"Kau sudah tidak bisa melarikan diri lagi, Pak Tua!"
Suara yang lantang dan penuh kebencian menggema di tengah badai. Petir menyambar, menerangi langit yang mendung seolah langit ikut menyaksikan peristiwa besar yang akan terjadi.
Di ujung sebuah tebing yang curam, tampak seorang pria tua dengan jubah putih telah dikepung oleh puluhan pendekar dari sekte sesat, dipimpin oleh tiga pendekar utama dengan aura kegelapan menyelimuti tubuh mereka.
Hujan deras mengguyur tanpa ampun, menciptakan irama pilu yang bersatu dengan pekatnya malam. Tak ada jalan mundur. Tak ada lagi tempat bersembunyi.
"Ya, memang aku ingin mengakhirinya di sini," jawab pria tua itu, tenang, penuh keteguhan.
"Cepat serahkan Buku Pembalik Surga itu!"
(Buku Pembalik Surga adalah salah satu dari Lima Harta Suci Dunia. Konon, satu saja dari benda ini dapat mengubah hukum dunia, bahkan merusak langit dan bumi.)
Sang pendekar mengangkat sebuah buku kuno berkilau cahaya keemasan. Aura yang terpancar dari buku itu membuat beberapa pendekar mundur setapak, nyali mereka diguncang oleh kekuatan yang tak dapat dijelaskan.
"Kalau kalian menginginkannya... ambil sendiri!"
Dalam satu lemparan tegas, buku itu melayang masuk ke dalam jurang gelap di belakangnya.
"Keparat! Sekarang kita kehilangan harta itu! Serang dia! Jangan biarkan dia hidup!"
Puluhan pendekar sekte hitam menerjang bagaikan gelombang air bah, membawa dendam dan keserakahan. Tapi Lin Yan—ya, nama pria tua itu—bukanlah sembarang pendekar. Dia adalah Pendekar Surgawi, pemegang gelar yang ditakuti dan dihormati di seluruh daratan.
Dengan jurus tangan kosong dan kekuatan napas dalam yang matang, Lin Yan memutar tubuhnya lincah seperti bayangan. Satu pukulan menghancurkan dada musuh. Satu tendangan menghantam dua sekaligus. Darah memercik, tubuh beterbangan.
"Mustahil... dia masih bisa bertarung?!"
"Racun Iblis Darah milikku seharusnya sudah menghentikan aliran nadinya...!"
Namun Lin Yan belum selesai.
Ia mencabut pedang panjang dari punggungnya. Pedang itu berkilau seperti kilat di bawah cahaya petir.
"Kalian pikir racun bisa menghentikan Pendekar Surgawi?"
Tebasan pertama dilepaskan. Lima musuh terpotong dalam sekejap.
"Jurus Pertama Kitab Pembalik Surga: Penebas Langit!"
DUARRRR!!
Suara ledakan menggemparkan tempat itu. Tanah terbelah, udara bergemuruh, dan puluhan pendekar terlempar sejauh puluhan langkah. Beberapa tubuh terpotong menjadi dua, sisanya tergeletak tanpa nyawa.
"A-Apa ini… kekuatan surgawi?"
"Dia… monster…"
Ketakutan menyelimuti para pendekar sesat. Tapi dari belakang, suara menggelegar menyemangati mereka.
"Kita tidak boleh mundur! Kita harus membunuhnya!"
Tiga pemimpin maju serentak, mengaktifkan teknik pamungkas:
Cakar Neraka: Mengoyak ruang dan menyerap napas kehidupan.
Kabut Jiwa Berdarah: Mengaburkan penglihatan dan menyerang pikiran.
Formasi Gelap Penghancur Surga: Sebuah teknik gabungan pemusnah.
Pertarungan menjadi semakin sengit. Lin Yan menahan semua serangan itu sambil terus membantai. Tubuhnya penuh luka, tapi auranya tak surut sedikit pun.
