NovelToon NovelToon

Mendadak Jadi Mommy

Pertama

Pagi-pagi seperti biasa Ibu Ida dan Alexa atau biasa di panggil Ale terlibat perdebatan hanya perkara pemilihan menu sarapan. Dan seperti biasa Pak Rahmat akan selalu menjadi penengah dan berada di kubu Ale. Namun semua tak membuat Ale menjadi besar kepala karena pembelaan sang Ayah.

"Ayah itu selalu saja membela anaknya." Geram Bu Ida.

"Jangan di paksa dong Bu. Ale kan memang tidak suka nasi kuning sejak kecil." Bela Pak Rahmat.

"Hah... Rewel. Coba lihat Abang kamu Ardan apa saja dia mau makan makanya dia jadi polisi." Bu Ida.

"Apa hubungannya Bu? Lagian Ale ga mau jadi polisi." Ale.

"Sudah-sudah... Sana berangkat kuliah. Ini Ayah kasih uang lebih buat beli sarapan." Ucap Pak Rahmat memberikan selembar uang seratus ribuan.

"Eee... Apaan itu beli sarapan segitu banyak. Sini ibu tukar uangnya." Ucap Bu Ida tak terima.

Namun, bukannya memberikan uangnya Ale malah pergi berlari meninggalkan orang tuanya yang sudah bisa di pastikan akan adu mulut perkara uang tersebut. Ale sudah biasa mendengar kedua orang tuanya beradu mulut bahkan hanya masalah sepele.

Alexa menaiki angkutan umum untuk sampai di kampusnya yang tak jauh dari komplek perumahannya. Dalam perjalanan menuju kampus Ale mendapat kabar jika kuliah pagi di cancel dan akan di gantikan siang hari setelah jam mata kuliah ke dua. Jadilah yang seharusnya Ale bisa bersantai siang hari nyatanya Ale masih harus mengikuti perkuliahan.

"Alexa.."

Suara seseorang memanggil Ale ketika Ale berjalan menuju kantin untuk mengisi perutnya. Ale berjalan santai karena tidak terburu-buru dengan jam mata kuliahnya.

"Hai Dra... Udah di kampus juga lu?" Tanya Ale pada Indra teman satu kelasnya.

"Iya. Gw baru tau kabarnya pas udah nyampe." Indra.

"Sama sih gw juga tau pas udah di angkot." Ale.

"Lu mau kemana?" Indra.

"Kantin. Mau makan gw belum sarapan tadi." Ale.

"Kebiasaan. Ya udah yuk gw temenin. Sahabat-sahabat lu pasti belum dateng." Indra.

"Mereka masih otw. Paling ntar nyusul." Ale.

Mereka berdua pun pergi ke kantin. Bukan tak tau jika Indra menyukai Ale hanya saja Ale selalu bersikap biasa saja karena Ale tak ingin berpacaran. Menurutnya pacaran hanya akan membuang-buang waktunya. Ale lebih menyukai diam di dalam kamarnya ketika tak ada acara apapun.

"Alexa..... Ya ampuuuun... Gw cariin lu ya." Teriak Prastiwi sahabat Alexa.

"Kebiasaan lu. Untung gw ga keselek." Jawab Ale.

"Iya Wi. Jangan teriak-teriak kenapa." Indra.

"Ish... Sana lu. Urusan cewek nih." Usir Prastiwi.

"Eh, lu yang baru dateng lu yang usir gw. Lu ga liat gw lagi makan sama Ale." Protes Indra.

"Ish... Berisik kalian. Ganggu konsentrasi gw makan." Ucap Ale seraya mengangkat mangkuk buburnya untuk berpindah tempat.

"Gara-gara lu nih. Ngapain sih lu dateng sekarang." Indra.

"Yee... Serah gw lah." Prastiwi.

Tak lama Dinda dan April pin datang bergabung bersama Tiwi, Indra dan Ale. Dinda terlihat sedikit murung tidak seperti biasanya membuat ketiga sahabatnya saling sikut penuh tanda tanya. Sebelum bertanya apapun pada Dinda, Ale dan kedua sahabatnya yang lain berbicara melalui mata mereka jika masih ada Indra di sana maka mereka tak dapat mengatakan apapun.

"Dra, lu ga ada kerjaan lain ya. Ke perpus ke atau kemana gitu biar lu pinter sana jangan nimbrung sama kita-kita." Usir April.

