"Ring angkasa---ring angkasa!!! Sekali mengudara tetap jaya di udara!"
Seruan para prajurit muda berlarian, kontras dengan kondisi cuaca tak menentu yang sedang melanda negri saat ini.
Diantara rintik hujan deras yang menyerbu bak tembakan peluru menusuk badan, dan seragam basah yang mereka pakai, tak menjadi penghalang mereka untuk bertugas melindungi setiap jengkal negri tercinta, sekalipun terkadang negri ini tak adil.
Krek....Dorrrr!
Mereka berlari bak kijang, menyerang bak jaguar dengan menodongkan senjata laras panjang, lesatan peluru tepat mengenai sasaran tembak dan melubangi bagian kepala yang telah terdapat lubang lain sebelumnya.
"Lettu Tama, yeah.." gumamnya mengangguk-angguk sembari mengurai senyuman miring berjuta makna, tangannya secara otomatis menggoreskan tinta hitam di atas kertas putih nama Pratama Adiyudha diantara daftar nama beberapa perwira muda lain yang mumpuni.
Entah untuk apa, yang jelas bukan karena pria itu buronan pasukan ciwi-ciwi berbaju putih dan celana bahan sopan serta memakai tas ransel, apalagi punya hutang segudang pada aplikasi pinjol, melainkan ada sesuatu yang dimiliki Tama yang membuatnya tertarik begitu, kemampuan.
..
"Ya! Kapanpun perintah turun. Beberapa perwira personel pasukan khusus yang mumpuni, siap ku kirim untuk kau sewa."
(....)
Tap...tap...tap....
Cratt!
Seorang berpangkat itu menutup panggilannya dan kembali masuk ke dalam ruangan pangkalan, setelah sebelumnya melihat latihan gabungan yang rutin dilakukan unit khusus di area puslatpur.
"Ndan!"
Ia hanya mengangguk singkat sebagai balasan hormat dari sang bawahan. Enggan berlama-lama berada di bawah guyuran hujan, ia segera masuk seraya menghalau air hujan yang membasahi kota sore itu.
Ia bukan aktor bollywood yang senengnya joget-joget atau berdiri lama sampe pucet plus masuk angin di bawah siraman air hujan, bisa-bisa sampe rumah ia langsung kerokan.
"Latihan gabungan saya cukupkan sekian. Silahkan kembali ke tempat masing-masing."
Para berseragam loreng itu membubarkan diri dari lelahnya pekerjaan dengan seruan lega.
"Wes, muleh nang omah....mesti masak dewean, mangan dewean!" tawa Senja, "adus dewean, turu dewean..." ocehnya menyenggol Tama, seolah ia mencibir nasib jomblonya.
Tama menggeleng dan terkekeh, bukan karena seloroh receh Senja, namun melihat wajah kebingungan Agus, ia tau Agustinus tak mengerti dengan apa yang dimaksud Senja.
"Dewean lah, memangnya mau sama siapa? Ke bo?" tanya Tama mendorong bahunya hingga menyenggol bahu Senja.
"Kamu berdua kalau sudah mengobrol, bikin saya tepuk jidat e. Jangan bawa bahasa ibu lah," cibir Agus memicingkan matanya sinis, yang lalu di tertawai Senja, "jangan-jangan kamu sedang bicara tentang sa kan, Ja? Ngaku kamu!" Agustinus memiting leher Senja gemas-gemas ala cowok karena geram, biasanya jika Senja sudah bicara bahasa kampungnya pada Tama maka dia sedang mengusili Agus.
Senja tertawa terbahak, pitingan kawannya itu sungguh tak membuat ia bisa mati saat itu juga, "lama tugas di Java, koe ra ngerti-ngerti Gus..." cibirnya.
"Tak usah di dengar dia, Gus. Seperti kamu tak tau dia saja," tunjuk Tama dengan dagunya pada Senja dengan kekehan, "saya pulang duluan, Ja, Gus..." pamitnya, ia sudah benar-benar tak tahan dengan rasa dingin dan lengket di badan.
"Hey Tam! Arep mangan berdua ora?! Ta masaki mie instan?!" teriak Senja, yang di acungi tangan oleh Tama, "Ora!" mungkin tidak kali ini. Ia hanya ingin cepat-cepat menghubungi Ibu di kampung sana dan Clemira yang sudah ia rindukan juga.
Sudah beberapa lama ia tak bertemu dengan si cantik nakalnya itu, senyumnya langsung meredup getir mengingat hubungan mereka yang ngambang persis sampah di kali Cili wong.