Tiga hari dan tiga malam.
Itulah waktu yang dibutuhkan untuk menghabisi semua lawan. Tubuh Lin Yan goyah, darah mengalir dari mulut dan luka di sekujur tubuhnya. Tapi dia tetap berdiri, tubuhnya bertumpu pada pedang yang tertancap di tanah.
"Akhirnya dia mati juga…" ucap pemimpin terakhir sekte itu dengan napas berat.
Dari seratus pendekar, hanya tersisa tiga puluh. Darah menggenangi tanah. Hujan tak mampu membersihkannya.
"Kita harus pergi, sebelum orang-orang dari Sekte Pedang Surgawi dan Aula Es tiba di sini!"
Saat mereka pergi, dua sosok tiba di medan pertempuran. Seorang pria gagah dan seorang wanita cantik bergaun putih es.
"Lin Yan..."
Pria itu, Zhao Han, memberi hormat di hadapan mayat sahabat lamanya. Sedangkan wanita itu, Lin Mei, menatap tubuh Lin Yan dan menangis dalam diam.
Lin Mei, sang wanita berhati es, menangis. Karena pria yang kini berdiri mati di hadapannya adalah pria yang pernah menyelamatkan hidupnya… dan hatinya.
Tak lama setelah mereka pergi, cahaya emas muncul dari dasar jurang. Cahaya itu bukan berasal dari langit atau api, melainkan cahaya spiritual yang menyatu dengan langit dan bumi. Cahaya itu berputar-putar di udara, lalu perlahan melesat turun ke tanah...
...dan masuk ke dalam kuburan Lin Yan yang terletak tak jauh dari tempat pertempuran.
Tanah bergetar pelan. Angin berhenti berembus. Lalu semuanya kembali tenang, seolah tak terjadi apa-apa.
Di tengah hutan, seorang anak laki-laki membuka matanya.
"Di mana ini…?"
Ia mencoba duduk. Tubuhnya lemas, ringan. Tangannya… kecil.
"Apa… aku kembali ke masa lalu…?"
Suara langkah terdengar.
"Oh, kamu sudah sadar?" ucap seorang pria tua sambil membawa buah-buahan.
Deg.
Itu... Guru Bai? Bukankah dia sudah mati bertahun-tahun yang lalu? Apa yang sedang terjadi? ucap Lin Yan dalam hati. Apakah aku benar-benar kembali ke masa lalu?
"Apa kamu bisa mendengar saya?"
"S-sudah…"
"Bagus. Makan ini dulu."
Anak itu—yang tak lain adalah Lin Yan—menatap buah di tangan, lalu melihat tangannya yang mungil. Matanya melebar.
"Ini… ini nyata? Aku benar-benar hidup kembali?"
"Kenapa? Tak suka buahnya?"
"Tidak… saya makan. Terima kasih, Kakek."
Guru Bai menatapnya sesaat, lalu tersenyum.
"Namamu siapa, nak?"
Lin Yan sempat ragu, namun akhirnya menjawab, "Lin… Lin Yan."
"Lin Yan ya? Nama yang bagus."
Setelah makan, Lin Yan berjalan menuju air terjun sesuai petunjuk. Langkah-langkah kecilnya perlahan mengingatkan dirinya pada masa lalu yang kini menjadi masa depan.
"Kau sudah sampai," ucap pria tua itu. "Kemarilah."
Lin Yan melangkah mendekat.
"Kau punya sesuatu yang tidak dimiliki kebanyakan orang. Aku bisa melihat potensi besar dalam dirimu. Jika kau mau, aku bisa mengajarkanmu ilmu bela diri."
Lin Yan menatap pria tua itu sejenak. Dalam hatinya, dia tahu bahwa suatu hari ia akan menjadi murid pria ini. Tapi untuk saat ini, ia hanya mengangguk pelan.
"Aku… ingin jadi kuat. Tapi apakah aku bisa belajar di usiaku yang masih sekecil ini?"
