Namaku adalah Hestia. Anak kampung Berawan yang berada di pelosok terpencil.
Usiaku 16 tahun dan masih sekolah di SMP Terbuka kelas 3.
Sejam yang lalu, pukul tujuh malam Kamis rumah kami kedatangan tamu. Tamu yang tak diundang, namun juga bisa dibilang tamu istimewa.
Beliau adalah juragan Rudi, pemilik tanah Sereal tempat Bapak dan Ibuku kuli tani.
Entah angin apa gerangan yang membuat beliau datang menginjakkan kaki ke rumah gubuk kami.
Ternyata...,
"Mari kita nikahkan anakmu dengan anakku. Maka impaslah seluruh hutangmu padaku!"
Mendengar perkataan juragan Rudi dari balik tirai bambu yang sudah koyak membuatku terhenyak.
Bagaimana bisa juragan memutuskan hal yang besar itu dengan begitu santainya?
Dadaku bergejolak. Debarannya mengingatkanku pada Akmal.
Akmal adalah kekasihku yang hampir setahun belakangan ini mengisi hari-hari nan indah bersamaku.
Aku mengendap-endap, keluar dari rumah lewat pintu belakang.
Lututku lemas, tubuhku gemetar.
Hujan yang gerimis tak menyurutkan langkahku berjalan cepat sampai berlari menerobos hujan menuju rumah Akmal yang berjarak kurang lebih 1 kilometer.
Seperti biasa, kami memiliki sandi rahasia yang hanya diketahui oleh kami berdua.
Suwiiittt
Suwiiittt
Suwiiittt...
Tiga kali siulan kode panggilan berhasil membuat Akmal keluar dari rumah sederhananya.
Senyum manis Akmal yang biasanya membuatku terpesona, kali ini tak mampu meredam resah jiwaku.
Kami memang sudah sering melakukan pertemuan diam-diam tanpa sepengetahuan orangtua masing-masing. Saling melepas rindu meskipun disekolah selalu bertemu, tapi rasa haus akan keinginan kami untuk selalu berduaan tak pernah terpuaskan. Meskipun itu hanya sekedar bercerita tentang keseharian, pelajaran sekolah, bercanda dan cemburu buta, semuanya begitu indah hampir setahun ini.
Aku dan Akmal satu sekolah, tapi berbeda kelas.
Aku melompat ke dalam pelukan Akmal. Biasanya Aku paling enggan melakukannya karena malu dan takut orang melihat. Tapi kali ini, Aku tak peduli.
Akmal terkejut kaget.
"Ada apa Hesti? Kenapa kamu seperti dikejar-kejar hantu? Ada apa?" tanyanya melihat wajahku yang merah serta dipenuhi keringat. Nafas juga tersengal karena berlari agar cepat sampai ke rumah Akmal.
"Apa yang harus kulakukan, Akmal? Bapak menginginkanku menikah dengan anak juragan Rudi pemilik tanah Sereal itu."
"Apa? Lalu sekolahmu? Bagaimana? Apa bapakmu tidak ingin melihatmu terus lanjutkan sekolah?"
Akmal menggenggam erat jemariku. Tangannya basah dan dingin.
Aku tahu, Akmal pasti cemaskan Aku tapi dia tak berani ungkapkan.
Hubungan kami, terancam putus karena Bapak baru saja kedatangan tamu dan terlibat pembicaraan serius. Juragan Rudi melamarku untuk anaknya yang baru saja pulang dari rantau.
Aku sendiri tidak bisa melawan perkataan Bapak. Beliau bukanlah Ayah kandungku, hanya seorang Ayah sambung yang menikahi Ibu ketika Ibu dinyatakan hamil oleh kekasihnya yang kabur tak bertanggung jawab. Dan akulah anak yang dikandung Ibu.
Aku menangis sesegukan di pelukan Akmal.
Kami sama-sama diam. Tak ada yang bisa berkata-kata.
Suasana malam yang gelap, sunyi, menambah kesedihan hati ini yang tak berani memikirkan masa depan nanti.
"Pulanglah, Hesti. Biar Aku pikirkan bagaimana kita bertindak besok." Akmal menepuk bahuku pelan.
