NovelToon NovelToon

Penikmat Mentari Ufuk Timur

Episode 1

Aroma khas pantai menyeruak memasuki indera penciuman. Bersama lajunya angin di sela terik surya. Pasir yang putih menyilaukan. Berhiaskan kerang-kerang, karang-karang, bebatuan hingga sampah-sampah. Puluhan perahu nelayan mengapung di tepi. Berwarna-warni. Dengan para nelayan yang lalu lalang membawa segala bentuk peralatan untuk menangkap ikan.

Usapan peluh ke sekian kali. Embusan napas panjang ke sekian kali pula. Aku merebahkan tubuh kekarku pada kain tipis yang aku gelas di tepi pantai. Seraya membiarkan pasir-pasir menempel lengket pada tubuh basahku.

Biru berkuasa di atas sana. Bertemankan sedikit guratan putih dari awan. Burung-burung membentuk formasi. Terbang ke sana ke mari dengan rapi. Seolah mengadakan pertunjukan dengan aku dan orang-orang lain yang mengarah sebagai penontonnya.

Hari-hari biasa yang selalu aku jalani sebagai penduduk pesisir pantai. Pohon kelapa menjadi tempat berteduh di bawahnya. Kerap kali aku tertidur dengan suasana seperti ini. Menyatu dengan alam. Begitulah aku menyebutnya.

"Fal!" panggil seseorang dari arah barat.

Sesaat aku melemparkan pandang ke arah suara yang memanggilku. Masih dalam posisi telentang. Hanya kepala saja yang menoleh.

Kudapati seorang lelaki sebayaku sedang berlari mendekat sambil membawa ember berukuran sedang berwarna hitam. Kaki kanannya mengenakan sandal jepit berwarna hijau. Sedangkan kaki kirinya tidak mengenakan apa pun. Entah apa yang terjadi pada sandal sebelahnya.

"Ada apa, Gema?" tanyaku.

Nama temanku atau sahabatku ini adalah Gema. Kami sudah satu sekolah sejak TK namun baru akrab ketika SMP. Bahkan kami selalu bersekolah di sekolah yang sama sejak TK sampai SMA. Kami lulus dua tahun lalu. Namun tidak berencana untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Sehingga pekerjaan kami sehari-hari hanya menjadi seorang pegawai di salah satu kafe dekat sini dan seringkali dikunjungi turis atau wisatawan dan membantu para nelayan yang tidak lain dan tidak bukan adalah pekerjaan orang tuaku dan Gema.

"Aku dapat ikan kerapu!" Gema berseru sumringah.

Mendengar itu, aku segera menarik ember yang dibawa Gema dan mendapati adalah empat ekor ikan kerapu di dalamnya. Itu adalah ikan favorit kami berdua.

"Wah, banyak banget nih. Giliran aku ikut aja malah dapet ikan tongkol doang," keluhku.

Gema mengibaskan rambutnya yang basah. Ia jelas terlihat sangat senang dengan hasil tangkapan kali ini setelah beberapa hari kami gagal menangkap ikan kerapu.

"Falih, nanti bawa rantang sama termos yang ada di perahu pulang, ya," pinta seseorang ketika aku dan Gema sedang melihat ikan-ikan kerapu dalam ember.

Itu adalah ayahku. Seorang pria 40-an tahun dengan tubuh lebih pendek dariku. Terlihat membawa peralatan nelayannya dengan pakaian basah kuyup.

"Baik, Yah."

"Om, Gema nangkep ikan kerapu. Om mau juga, nggak?" tanya Gema menawarkan ikan kepada ayahku.

"Tidak usah, Gema. Terima kasih. Lebih baik ikannya kasih ke neneknya Hafa saja. Ini ikan kesukaannya."

Demi mendengar nama seseorang yang disebutkan ayah, jantungku berdegup tak karuan. Tentang semua hal yang terjadi. Terlewati. Sudah jauh sekali di masa lalu. Semua telah berubah. Aku telah tumbuh dewasa. Begitupun ia. Namun masih seperti dua orang bersua bisu tanpa sedikit pun terlihat bahwa senda gurau, senandung tawa juga kebersamaan selalu kami geluti semasa kecil. Masa di mana semua masih baik-baik saja.

Sekilas, aku melihat Gema melirik ke arahku sambil tersenyum mengejek. Sedangkan aku membalasnya dengan tatapan tajam. Sebagai kode agar ia tidak berbicara lebih tentang seseorang itu kepada ayah.