Bukan Tama yang tak jantan, namun entahlah....calon bapak mertuanya itu kaya pengen di geprek bareng sayap ayam, sepertinya perwira itu termasuk ke dalam calon-calon bapak mertua di ftv ikan ngesot.
Calon-calon bapak mertua nyebelin yang judesnya ngalahin selingkuhan si fernando dan berujung kena azab nantinya, naudzubillah!
Bawaan sisa-sisa jiwa playboynya, bikin Rayyan sedikit lebih overprotektif terhadap Clemira.
Atau mungkin karena faktor Clemira adalah cucu perempuan satu-satunya dari keluarga Ananta yang mesti dijagain kaya harta si qorun. Lecet dikit masuk rumah sakit, biar dikata cuma bentol dikit langsung ditangani dokter spesialis, tak seperti dirinya yang udah bonyok, patah tulang pula, cukup dibawa ke tukang urut terus dikasih minyak gosok, beres!
Tama memutar kunci, sedikit mendobrak pintu messnya yang sudah ia tinggali selama beberapa bulan belakangan semenjak dipindah tugaskan ke ibukota.
Bukan kamar mewah layaknya hotel raja Salman yang pake kaca jendelanya saja mesti anti peluru, atau cat kamar berlapiskan emas, hanya kamar sepetak dilengkapi ruang tamu yang merangkap ruang tengah, dapur kecil menyerupai lorong goa, dimana tempatnya menyiapkan makan untuk diri sendiri dan sebuah kamar mandi.
Namun bagi Tama itu sudah lebih dari cukup. Ia jarang sekali berada di mess, waktunya banyak ia habiskan di barak pelatihan, hutan, dan udara....ia memang lebih sering menggunakan waktunya demi memperbanyak jam terbang dalam karir.
**Trek**!
Layar padam itu seketika menyala memperlihatkan acara televisi yang entah apa, hanya saja para pemain di dalamnya sedang memainkan sitkom, lantas Tama memindahkan chanel televisi meskipun pada akhirnya ia tak begitu peduli karena yang sedang ia lakukan adalah bersiap-siap untuk menunaikan ibadah. Berharap dirinya selalu dilimpahkan keselamatan dan diberikan *keteguhan hati untuk tetap melangkah di jalan lurus*.
Bukan mobil seharga gunung Bromo, apalagi pesawat jet pribadi persis punya keluarga Beckham, hanya motor pribadi yang baru lunas beberapa bulan belakangan yang kini ia tumpangi mengarah ke sebuah universitas ternama di ibukota.
Cuaca saat ini bikin Tama mengerutkan dahi dan alisnya menjadi keriting demi menghalau sinar matahari, kulit tangannya tak perlu ia lapisi dengan apapun selain daripada seragam loreng. Seusai berdinas, ia langsung menggas motornya kesini demi sang pujaan hati.
Clemira memasukan buku-buku tebal yang mampu membuat kepala jadi pusing mendadak karena isinya. Kesemuanya tentang medis, yeah! Clemira adalah mahasiswi keperawatan di salah satu perguruan tinggi negri ibukota, ia mengambil jurusan yang sama dengan tantenya, Cut Zahra.
"Yuk balik!" ajak Sani diangguki Cle, "dijemput ngga?" tanya Sani, ia kembali mengangguk sembari sibuk mencari ponsel yang ia taruh di tas, tanpa melihat jalanan sehingga Sani berkali-kali harus menariknya karena sempat akan bertabrakan dengan beberapa mahasiswa lain.
"Ck ah! Ada ngga sih? Jangan-jangan ketinggalan lagi," decak Sani.
"Ada kok....ada, barusan gue masukin gitu aja ke tas...bentar," Clemira kembali sibuk mengubek-ubek tas mencari benda pipih miliknya itu demi melihat apakah Tama sudah sampai.
Belum Clemira menemukan, Sani sudah menyenggol bahu Clemira, "ngga usah lo cari, tuh jemputan ajudan bokap lo udah berdiri di depan....anjayyy Cle, tumbenan amat ajudan om Ray yang ini keren abisss!" decak Sani kagum melihat Tama yang setengah bersandar di motornya sambil meneguk minuman bersoda di sebrang sana, meski tak terlalu jauh namun posisinya kini seperti tak terlihat oleh Tama yang justru celingukan ke arah lain.