"Kita harus bagaimana? Apa kita kabur dari rumah? Terus, mau kemana? Apa kita bisa lakukan itu semua?"
Aku terus bertanya. Hingga Akmal mengangkat tangannya dan menempelkan telapaknya ke mulutku yang tak berhenti mengoceh.
"Pulanglah. Jangan terlalu panik. Kita bisa hadapi ini semua bersama. Bukankah kita sudah lewati belasan purnama dan semuanya baik-baik saja?"
Aku terdiam.
Tatapan Akmal membuatku sedikit lebih tenang.
Akmal menyorongkan tubuhnya. Mendekati wajahku dan,
Cup.
Bibirnya mengecup keningku tanpa kata.
Jemari Akmal menghapus butiran air mataku yang masih tersisa di pipi.
"Akmal..."
Akmal tersenyum. Tapi Aku tahu, senyumnya tak seindah yang lalu-lalu.
"Akmal, Aku cinta kamu."
"Aku juga cinta kamu, Hestia."
Aku kembali menangis. Tapi mengangguk menuruti perintahnya yang lembut.
Kulambaikan tangan, lalu beranjak pulang.
Hujan masih gemericik. Tinggalkan percikannya di tanah merah yang licin dan lengket di sol sandal yang semakin menipis.
Hingga,
Gubrakkk
Aku jatuh terpeleset. Air mata kembali jatuh berderai. Seiring bo+ongku yang terasa nyeri karena terhempas.
"Dari mana, Hesti? Bajumu basah, rokmu juga kotor." Ibu terkejut melihatku yang masuk ke dalam rumah kembali lewat pintu dapur.
Kutatap wajah Ibu dengan tatapan sendu.
"Hestia,... Apa kamu mendengar obrolan Bapak dan Juragan Rudi tadi?" tanya Ibu dengan suara dipelankan.
Aku mengangguk dengan wajah tertunduk.
Ibu meraih bahuku. Beliau memelukku erat dalam dekapan hangatnya.
"Ibu..., Hestia masih ingin sekolah. Hiks hiks hiks... Hesti mohon..."
Ibuku tak berkata apa-apa. Justru ini yang paling kutakutkan. Kemiskinan membelenggu kami dari kebebasan, termasuk kebebasan berbicara.
Malam itu, Aku menangis sampai pagi di atas kasur busaku yang basah separuh karena atap bocor yang lumayan besar dan Aku lupa menadahkan baskom dibawahnya.
...°°°°°°°°°...
Cit cit cit
Petok petok petok...
Ciak ciak ciakk
Suara anak ayam dan induknya membangunkanku dari tidur.
Kepalaku sakit. Rasanya seperti baru beberapa menit saja mataku terpejam. Ternyata hari sudah pagi.
Aku bangun dari tidur, bergegas mandi di kamar mandi yang letaknya diluar rumah. Kamar mandi kusam berlumut tanpa atap dengan sumur yang harus ditimba lebih dulu airnya.
Kreet kret krieeet
Decitan tali timbaan yang sudah karatan membuat gendang telingaku sakit.
"Menikahlah, Hestia. Maka kamu tidak perlu lagi melakukan rutinitas menyusahkan seperti ini lagi."
Aku terhenyak, ternyata Bapak sudah berada di sampingku. Sedang mengambil air dari ember yang kuisi air dari timbaan sumur untuk makanan ayam-ayam peliharaannya.
Menikah?
Dadaku bergemuruh.
Ucapan Bapak semakin menguatkan firasat ku.
Aku tak berani menimpali ucapannya. Takut salah bicara yang berimbas semakin sulit untukku menolak.
Selepas mandi, Aku langsung berpakaian rapi dan bergegas pergi ke sekolah.
Tujuan utamaku tentu saja ingin bertemu Akmal.
"Kita tidak boleh bolos. Ingat, sebentar lagi kita akan ujian kelulusan. Jangan sampai nilai sekolah kita anjlok dan merusak masa depan kita dalam meraih cita-cita."
Akmal memang lima bulan lebih tua usianya dari Aku. Cara pandang dan pemikirannya pun jauh lebih dewasa. Itu yang paling kusukai dari dirinya.
