1
"Rima, kamu tuh ngapain saja sih. Ini debu kok setebal ini. Rebahan saja sih kerjaan kamu. " Teriak Ibu mertuaku yang tiba-tiba datang. Pintu rumah memang tidak aku tutup rapat apalagi aku kunci, sehingga ia bisa leluasa masuk. Masih sore, aku fikri untuk apa juga menutup pintu dan menguncinya. Mas Rama juga sudah waktunya pulang kerja.
Seperti itulah kebiasaannya ibu mertua, ia suka datang dan pergi secara tiba-tiba. Rumah kami memang hanya berjarak beberapa puluh meter saja. Tapi, biarpun aku dan mas Rama sudah memiliki rumah sendiri, namun ibu mertuaku selalu saja ikut campur. Bahkan ia selalu saja menghinaku.
Saat ini aku sedang memandikan Risky, anak ku satu-satunya yang masih berusia dua tahun. Merawat rumah serta anak bayi tentu saja membuatku tidak pernah ada hentinya. Dan semua itu masih saja diprotes oleh ibu mertuaku.
"Assalamu'alaikum,,,, " Aku mendengar suara mas Rama diambang pintu. Rumah ini tidak terlalu besar sehingga aku yang berada di kamar mandi masih bisa mendengar suara mas Rama yang berada di depan.
"Wa'alaikumsalam. Baru pulang Ram? " Kata ibu mertuaku. Aku sengaja belum menjawab ucapannya. Aku tidak mau waktuku memandikan Risky terbuang begitu saja. Masa kecil anak-anak tidak akan pernah kembali. Aku tidak mau melewatkan sedikitpun semua hal bersama Risky.
Lain aku, lain pula mas Rama yang cenderung cuek dengan anaknya. Ia jarang sekali membantuku mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bahkan menjaga Risky saat aku mandi atau lainnya pun bisa dihitung dengan jari.
"Rima kemana bu? " Tanya mas Rama.
"Nggak tahu tuh istri kamu, rumah berantakan sudah seperti kapal pecah. Istrimu itu tidak becus banget sih Ram. " Lagi-lagi aku mendengar ibu menjelekkan ku dihadapan suamiku.
Selesai memandikan dan memakaikan baju untk Risky aku pun keluar. Telinga ini sungguh panas mendengarkan ocehan ibu dan anak yang kebanyakan isinya hanya menyalahkan ku.
"Mas, baru pulang? Ibu kapan datang? " Ucapku. Aku menyalami suami dan juga ibu mertuaku. Ajaran sopan santun yang diberikan oleh orang tuaku selalu aku ingat dan juga aku terapkan. Ya walaupun aku hanya mendapatkan mengajaran dan kasih sayang dari orang tuaku hanya sebentar saja.
"Rim, aku haus. Buatkan aku minum. Ibu juga pasti haus. Buatkan juga buat ibu ya. " Titah suamiku.
"Tolong bawa Risky sebentar ya mas. Aku buatkan teh hangat. " Ucapku. Cuaca juga sedang mendung, sepuluh menit yang lalu bahkan turun hujan. Sehingga minum teh hangat adalah pilihan yang tepat menurutku.
"Masak kamu tidak bisa sih Rim bawa Risky sambil buat minuman. Aku ini capek pulang kerja. Masih juga disuruh bawa anak. " Kata mas Rama.
"Iya nih Rim, kamu tuh nggak becus banget. Sudah cepat sana buat minuman. " Imbuh ibu mertuaku.
Jika sudah diserang oleh dua orang ini aku tidak bisa apa. Hanya air mata ini yang mengalir tiba-tiba tanpa aku pinta.
Membuat minuman di dapur dengan menggendong Risy adalah sesuatu yang berat menurutku. Badanku yang kurus harus menggendong Risky anakku yang tubuhnya semakin hari semakin gemoy saja. Bukan aku tidak bersyukur memiliki anak yang tumbuh gemuk dan sehat, namun jika sudah seperti ini aku sendiri yang ngos-ngosan. Untung saja aku selalu merebus air dan ku masukkan ke dalam termos. Sehingga untuk saat seperti ini aku tidak perlu susah-susah memasak air.
"Ini mas, bu. " Aku menyuguhkan dua cangkir teh hangat dengan asap yang masih mengepul.