Guru Bai terkekeh, "Kekuatan bukan berasal dari umur, tapi dari niat dan tekad. Kalau hatimu kuat, tubuhmu akan mengikuti."
"Baiklah… kalau begitu, aku akan belajar."
"Bagus. Besok pagi temui aku di sini. Kita akan mulai dengan dasar-dasar pertama."
"Baik, Guru Bai."
Malam pun tiba.
Lin Yan duduk dalam keheningan di dalam gubuk tua. Matanya tajam, pikirannya berputar cepat.
"Empat tahun dari sekarang… Kitab Raja Obat akan muncul. Dulu banyak yang mati demi itu. Kali ini… aku akan mengambilnya sebelum mereka."
"Tak akan ada lagi kesalahan. Aku akan jadi lebih kuat. Melebihi siapa pun. Demi masa depan dunia persilatan. Demi mereka yang telah gugur."
Ia menarik napas dalam-dalam.
"Kembalinya aku… adalah akhir dari kegelapan. Dan awal dari legenda yang tak akan mati."
Keesokan harinya, Lin Yan bangun lebih awal dari biasanya. Udara pagi masih terasa sejuk dan embun belum sepenuhnya mengering dari dedaunan. Ia melakukan beberapa gerakan ringan untuk meregangkan tubuh, lalu memakan sisa buah dari semalam.
Setelah itu, ia segera menuju ke tempat air terjun, tempat ia akan menemui pria tua yang kini telah menjadi gurunya.
"Guru, aku sudah sampai. Di mana Guru?" serunya sembari melihat ke sekeliling.
Tak berselang lama, sosok pria tua muncul dari balik semak. Ia berjalan perlahan namun mantap, membawa sebuah kantung kecil di tangannya.
"Oh, kamu sudah sampai ya," ucap pria tua itu sambil tersenyum.
"Mulai dari sekarang, kau bisa memanggilku Guru Bai," lanjutnya memperkenalkan diri.
"Baik, Guru Bai," jawab Lin Yan dengan sopan.
"Maaf tadi aku agak terlambat. Aku pergi mencari beberapa bahan obat untuk memperkuat tubuhmu. Sekarang, ambil ember ini. Isi dengan air dari air terjun lalu bawa ke sumur di belakang gubuk."
Lin Yan melihat dua ember yang diikat dengan batang kayu, lalu mengangguk.
"Batas waktumu sampai malam. Selesaikan tugas ini tanpa mengeluh," tegas Guru Bai.
Tanpa banyak bicara, Lin Yan mulai bekerja. Ember-ember itu tampak besar untuk tubuh kecilnya, namun ia tetap melangkah teguh. Pekerjaan itu terus berlangsung hingga matahari hampir tenggelam.
"Haaah... haaah... haaah..."
Napasnya memburu, keringat membasahi tubuhnya. Tepat saat ia selesai, Guru Bai muncul membawa seekor ayam panggang.
"Yan’er, kemari."
"Ya, Guru."
Lin Yan segera mendekat. Guru Bai menyodorkan makanan itu padanya.
"Makanlah. Kau telah bekerja keras hari ini."
"Terima kasih, Guru," ucap Lin Yan sebelum menyantap makanan dengan lahap.
"Yan’er, Guru menemukanmu di dekat hutan ini. Bagaimana kau bisa berada di sana sendirian?"
Lin Yan terdiam sejenak, mengingat alasan yang bisa diterima.
"Ketika aku berada di Kota Pedang, aku tanpa sengaja menyinggung tuan muda dari Keluarga Wu. Mereka mengejarku dan mempermainkanku. Aku terus berlari hingga pingsan di dalam hutan ini."
Guru Bai mengangguk pelan, matanya menatap serius.
"Tahukah kau, hutan ini adalah Hutan Binatang Iblis. Tempatmu ditemukan berada di wilayah dalam hutan. Di sana, binatang iblis bisa memiliki kekuatan setara pendekar suci. Bahkan, konon katanya, ada makhluk yang kekuatannya sebanding dengan pendekar mitos."