Pulang sekolah, kami lepaskan rindu. Pulang jalan kaki melewati pematang sawah adalah masa yang menyenangkan bagi kami.
Tapi berbeda dengan hari ini.
"Akmal... Aku harus bagaimana?" Tanyaku pada Akmal, membahas soal semalam.
"Mari kita ke rumah orang tuamu. Semoga, Bapak dan Ibumu bisa menerima penjelasan ku."
Aku tersenyum senang. Akmal, meskipun baru berumur 16 tahun, tapi sepertinya punya cara yang tepat untuk membatalkan Bapak menerima lamaran juragan Rudi untukku.
"Apa? Bocah ingusan seperti mu bicara soal cinta? Apa itu cinta? Ta+i kucing dikasih gula. Persetan dengan cinta! Apa kamu mau menikahi Hesti sekarang juga? Dan bayarkan segera hutang-hutang kami pada juragan Rudi? Mau kamu?"
Aku menangis. Akmal tak bisa berbuat apa-apa. Hanya diam dan menundukkan kepala.
"Saya ingin lanjutkan sekolah dahulu. SMA, lalu cari kerja. Saya mohon, berikan waktu empat atau lima tahun lagi. Saya akan kembali dan melamar Hestia, Bapak."
"Hohoho... berani sekali anak muda ini! Kuacungi jempol untuk keberanianmu. Tapi kami tidak butuh waktu empat atau lima tahun lagi. Kami ingin sekarang. Bisakah kamu melunasi hutang-hutang kami?"
"Bapak..." selaku memohon pengertian bapak sambungku itu.
"Hestia, masuk ke dalam! Ini pembicaraan dua laki-laki dewasa. Perempuan, duduk diam-diam di dalam!"
Aku tak bisa berkutik. Terlebih Ibu yang menatapku dengan pandangan takut, menuntunku perlahan masuk rumah.
Hari itu, mungkinkah akan jadi hari terakhirku bertemu Akmal. Kekasih pertamaku dan pria cinta pertama yang selalu kukenang sepanjang masa. Entahlah. Aku pun tak tahu.
BERSAMBUNG
Bapak mengurungku di kamar. Aku benar-benar di pingit tak boleh keluar sendiri meskipun itu untuk pergi ke kamar mandi.
Setiap kali hendak mandi atau sekedar buang air kecil dan pup, Bapak menungguiku di depan pintu kamar mandi.
Kamarku di kunci dari luar hingga tak ada kesempatan untukku melarikan diri.
Seminggu berlalu Aku dikurung seperti tahanan.
Ternyata, Bapak sudah menemui kepala sekolah dan mengatakan kalau Aku akan berhenti sekolah. Tentu saja itu bukanlah hal yang mudah. Mengingat Aku adalah murid kelas 3 yang sebentar lagi akan ujian kelulusan. Sangat disayangkan dan tanggung sekali jika benar-benar berhenti tiba-tiba bersekolah.
Tapi bukan Bapak namanya jika tak bisa memberikan alasan yang tepat sehingga Pak kepala sekolah dan guru-guruku terpaksa merelakan Aku putus sekolah.
"Ibu..., bukankah juragan Rudi adalah orang kaya raya? Pemilik tanah, sawah dan kebun luas di tanah Sereal ini? Mengapa ingin menikahkannya dengan Hestia seorang anak kuli tani yang miskin ini?" tanyaku pada Ibu.
Tentu saja, semua ini begitu janggal rasanya.
Bagaimana bisa anak juragan kaya raya mau saja, terima saja pernikahan yang timpang ini? Aku, sudah pasti tak sepadan. Latar belakang, pendidikan dan juga gaya hidup. Pastinya bertolak belakang.
Apalagi setahuku putra juragan Rudi lulusan kota dan tinggal di asrama kota. Biasanya pulang ke kampung ini hanya setengah tahun sekali.
Ibu tak menjawab. Karena seperti itulah Ibu. Tak punya kapasitas dan kekuasaan apalagi kekuatan untuk menyuarakan isi hatinya sendiri selama belasan tahun menjadi pendamping bapak.
Aku tak bisa berharap banyak.
Begitulah keluarga kami.
Karena Ibu sendiri merasa berhutang budi pada Bapak yang menikahinya karena sudah hamil di luar nikah. Dan aku adalah anak haram yang bukan darah daging Bapak.