"Apaan sih Lu Pril. Suka-suka gw dong mau dimana aja." Indra.

"Guys... Hari ini ga ada perkuliahan... Yeeee..." Sorak Tiwi yang paling cerewet di antara mereka berempat.

"Apa sih Wi. Jangan becanda deh." Ale.

"Liat di grup Le. Dosen kita dua-duanya berhalangan dengan konsekuensi besok jadwal kita padat." Tiwi.

"Huh... Melelahkan." Ale.

"Mending sekarang aja padatnya bisa ga?! Besok Eros libur terus gw kuliah..." Ucap April lesu.

"Makanya sekolah lu yang bener. Malah nikah sih lu." Indra.

"Gw menghindari dosa Dra. Dari pada kaya lu diem disini mata lu tuh ga di jaga.Dosa lu." April...

"Astaga! Susah ngomong sama Bu Ustad sih. Ya udah deh gw mau balik. Mending gw ke bengkel cari duit daripada kumpul sama kalian." Indra.

"Yeee... Lagian siapa yang nyuruh lu gabung sama kita. Sorry ye ga ada tuh." Jawab Tiwi.

"Udah berisik." Ucap Ale menunjuk pada Dinda yang masih diam terpaku walau ketiga sahabatnya ribut sejak tadi.

Biasanya Dinda akan ikut menyerang Indra jika Indra ikut gabung bersama mereka. Ale, Tiwi dan April saling pandang memberi isyarat siapa yang akan membuka suara terlebih dahulu. Dan seperti biasa Ale lah yang akan menjadi bahu sandaran jika ketiga sahabatnya sedang bersedih.

Ale mendekati Dinda bertukar tempat duduk dengan April. Sebelum memulai pembicaraan Ale menarik nafas dalam mengatur emosinya.

"Din." Panggil Ale merangkul bahu sahabatnya.

Grep....

Dinda memeluk Ale dari samping dan pecahlah tangisan Dinda yang sejak tadi tertahan. Tak ada yang mengeluarkan suara satupun. Ale pun hanya diam membiarkan Dinda menumpahkan segala isi hatinya. Ale mengusap lembut punggung Dinda bertujuan agar Dinda lebih tenang.

Tiwi dan April pun saling berpelukan. Mata mereka sudah berkaca-kaca melihat dan mendengar Dinda menangis. Hati mereka teriris sakit mendengarnya. Begitulah mereka berempat hanya Ale yang sedikit lebih bisa menahan tangisnya.

Tak ada satupun diantara mereka bertiga yang mengeluarkan suara. Setelah tangis Dinda mereda dan Dinda mengurai pelukannya pada Ale barulah Ale bersuara. Namun sebelumnya Ale memberikan tissue dahulu pada Dinda.

"Thanks." Dinda.

"Lu bisa cerita sama kita Din.. Walaupun tak ada solusi seenggaknya lu lebih lega." Ale.

Dinda menatap ke tiga sahabatnya sebelum bercerita.

"Huh..."

"Gw kasian sama sepupu gw guys... Dia masih bayi merah tapi udah ga punya ibu." Dinda.

"Maksud lu gimana?" April.

"Kalian inget kan adiknya Bunda? Nah, istrinya di temukan meninggal dengan pria lain di hotel." Dinda.

"Loh, bukannya Om lu itu udah gugat cerai istrinya ya?" Tiwi.

"Iya tapi masih dalam proses. Jadi secara hukum masih istri sah Om gw." Dinda.

"Iya juga ya. Bayinya juga baru 40 hari kan Din?" April.

"Iya. Kasian gw. Setiap hari dia nangis." Dinda.

"Lah, bukannya emang nangis kerjaannya anak bayi ya." Ucap Tiwi polos.

Plak...

Pukulan mendarat di lengan Tiwi yang berasal dari April yang berada di sampingnya.

"April... Sakit ih.." Protes Tiwi.

"Makanya beg* jangan di piara." April.

"Yang sabar ya Din. Dibalik semua kejadian ini pasti akan ada hikmahnya." Ale.

"Iya Din, Ale bener tuh. Sekarang sepupu bayi lu dimana? Bukannya Om lu tinggal di jakarta ya?" April.

"Di rumah Oma gw Pril. Oma ga tega jadi bawa dia pulang ke sini." Dinda.