Lin Yan menunduk. Ia tahu hal itu, namun tak ingin membangkitkan kecurigaan.
"Mulai sekarang, jangan pernah dekati inti hutan itu, apa pun alasannya."
"Ya, Guru."
"Sudah malam, istirahatlah. Latihanmu masih panjang."
Hari-hari berikutnya, Lin Yan menjalani latihan fisik yang berat di bawah pengawasan Guru Bai. Waktu berlalu cepat, hingga satu bulan pun terlewati. Tubuh kecilnya kini tampak lebih kuat, otot mulai terbentuk meski masih ringan.
"Yan’er, kemari. Latihan dasarmu cukup. Sekarang saatnya kita meningkatkan kekuatan tulangmu."
Di dunia para pendekar, kekuatan tulang menentukan seberapa besar tubuh dapat menahan dan menyalurkan tenaga dalam. Tulang yang kuat adalah fondasi dari kekuatan sejati.
Tingkatan Kekuatan Tulang:
Tulang Biasa
Tulang Pendekar
Tulang Serigala
Tulang Harimau
Tulang Phoenix
Tulang Naga
Tulang Naga Langit
Tulang Dewa
Tulang Dewa Sejati
Setiap tingkat dibagi lagi menjadi:
Awal
Menengah
Akhir
Khusus untuk Tulang Naga dan Tulang Dewa, tingkatannya menjadi:
Awal
Menengah
Akhir
Puncak
"Ikuti aku ke gunung seberang sana," ucap Guru Bai.
Mereka mendaki bukit hingga masuk ke dalam sebuah gua. Di sana, terdapat kolam dengan air seputih susu yang memancarkan aroma herbal.
"Lepas bajumu dan berendamlah di dalam kolam itu," perintah Guru Bai.
Tanpa ragu, Lin Yan mengikuti perintah. Begitu tubuhnya menyentuh air, rasa panas yang luar biasa menjalar dari kulit ke tulangnya.
"Sial! Rasa sakit ini... padahal aku sudah pernah merasakannya, tapi tetap saja..." batinnya menjerit.
"Tahan rasa sakit itu, Yan’er. Jika kau pingsan, proses ini akan gagal," seru Guru Bai.
Latihan dalam kolam berlangsung selama tiga bulan. Hari demi hari tubuh Lin Yan ditempa rasa sakit yang tak manusiawi. Namun pada akhir bulan ketiga, kualitas tulangnya telah mencapai Tingkat Tulang Serigala Awal.
Air kolam kini telah berubah menjadi keruh kehitaman.
"Air ini sudah tak bisa digunakan lagi," ujar Guru Bai.
"Pakai pakaian ini. Kita kembali ke rumah."
Di gubuk tua itu, Lin Yan diberi kabar bahwa besok ia akan memulai latihan tenaga dalam—langkah awal menuju jalan pendekar sejati.
Malam itu, mereka duduk berdua di depan api unggun. Guru Bai menatap muridnya dengan serius.
"Yan’er, kau sudah cukup kuat untuk mulai melatih tenaga dalam. Tapi kau tahu, banyak anak seusiamu masih bermain-main dengan tongkat kayu. Apa kau tidak penasaran kenapa kau bisa bertahan dalam latihan seberat ini?"
Lin Yan tersenyum tipis. Ia tahu ia tak bisa mengatakan asal-usulnya yang sebenarnya.
"Aku tidak tahu pasti, Guru. Tapi mungkin karena aku tahu jika aku berhenti... aku tak akan bisa melindungi diriku, apalagi orang lain."
Guru Bai terdiam, memandangi wajah Lin Yan yang meski muda, tak memancarkan kepolosan seperti anak-anak lainnya.
"Kadang kau berbicara seperti orang tua yang hidup kembali," gumamnya pelan.