Mereka menikah awalnya hanya untuk menutupi aib Ibu. Tapi ternyata jodoh mereka panjang sampai saat ini dan sudah membuahkan dua orang anak sepasang laki-laki dan perempuan.
Bapak ternyata seorang penggila judi. Ia lebih banyak menghabiskan waktu senggangnya di meja judi. Begitu setiap malam terutama malam minggu bersama teman-temannya.
Dan Ibu tak pernah bisa melarang apalagi melawan perlakuan Bapak yang semena-mena. Sungguh, Ibuku malang Ibuku sayang.
Seminggu kemudian, juragan Rudi datang bersama rombongannya. Membawa hantaran seserahan yang lumayan banyak sehingga membuat iri para tetangga yang sama-sama miskin seperti ku.
'Beruntungnya Hestia. Tak perlu sekolah tinggi-tinggi, tapi langsung bersuamikan anak juragan kaya raya. Dia benar-benar anak bernasib baik.'
'Andai Aku punya anak perempuan seumuran Hestia, Aku juga mau putriku dinikahkan oleh anak juragan seperti dia.'
'Komar sungguh beruntung. Dia tak perlu susah-susah lagi kerja banting tulang untuk bayar hutangnya yang tak habis-habis pada juragan Rudi.'
Begitu kasak-kusuk para tetangga yang melihat keramaian di rumah kecil kami. Seolah keluarga kami sedang dinaungi keberuntungan saat ini.
Bapak tersenyum bangga. Ibu juga terlihat lega. Hutang piutang Bapak benar-benar terlunasi karena Aku yang mereka jual secara tidak langsung.
Dusun kampung menentukan hari pernikahanku dengan putra juragan Rudi. Yaitu akan dilaksanakan seminggu kemudian.
Hari ini putra juragan tidak ikut serta. Semakin membuatku curiga kalau sebenarnya ada sesuatu yang disembunyikan mereka.
"Calon menantuku cantik sekali. Semoga kamu bisa menjadi istri yang baik untuk putra kesayangan kami, Aray." Istri juragan Rudi mengelus pundakku lembut.
"Ke_kemana calon mempelai prianya?" tanya Ibu agak ragu-ragu karena takut dibentak Bapak.
"Ada, ada. Putra kami yang meminta menikah dan dia senang sekali kalau sebentar lagi akan menikahi putri pak Komar." Jawab juragan Rudi dengan suara lantang.
Aku menunduk. Diam dan pasrah. Hanya itu yang bisa kulakukan.
Tiba-tiba ekor mataku melirik ke arah kiri. Fatia menatapku dan mengerjapkan mata beberapa kali. Ia adalah teman sekolahku. Sepertinya Fatia mengisyaratkan sebuah kode untukku. Semoga saja kami bisa melakukan pembicaraan diam-diam setelah acara seserahan usai.
Tiga jam juragan Rudi beserta rombongannya berada di rumahku. Mengobrol ngalor ngidul membicarakan acara pernikahan ku yang akan digelar minggu depan.
Akhirnya Aku bisa menerima salaman Fatia yang ternyata jadi salah seorang pembawa seserahan dari keluarga juragan Rudi.
Grepp
Aku terkesiap. Fatia menyelipkan sebuah surat dari tangannya dengan cepat.
Dengan cepat kumasukkan benda yang digulung kecil itu ke dalam saku rok panjangku. Jantungku berdegup kencang.
"Dari Akmal," bisik Fatia di daun telinga kiriku.
Aku mengangguk.
Akmal, sudah lama kita tak berjumpa...
Air mataku meleleh tanpa sadar.
"Jangan menangis. Minggu depan kamu akan hidup lebih baik. Menikah dan tinggal di rumah besar keluarga suamimu. Harusnya kamu berterima kasih padaku. Anak seorang juragan yang meminangmu. Bahkan jika kau mencari jodoh sendiri, tak kan mampu mencari jodoh yang tajir seperti putra juragan Rudi. Apalagi mengingat masa lalumu, yang..."
Aku menyusut air mata dengan cepat. Lalu melangkahkan kaki masuk ke kamar yang kecil dan pengap.