"Kenapa hanya teh saja Rim? Pisang goreng nya mana? " Celetuk mas Rama.
"Maaf mas, pisangnya habis. Uang belanja juga sudah habis mas, kalau bisa setelah ini aku minta uang ya mas. Mau beli gula dan telur di warung depan. " Ujarku.
"Apa??? Minta uang? Kamu itu boros sekali sih RimRim. Uang dua ratus masak harus habis dalam satu minggu sih. Jangan jajan terus dong. Risky juga jangan dibiasakan jajan di luar. Nggak baik juga kan untuk kesehatan nya. " Kata mas Rama sok menasehati ku.
Astaghfirullah, kenapa aku bisa memiliki suami seperti mas Rama. Kenapa ia berubah setelah kami menikah. Padahal dulu saat kami abru dekat, mas Rama begitu royal kepadaku. Bahkan aku tidak meminta apapun ia berikan dengan cuma-cuma. Nah sekarang, saat kami sudah bersama dan aku dedikasikan diri dan hidupku untuknua justru ia berubah.
Satu minggu dua ratus ribu dengan seorang anak kecil umur dua tahun bagiku sangat sulit. Apalagi Risky juga masih menggunakan diapers. Ia juga sudah mulai mengenal jajanan yang kadang lewat di depan rumah. Setiap hari aku harus memitar otak mencukup-cukupkan uang dua lembar itu supaya cukup sampai mas Rama memberikan lagi.
"Heh,,,, kok malah bengong sih Rim. Dinasehati suami bukannya didengarkan eh malah ditinggal bengong. Tidak sopan. " Kata ibu mertua. Aku masih diam saja menatap mereka. Untung saja Risky anteng dengan mainannya yang diberi oleh tetangga kemarin. Sejak ia lahir anakku itu tidak pernah sekalipun dibelikan mainan oleh ayahnya. Sedangkan aku ingin sekali membelikannya namun apalah daya aku tidak punya uang. Mau bekerja pun aku tidak bisa, aku harus mengurus Risky dan rumah ini.
"Ram, mana uang yang ibu minta tadi? " Ibu menengadah tangannya pada mas Rama. Suamiku itu lantas mengeluarkan dompetnya dan memberikan lembaran uang merah sebanyak lima lembar kepada ibunya. Entah kapan ibu memintanya pada suamiku, atau mungkin ibu sudah mengirim pesan terlebih dahulu kepada mas Rama sehingga ia sore-sore begini datang.
"Ini bu,,, " Kata mas Rama.
"Nah begini dong, kalau dengan ibu jangan pernah pelit. Doa ibu itu manjur untuk kamu lo Ram. Ingat itu. Ya sudah ibu pulang dulu. "
"Ya bu. " Jawab mas Rama singkat.
Ibu mertua lantas pergi dari rumah ku ini. Senyumnya mengembang sambil memasukkan lima lembar uang seratus ribuan ke dalam saku daster yang ia pakai. Aku mendekati suamiku yang menghabiskan teh di dalam cangkirnya.
"Mas,,,, " Ucapku pelan.
"Apa lagi Rima? Aku mau mandi, gerah banget nih. " Mas Rama akan beranjak. Namun aku berusaha mencekal nya.
"Bagaimana dengan uang belanja ku yang habis mas. " Kataku. Mas Rama pun menatapku.
"Ini baru hari jumat Rima, dan seperti biasa kan aku akan memberikanmu uang belanja di hari senin. Faham. " Ucap mas Rama.
"Tapi mas,,,, "
"Tidak ada tapi-tapian. Salah sendiri jadi orang kok boros banget. Kamu tidak tahu bagaimana sulitnya mencari uang. Makanya boros. Sudah aku tidak mau ribut. Aku mau mandi dan istirahat. "
Mas Rama pun melenggang ke kamar meninggalkan ku yang masih mematung dalam diam. Baru kali ini kau meminta uang sebelum waktunya, tapi kenapa jawabannya begini. Biasanya uang itu akan habis di hari minggu sore. Tapi karena kemarin token listrik habis dan mas Rama mengatakan jika aku yang harus mengisinya nanti akan ia ganti. Tapi nyatanya, ia bahkan lupa dengan apa yang sudah ia katakan.
Ya Allah, besok aku harus memberi makan anakku dengan apa. Hanya ada beras satu liter dan uangku yang hanya tinggal dua ribu rupiah.