"Mungkin aku hanya anak yang terlalu cepat belajar dari luka, Guru," jawab Lin Yan santai.
Guru Bai terkekeh.
"Baiklah. Kalau begitu, simak baik-baik."
"Setiap pendekar memiliki lingkaran tenaga dalam. Semakin banyak lingkaran yang terbentuk, semakin kuat pula tenaga dalamnya."
Tingkatan Lingkaran Tenaga Dalam:
Pendekar Pemula: 10 – 50 lingkaran
Pendekar Bergelar: 50 – 150 lingkaran
Pendekar Ahli: 150 – 300 lingkaran
Pendekar Bumi: 300 – 600 lingkaran
Pendekar Langit: 600 – 900 lingkaran
Pendekar Suci: 900 – 1.800 lingkaran
Pendekar Mitos: 1.800 – 3.600 lingkaran
Tiap tingkatan terbagi menjadi:
Awal
Menengah
Akhir
Khusus untuk Pendekar Suci dan Mitos:
Awal
Menengah
Akhir
Puncak
"Karena kau sudah mencapai Tingkat Tulang Serigala Awal, fondasimu cukup. Sekarang duduk dan serap energi dari ini."
Guru Bai menyerahkan sebuah kristal berwarna hijau yang berkilau. Ukurannya sebesar kepalan tangan.
"Ini adalah kristal binatang iblis. Semakin tua usia binatangnya, semakin kuat energinya. Tapi ingat, kristal ini hanya bisa digunakan 10 kali dalam seumur hidup. Jika kau melebihi batas itu, tubuhmu bisa berubah menjadi binatang iblis."
Lin Yan tahu risiko itu, namun ia juga tahu rahasia dari Buku Pembalik Surga—sebuah teknik yang mampu menetralkan efek samping dari energi kristal.
Ia duduk bersila, meletakkan kristal di depannya. Saat matanya terpejam, ia mulai menarik energi perlahan.
"Cepat sekali penyerapan tenaganya... apakah dia benar-benar jenius?" gumam Guru Bai dalam hati.
Waktu berlalu.
Setelah satu minggu, kristal habis diserap. Lin Yan kini memiliki 60 lingkaran tenaga dalam. Namun ia belum bisa dianggap sebagai pendekar bergelar. Masih ada satu syarat lagi: kekuatan aura.
Aura adalah manifestasi dari kekuatan tenaga dalam yang bisa dirasakan oleh sesama pendekar. Aura menentukan seberapa tinggi tingkatan seseorang. Meski jumlah lingkaran mencukupi, tanpa aura yang stabil dan kuat, seseorang belum bisa naik tingkat.
Lin Yan membuka matanya perlahan. Matanya yang tajam menatap ke depan.
"Perjalananku baru saja dimulai."
Paginya Lin Yan sudah berdiri di depan gubuk.
Setelah semalam mengolah tubuh dan memikirkan kembali teknik-teknik yang dulu ia kuasai, pagi ini Lin Yan diminta oleh Guru Bai untuk memburu binatang iblis berumur 10–50 tahun.
Menurut penuturan sang guru, binatang iblis pada rentang usia itu setara dengan kekuatan pendekar bergelar Awal. Misi ini bukan hanya ujian, melainkan juga pelatihan nyata bagi Lin Yan.
Ia segera menuju hutan luar, wilayah yang masih dianggap cukup berbahaya meski belum tergolong zona maut. Udara pagi yang dingin tak menghalangi langkahnya.
Dengan langkah ringan namun waspada, ia mulai menyusuri semak-semak, memperhatikan jejak, dan mendengar setiap gerakan dari kejauhan. Butuh waktu hampir satu jam hingga ia akhirnya bertemu dengan seekor serigala hitam.
"Serigala hitam... Umumnya mereka sangat kuat jika berkelompok, tapi sepertinya aku sedang beruntung bertemu satu ekor saja," gumamnya pelan sambil menyipitkan mata.