🌹🌹🌹

Janji

Hari ini seperti yang sudah di jadwalnya kemarin perkuliahan begitu padat sejak pagi. Pak Rahmat begitu mengkhawatirkan putrinya karena hingga sore hari Ale belum juga tiba di rumah. Biasanya Ale akan menyambut kedatangannya ketika pulang kerja. Ya Ale lah yang selalu menyambutnya bukan Bu Ida. Bu Ida akan sibuk dengan dunia nya.

"Bu, apa Ale ga bilang hari ini dia pergi kemana?" Tanya Pak Rahmat pada istrinya.

"Ngga Yah. Ayah ga percaya sama Ibu. Ale ga bilang apa-apa sama Ibu." Jawab Bu Ida.

"Bukan ga percaya Bu. Kali aja Ibu lupa." Pak Rahmat.

Tak lama terdengar suara pintu depan di buka dan munculah Ale dengan wajah yang lelah.

"Nah, tuh anaknya datang. Masih inget pulang?" Tanya Bu Ida pada Ale.

Ale hanya memutar matanya malas.

"Kamu dari mana nak?" Tanya Pak Rahmat ketika Ale mencium punggung tangannya.

"Dari kampus Yah. Tadi Ale chat Ibu terus ponsel Ale mati Yah." Lapor Ale.

"Tuh kan. Pasti Ibu yang lupa. Coba cek ponselnya." Pak Rahmat.

"Ngga ada Yah. Jangan macem-macem kamu Le. Kamu ga ada kirim pesan sama Ibu." Ibu Ida.

"Ada Bu. Ale bilang ada jelas tambahan sampe sore." Ale.

"Ga ada Le." Keukeuh Bu Ida.

"Ibu coba liat dulu." Pak Rahmat.

"Udah-udah belum terkirim mungkin Yah. Ale ke kamar dulu Yah Bu." Ucap Ale memutuskan perdebatan di antara Ibu dan Ayahnya.

"Makan dulu Le." Pak Rahmat.

"Udah Yah tadi bareng anak-anak." Ale.

"Mandi dulu jangan jorok Le." Ibu Ida.

"Iya Bu." Ale.

Keesokan harinya Bu Ida sudah teriak-teriak meminta Ale untuk ini dan itu. Pasalnya hari ini Ale tak ada perkuliahan begitu pun dengan Pak Rahmat yang ada di rumah jika weekend. Bu Ida tak akan membiarkan putrinya bermalas-malasan maka dari itu tugas demi tugas dia layangkan pada Ale.

Siang hari Ale baru saja menyelesaikan tugasnya kemudian Ale masuk kedalam kamarnya dan merebahkan tubuhnya yang lelah hingga tanpa terasa Ale pun tertidur dengan lelap bahkan melupakan makan siang dan malamnya. Tengah malam Ale terbangun karena rasa laparnya.

Tak ada makanan Ale pun memutuskan membuat mie instan demi mengganjal rasa laparnya. Setelah menghabiskannya Ale pun kembali tidur.

"Le, hari ini ada kuliah?" Pak Rahmat.

"Ada Yah. Tapi cuma pagi aja." Ale.

"Jangan ngeluyur dulu langsung pulang." Ibu Ida.

"Kapan Ale ngeluyur Bu." Ale.

Ale pun pergi ke kampus menggunakan angkutan seperti biasa. Ale tak pernah mau membawa kendaraan sendiri walaupun Pak Rahmat sudah menawarkan sepeda motor pada Ale. Ale yang memiliki ilmu bela diri hingga sabuk hitam itu juga yang membuat Pak Rahmat sedikit lebih tenang walau rasa was-was selalu saja ada.

"Guys... Balik ini ke rumah Oma gw yuk. Oma ada arisan jadi gw di minta jagain sepupu gw." Dinda.

"Kenapa ga Kakak lu aja Din?" Tiwi.

"Sibuk dia." Dinda.

"Sibuk pacaran." Ale.

"Hahahaha.... Tau aja lu." Dinda.

"Gw ada janji sama nyokap Din." Tiwi.

"Gw Mas Eros libur Din. Sorry ya." April.

Semua mata memandang Ale menunggu jawaban Ale.

"Huh... Gw ada janji sama bantal guling gw Din. Mau melanjutkan cerita tadi malam." Ale.

"Alexa Rahmania..."