Suasana mentari yang terik, berangsur memasuki relungku dengan perasaan peluh gundah. Tak cukup nostalgia membersamai, aku mengingat perkataan Gema tadi pagi bahwa seseorang itu akan pulang hari ini. Bukan sekedar pulang untuk berlibur, namun pulang karena tugasnya sebagai seorang santri selama 8 tahun telah usai.

Ya, semua berawal dari pesantren itu. Ia mulai menjadi santri sejak SMP. Lalu memakai cadar di sana. Sejak itu pula, kami tak lagi bercengkerama atau bertegur sapa. Melihatku pun ia seolah tak mendapati adanya siapa pun. Bagaimana pun, sikapnya membuatku turut canggung. 8 tahun yang panjang. 6 tahun bersekolah dan 2 tahun masa mengabdi. Itulah yang ia lakukan. Sahabat masa kecilku telah menjadi gadis pendiam dan pemalu di hadapan para laki-laki.

"Bener juga. Ayo, Falih. Kita ke rumahnya Hafa," ajak Gema.

"Eh?"

Tanpa menunggu jawabanku, Gema langsung menarik lenganku dengan kencang. Seraya berlari membawa ember berisi ikan kerapu. Tak lupa ia melambaikan tangan pada ayah. Kalung bermata kerang yang dikenakan bergoyang-goyang.

Pasir lengket menempel teramat banyak pada kaki hingga betis kami. Bertelanjang kaki. Tangan besar Gema terasa semakin mencekam. Seperti berjaga-jaga agar aku tidak kabur.

"Lepasin, Gema!" seruku sebal.

"Ini kesempatan, Fal. Kamu udah lama nggak ketemu Hafa, 'kan. Sekarang lah saatnya. Dia pasti sudah pulang juga."

Sejenak, aku terdiam untuk berpikir. Hafa memang jarang sekali pulang ke rumahnya. Hanya dua kali setahun. Selama 8 tahun. Oleh sebab itu, setiap kali ia pulang aku akan melihatnya dari kejauhan. Tepatnya di tepi pantai sebelum matahari terbit. Tanpa menghampiri. Tanpa menampakkan diri. Beberapa kali aku ketahuan Gema. Untungnya, ia tidak iseng dengan memberitahu Hafa tentang kebiasaanku itu.

Berbicara tentang cadar. Selama 8 tahun itu pula aku tidak pernah lagi melihat wajahnya. Sebab selalu tertutup kain cadar yang selalu berwarna gelap. Aku hanya mengingat bagaimana wajahnya di usia 12 tahun. Tepatnya setelah lulus SD. Itu pula menjadi hari terakhir kami berbincang dengan akrab.

"Ada apa, Fal? Kenapa diem aja? Kita akan ke rumah Hafa, loh."

***

Sebuah rumah berlantai dua terlihat dengan cat dinding berwarna hijau pudar. Di halamannya terdapat banyak sekali jenis bunga. Berwarna-warni. Itu adalah hobi dari ibunya Hafa. Ada beberapa mainan anak tergeletak di teras. Membuatku teringat. Dulu sekali aku seringkali bermain di sini. Sambil menyantap camilan keju favorit kami yang selalu dibuatkan oleh ibu Hafa.

Kami telah memasuki gerbang yang terbuka. Ada bekas pohon besar yang telah tumbang di samping rumah. Dulunya, kami sering bermain ayunan di sana. Sambil memetik buah mangga. Lalu, nenek Hafa akan memarahi kami jika memetik yang masih muda. Sebab katanya memakan makanan asam dapat membuat perut sakit.

Walaupun Hafa adalah seorang perempuan, pada waktu itu ia bisa menyeimbangkan diri denganku ketika memanjat. Bahkan sampai dahan tertinggi. Lalu ketika nenek Hafa terlihat, maka kami buru-buru turun dan kembali bermain ayunan. Ah, sialnya itu sudah jauh sekali tertinggal.

Kini Hafa menjalani hidup dengan pemahaman agama yang baik. Sedangkan aku sebaliknya, pemuda yang jauh dari kata soleh. Justru lebih dekat dengan gemerlap dunia. Pengaruh lingkungan bersanding keluarga yang tidak agamis. Seperti itulah aku. Bagaimana pun, sebenarnya aku selalu mengagumi Hafa. Bahkan sebelum kami benar-benar berpisah sebagai dua orang sahabat.

Begitu tangan Gema henda mengetuk pintu, aku segera menepis tangannya cepat-cepat.

Bukannya marah, ia justru menampakkan ekspresi mengejek.

"Ada apa, Fal? Mau kamu aja yang ngetuk?"