*******
2
Namaku Rima cahaya melati. Sungguh nama yang indah yang diberikan oleh kedua orang tuaku. Namun nasibku tidak seindah namaku. Kedua orang tuaku meninggal sejak aku berumur delapan tahun. Mereka meninggal karena sebuah kecelakaan. Dikampung, kedua orang tuaku termasuk orang yang berada. Mereka mempunyai sawah dan ladang yang luas. Juga memiliki sebuah toko kelontong di rumah. Rumah kami pun tergolong bagus untuk ukuran di kampung.
Sejak orang tuaku meninggal, aku di asuh oleh sepupu dari ibuku. Aku memanggilnya bibi. Ayah dan ibuku keduanya anak tunggal. Begitu pula denganku yang juga terlahir sebagai anak tunggal. Paman, bibi, dan juga kedua anak mereka tinggal di rumah ku saat ini. Mereka memang merawat dan menyekolahkan ku, namun semua hasil ladang, sawah serta toko kedua orang tuaku mereka kuasai. Hingga pada akhirnya aku lulus SMA mereka justru mengusirku. Aku pergi ke kota bersama dengan temanku yang juga ingin merantau. Kami bekerja di sebuah rumah makan dekat pabrik sepatu. Dari sanalah aku bertemu dengan mas Rama yang merupakan karyawan pabrik sepatu di sana. Kami saling dekat hingga akhirnya mas Rama menikahi ku.
Bu Lastri ibu mas Rama sejak awal tidak menyukaiku. Ia mengatakan jika aku perempuan yang tidak tahu asal usulnya. Atau perempuan yang tidak jelas. Padahal sejak awal pertemuan kami aku sudah menceritakan semuanya. Tentang keluarga ku hingga aku bisa merantau ke kota. Semua harta kedua orang tuaku dikuasai oleh paman dan bibi sampai saat ini. Entah bagaimana nasib kabar mereka. Aku yakin mereka hidup senang dengan harta kedua orang tuaku.
Ibu mertuaku tinggal dengan adik iparku. Retno namanya. Retno masih bersekolah di bangku SMA. Hingga seringkali ibu mertua meminta uang kepada suamiku dengan alasan untuk kebutuhan Retno. Padahal, ayah mertuaku seorang pensiunan pegawai negri. Jika untuk makan saja aku fikir cukup untuk mereka berdua. Sebab sekolah Retno juga gratis karena di sekolah negri.
"Rim, ini ada ikan. Tadi aku belinya banyak. Sudah ku goreng, kamu bisa pakai lauk dengan Risky. Oh ya nanti main ya ke rumahku. "
Alhamdulillah, betapa aku bersyukur atas rejeki pagi ini. Aku yang sudah bingung akan makan apa hari ini dengan anakku, Tiba-tiba mbak Yuni tetangga sebelah rumahku memberikan dua ekor ikan goreng. Mbak Yuni jugalah yang sering memberiku makanan dan juga mainan untuk Risky. Anak mbak Yuni juga seorang laki-laki dan saat ini sudah kelas satu sekolah dasar. Suami mbak Yuni adalah seorang guru yang sudah berstatus pegawai negri.
Mas Rama yang sudah tahu jika tidak ada lauk apapun di rumah kami, dan aku pun sudah bilang jika tidak ada uang justru ia malah cuek. Ia memilih berangkat lebih pagi ke pabrik karena ingin sarapan di sana. Enak sekali suamiku itu, hanya memikirkan dirinya sendiri. Ia malah berlagak marah kepadaku dan mengatai ku boros.
"Alhamdulillah mbak, terimakasih banyak. Kebetulan di rumah tidak ada lauk. Hanya ada nasi saja. Sekali lagi terimakasih banyak ya mbak. " Ucapku berbinar senang. Mbak Yuni tersenyum lalu meraih Risky ke pangkuannya.
"Memangnya Rama nggak ngasih uang Rim? " Tanya mbak Yuni yang sedikit tahu mengenai isi rumah tangga ku dengan mas Rama. Bukannya mengadu, namun aku tidak ada tempat lain untuk mengadu selain pada mbak Yuni. Ia sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri semenjak aku tinggal di sini dan menjadi tetangganya.