Teriak ketiga sahabatnya. Tawa mereka berempat pun membahana di dalam kelas. Untung saja dosen mereka belum datang. Tak ingin ada keributan lagi Ale pun mengirimkan pesan pada kedua orang tuanya jika dirinya akan pergi ke rumah Dinda sepulang kuliah nanti.

Jam perkuliahan pun selesai April pulang dengan Eros yang menjemputnya. Dinda pulang menggunakan mobilnya sedangkan Ale pergi bersama Dinda.

"Alexa..." Panggil Indra.

"Kenapa?" Tanya Ale membalikkan badannya.

"Balik bareng gw yuk." Ajak Indra.

"Sorry Ndra,,, Ale udah gw boking duluan." Jawab Dinda.

"Hus... Lu fikir gw apaan. Ntar di kira gw open BO lagi." Ale.

"Iya Din lu sembarangan aja." Indra.

"Terserah. Yang penting Ale mau pergi bareng gw ga bareng lu." Dinda.

"Bareng gw aja Le. Gw anter sampe rumah kok." Indra.

"Sorry Ndra gw udah janji pergi bareng Dinda." Ale.

"Yaah... Kali ini aja deh Le.." Mohon Indra.

"Udah sana ah. Maksa banget lu." Dinda.

"Gw ikut deh kalo gitu." Mohon Indra.

"Ngga ya Ndra. Sekali nggak tetep nggak. Lu ga malu ini acara cewek semua terus lu nongol cowok sendiri." Dinda.

Akhirnya Indra pun pasrah usahanya mendekati Ale gagal lagi. Indra meninju udara sebagai rasa kesalnya. Sementara Ale dan Dinda memasuki mobil Dinda dengan Ale di belakang kemudi.

"Le, Abang lu tuh." Tunjuk Dinda ketika ada barisan polisi tengah menggelar razia.

"Biarin aja." Ale.

"Pura-pura ga bawa SIM Le biar dia dateng." Dinda.

"Bukan dateng yang ada mobil lu di tahan." Ale.

"Ish... Lu mah." Dinda.

Setelah berhenti Ale membuka kaca mobil Dinda dan langsung memberikan SIM dan STNK mobil milik Dinda.

"Eh, Dek Ale. Ya udah silahkan Dek jalan lagi. Itu Abang Ardan sedang bertugas juga." Ucap Polisi yang bernamakan Wahyu pada seragam dinasnya.

"Terima kasih Bang. Salam dari Dinda untuk Bang Ardan ya." Dinda yang menyahut bukan Ale.

Karena seperti biasa Ale akan bersikap dingin pada polisi teman dari Abangnya. Karena menurutnya mereka hanya ingin mencari perhatian Ardan bukan tulus mendekati Ale.

"Baik Dek Dinda. Mari silahkan jalan kembali." Wahyu.

"Bye ... Bang Wahyu." Dinda.

"Genit banget sih lu." Ucap Ale setelah kembali melajukan mobil Dinda.

"Biarin dari pada lu kaya kulkas diem aja. Bisu Lu." Dinda.

"Ck... Ganjen." Ale.

Sementara di pinggir jalan setelah melakukan razia kendaraan para polisi beristirahat sejenak sebelum kembali ke kantor.

"Ijin Dan, dapet salam dari Dinda Dan." Lapor Wahyu yang mendapatkan amanat ucapan salam dari Dinda.

"Dinda?! Siapa Dinda?" Tanya Ardan.

"Siap tadi berdua dengan adik anda Dan." Wahyu.

Lantas Ardan tak menjawabnya lagi. Ardan langsung mengirimkan pesan pada sang Adik berupa ancaman kecil seorang Kakak.

"Apa-apaan lu pake kirim kirim salam segala sama Wahyu. Kecentilan lu."

Ale yang baru saja turun dari mobil Dinda segera membuka ponselnya begitu ada notifikasi pesan terdengar.

"Haish... Lu juga sih kecentilan." Ucap Ale mendengus.

"Apaan sih Le." Protes Dinda karena mendapatkan tatapan tajam dari Ale.

"Noh liat. Kan gw jadi yang salah." Ale.

"Aduh, Bang Ardan gemesin banget sih.. Boleh ga gigit dikit." Dinda.

Plak...

"Aw,,, sakit Le kejam banget lu sama Kakak ipar." Dinda.

"Gw do'ain semoga lu cepet insyaf Din." Ale.

"Jahat banget Lu." Dinda.

🌹🌹🌹

Terima Kasih

"Akhirnya kalian datang juga." Sambut Oma Winda.