Entah seperti apa ekspresiku karena ucapan Gema. Salah tingkah yang tak terkontrol. Kurang lebih seperti itu. Bagaimana pun, aku sepertinya membutuhkan kesiapan mental sebelum bertemu dengan Hafa. Apalagi di rumahnya. Andai si Gema sialan ini tidak terburu-buru mengajakku tanpa sempat membiarkan berpikir. Namun aku tetap saja membiarkannya melakukan itu. Ya, entahlah. Setelah sekian lama, aku memang ingin sekali bertemu Hafa. Sekali pun kini wajahnya selalu ditutup cadar.

"Sebentar, Gema. Jangan main ngetok aja. Tunggu dulu!" tegasku mulai tak tentu arah.

Gelisah seolah menyergap. Ditambah kali ini benar-benar di depan kediamannya. Ingin rasanya aku mundur sejenak sebelum akhirnya kembali lagi. Namun itu sudah tak mungkin. Seharusnya ini benar-benar sederhana. Baiklah, cukup ketuk dan menyapa seperti biasanya. Seperti biasanya di atas 8 tahun lalu.

Untuk ke sekian kali, aku menarik napas. Sambil berkali-kali mencegah Gema mengetuk pintu. Untung saja ia adalah orang yang sabar. Jika orang lain, mungkin sudah beda cerita.

"Baiklah, Fal. Silakan. Kamu aja yang ketuk pintunya. Kalau nggak mau, maka dipastikan aku akan berteriak memanggil Hafa."

"Enak, aja. Nggak usah nyari gara-gara, deh," ujarku.

"Ya, udah."

Gema menarik lenganku dan bertukar posisi dengannya. Ember yang aku bawa langsung ia ambil. Seraya menunjuk gagang pintu.

Walaupun agak berlebihan, namun aku seolah melihat gagang pintu ini dipenuhi oleh duri. Duri yang bisa menusuk relungku menuju nostalgia indah tak terbendung.

Aku menelan ludah. Sambil sesekali melirik Gema. Ia hanya menghentakkan kaki. Seperti seseorang yang sedang menunggu.

"Kamu aja, Ge!" ucapku lirih.

Karena jawaban itu, Gema langsung menggerakkan tangannya seperti hendak mencakarku. Raut wajahnya galak seperti hendak menerkam. Baiklah, yang tadi itu memang menyebalkan.

"Ini, dia. Jangan halangi lagi!" tegas Gema.

Aku mengangguk.

Krekkk.

Belum Gema menarik gagang pintu, tiba-tiba dari dalam sudah ada yang menariknya terlebih dahulu.

Dalam sekejap, terlihat seseorang di sana. Seseorang yang sangat kukenal. Namun sangat berbeda sejak 8 tahun terakhir.

Eh? Ia mengenakan pakaian berwarna biru cerah. Kerudung dengan warna putih tulang. Serta riasan tipis di wajahnya. Kulitnya kuning langsat. Namun bercahaya. Juga bersih.

Wajah yang telah lama tak tampak. Wajah yang telah lama ditutupi. Wajah yang jauh lebih dewasa sejak terakhir kali aku melihatnya. Wajah seseorang 12 tahun itu, kini sudah beranjak 20 tahun. Dia membuka cadar!?

Episode 2

Pipi tembam yang dulu biasanya aku lihat sekarang berubah menjadi lebih tirus. Namun pipinya yang kemerahan tetaplah sama. Dengan 3 tahi lalat kecil yang berjejer pada kedua pipi dan hidungnya, juga tidak berubah dan bertumbuh. Bola mata hitam itu. wajah itu, setelah 8 tahun tertutup kain cadar berwarna gelap. Hari ini, tepat di mana ia melepaskan diri sebagai santri di pondok itu. tengah berdiri tegak pada bingkai pintu. Menghadapku, sosok sahabat masa kecil yang telah lama tak bertegur sapa. Kini bersua satu sama lain.

“Assalamu’alaikum, Hafa,” sapa Gema dengan ramah.

“Waalaikumussalam, Gema. Falih juga,” jawab Hafa sedikit terkejut.

Tertaut aura yang berbeda saat aku melihatnya mengenakan pakaian dengan warna cerah. Sepercik nostalgia. Apalagi sedekat ini. Sewaktu kecil ia memang suka sekali mengenakan warna cerah. Terutama biru laut layaknya pakaian yang dikenakannya saat ini. Namun, sejak masuk pondok pesantren dan bercadar, ia seolah meninggalkan pakaian dengan warna-warna seperti itu dan sekarang ia kembali. Kembali menjadi Hafa dengan pakaian biru laut dalam versi dewasa.