"Seperti biasa mbak. Dua ratus ribu seminggu. Dan uang itu sudah habis, kemarin Risky demam sehingga aku harus membawanya ke bu bidan. " Jawabku sambil meletakkan ikan goreng pemberian mbak Yuni pada tempat yang baik supaya tidak digondol oleh kucing.
"Rama tahu anak kalian kemarin demam? " Tanya mbak Yuni. Risky pun tenang dipangkuan mbak Yuni sebab diberikan mainan. Mainan lama yang masih bisa dipakai dengan baik.
"Tahu lah mbak. Tapi ya begitu, ia cuek. Malah aku dikatain boros. " Jawabku.
"Yang sabar ya Rim. Aku doakan semoga Rama segera sadar. Kalau ada waktu berdua, kamu coba omongin lah. Gaji Rama itu gede lo Rim. Suami temanku ada juga yang kerja di sana. Kenal Rama juga kok. Gajinya tuh kalau tidak salah hampir empat jutaan lo. Suamimu kan bukan buruh, tapi sudah di kantornya. " Jelas mbak Yuni.
Selama ini aku memang tidak mengetahui dengan jelas berapa gaji suamiku. Mas Rama hanya mengatakan jika ia sedang berusaha keras untuk menabung. Alhasil ia memang bisa membeli rumah ini. Belinya pun cash atau kredit aku juga tidak ia beri tahu. Setiap aku tanya pasti akan membentak dan mengatakan,,,
"Tinggal menghuni saja jangan banyak tanya kamu. "
Itulah jawaban mas Rama saat aku tanya tentang rumah ini. Dan aku hanya bisa diam. Sampai saat ini.
"Benar mbak gajinya mas Rama sampai segitu? " Tanyaku tidak percaya.
"Iya Rima. Kamu nih terlalu lemah deh. Kalau aku jadi kamu, sudah aku ajak gelud itu si Rama. Hehehee. Maaf ya Rim bukannya aku mengajarimu jelek. Tapi memang aku kadang gemes sama kamu. Nurut banget sih jadi istri. " Kata mbak Yuni.
"Yahhh, bagaimana nggak nurut mbak. Aku nggak punya power untuk melawan. Aku mau kerja juga tidak bisa mbak. Ada Risky yang harus aku jaga. Terus aku juga cuma lulusan SMA mbak. " Ujarku. Mbak Yuni pun mengangguk. Ia nampak bingung harus menjawab ucapan ku. Akhirnya kami hanya bercanda.
Mas Rama sudah tidak seperti dulu yang sopan dan halus. Entah ada apa dengan suamiku itu. Ia menjadi sosok suami yang pemarah dan tidak perduli dengan anak kami. Semua itu jelas aku rasakan semenjak kami pindah dan tinggal di rumah ini.
"Aku pulang dulu ya Rim. Jangan lupa nanti ke rumahku. Kita buat seblak dan makan bersama. " Kata mbak Yuni yang sudah ada di teras rumah.
"Baik mbak. Aku mau beres-beres dulu. Sekali lagi terimakasih banyak. "
"Sama-sama Rima. "
Mbak Yuni pernah mengatakan jika ia sudah menganggap ku seperti adiknya sendiri. Ia yang asalnya juga dari jauh dan di sini tidak ada sanak saudara. Mertuanya pun rumahnya agak jauh dari sini. Sehingga mereka juga jarang bertemu. Saudara-saudara dari mas Ramli suaminya mbak Yuni juga semua jauh. Bahkan ada yang diluar negri dan sudah menetap di sana.
Aku bergegas menyuapi Risky dengan nasi dan ikan pemberian mbak Yuni. Betapa aku bersyukur, Allah masih selalu melindungi ku dan anakku serta memberikan rejeki untuk kami makan. Tanpa sayur, Risky makan dengan lahap. Mbak Yuni pandai membumbui ikan goreng. Rasanya sungguh gurih. Aku pun makan dengan lahap.
Risky tertidur setelah perutnya kenyang. Anakku itu memang tahu bagaimana keadaan ibunya. Ia akan tidur di saat aku akan membereskan rumah. Mencuci baju dan merapikan rumah yang tidak terlalu besar ini.