"Peak!" toyor Clemira, "itu bukan ajudan bokap. Itu cowok gue!" jawab Clemira mendengus, seketika gadis bernama Sani itu memaksakan matanya untuk membola penuh, "ah masa?!" ia tertawa dengan pernyataannya sendiri yang memancing reaksi sebal Clemira, "gue kira ajudan...biasanya kan lo dijemput ajudan, Cle. Boong ah! Cowok lo prajurit juga gituh?!" tanya nya tak yakin, namun sejurus kemudian ia berseru.
"Asikkk tikung ah! Mana coba, gue pengen kenalan!" Sani sudah bersiap melangkah besar nan antusias untuk berkenalan dengan Tama, namun Clemira menahannya, "engga usah. Ntar lo suka," sengaknya, Sani tertawa, "emhhhh, mpo cecif nih mbak suster..."
"Ya elo juga, liat cowok keren dikit langsung ijo!" Clemira menyunggingkan senyumnya, "udah ah, gue balik dulu. Nanti aja kenalannya, sekarang gue mau berkangen-kangen ria dulu sama mas'e...." alisnya naik turun memantik decihan jengah Sani, "idih jijay, masss...kaya tukang baso..." namun sedetik kemudian ia tertawa.
"Gue balik duluan ya San...hati-hati lo..." pamit Clemira diangguki Sani yang mengangguk, "iya..." gadis itu masih tertawa dengan ucapan Cle tadi, kemudian bergidik geli sendiri. Sementara Clemira sendiri sudah melangkah jauh, ia sepaket senyum usilnya justru mengendap-endap mencari jalan lain demi mengejutkan Tama.
Tama menyipitkan matanya, alisnya secara otomatis mengernyit agar pandangan lebih fokus mencari si pemilik senyuman manis itu, namun nihil.
Kemudian Tama memilih menghubungi Clemira sekali lagi.
Ia menempelkan ponselnya di telinga mendengar nada sambung, menanti Clemira menjawabnya, belum ada 10 detik tiba-tiba ia dikejutkan oleh tusukan kecil di area pinggang.
"Mas'nya saya tilang ya, soalnya parkir di sembarang tempat!" todong Clemira dengan ujung telunjuknya. Tama mengehkeh tanpa berbalik ke belakang.
"Terus harusnya saya parkir dimana, mbak?" balas Tama menoleh ke samping.
"Di hati aku...." jawab Clemira mengundang gelak tawa keduanya, "bisa aeee cah!" jawab Tama.
"Dih!"
"Mas Tama kesini make seragam lagi?!!" sebal Clemira.
Tama nyengir tanpa menjawab melihat Clemira yang menggembungkan pipinya, "udah aku bilangin jangan pake seragam, kan...kan...gantengnya tumpah-tumpah tuh!" ia terkikik, entah darimana kata-kata itu datang, namun Clemira pintar sekali dalam hal menggombal, tak tau mungkin bibit Rayyan memang tumplek semua di da rah Clemira.
"Nih," Tama menyerahkan dua butir permen ke tangan Clemira, yang langsung membuat gadis itu menghentikan tawanya, berharap jika pria itu akan membalas gombalannya karena permen mint itu bertuliskan miss you di belakang bungkusnya, "apa?"
"Upah kamu udah gombalin aku," jawab Tama melenggang hendak membuang kaleng soda ke tempat sampah, membuat Clemira diam seketika, tak habis pikir dengan datarnya Tama yang persis abangnya, Sagara.
"Dih!" decihnya lagi, "kirain mau gombalin Cle?!"serunya.
.
.
.
Catatan penulis : Cerita ini fiktif belaka, maka jangan pernah membanding-bandingkan dengan kisah nyata 🙏 tidak untuk mencolek instansi manapun, murni hanya sudut pandang dan daya khayal penulis. Jika ada kesamaan nama tokoh, hanya kebetulan semata.
.
.
.
.
...Kugenggam tanganmu, berjalan bersamaku.......
...~Tama~...
...****************...
"Gimana kampus?" tanya Tama mengawali obrolan, karena sejak tadi Cle belum membahas hal receh keseharian di kampusnya, hal receh yang selalu ada di obrolan mereka ketika bertemu.
Alisnya naik, meski Tama tak dapat melihat itu, "baik. Kampus masih berdiri, ngga ada yang gendong."
Bahu Tama bergetar karena tertawa, salahnya memang! Salah mulutnya yang mengeluarkan pertanyaan salah. Ia lupa kalau kekasihnya itu definisi cantik-cantik sengklek, jenius itu memang beda tipis sama bloon.