Aku mengangguk untuk menanggapi sapaan Hafa. Tubuhku kikuk, napasku berat, lidahku kelu, namun hatiku meronta. Di sinilah aku, menahan gejolak batin bekas penantian panjang kepada sosok perempuan bercadar selama 8 tahun. Yang kini telah melepaskan cadar itu bersama dengan lepasnya masa-masa bergelut pendidikan di pondok pesantren.

“Apa kabar, Hafa? Sudah lama sekali kita nggak bertegur sapa,” ujar Gema.

Dengan bodohnya, ia malah menyodorkan tangan kanannya kepada Hafa. Sudah pasti langsung ditolak mentah-mentah. Apakah dia lupa bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang alumni pesantren? Sejenak, aku membuang wajah karena malu dengan tingkah Gema. Walaupun begitu, Hafa tetap menampakkan kesopanan ketika menolak jabat tangan dari Gema. Bersama senyum tulusnya.

“Alhamdulillah, baik. Kalau kalian berdua gimana?”

“Alhamdulillah baik juga, Hafa,” jawab Gema.

Sesaat, aku merasa ingin langsung menjawab namun Gema telah mendahului. Dasar teman yang tidak peka.

“Kalau kamu, Fal?” Hafa bertanya kepadaku.

“Baik,juga. Alhamdulillah,” jawabku berusaha senormal mungkin walaupun sepertinya aku terlihat linglung ketika menjawabnya.

Tak lama, dari belakang Hafa ada seorang wanita yang berjalan menuju ke arah kami berada. Wajahnya sangat mirip dengan Hafa. Atau lebih tepatnya Hafa-lah yang mirip dengan wanita tersebut. Itulah tante Zainab, mamanya Hafa. Begitu antusias sampai-sampai berjalan cepat dengan setengah berlari. Ada sutil yang digenggam menggunakan tangan kirinya.

“Ya Allah, Falih. Kamu ke mana aja? Kita tetanggaan tapi kamu baru berkunjung lagi setelah sekian lama. Tante selalu nungguin kamu buat berkunjung lagi padahal. Apalagi waktu Hafa pulang buat berlibur dari pondoknya. Emangnya kamu nggak kangen apa masa-masa kecil kalian dulu. Selalu bermain di sini. Tante sering lihat kamu lewat pas mau ke pantai, tapi kamu nggak pernah tuh menengok rumah ini. Aduh, kalian kecilnya nggak bisa kalau nggak ketemu sehari kok gedenya malah nggak pernah bersua udah 6 tahun, loh,” seru tante Zainab kepadaku.

Bagaimana pun, yang diucapkan tante Zainab memanglah benar. Rumahku dan Hafa hanya berjarak oleh belasan rumah di antaranya. Pada waktu itu, Hafa adalah satu-satunya teman sebaya denganku dengan jarak rumah terdekat. Itu yang menyebabkan kami selalu bersama dulu. Lain halnya dengan Gema. Letak rumahnya paling jauh dibanding kami. Namun, sejak Hafa masuk pondok pesantren seolah menjadi tertutupnya kunci pertemuan antaraku dan keluarga Hafa juga. Tanpa terasa semua berlalu begitu lama. Waktu yang panjang telah berlalu. Aku tumbuh dewasa, begitu pun ia.

“8 tahun, Ma. Hafa ‘kan pengabdian dua tahun di pondok,” pungkas Hafa.

“Oh, iya? Mama ingetnya kamu masih 18 tahun,” ucap tante Zainab.

Hafa menepuk kening.

“Hafa udah 20 tahun, Ma. Aduh, masa usia anaknya sendiri lupa.”

“Oh, iya. Berarti, Falih juga udah 20 tahun, ya?” tanya tante Zainab yang dilemparkan kepadaku.

“Iya, tante,” jawabku yang kini telah normal.

Sambil menengok ke arah tante Zainab, aku sempatkan juga melirik pada putrinya. Sahabat masa kecilku dalam versi dewasa. Ia jauh lebih pendek dibanding denganku. Mungkin ia tak sampai 160 sentimeter. Bahkan tante Zainab pun masih lebih tinggi. Namun, itu adalah tinggi ideal untuk perempuan seusia kami. Walaupun begitu, Hafa yang ada di hadapanku saat ini adalah versi timeskip selama 8 tahun. Kurang lebih seperti itulah aku menyebutnya.