Pandanganku kabur karena mata yang berkabut. Kaca-kacanya perlahan pecah meneteskan butiran bening yang menyesakkan dada.
"Hiks hiks hiks... hiks hiks hiks..."
Aku terlalu sakit menahan perasaan yang dibungkam.
Sakit karena harus menerima nasib buruk yang sangat ingin kutentang.
Tapi, aku tak bisa apa-apa. Aku tak sanggup melawan karena sadar diri siapa Aku ini.
Kulebarkan gulungan kertas yang Fatia berikan tadi tanpa sepengetahuan Bapak. Selembar surat dari Akmal untukku.
Hestia...
Apa kabarmu? Maaf, Aku tak kuasa menentang keinginan keras bapakmu. Maaf,... Aku tak mampu melawan kekejamannya untuk bisa merebutmu kembali ke sisiku. Tapi..., kumohon, temuilah Aku dahulu untuk yang terakhir kali. Aku, Aku ingin sekali bertemu kamu di tempat rahasia kita. Kutunggu besok pagi pukul tujuh. Usahakan kamu bisa keluar dan menemui Aku.
Akmal
Yang mencintaimu.
Tentu saja, Aku seperti mendapat angin segar setelah membaca selembar surat tulisan tangan Akmal. Aku, Aku bertekad akan menemuinya dengan cara apapun. Meskipun Aku harus menjebol bilik bambu kamarku agar bisa keluar dan kabur dari rumah.
Ketika Aku keluar kamar dengan mengetuk pintu agar pintu dibuka Bapak, diam-diam Aku menyelundupkan pisau dapur agar bisa menyobek sedikit demi sedikit bilik bambu kamarku yang sudah usang dan tipis.
Berhasil.
Aku bisa kabur besok pagi dan bertemu Akmal di saung tersembunyi di kebun singkong.
...°°°°°°°...
"Akmal..."
"Hestia."
Aku dan Akmal saling berpelukan melepas rindu.
Kutahan isak tangis agar tidak membesar dan terdengar para buruh di kebun singkong itu.
"Hestia..., tunggu Aku lima tahun lagi. Aku akan datang menjemputmu. Tepatnya tanggal dua belas bulan Januari, lima tahun kemudian. Ingat itu, Aku akan perjuangkan cinta masa muda kita menjadi cinta yang serius."
Aku menangis di pelukan Akmal. Sampai tak sadar kalau Ia memberanikan diri mencium bibirku untuk yang pertama dan terakhir kali.
Hingga tiba-tiba,
Srett... gedebukk
"Anak bodoh!"
Plak plak plakkk
"Bapak!!! Jangan apa-apakan Akmaaalll!!!"
Aku menjerit ketakutan. Bapak datang dengan beberapa orang temannya. Memegang kedua tanganku lalu memukuli Akmal dengan membabi-buta.
"Bapaaakkk,...!"
Plak plak plakkk
Buk buk bukkk
Tamparan di pipi dan pukulan keras ditubuh tak lagi kurasakan sakitnya melebihi sakit hati ini.
Kutatap tubuh Akmal yang tergeletak tak bergerak di atas dipan saung yang ada ditengah kebun singkong.
"Akmal..., Akmal bangun! Akmal, maafkan Aku. Hiks hiks hiks..."
Hanya tangisan penyesalan yang bisa kulakukan sembari menatap Akmal sampai hilang dari pandangan.
Bapak menyeretku pulang tanpa perasaan.
BERSAMBUNG
Keesokan harinya, Aku benar-benar dipaksa keluar lebih cepat dari rumah.
Ibu dan bapak mengantarkan Aku ke rumah besar juragan Rudi.
"Kenapa pipi putrimu lebam-lebam begitu?" tanya juragan Rudi ketika pertama kali melihat wajahku.
Bapak tak berani menatap. Dia menunduk dan mengatakan, "Anak ini nakal! Dia mau kabur dari rumah. Makanya Saya,"
"Jangan main kasar! Aku tidak terima kalau putrimu cacat atau lemah. Aku butuh anak perempuan yang sehat dan kuat!"