"Kenapa Oma? Oma sudah terlambat?" Dinda.

"Tidak. Hanya saja Oma lega kalian bisa menemani Keira di rumah. Setidaknya Keira tidak sendiri." Oma Winda.

"Tentu saja Dinda akan datang Oma." Dinda.

"Hai Oma.. Apa kabar?" Ale.

"Alexa... Kabar baik cantik. Lama ga ketemu makin cantik aja kamu nak." Puji Oma Winda setiap kali bertemu dengan Ale tak pernah absen kata pujian untuknya.

"Oma bisa aja. Oma juga cantik loh..." Ale.

"Tentu tidak secantik kamu sayang... Makasih ya udah mau nemenin cucu-cucu Oma. Tapi sayang Oma harus pergi." Oma Winda.

"Iya Oma. Pergi aja ada Ale yang jadi wasit kalau-kalau Dinda berantem sama Keira." Canda Ale.

"Lu fikir gw berantem sama anak bayi." Dinda.

"Nah kan Oma. Belum apa-apa udah protes hahahaaa..." Ale.

"Kamu bisa saja menghibur Oma. Kalo begitu Oma pergi dulu ya. Jangan kemana-mana nanti Oma pulang bawakan makanan untuk kalian." Pamit Oma Winda.

Oma Winda pun pergi meninggalkan Ale dan Dinda yang akan bertugas menemani Keira bayi yang masih berusia 40 hari. Dinda pun tak habis fikir mengapa dirinya harus berada di kediaman Opa dan Omanya. Padahal di sana sudah ada suster dan beberapa maid.

Mereka berdua bersantai di ruang keluarga menikmati beberapa camilan dan minuman yang di sediakan Bibi sebagai teman nonton mereka berdua. Sedang asik menonton terdengar tangisan Keira dari atas. Sepertinya suster tengah berusaha menenangkan Keira dan memberinya susu namun Keira tetap menangis hingga suaranya terdengar begitu parau.

"Ada apa suster? Kenapa Keira terus menangis?" Tanya Dinda pada suster Yuli pengasuh Keira.

"Selalu seperti ini Nona jika Nona Keira menangis. Saya sudah berusaha menenangkannya dan memberikannya susu." Jelas suster Yuli.

"Apa mungkin popoknya basah sus?" Dinda.

"Baru saja saya ganti Non." Suster Yuli.

"Sini biar Dinda coba gendong Sus." Pinta Dinda mengambil alih Keira.

"Sssttt... Sayang sudah ya menangis nya. Nanti sakit tenggorokan nya sayang. Sudah ya. Jangan takut ada Kak Dinda di sini." Ucap Dinda berusaha menenangkan sepupunya.

Namun Nihil Keira tetap menangis bahkan terdengar begitu polusi menyayat hati. Suster dan beberapa maid hingga menitikan air matanya mendengar tangisan Keira.

"Kenapa Din?" Tanya Ale yang menyusul Dinda ke atas karena Dinda tak kunjung kembali dan suara tangisan Keira membuatnya penasaran apa yang terjadi dengan sepupu Dinda tersebut.

"Entahlah Le, Keira terus menangis dan menolak di berikan susu." Dinda.

"Mungkin dia masih kenyang. Atau popoknya basah." Ale.

"Semua udah di ganti Le. Tapi lu liat sendiri kan sepupu gw masih tetep nangis." Jelas Dinda.

Tanpa banyak bicara Ale mengambil alih Keira dalam gendongannya dan ajaib tangis Keira berhenti seketika. Ale menggoyangkan badannya seperti tengah mengayunkan Keira. Suster Yuli dan Dinda saling pandang tak percaya dengan apa yang mereka lihat begitupun dengan maid yang menyaksikannya.

Dinda segera mengambil ponselnya di dalam saku dan mengabadikan moment tak terduga. Kemudian Dinda segera mengirimkannya pada Oma Winda. Oma Winda meneteskan air mata harunya melihat cucunya begitu anteng dalam gendongan Ale.

Ale dengan santainya memberikan susu pada Keira dan Keira pun menghabiskannya dengan lahap. Setelah cukup lama Suster Yuli pun meminta Keira pada Ale karena terlihat Keira telah tertidur di pangkuan Ale.

"Nona Ale, biar saya pindahkan Nona." Pinta Suster Yuli pada Ale.

"Ah, ya silahkan suster." Jawab Ale.