Tak perlu menunggu lama, seseorang yang menjadi tujuan kami sebenarnya ke rumah ini langsung muncul. Seorang wanita tua. Rambutnya telah putih sempurna. Berbeda dengan Hafa dan tante Zainab yang tertutupi semua rambutnya dengan balutan kain kerudung. Ia terlihat langsung melemparkan pandangan pada ember yang dibawa Gema.

“Itu buat Nenek?” tanya si wanita tua dengan sumringah.

Wajah keriputnya terlihat bersamaan dengan rasa bahagia.

Gema mengangguk. Lalu menyodorkan ember berisi ikan kerapu itu kepada nenek Hafa atau yang sering kami panggil nenek Kai. Eh, bukankah setengahnya untukku dan Gema? Bukankah ia tidak sabar tadinya untuk menyantap ikan kerapu?

Akan tetapi begitulah Gema, ia sangat dermawan dan suka berbagi. Tak peduli walaupun ia juga menyukai sesuatu yang dibagikan tersebut. Sebab ia jauh lebih bahagia melihat orang lain bahagia karena dirinya.

“Ini, Nek. Ada 4 ikan kerapu di dalamnya,” jawab Gema.

“Aduh, Ibu. Sapa dulu ini anak-anak. Lihatlah siapa yang datang. Ada Falih dan…. Hmmm aku lupa namamu, Nak,” ujar tante Zainab.

“Gema, Tante.”

“Oh iya, Gema. Tante sampai lupa,” ucap tante Zainab sambil menepuk kening.

Suasana menjadi ramai dalam sekejap. Aku temukan lagi hidupnya sukacita di tempat ini. Rumah sahabat kecilku. Rumah Hafa. Seperti lembaran pada buku baru sebab versi lama telah lama tertutup. Membuat rasa kakuku perlahan pudar pula.

“Tapi Mama juga dari tadi cuma menyapa Falih. Sedangkan Gema dikacangin,” pungkas Hafa.

“Itu ‘kan karena Mama terkejut dengan kedatangan Falih, Hafa. Sudah lama sekali Mama nggak ngobrol sama dia. Padahal rumah kita deketan. Kalian juga udah saling melupakan. Padahal dulunya tak terpisahkan,” ujar tante Zainab.

Sebuah kalimat yang membuatku sedikit salah tingkah. Bagaimana tidak? ia mengatakan bahwa aku dan Hafa tak terpisahkan. Aduh, memangnya ini situasi macam apa?

“Itu ‘kan udah diwakilkan sama kalian, jadi Nenek hanya perlu menerima pemberian mereka. Nenek udah lama sekali nggak makan ikan kerapu. Padahal dulu sewaktu Falih sering main ke sini ia hampir selalu membawakan ikan kerapu untuk Nenek. Jadi, anggap saja ini hukuman untuk Falih karena tega membiarkan Nenek terlantar tanpa memakan ikan kerapu,” timpal nenek Kai seraya melirik tajam kepadaku.

Ucapannya justru membuat kami tertawa satu sama lain.

Kemudian nenek Kai mengambil ember tersebut dari genggaman Gema.

“Maaf, Nek. Yang terpenting sekarang Falih sudah datang buat membawakan ikan kerapu untuk Nenek Kai,” jawabku.

“Ya, sudah. Kamu Nenek maafkan tapi setelah ini nggak boleh datang lagi ke rumah ini,” ujar nenek Kai berpura-pura ketus.

Sejenak membuat senyumanku terjeda.

“Kenapa?” Gema yang bertanya.

“Nggak boleh kalau nggak bawa ikan kerapu. Itu syaratnya!” tegas nenek Kai.

“Wah, kalau itu sih susah, Nek. Ini aja kami dapetnya berhari-hari,” jawab Gema.

“Jadi, kalian di tengah-tengah lautan selama berhari-hari?” tanya nenek Kai.

Terlihat Hafa sedang menahan tawa karena ucapan neneknya. Sampai memperlihatnya gingsulnya yang manis. Itu juga sama seperti dulu. Jika mengikuti inginku, sudah pasti aku akan terus menatap Hafa. Dengan segala perubahannya, dengan segala yang tidak berubah juga.

“Bukan begitu, Nek. Maksud Gema, setelah berhari-hari kami menangkap ikan. Baru hari ini kami berhasil menangkap ikan kerapu,” ucapku memperjelas.

Nenek Kai mengangguk-angguk tanda mengerti.

“Hei, kamu nggak ikut. Semua ikan ini tangkapanku dan nelayan lainnya! Kamu ‘kan cuma terlentang di pasir sambil berkhayal” tegas Gema.

Apa-apaan lagi dia malah mempermalukanku di hadapan Hafa dan keluarganya.

