan Findya.

"Filiphino?" tanya pria tersebut terengap-engap.

"No, Indonesian!" Ovi menindih.

"Ow sorry" pria tersebut kembali mencari-cari orang yang ditujunya.

Selang 3 menit, datanglah lagi 2 pria berkulit hitam berpostur tinggi, bertubuh gemul, dan berambut keriting yang juga tengah menghampiri mereka, melihat dua pria itu mendekat tampakanya Ovi sedikit mengernyitkan alis.

(Note: setiap komunikasi yang terjadi menggunakan bahasa inggris ya...)

"Indonesia?"

"I..Iya..." Ovi menjawab ragu-ragu.

"Dental Hospital?" pria itu lalu memberi kode yang harus di jawab ketiganya, tentu mereka harus memberikan jawaban yang benar karena jika mereka memberikan jawaban yang tidak tepat maka mereka bukanlah tujuannya, hal tersebut biasa dilakukan agar tidak terjadi kesalahan dalam membawa warga negara asing ke tempat tujuan.

"Dental Hospital Community Elite" tutur ketiganya, setelah yakin karena jawaban mereka sesuai dengan kata kunci yang disebutkan, pria tadipun sontak tersenyum menatap ke tiganya.

"Kamu Ovi?"

"Iya pak!"

"Livia sama Findya mana?"

"Saya pak" Findya dan Livia kompak menyahut seraya mengangkat telapak tangan.

"Saya Livia, ini Findya" sekali lagi Livia memperjelas sambil menyedorkan telapak tangannya.

"Saya bodyguard big bos, Ahmed Hasan" balas pria tersebut namun ia enggan untuk bersalaman dengan Livia, melihat hal itu Findya dan Ovi saling menatap cemas, ada rasa sedikit tak enak pada pak Hasan atas sikap Livia barusan, setelah beberapa menit Livia mulai paham, ia tidak boleh membawa kebiasaan-kebiasaannya di Indonesia yang tentunya sangat bertentangan dengan aturan disini.

"Ow ya, ini driver kalian, namanya Muttah Abdellah panggil saja pak Muttah" tak lupa ia juga mengenalkan seorang pria yang tengah berdiri di sebelahnya saat ini.

Ketiganya tersenyum kecil seraya mengangguk di hadapan pak Muttah, setelah itu mereka di arahkan oleh pak Hasan untuk bergegas ke lift menuju lantai basement, setelah angka yang ada di monitor lift berpindah dari angka B3 ke B1, pintu Liftpun mulai terbuka tampak di luar sana terpakir ratusan kendaraan beroda empat pak muttah lantas berjalan sedikit lebih dulu, menghampiri mobil seraya membuka bagasi, ia lalu meraih satu persatu koper Findya dan teman-temannya untuk di simpan di dalam bagasi.

"Udah gak ada lagi barang-barang kalian yang ketinggalan?" tanya pak Hasan.

"Udah gak ada pak?" Ovi menyahut seraya mengamati sekitarannya, kali aja benar-benar ada yang ketinggalan.

"Ya sudah, kalo gitu saya pamit dulu, kalian hati-hati ya di perjalanan nanti..."

"Loh, bapak gak ikut sekalian?" Findya menatap heran.

"Ahm, gak, saya juga bawa mobil kesini, tugas saya cuman menjemput dan memastikan kalo kalian benar-benar berangkatnya bareng pak Muttah"

"Ow gitu, ya udah bapak juga hati-hati ya!"

"Insya Allah" pak Hasan seraya melambai, lalu bergegas menuju mobilnya, sementara pak Muttah yang sejak tadi sudah standby di dalam mobil, langsung saja mengajak Findya, Ovi dan Livia untuk masuk ke dalam mobil.

*****

Di dalam perjalanan, Findya, Ovi dan Livia duduk berjejeran di kursi tengah, baru saja beberapa menit mereka berkendara, Findya melirik ke samping dan mendapati dua ratu ngunyah itu tengah mengatur posisi saling menyandarkan kepala dengan mata yang hampir terpejam, sementara Findya sepanjang perjalanan ia terus saja menatap bibir kota, yang sebagian besarnya ditumbuhi pohon-pohon kurma di sekitaran jalan raya tersebut.

"Pak, ini kita mau kemana? ke rumah sakit dulu atau langsung ke asrama?" iseng saja Findya menyuguhkan pertanyaan pada pak Muttah yang teangah fokus menyetir saat ini, sumpek rasanya dari tadi hening suasana di dalam mobil, namun pak Muttah tak menjawab pertanyaan Findya barusan.

Findya yang merasa di abaikan, lalu mengedipkan mata seraya bertanya-tanya atas sikap pak muttah tersebut.

"Ahm, permisi pak?"

"Aiwa sister?" pak Muttah menyahut seraya menengok ke arah Findya.

"Ini kita langsung ke asrama? atau"

"Aham, malesh sister ana mafii maklum Ingglisi" tuturnya, melihat gestur pak Muttah, Findya sudah bisa menebak apa yang ia katakan.

"Ow sorry, sorry, saya juga gak bisa bahasa arab pak hehe"

Akhirnya kesalahpahaman kecil itu terselesaikan, atas obrolan mereka, lantas Ovi di buat terbangun lalu menanyakan apa yang sudah terjadi.

"Ada apa Find? Eh kita udah nyampe ya?" Ovi kemudian memperbaiki posisi duduknya seraya mengusap-usap kelopak mata.

"Gak ada apa-apa, belum aku juga gak tau kita mau di bawah kemana ini"

"Wen ruh?" sontak Ovi bertanya pada pak Muttah kemana mereka akan pergi menggunakan bahasa Arab.

"Hotel sister, enti maklum alughatal arabia?" (Di hotel sister, kamu ngerti bahasa arab?)

"Aiwa, ana maklum, Qubla ana syugul hena isnin sana" (Iya, saya ngerti, sebelumnya saya pernah bekerja disini selama 2 tahun)

"Masya Allah sister...alhen tani syugul, Quwais hena sah? au la'?" (Masya Allah sister, jadi sekarang datang untuk bekerja lagi, menurutmu disini bagus atau tidak?)

"Masya Allah hena mia-mia..." (Masya Allah, disini sangat bagus sekali)

Melihat kehebohan mereka, Findya hanya bisa garuk-garuk kepala, entah apa yang sedang di perbincangkan dua orang yang tak seumuran ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!