"Juragan tak perlu khawatir. Hestia anak yang sehat. Tenaganya juga kuat. Putriku bisa diandalkan, Juragan. Untuk itu, Saya lebih tenang jika Hestia lebih cepat pindah ke sini. Saya pasrahkan putri saya pada juragan. Jika dia berani berbuat macam-macam, silahkan juragan hendak lakukan apa saja. Saya lepas tangan."
Sungguh orang tua yang kejam. Biadab, tak punya perasaan.
Aku dianggap tak ubahnya hewan peliharaan.
Bapak Ibu meninggalkanku di rumah besar juragan Rudi tanpa pamitan padaku yang langsung dibawa ke sebuah kamar di lantai dua.
Memang sedikit lebih baik. Karena kamar yang kutempati keadaannya jauh lebih baik daripada di rumahku sendiri yang seperti kandang sapi.
Meskipun tetap dikunci dari luar, Aku cukup lega karena kamar berukuran 7x5 meter itu lengkap perabotan kamarnya dengan ranjang kayu dan kasur berukuran super besar dan juga lemari pakaian yang didalamnya terdapat baju-baju perempuan.
Aku yang dengan sengaja membuka pintu lemari dan ingin tahu apa isinya seketika termangu sendirian.
Aku, dinikahkan dengan putra kesayangannya juragan Rudi? Kenapa? Pasti ada yang salah. Apakah Aku harus bersedih atau justru bersyukur dengan keadaan ini? Akmal pun tak akan mampu memberikan semua materi ini jika saat ini juga menikahiku. Tapi ini rasanya terlalu janggal. Terlalu bagus untuk sebuah pertukaran.
Krieeet...
Aku melonjak kaget.
Pintu kamar dibuka seseorang.
Istri juragan Rudi berdiri di depan pintu kamar yang terdiri dari dua daun pintu yang besar khas pintu rumah-rumah orang kaya.
"Hestia..., mari kita makan. Tapi sebelumnya, Aku ingin bicara dulu empat mata denganmu. Dengarkan ucapanku baik-baik. Mengerti?"
Aku menatap sebuah kliping di atas meja makan.
"Bacalah." Perintah Nyonya Aida.
Aku menurut. Dengan tangan agak gemetar kubuka lembarannya.
Isinya, poin-poin perjanjian yang tak kumengerti.
Jika menikah, haruskah ada perjanjian pula? Ada apa? Mengapa?
"Baca dan ingat-ingat dengan benar. Pak Komar memiliki hutang hampir dua belas juta pada kami. Itu tanpa bunga, karena kami tahu dia hanya seorang buruh yang gajinya tak lebih dari lima puluh ribu sehari. Itu sebabnya kami memilihmu untuk dinikahkan dengan putraku, Aray."
Aku menunduk.
"Isi perjanjian adalah, kamu tidak boleh melarikan diri dari rumah ini baik sebelum menikah ataupun sudah menikah karena Ibumu yang akan menanggung kesalahanmu itu nantinya. Setelah menikah, kamu harus mengurus putraku dengan benar. Jasmani dan rohaninya. Jangan pernah membantah Aray. Apalagi menyakitinya. Kamu tidak boleh keluar rumah tanpa seizin Aray. Mengerti?"
Aku masih menunduk.
"Jawab dengan suara!"
"I_iya, Nyonya."
"Setelah menikah nanti, kalian akan tinggal di rumah villa Asri. Villa yang dipilih Aray untuk kalian tempati. Semua kebutuhanmu, akan kami penuhi. Jadi kamu tak perlu takut kekurangan. Tugasmu hanyalah menjadi istri yang baik bagi putraku Aray. Konsekwensinya jika kamu melanggar, adalah Ibu kandungmu yang bertanggung jawab. Camkan itu! Sekarang, tanda tangan di sini!"
Aku gugup. Tangan gemetar sampai basah berkeringat dingin. Suara Nyonya Aida tegas tapi dihatiku serasa menggelegar.
Aku adalah anak perempuan berusia 16 tahun. Masih sangat muda dan bau kencur. Masih sangat takut dengan segala sesuatu yang berbau tekanan apalagi ancaman.
Dan Aku menandatangi kontrak perjanjian pranikah meskipun batinku berkecamuk.