Setelah berbincang lumayan lama, tante Zainab mengajak kami untuk masuk ke rumahnya. Namun kami segera menolak dengan alasan belum mandi dan masih berpeluh banyak. Ini memang situasi yang tak nyaman untuk bertamu. Apalagi kaki kami telah membuat teras rumah mereka berpasir. Bahkan sebelum tante Hafa berbicara lagi, Gema langsung meraih sapu yang ada di pinggir teras seraya langsung menyau lantai yang berpasir. Bahkan Hafa pun tak sempat untuk mencegahnya.

“Ayolah, kalian setidaknya mampir dulu untuk sekedar menyantap cemilan keju buatan tante. Falih pasti ingat bahwa cemilan itu dulu kesukaanmu dan Hafa. Tante akan sedih loh kalau kalian menolak,” ujar tante Zainab yang belum menyerah untuk membujuk kami.

“Tapi kami yang tidak nyaman untuk sekarang tante. Lihatlah, baju kami kotor, tubuh kami berpeluh, sudah seperti gelandangan. Lain kali kami akan berkunjung, kok.” Jawabku berusaha menghibur.

“Soalnya kalau kalian pulang, Mama takut kalian lama lagi untuk kembali ke sini,” sahut Hafa mencoba memahami makna bujukan tante Zainab.

Kenapa tidak Hafa saja yang takut kami tidak kembali?

“Kalau begitu pulanglah kalian sekarang. Nanti sore kembali lagi dalam keadaan rapi. Kita bakar ikan kerapu. Sekalian bawa ikan-ikan tambahan. Ingat, datang nanti sore!” timpal nenek Kai memberi usul.

Episode 3

Berbagai macam jenis kerang laut menumpuk di tepi pantai. Diiringi senyuman riang seorang gadis kecil dengan gigi ompong di depan. Wajahnya memerah diterpa terik surya. Tengah hari yang mengasyikkan di atas pasir putih pantai dekat rumah kami.

Setelah mengumpulkan kerang-kerang indah, kami lanjut membentuk pasir yang basar menjadi sebuah istana. Dibentuk menggunakan ember biru kesayangannya. Sedangkan aku bertugas untuk menambah beberapa bentuk kecil dengan mangkuk kecil yang biasanya ia gunakan untuk bermain masak-masakkan.

Setelah istana selesai dibuat, kami akan menggunakan kerang-kerang tersebut sebagai hiasannya. Membuat istana tampak silau dengan tambahan terpaan sinar matahari.

“Istana kita cantik sekali,” ujar si gadis kecil.

Kala itu kami masih berusia masing-masing 7 tahun.

“Iya, kita pandai membuatnya,” jawabku.

Kini kami sama-sama berdiri seraya tersenyum lebar ke arah istana pasir berhiaskan kerang-kerang indah buatan kami.

“Falih, kita akan menjadi raja dan ratu di istana kerang,” ucap Hafa.

“Tapi artinya raja dan ratu adalah pasangan suami-istri. Kita ‘kan masih kecil, Hafa.”

Ombak pasang terdengar berisik. Beberapa perahu nelayan terlihat baik di tengah lautan maupun di tepi yang belum digunakan. Salah satunya ada ayahku di sana. Sebuah mata pencaharian paling banyak sebagai penduduk yang tinggal di daerah pesisir.

Terlihat manyun pada bibir Hafa setelah mendengar ucapanku. Kemudian ia menyusun alat-alat masak-masakkannya dan dimasukkan ke dalam ember biru kecil. Lantas meraih ranting kayu di dekatnya.

“Tapi ini istana buatan kita. Artinya, ini istana milik kita. Hafa dan Falih. Baiklah, Hafa dan Falih, bukan raja dan Ratu,” jelas Hafa.

Aku menjawab hanya dengan anggukan.

Setelah itu, Hafa berlari lincah ke arah pasir basah. Di sanalah ia menuliskan sesuatu dengan ranting yang dipungutnya barusan. Entah apa yang hendak ia tulis. Padahal tante Zainab sudah memperingatkan kami agar tidak dekat-dekat dengan ombak di siang hari.

Setelan singlet pendek berwarna kuning yang dikenakan Hafa langsung basah. Sebab ia menulis sambil duduk hingga ombak menyapu raganya. Melihat itu, aku langsung buru-buru untuk menarik lengannya agar tidak terlalu dengan dengan ombak.

“Jangan terlalu jauh, Hafa. Ombak sedang pasang. Nanti mama kamu marah!” tegasku.