Cle ikut terkikik, lalu ia semakin merapatkan posisi dan memeluk Tama erat, "kangen wangi ini..." disesapnya aroma seragam bau matahari Tama, aneh memang, cewek cantik senengnya parfum alam mana ditambah bau ketek pula. Tama berdehem demi apa yang dilakukan Clemira ini, tak taukah Clemira apa yang ia lakukan itu berbahaya untuk kesehatan jiwa dan raga Tama?
"Mas," bisiknya seperti bisikan kalbu.
"Hm,"
Clemira berdecak, "ck. Mas sariawan? Coba minum racun!"
"Kamu tenaga medis menyesatkan," kekeh Tama.
"Abisnya kalo dipanggil jawabnya cuma C sama K, ck."
"Dalem, nduk..." ralat Tama membuat Clemira mendorong bahu tegap seperti gedung pencakar langit ibukota itu. Bagus tuh buat dijadiin tempat bersandar beban hidup orang sekota!
"Nanti acara tujuh bulanan Zea, mas bisa datang dong?" tanya Cle.
"InsyaAllah. Kalau memang tak ada tugas di luar, diusahakan datang. Wong Saga sudah undang, ndak enak..." jawabnya tak menjanjikan, ia sadar betul posisi dirinya, apalah yang cuma bawahan, pion-pion para petinggi yang bisa jadi esok hari ia sudah dikirim ke daratan paling ujung di perbatasan nusantara sekalipun.
Clemira tersenyum kaku karena itu artinya jawaban Tama tidak pasti, menurut pengalaman yang sudah-sudah si cowok gula aren ini selalu mangkir dari janjinya karena tugas dari kesatuan.
Dalam hatinya Clemira sangat ingin marah, namun ia pun tak bisa apa-apa, ia begitu paham dengan pekerjaan dan kehidupan seorang abdi negara mengingat ia pun keluarga abdi negara, bahkan Clemira terlampau paham dengan itu meski tetap saja, hatinya berkhianat, tak dapat dipungkiri jika ia begitu ingin Tama selalu ada untuknya, "hemmm..." Clemira mengangguk dengan lengu han berat.
Tama membelokan arah sepeda motor ke gerai dessert ternama di ibukota, dimana salah satu menunya adalah makanan favorit Rayyan dan Eyi, yang selalu Tama beli jika hendak berkunjung ke rumah Clemira. Tama jarang membawa Clemira untuk bertemu di luar, ia justru lebih sering menemui Clemira di rumahnya karena banyak alasan, terutama sikap jantannya yang menghargai keluarga Clemira.
"Klappertart durian," pinta Clemira di depan kasir berwajah ramah itu, dan tanpa sungkan Tama yang membayarnya.
"Mas," panggil Cle membuat Tama menolehkan kepalanya saat selesai memasukan kembali kartu tipis ke dalam lipatan dana kehidupan di saku belakang.
"Ya?"
"Ngga apa-apa emangnya?" ringis Cle. "Aku tau gajih kamu loh, kamu tuh sering banget beliin abi sama umi klappertart ini, sampe seminggu sekali, bahkan waktu kamu ngga datang ke rumah aja kamu tetep kirim pake ojol..." bukan apa-apa, harga penganan favorit abinya itu kan cukup menguras kantong prajuritnya, belum lagi biaya yang harus Tama gelontorkan juga untuk biaya kuliah Gio, adiknya.
Saat ini Gio tengah kuliah di jurusan yang tak main-main. Tama dan mas Rangga menjadi tumpuan kedua orangtuanya yang hanya mengandalkan uang pensiunan guru di hari tua mereka.
Tama melirik dengan mata jahil, "kalo gitu nanti kamu bayar," jawabnya.
"Dih, kan aku ngga minta?! Mas sendiri yang mau bawa buat abi.." sewot Clemira, meskipun anak horang kaya, kalau disuruh bayar membayar barang yang tak ia mau, ogah gilak! Mana kalo diitung-itung sudah berapa pula uang yang Tama belanjakan untuk puluhan kotak klappertart dan sudah dimakan pula oleh keluarganya.
"Nah itu tau, aku yang mau sendiri bukan karena paksaan, bukankah usaha itu butuh pengorbanan, bukankah masa depan itu butuh investasi? Anggaplah sekarang aku sedang berusaha, dengan mengorbankan apa yang kupunya untuk apa yang kumau di masa depan..." jawabnya ribet, bikin otak cerdas Clemira terpaksa mesti marathon mikirin maksud dari ucapan Tama.