Serigala itu menatap Lin Yan dengan mata merah yang buas, seolah menyadari keberadaan mangsanya. Dalam hitungan detik, makhluk itu melesat maju.
Lin Yan segera memasang kuda-kuda bertahan. Ia tidak membawa senjata, hanya mengandalkan tinju dan tendangan. Tubuh kecilnya melenting mundur, menghindari cakaran tajam serigala.
Pertarungan pun dimulai.
Kecepatan serigala itu membuat Lin Yan kerepotan. Beberapa kali serangan baliknya hanya mengenai angin kosong. Ia bahkan sempat terkena cakaran di lengan dan pundaknya. Darah menetes dari luka kecil, tapi ia tidak mundur.
"Serigala hitam yang dulu bisa ku bunuh dengan satu pukulan, kini justru mengancam nyawaku..." pikirnya dalam hati. "Tubuh ini terlalu lemah. Aku tidak bisa sembarangan menggunakan jurus yang dulu kupelajari, bisa-bisa Guru Bai curiga."
Dengan napas teratur, Lin Yan mulai mengamati pola gerak serigala. Ia mencoba membaca ke mana arah lompatan berikutnya, dan kapan celah akan terbuka.
Cakar serigala kembali meluncur ke arah dadanya. Lin Yan merunduk, memutar tubuh, lalu menendang ke samping. Gagal.
Serigala kembali melompat. Kali ini Lin Yan berguling ke tanah dan menendang ke arah perutnya.
"Terlalu cepat! Tapi aku mulai melihat polanya..."
DUAR!
Pukulan Lin Yan akhirnya mengenai sisi tubuh serigala. Hewan itu terpental sejauh lima langkah, mengerang kesakitan. Tanpa ragu, Lin Yan segera mengejarnya dan mengakhiri hidupnya dengan pukulan terakhir ke bagian kepala.
Ia terdiam sejenak, mengatur napas. "Butuh waktu lama untuk mengalahkan satu serigala ini..."
Ia membelah dada makhluk itu dan mengambil kristal iblis dari dalam tubuhnya. Kristal merah berkilau itu memancarkan energi panas yang khas.
"Untung aku tidak bertemu kawanannya... sepertinya dia memang terpisah."
Lin Yan kembali ke gubuk dan menyerahkan kristal itu kepada Guru Bai.
"Ini, Guru. Kristal dari serigala iblis berumur sekitar 30 tahun," ucap Lin Yan.
Guru Bai mengangguk puas. "Bagus, Yan'er. Mulai sekarang, selama dua tahun ke depan, kamu akan terus berlatih bertarung dengan binatang iblis. Itu cara terbaik untuk mengasah insting dan teknikmu."
Guru Bai kemudian mengeluarkan sebuah pedang panjang bersarung kain dari balik dinding bambu.
"Ambil ini, Yan'er. Mulai besok, kamu akan berlatih menggunakan pedang."
Lin Yan menerima pedang itu dengan khidmat. Pegangannya terasa familiar—seolah tubuhnya mengenali rasa itu.
Malam harinya, Lin Yan duduk bersila di pojok ruangan. Ia memejamkan mata, mengingat kitab pembalik surga. Meski wujud kitab itu belum muncul, isi dari halaman-halamannya sudah tertanam kuat dalam ingatannya.
Halaman pertama berisi dua teknik: teknik pedang Penyatu Langit dan jurus Pembelah Langit. Penyatu Langit mengandalkan kecepatan dan kelincahan serangan, sementara Pembelah Langit mengandalkan kekuatan penuh dalam satu tebasan horizontal.
Halaman kedua adalah teknik tubuh surgawi, pondasi dari semua kekuatan fisik tingkat tinggi. Teknik itu meningkatkan kualitas tulang, otot, dan daya tahan tubuh. Dan Lin Yan memutuskan untuk mulai dari sana.