Sebagai jawaban, Hafa hanya mengangkat bahu dan tetap menulis di tempat yang agak jauh, yakni tempat setelah aku menariknya.

Tertulis, Hafa dan Falih.

“Hanya itu?” tanyaku.

“Tunggu sebentar, Falih. Masih ada lanjutannya,” Hafa menjawab.

“Nah, mau ngapain kalian di sana? Mama ‘kan udah bilang kalau ombak lagi pasang itu jangan deket-deket!” tegas tante Zainab yang muncul tiba-tiba.

Dengan raut wajah terkejut, kami langsung mundur beberapa langkah dan berlari ke arah istana pasir tadi. Tante Zainab menyusul di belakang. Padahal, Hafa belum sempat menulis lanjutannya.

Di tempat semula, tante Zainab langsung mengambil barang-barang Hafa seraya meraih tangan mungil putri kecilnya itu. Hafa yang paham apa yang akan dilakukan mamanya itu langsung menangis dan menggeleng keras-keras.

Ya, ini waktunya tidur siang untuk Hafa.

“Nggak mau, Ma! Hafa masih mau main sama Falih!” gertak Hafa menolak.

“Falih juga pulang, kok. Nggak mungkinlah Mama biarin dia sendiri di sini dengan ombak pasang itu,” jawab tante Zainab seraya melayangkan pandangnya ke arahku.

“Tapi Mama nggak maksa Falih kayak Hafa juga!”

“Itu karena Falih menurut. Coba kalau kamu menurut juga ya Mama nggak akan maksa, sayang,” ujar tante Zainab.

Hafa langsung melihatku dengan pipinya yang telah basah oleh air mata. Juga ingusnya yang ke mana-mana. Namun tidak menutup wajah menggemaskan. Ia terdiam sejenak seolah memastikan tentang keputusanku untuk tetap di tempat atau mengikuti tante Zainab.

“Ayo, Falih. Kita pulang biar Hafa juga mau pulang,” tambah tante Zainab.

Aku mengangguk dan mengekor dari belakang. Sedangkan Hafa digendong. Masih terdngar suara tangisannya, namun ia membiarkan dirinya dibawa pergi sebab ia mengetahui aku turut mengikuti dari belakang. Sebuah kejadian yang sering terjadi sejak kami berusia 5 tahun. Hafa yang sulit disuruh tidur siang, dengan aku yang lebih dibebaskan oleh orang tuaku.

Siapa sangka jika saat-saat seperti ini terjeda selepas masa putih-merah usai.

***

Bulan purnama menggantung pada nabastala hitam di malam hari. Cahayanya cukup untuk menemani malam bakar-bakar ikan kerapu di halaman belakang rumah Hafa. Kami kembali ke rumahnya sore menjelang malam tadi. Sedikit terlambat dan membuat nenek Kai terlihat jengkel. Namun, semua berubah normal dalam sekejap setelah nenek Kai melihatku dan Gema membawakan dua ekor cumi-cumi jumbo dan beberapa ikan lainnya. Itu sebagai tambahan untuk empat ikan kerapu yang kami bawa tadi siang.

Tante Zainab sedang membuat bumbu di dapur. Gema mempersiapkan alat dan bahan untuk memanggang. Hafa dan aku membersihkan ikan dan cumi-cumi jumbo. Ya, aku nyaris tak percaya jika aku melakukan sesuatu lagi bersama dengan Hafa. Kembali. Setelah sekian lama. Berhadapan dengannya. Bukan lagi memantau dari kejauhan setiap kali fajar hendak terbit. Terakhir, nenek Kai cukup berperan untuk mencicipi tentunya. Sambil memantau dari karpet lebar yang digelar Hafa.

“Kenapa dari tadi kamu hanya diam, Fal?” Hafa bertanya.

“Eh? Itu karena aku pikir kamu mau fokus buat bersihin ikan-ikan ini,” jawabku.

Kini aku bisa leluasa untuk melihat ke arah Hafa. Sebab ini sambil melakukan kesibukan. Juga hanya ad dia tanpa ada orang lain, termasuk si menyebalkan seperti Gema itu.

“Bersihin ikan doang. Udah kayak mau ngerjain soal ujian aja,” ujar Hafa.

Aku tertawa.

Di sisi lain, aku melihat ke arah tempat Gema berada. Ia sedang membuat arang. Sambil mengipas-ngipas api dan tubuhnya secara bergiliran. Baguslah, ia tak melihat ke arah kami. Dengan begitu, aku tak perlu terlalu khawatir dengan ekspresi mengejek yang biasa ia layangkan padaku.