"Mau romantis aja ribet ah!" omel Clemira mencubit pipi yang tak chubby milik Tama dari samping, padahal kan cukup bilang semua itu buat kamu, done! Beres! Tapi kok kayanya gengsinya tinggi untuk kalimat sesakral itu.
Keduanya keluar dari toko, uluran tangan Tama menjalar hangat menggenggam tangan putih Clemira. Bukan di pergelangan tangan persis gandeng anak tk, atau merangkul layaknya kakek sama cucu, melainkan menyelipkan setiap jemari diantara sela-sela jemari tangan mulus Clemira.
Gadis itu tersenyum hangat dan menggoyang-goyangkan tautan tangan mereka seperti anak sd, lalu beralih mengecup punggung tangan Tama, sekejap dunia berasa milik berdua, yang lain cuma roh gentayangan. Tak ada taman sakura pun, depan toko kue pun jadi. Cinta emang sekamvreet itu. Aroma polusi kota aja berasa kaya bau taman surgawi.
Senyum dari hati ke hati perlahan berubah, Clemira malah cekikikan dan tertawa tergelak membuat Tama mengerutkan dahi.
"Kenapa? Ada kotoran di muka, mas?" tanya Tama gelagapan menyentuh wajah dengan tangan satunya yang tengah memegang paper bag, takut ada upil segede gajah yang nyelip di idung.
Clemira menggeleng, "dari tadi aku liatin tangan kita."
"Liat deh. Kaya papan catur!" tawanya melihat betapa kontrasnya warna kulit punggung keduanya.
Tama berdecak lalu terkekeh sumbang saat ikut melihatnya, benar! Tangan Clemira tampak putih mulus kaya fla vanilla, beda dengan tangannya yang item buluk, bukti kerasnya perjuangan mempertahankan negara kedaulatan.
"Tapi ngga apa-apa, tangan item ini yang nantinya akan selalu lindungin Cle." Ujar Clemira, "tangan item ini juga yang senantiasa lindungin kedaulatan negara dari langit khatulistiwa," tambahnya. Clemira lalu mengambil ponselnya dan memotret tautan tangan keduanya, "bisa ngga itu kata itemnya jangan di ulang-ulang?" ujar Tama bertanya, Clemira langsung menyemburkan tawanya.
"Yuk ke rumah! Ketemu calon mertua galak!" ajak Clemira memberikan julukan mertua galak untuk abi Ray.
.
.
Tama duduk dengan posisi tegak, macam mau foto ktp. Dibawah sorot mata menginterogasi dan intimidasi dari Rayyan, ia tak terpengaruh, baginya sudah biasa menghadapi senior atau atasan galak, termasuk musuh mematikan sekalipun.
Mau senyum lebar takut dipikir brand ambassador merk pemutih gigi, mau senyum kaku nanti dipikir ngga ikhlas, penuh paksaan, Ya Tuhannn! Se-serba salah itu berada dekat Rayyan.
"Sore pak."
"Siang," jawab Rayyan. Clemira sudah berdecak merotasi bola matanya searah jarum jam, melihat sikap menyebalkan sang abi. Kalau ngga takut dianggap anak durhaka sudah ia jepret mulut abinya dengan karet ban truk Reo.
"Bi,"
"Ganti dulu baju, bersih-bersih...udah makan?" potong Rayyan beralih menatap Cle.
"Iya bi," angguknya seketika patuh. Pemandangan menggelikan yang akhir-akhir ini selalu menjadi bahan bullyan Panji untuk Clemira.
"Mas, aku ke dalem dulu." Pamit Clemira mencicit seperti hamster, dunia mendadak seperti ruangan ujian yang ngga boleh berisik saat Rayyan berada disana.
Tama mengangguk tersenyum, memancing delikan bola mata Rayyan, menyaksikan moment itu Rayyan merasakan hawa panas tak menentu. Meski sebenarnya beberapa kali ia sampai dicubit Eirene sebagai bentuk teguran, tapi tetap saja, melihat putri yang menurutnya masih akan menjadi putri kecilnya itu tumbuh dewasa serta menyukai lawan jenis sungguh menyentil hati seorang ayahnya.
Bersamaan dengan Clemira yang masuk dengan perasaan berat hati, Eyi menjadi malaikat penolong hubungan Cle dan Tama saat itu.