Dimana putranya yang akan menikah denganku? Kenapa Ibunya yang menyuruhku menandatangani perjanjian? Bukankah harusnya orang yang berkepentingan?
Pertanyaan demi pertanyaan dibenakku tak terjawab sampai hari pernikahan tiba.
Pernikahan yang aneh.
Karena Aku didandani dengan cantik, juga kebaya encim modern yang indah, tapi hanya duduk menunggu di dalam villa Asri ditemani tiga pelayan juragan Rudi.
Ijab kabul dilakukan di kediaman juragan Rudi. Dihadapan kedua orang tuaku dan juga beberapa orang kerabat serta tamu undangan yang dipilih.
Aku tak tahu.
Yang Aku tahu ternyata pernikahan kami telah terjadi ketika Ibu mendatangi sembari mengucapkan selamat padaku.
"Selamat menempuh hidup baru, Anakku. Kini kamu sudah jadi seorang istri. Jagalah nama baikmu sendiri. Hormati dan sayangi selalu suamimu. Baik buruknya beliau adalah imammu di akhirat kelak."
Aku menangis tergugu.
Mengapa Ibu tega 'membuang'ku? Mengapa Ibu pasrah ketika Bapak menjualku? Apakah Aku ini anak yang selalu menyusahkan? Bukankah selama ini Aku selalu berusaha meringankan bebannya? Membantu pekerjaannya? Mengurus kedua adik tiri dan tak pernah berontak ketika Ibu jelas-jelas lebih menyayangi mereka dihadapan ku?
"Hik hiks hiks... Ibu. Seburuk itukah Hestia dimata Ibu? Sampai Ibu lebih suka Hestia keluar dari rumah dan tinggalkan Ibu dengan Bapak?"
Ibu menutup mulutku dengan telapak tangannya.
Kami menangis bersama. Meratapi nasib buruk yang seolah tiada habisnya. Bahkan sampai Aku berfikir kalau diriku sudah ditakdirkan meneruskan nasib buruk Ibu meskipun pernah berkhayal bisa menikmati cinta dan kasih sayang yang sempurna dari seorang Akmal.
"Hiks hiks hiks..."
Tangis Kami mereda. Tiba-tiba pintu villa Asri terbuka lebar.
Krieeet...
Juragan Rudi dan Nyonya Farida masuk sembari mendorong kursi roda berisikan seorang pria...tampan berkulit putih bersih dengan mata yang menatap tajam.
Inikah suamiku?
Jantungku berdegup kencang.
"Bisakah yang tidak berkepentingan untuk keluar dari villa ini?"
Aku menelan saliva penuh rasa takut sekaligus takjub.
Nyonya Aida menyuruh Ibu dan beberapa pelayan untuk keluar dan pintu ditutup rapat.
Kini, tinggal kami berempat.
Aku, Suamiku, juragan Rudi dan Nyonya Aida.
"Mama..., dimana istriku?"
Aku terhenyak. Suara pria muda tampan yang duduk di kursi roda itu terdengar lembut menggetarkan kalbu.
Dia... tidak bisa melihat dan juga lumpuh?
"Dia ada di hadapanmu, Aray. Hestia... mendekatlah! Kalian sudah sah menjadi suami istri."
Aku yang gugup keringat dingin dan jantung berdebar kencang berjalan perlahan. Mataku takut-takut melirik pria yang kini adalah suamiku itu.
Grepp
Nyonya Aida menarik tanganku cepat. Sehingga tubuhku terjatuh tepat di depan kursi roda.
"Mama?!?..."
"Pegang tangan Aray!" hardik Nyonya Aida tanpa suara dan mata melotot padaku.
"Hestia..."
"Sa_saya disini, Den Aray."
Degub jantungku tak beraturan. Seperti bunyi detik jam yang siap meledak karena tegangannya yang tinggi.
Aku memejamkan mata, tatkala jemari Aray meraba-raba wajahku. Seolah Ia ingin melihatnya dengan jelas. Melalui mata batin dan perasaannya.
"Ma, Pa... tinggalkan kami berdua."
Aku terhenyak. Aray menyuruh kedua orang tuanya untuk pergi. Dan mereka penurut sekali.
Kini, tinggal aku dan Aray berduaan dalam kesunyian.
BERSAMBUNG
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!