Namun, baru saja tangan suster Yuli menempel pada badan Keira tangis Keira kembali pecah seolah tak ingin di pisahkan dari Ale.

"Sssttt... Sayang... Jangan nangis ya. Tidak suster hanya ingin membenarkan tidur Keira." Ucap Ale.

Keira pun kembali berhenti menangis. Dan Suster Yuli hanya diam terpaku dengan perlakuan Ale pada anak asuhnya.

"Biar Ale yang pindahkan ke kamar ya Sus." Ale.

"I iya Nona mari silahkan." Suster Yuli.

Ale dengan mudah memindahkan Keira di atas tempat tidurnya. Dengan menepuk sebentar padanya Keira pun kembali tertidur. Ale bangkit dan kembali ke depan menuju ruang keluarga.

"Thanks Le, akhirnya sepupu gw bisa tidur dengan nyenyak." Dinda.

"Tak masalah Din. Bukannya memang Oma menitipkan Keira pada kita." Ale.

Tak berselang Oma Winda datang dan langsung menghambur memeluk Alexa. Alexa yang terkejut hanya diam mematung. Dinda pun tersenyum mendekati Ale dan Oma Winda. Dinda mengusap punggung Oma Winda dan Ale. Setelah merasakan usapan Dinda barulah Ale membalas pelukan Oma Winda.

"Terima kasih Nak. Terima kasih. Keira bisa masuk susu dengan banyak dari tanganmu." Ucap Oma Winda tulus.

"Tidak perlu berterima kasih Oma. Ale ikhlas kok membantu Oma dan Dinda." Ale.

Grep...

Oma Winda kembali memeluk Ale. Dan kali ini Ale membalas pelukan Oma Winda.

"Ada apa ini? Kenapa kalian saling berpelukan?" Tanya Opa Faris memecahkan keharuan di antara Ale, Oma Winda dan Dinda.

"Mas,,, Mas harus tau. Cucu kita banyak minum susu dari tangan Ale. Bahkan Keira tidak rewel bersama Ale Mas." Lapor Oma Winda.

"Benarkah?" Tanya Opa Faris.

Dan mengalirlah cerita Dinda saat dirinya dan Ale menemani Keira. Bagaimana Keira begitu tenang dalam buaian Ale. Opa Faris pun memeluk Ale dan mendaratkan kecupannya di puncak kepala Ale.

"Terima kasih Nak." Ucap Opa Faris melerai pelukannya.

"Sama-sama Opa. Kalian tidak perlu berterima kasih pada Ale sebenarnya. Ale hanya melakukan apa yang Ale ingin lakukan saja. Ale bersyukur jika Keira bisa tenang dan minum banyak susu bersama Ale." Ale.

Opa Faris dan Oma Winda pun menyaksikan sendiri ketika terdengar tangisan Keira tak lama Suster Yuli datang membawa Keira ke bawah. Tangisan Keira terdengar sangat memilukan.

"Kenapa?" Tanya Oma Winda.

"Tadi tidak apa-apa Nyonya saat bangun tidur. Namun matanya seperti tengah memindahkan seluruh ruangan kamar terus bergerak. Sampai saja ajak bicara sambil mengganti bajunya masih diam. Kemudian matanya tak lepas menatap saya terus menangis kencang Nyonya." Jelas Suster Yuli.

"Berikan pada saya Sus." Pinta Ale.

Dan wow.... Keira terdiam menatap Ale. Manik matanya cerah hilang raut kesedihan di wajahnya. Saat Ale tersenyum padanya entah kebetulan atau memang bagaimana Keira membalas senyuman Ale. Oma Winda, Dinda dan Suster Yuli menutup mulut mereka tak percaya sedangkan Opa Faris benar-benar di buat kagum.

"Kenapa? Cari Kakak ya? Jangan nangis ya. Anak pinter ga boleh nangis ya. Kalo Kakak ga ada nanti ada suster Yuli dan Oma yang akan menemani Keira. Jangan buat semua jadi khawatir ya sayang. Setelah ini kita mimik susu ya. Keira harus anteng ya. Setelah Keira mimik Kakak pamit pulang dulu ya. Jangan rewel ya sayang. Kakak sayang Keira." Ale mengeluarkan petuahnya yang menurut sebagian orang akan percuma karena bayi tak akan mengerti apa yang kita bicarakan.

🌹🌹🌹

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!