"Lama nunggu, ya. Maaf ya....barusan air panasnya habis, jadi mesti manasin dulu..." secangkir teh manis hangat yang masih mengepulkan asapnya tersaji di atas meja dekat Tama.
"Ngapain repot dek, tamu itu harusnya memaklumi empunya rumah, apa yang ada itu aja yang disajikan. Ngga usah berlebihan begitu, air putih saja cukup kan?!" tembak Rayyan julid nyelekit.
"Siap! Betul pak," refleksnya menjawab, memantik raut wajah malas Eyi, sejurus kemudian Eyi menyunggingkan senyumannya melihat paper bag yang Tama taruh di meja, "wah! Ini pasti klappertart favorit tante sama om ya?! Emang nih, calon mantu idaman!" seru Eyi setidaknya mencairkan suasana mencekam di teras rumah.
"Om...om, ompong..." cibir Rayyan menggerutu.
Grekkk!
Rayyan sampai tersentak dan menghentikan nafasnya barang setaun demi apa yang dilakukan Eyi. Dengan sengaja Eirene menginjak kaki suaminya yang ia lewati demi mengambil paper bag klappertart.
Ingin teriak, yang benar saja! Marwahnya sudah pasti jatuh ke dasar jurang di depan Tama. Istrinya itu memang benar-benar minta di lu mat.
.
.
.
.
...Anugrah Tuhan yang aku syukuri...
...Pratama Adiyudha...
...****************...
Krikk...kriikkk....
Hanya suara jeritan kalbu saja mungkin yang terdengar diantara keduanya, bersamaan dengan kucuran air terjun mini buatan di sudut kanan taman rumah kediaman Rayyan.
Netra Tama asik memandang dedaunan pohon jambu air citra yang tertiup angin sepoi-sepoi sore hari, dimana daunnya nampak segar sepertinya baru di siram. Jika harus iri, maka Tama akan iri pada dedaunan yang nampak segar dan berseri itu, tak seperti dirinya saat ini yang tengah layu nan bermuram.
Sementara Rayyan, lebih banyak bergelut dengan suasana hati yang berkecambuk di dalam sana.
Ia ingat pembicaraannya dengan Al Fath minggu lepas, saat abangnya itu melihat kegelisahan Rayyan akan Clemira.
Sungguh menurut Rayyan, ia dan Tama tidak cocok, ia sebut Tama lebih cocok dengan abangnya itu yang ngga asik! Kenapa Al Fath tidak punya anak perempuan saja, biar abangnya itu bisa merasakan bagaimana putrinya didekati perwira pendiam seperti dirinya.
Begitu banyak alasan tak logis yang Rayyan sebutkan demi terlihat benar dalam hal menolak Tama, salah satunya adalah ketakutan jika Tama adalah prajurit yang banyak tugas di luar, bagaimana nasib putri kesayangannya kalo ditinggal-tinggal mirip ibu khong guan.
Ia juga sudah bersuudzon ria kalau Tama akan memiliki banyak selingkuhan di luar sana dan menghianati Clemira. Pokoknya, menurut Ray, Tama tak bisa membahagiakan Clemira.
"Percuma abi Fath, nasihat orang waras ngga akan masuk di pikiran orang galau. Abi takut karmanya berlaku sama kak cimoy..." kekeh Panji yang langsung dilempari bantal sofa oleh abinya itu saat mereka tengah berkumpul di kediaman Ananta di acara pengajian 100 hari wafatnya abba Zaki.
Tama masih memasang wajah ramah, meski urat wajahnya sudah benar-benar pegal, sepulang dari sini mungkin ia harus melakukan akupuntur biar saraf-saraf wajahnya tidak putus. Ia tak terlalu datar seperti Saga, juga tak dingin macam Al Fath, namun pula tak se-slengean Rayyan.
Lelaki ini tak pandai merayu, apalagi merayu perwira yang lagi cosplay jadi singa begini. Semua kosakata mendadak hilang dari otak, jadinya Tama memutuskan untuk bicara jika diperlukan saja, karena sudah pasti jika ia bertanya maka jawaban ketus akan Rayyan lemparkan padanya seperti gadis pms.
Cukup lama mereka berdiam dalam keheningan kaya lagi acara renung malam di Perkemahan sabtu--minggu, hingga akhirnya Tama memutuskan untuk bertanya terlebih dahulu karena waktu yang terbuang begitu sia-sia jika tidak dipakai mengobrol, tak peduli dengan Rayyan yang akan menembaknya setelah ini, "saya dengar tentara kesatuan negri akan melakukan latihan gabungan di markas laut, masih hawar-hawar sih..." Tama tersenyum bermaksud mencairkan suasana, meski senyum itu begitu sulit ia lepaskan.