“Bagaimana pondok pesantrenmu? Aku selalu ingin menanyakan itu,” tanyaku.

Mendengar pertanyaanku, Hafa terlihat berpikir. Sembari melihat aksesoris langit berupa rembulan purnama dan bintang-bintang. Angin pantai di malam hari menerpa. Sudah tak ada yang bisa menandingi kenikmatan sensasi angin pantai di malam hari. Bersama aroma khasnya.

“Ya, di mana pun itu. Pasti ada hal menyenangkan dan menyedihkannya, ya. kamu pun pasti tahu itu. namun, ketika sudah tidak di sana. Baik kenangan indah maupun kenangan buruk akan selalu menyenangkan untuk diingat kembali. Walaupun tidak semuanya. Seru. Sangat seru karena aku mendapatkan banyak sekali pengalaman berharga di sana. Mulai dari agama, persahabatan, kemasyarakatan, pokoknya banyak deh. Rasanya aku ingin kembali ke sana namun tak ingin mengulangi beberapa kejadian menyebalkannya,” jawab Hafa diakhiri dengan senyuman.

“Kedengarannya menarik. Apakah bangunannya besar?”

“Iya. Besar dan banyak sekali. Karena di sana instansi pendidikannya sangat lengkap. Mulai dari TK sampai Universitas juga ada, loh.”

“Wah. Lalu, kenapa kamu nggak sekalian kuliah di sana?”

“Ah, tidak mau. 8 tahun sudah cukup lama. Aku memilih untuk melanjutkan kuliah di tempat lain saja.”

Aku mengangguk. Enggan untuk menanyakan alasannya lebih dalam lagi.

Sejenak, kami terdiam satu sama lain untuk lanjut membersihkan ikan-ikan. Mulai dari mengeluarkan isi perutnya, sisiknya, siripnya dan mencucuinya hingga bersih. Jumlahnya sebenarnya terlalu banyak untuk ukuran 5 orang. Seharusnya aku bisa mengajak ayah dan ibuku. Tante Zainab juga menyuruhku. Namun aku beralasan bahwa ini terlalu mendadak.

“Kalau kamu gimana sekolahnya, Falih?”

“Hmmm, gimana ya. Udah lulus 2 tahun lalu, sih. Jadinya, suasana di sekolah banyak yang terlupakan. Tapi, ya. Nggak ada yang istimewa. Tidak jauh berbeda dengan masa SD. Masuk pagi. Upacara di hari senin. Kalau terlambat dihukum. Bedanya, jam pulang lebih lama dan uang jajan bertambah. Udah, sepertinya cuma itu,” ujarku.

Hafa tertawa.

Tante Zainab terlihat keluar dari pintu belakang. Sambil membawa nampan berisi beberapa piring, sendok dan mangkuk.

Berbicara tentang rumah Hafa yang berlantai dua namun hanya ditempat 3 orang. Sebenarnya, jumlah asli penghuni rumah ini adalah 7 orang. Yaitu Hafa, kedua orang tuanya, kakek-neneknya dan dua adik kembarnya. Papa Hafa sedang bekerja di luar kota selama beberapa bulan, kedua adik kembar Hafa sedang mondok di pesantren yang sama dengan Hafa dan kakeknya telah meninggal sekitar 3 tahun lalu. Itulah yang menyebabkna rumah yang lumayan besar ini hanya ditinggali orang. Bahkan sebelum Hafa kembali, hanya tante Zainab dan nenek Kai yang tinggal di sini.

“Gimana ikan-ikannya Hafa? Falih?” tanya tante Zainab.

“Sedikit lagi, Ma,” jawab Hafa.

“Lalu bagaiman dengan arangnya, Gema?”

“Aman, Tante,” jawab Gema dari jarak beberapa meter sambil mengacungkan jempol.

Sebentar lagi, kami akan mulai memanggang ikan kerapu beserta kawan-kawannya. Ya, ikan kerapu yang utama karena itu adalah favorit nenek Kai. Walaupun sebenarnya kami semua juga menyukainya.

Bagaimana mungkin aku terbayang di hari yang tak terduga. Mendadak pula. Kami dengan adanya Hafa di antaranya menikmati malam bersama purnama sambil memanggang makanan lezat dan segar sepergi makanan laut yang ditangkap langsung dari habitatnya. Bukan dari perantara pasar.

Sejak usianya 12 tahun tertutup kain cadar, kini aku dapat melihat lagi wajahnya di usia 20 tahun. Terlepas dari apa pun alasannya melepaskan itu. aku bersyukur untuk malam ini.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!