Keesokan harinya, saat Guru Bai keluar untuk urusan lain, Lin Yan segera bergerak ke arah utara.
"Seingatku... di sekitar sini, 30 tahun dari sekarang, akan ditemukan sebuah goa kecil tempat tumbuh ginseng berumur 200 hingga 500 tahun," gumamnya.
Ia menyusuri pepohonan besar dan perdu yang lebat. Tiba-tiba, dari balik semak belukar, muncul sekelompok serigala hitam.
"Tidak mungkin...! Apakah mereka mencium bau darah dari baju yang kupakai kemarin?"
Geram, Lin Yan menggertakkan gigi. "Kenapa aku bisa seceroboh ini? Tubuh kecil ini benar-benar merepotkan."
Ia mencabut pedangnya dan memasang kuda-kuda. Napasnya ditarik dalam-dalam.
"Teknik Pedang Penyatu Langit."
Dengan kecepatan mengejutkan, tubuhnya melesat menerjang kawanan serigala. Tebasan pertama menebas dua serigala sekaligus. Serangan berikutnya berputar lincah, menghantam ke arah leher dan dada musuh-musuhnya.
Serigala-serigala itu mengaum marah dan menyerang secara bersamaan. Lin Yan menghindar, namun satu cakar berhasil menyayat pundaknya.
Darah menyembur. Ia terhuyung, namun tetap menyerang.
"Tubuh ini... belum sanggup menahan teknik Penyatu Langit!" teriaknya dalam hati.
Namun ia tidak mundur. Dengan pedang di tangan, ia mengayun liar tapi presisi. Satu demi satu serigala roboh. Mereka yang tersisa mulai ragu menyerang. Keraguan itu adalah celah bagi Lin Yan.
Dengan satu dorongan penuh, ia menerjang sisa dua ekor yang mundur dan mengakhiri mereka.
Dengan napas tersengal, tubuh luka dan berdarah, Lin Yan berlutut sambil mengatur napas.
"Ini pelajaran. Tubuh kecil ini tak bisa terus dipaksa. Tapi setidaknya aku masih hidup."
Tak jauh dari lokasi pertarungan, ia menemukan sebuah celah batu yang mirip goa.
"Akhirnya... kutemukan juga."
Ia masuk dengan hati-hati. Di dalamnya terdapat puluhan ginseng tumbuh di tanah lembab. Namun seekor ular besar mengawasi dari balik batu.
Lin Yan mundur perlahan, tidak ingin bertarung dalam kondisi seperti ini. Ia hanya mengambil ginseng bagian luar, yang tampaknya berumur 50–100 tahun, lalu segera keluar dan kembali ke gubuk.
Perjalanan pulang memakan waktu lama. Luka-lukanya makin parah, dan hanya bisa diobati secara sederhana. Sesampainya di gubuk, ia segera menutup luka dan mulai menyerap energi melalui lingkaran tenaga dalamnya.
Siang pun tiba. Guru Bai kembali.
"Yan'er! Apa yang terjadi padamu?!"
"Guru... saat berlatih, saya diserang sekelompok serigala hitam. Saya melarikan diri, dan mereka berhenti mengejar setelah saya memasuki wilayah lain. Saya kira saya memasuki teritori binatang iblis yang lebih kuat, jadi saya kembali."
Guru Bai menghela napas. "Kau sangat ceroboh... Tapi kau juga beruntung. Istirahatlah. Ini, minum obat ini."
Lin Yan menerima ramuan dan meminumnya. Setelah sang guru pergi, ia mengeluarkan ginseng hasil buruannya.
"Ini cukup untuk sebulan..."
Ia duduk bersila, memakan satu ginseng, dan mulai mengaktifkan teknik Tubuh Surgawi. Rasa sakit langsung menjalar ke seluruh tulangnya, seperti tertusuk jarum dari dalam. Tapi ia menahan semuanya, karena inilah jalan untuk kembali menjadi Sang Pendekar Surgawi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!