"Tapi sepertinya jikalau ditawari saya akan sangat senang, bisa berjumpa dengan bapak. Perwira yang disegani dan berprestasi. Nama bapak sudah begitu terkenal bahkan sampai luar matra."
Benar saja, delikan sinis nan sombong Rayyan tunjukan demi membentengi diri, "kamu sedang merayu?"
Senyum itu memudar menjadi kaku, namun beda halnya di dalam rumah. Rupanya obrolan kaku man to man antara Rayyan dan Tama sedang disaksikan live oleh Panji, Eyi dan Clemira. Panji cekikikan melihat itu, "mau taruhan? Abis ini, bang Tama langsung mutusin lo, kak."
"Sembarangan! Mas Tama itu perwira tangguh, ya. Cinta doi buat gue itu sekokoh batu karang!" sarkas Clemira, padahal hatinya sudah dag, dig, dug takut jika Tama semakin kapok dan ciut hingga akhirnya menyerah, lalu berimbas pada kandasnya hubungan mereka, seperti yang sudah-sudah.
Sebenarnya Clemira sempat dekat dengan beberapa lelaki termasuk teman sekolah, dulu. Namun melihat betapa galaknya sang ayah, mereka semua gugur di awal perjuangan. Ia berharap Tama akan setangguh ekspektasinya.
Eyi menggeplak bahu putranya yang sejak tadi tertawa melihat Tama dan Rayyan, menurutnya lucu saja, abinya yang terkenal konyol jadi mirip abi Fath ketika bertemu Tama, "abi kaya pak Janu, guru astronomi killer sekolah gue..."
**Plak**!
"Pak Janu tuh botak di tengah, abi tuh masih cakep! Rambutnya masih lebat," debat Eyi, tak terima kalau sang suami disamakan dengan guru anaknya yang memiliki masalah dengan rambut itu.
"Umi sekata-kata kalo ngomong. Itu artinya yang dipikirin pak Janu tuh masalah galaksi, bima sakti, planet, antariksa, mengkaji revolusi dan rotasi bumi..." ujar Panji dengan refleks tangan menunjuk ke arah atas, meski maksudnya menunjuk langit namun yang ia tunjuk adalah ee cicak yang nempel di plafon.
"Kalo yang botaknya di belakang?" tanya Eyi.
"Kalo yang rontoknya di belakang, itu artinya dia mikirin masa lampau, sejarah, arkeolog, situs megalitikum, dinosaurus." Jelas Panji.
"Kalo yang botaknya di depan?" tanya Eyi lagi, sudah mesam mesem geli, sementara Clemira...wajahnya bahkan sudah keruh kaya air kopi.
"Kalo yang botaknya di depan tuh mikirin masa depan. Matematika, pemecahan masalah, ngitungin berapa lama lagi bumi bertahan..."
"Kalo yang botaknya semua?" tanya Eyi sudah mengehkeh geli mendengar jawaban Panji dari setiap pertanyaannya.
"Kalo yang botaknya semua itu....tatap mata saya..." Panji menajamkan penglihatan dengan alis yang menukik.
Eyi meledakan tawanya membuat Clemira berdecak keras, "ini berdua apa sihhhh!" kesalnya beranjak meninggalkan ibu dan adiknya, masih sempat-sempatnya mereka bercanda saat hatinya sedang khawatir tak karuan.
...
Clemira memutuskan untuk menghampiri keduanya di luar, melihat wajah Tama yang sudah serba salah dan mengibarkan bendera putih.
"Bi, dipanggil umi." Katanya mengada-ada, sengaja biar abinya itu segera pindah tempat, kalo bisa pindah planet.
Rayyan sempat tak percaya, namun kemudian ia menatap penuh wanti-wanti seperti memberikan sebuah peringatan pada anak gadisnya itu.
Sampai bola mata Clemira mengikuti pergerakan ayahnya yang beranjak, ia masih diam di tempatnya berdiri.
"Maaf," lirih Cle, membuat Tama mengernyit, "untuk?" ia mulai bisa tersenyum hangat melihat Clemira, sepertinya raut pucat kini memudar setelah Rayyan masuk.
"Sikap abi, masih begitu..." gadis ini duduk di tempat bekas Rayyan.
Tama menyunggingkan senyumnya, "abimu sudah benar. Ia harus benar-benar selektif memilih calon pasangan untuk putri satu-satunya. Ngga apa-apa, mas maklum..."
Clemira melebarkan senyuman meski hanya beberapa centi saja.
"Sudah hampir magrib, mas pamit pulang..." dan demi apa, ucapan pamit itu membuat Clemira merengut, sisi manja si cimoy keluar juga akhirnya, "kok pulang...baru juga ngobrol 5 detik, masa lama-lama sama abi aja betah, sama aku cuma sekejap. Mas ngga seru ah!" marahnya mendekap kedua tangan di dhada.
"Bisa antar mas ke depan gerbang batalyon?" tanya Tama.
\
Motornya tak bermasalah, namun Tama memilih berjalan mendorongnya bersampingan dengan Clemira, benar-benar definisi irit bensin. Suasana senja di markas marinir masih menyisakan rasa hangat nan jingga. Menatap langit indah anugrah sang kuasa terasa menenangkan saat ini, apalagi bersama gadis tersayang.
Putaran roda motor seiras dengan langkah kaki kedua insan yang tengah bergelut dengan pikirannya masing-masing.
"Mas mau ngomong apa?" Clemira bukan gadis bo doh yang tak tau maksud ajakan Tama, meskipun Tama tak secara terang-terangan mengajaknya bicara, namun ajakan yang tak masuk akal ini sudah pasti memiliki maksud.
Senyumnya tersungging, sudah pasti kekasihnya itu paham, "mas mau pulang ke rumah bapak. Mas sudah pernah bilang kan, kalau ibu sakit? Minggu lalu mas Rangga yang pulang, mumpung dikasih cuti singkat, mas mau liat ibu..."
"Ah iya," Cle mengangguk-angguk, membuat surai panjang nan indah itu ikut bergerak di ujungnya.
"Gimana ibu sekarang, udah sehat?" tanya nya, sesekali Clemira memperhatikan jalanan arahnya melangkah, takut nginjek ee kucing atau sekedar hole in the world.
"Alhamdulillah. Beliau sempat menanyakan kamu," jawab Tama, ada senyuman lebar di wajah Clemira, sampai-sampai rona pipinya terpancar menyamai warna langit.
"Salam buat ibu, bapak sama Gio. Mau ikutttt..." rengek Cle.
"Suatu hari nanti, pasti mas ajak." Pungkasnya.
"Kapan berangkat, naik apa?" tanya Clemira lagi.
"Besok malam. Naik kereta, turun di stasiun kota lama, biar sampe pagi, ngga lama...malamnya sudah kembali ke ibukota."
"Kalo gitu, Cle anter kamu..." ujarnya, namun Tama menggeleng menolak, jelas sekali Tama menolak, ia berangkat malam hari, "mas berangkat malam, jangan keluar malam."
"Ngga apa-apa, Cle pokoknya mau anter kamu!" kekeh Clemira, mentang-mentang anak petinggi, dilahirkan di keluarga berada, dan hidup berkecukupan, membuat Clemira memiliki sisi bosy dan keras kepala, ia tak senang jika ditolak atau dilarang.
"Nanti abi marah."
Clemira menggeleng, "abi ngga akan marah, kalo taunya aku pergi sama Zea."
Dan hal itu yang lebih tidak membuatnya setuju, membawa orang lain ke dalam hubungan mereka, mengorbankan orang lain hanya untuk keuntungan keduanya, terlebih Zea sedang hamil besar.
"Kalo gitu aku bahayain dua perempuan sekaligus, sepaket calon bayinya Saga."
Clemira hampir putus asa, "anggap aja salam kangen, masa ngga mau ketemu Cle dulu sebelum pergi!" manyunnya ngambek.
Jika sudah berdebat begini, Tama akan selalu kalah dari Clemira, "jangan minta temenin sama bumil, nanti suaminya marah, bukan cuma kamu yang kena marah, tapi mas juga." Ucap Tama kini menghentikan langkahnya, mengulurkan tangan demi menghentikan lambaian nakal anak rambut Clemira dan membawanya ke belakang telinga gadis itu.
Menatap Clemira diantara suasana syahdu ini semakin membuat Tama terkesima, betapa indahnya bumi yang ia pijaki dan ia bersyukur atas itu.
Clemira mengangguk cepat seperti boneka dashboard, "pergi jam berapa?"
.
.
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!