Aku bergegas mengerjakan pekerjaan rumah yang memang menjadi kesibukan ku sehari-hari. Setelah memastikan Risky tidur dengan nyaman. Tidak lupa aku berikan obat nyamuk yang jaraknya agak jauh, supaya Risky tidak di gigit nyamuk yang kata bu bidan bisa berbahaya. Apalagi saat ini di musim hujan, wabah demam berdarah banyak menyerah anak-anak. Oleh sebab itu, Anak-anak benar-benar perlu dijaga supaya tidak digigit nyamuk.
"Rima,,,, Rim.. Assalamu'alaikum.. " Terdengar suara mas Rama. Loh, tapi ia kok tiba-tiba pulang sih. Aku pun gegas ke depan.
"Wa'alaikumsalam, mas kok sudah pulang? " Tanyaku.
"Aku hanya sebentar. Mau ambil dokumen di kamar. Minggir kamu aku mau lewat. " Mas Rama sedikit mendorong tubuhku agar minggir. Andai saja mas Rama mau membelikanku sebuah HP. Pastilah ia tidak perlu capek-capek pulang ke rumah untuk mengambil dokumen yang tertinggal. Ia tinggal menelpon ku dan aku akan mengantarkannya. Ah,,, aku hanya bisa berangan saja bisa memiliki benda pilih yang kata orang begitu pintar.
Tidak berselang lama, mas Rama kembali ke depan. Aku dari tadi juga tidak beranjak.
"Nggak makan dulu mas? " Tanyaku. Padahal di rumah hanya ada nasi dan satu ekor ikan goreng dari mbak Yuni tadi.
"Enggak, aku sudah makan. Aku balik. "
Mas Rama buru-buru meninggalkan ku dan menaiki motornya. Padahal aku ingin salim. Ya Allah, kenapa suamiku menajdi seperti ini. Kenapa kehidupan rumah tangga ku seperti ini. Berbeda jauh dengan semua janji mas Rama yang pernah ia utarakan kepadaku saat kami belum menikah dulu. Apakah itu yang dinamakan janjinya buaya, astaghfirullah. Suamiku bukanlah seorang buaya. Aku yakin ia akan kembali menjadi baik. Suatu hari nanti....
*******
3
Sesuai janjiku, siang ini setelah sholat dhuhur dan Risky sudah bangun tidur aku mengajaknya ke rumah mbak Yuni. Alhamdulillah anakku risky selalu senang aku ajak ke rumah tetangga sampingku ini. Apa karena di rumah mbak Yuni banyak makanan dan mainan, atau hal yang alin entahlah. Aku juga merasa nyaman di rumah orang yang usianya sekitar lima tahun di atasku ini.
"Assalamu'alaikum... " Ucapku saat sudah di halaman rumah yang Yuni. Rumah ini dua kali lipat lebih besar dan lebih luas dari rumahku. Halamannya bersih dan tertata rapi. Penuh dengan bunga-bunga yang indah dan terawat.
"Wa'alaikumsalam. Sini Rim" Jawab mbak Yuni dari samping rumahnya. Aku pun buru-buru ke sana. Eh ternyata ada yang lain. Ada mbak sari, mbak Niken dan juga mbak Ayu. Mereka juga membawa anak-anak mereka. Aduh aku jadi merasa minder nih. Dari mereka semua akulah yang paling mudah dan juga yang paling kucel. Pakaian ku juga paling jelek. Mau balik pulang, tapi nggak enak hati sama mbak Yuni.
"Sini Rim. Tidak usah malu-maku begitu. Seperti sama siapa saja. " Kata mbak Ayu kepadaku. Istri dari seorang pengusaha toko kelontong besar yanga da di pasar ini nampak sederhana dengan bajunya yang bersih dan wangi. Juga dengan riasan wajah yang natural.
"I-iya mbak Ayu. Maaf ya aku ke sini nggak bawa apa-apa. " Ucapku.
Mbak yuni menggelar tikar di teras samping rumahnya ini. Di atas tikar ada banyak makanan yang sudah tersaji. Ada banyak roti dan juga gorengan. Buah-buahan juga ada. Aku yakin ini adalah makanan bawaan dari mbak Sari, mbak Niken dan mbak Ayu. Sedangkan aku, aku datang hanya dengan tangan kosong. Sungguh malunya aku.
"Tidak perlu begitu Rim. Kami senang mengundang kamu untuk gabung. Kan kamu selalu di rumah saja. Oh ya, kami mau buat seblak tapi bingung bagaimana bumbunya. " Kata mbak Niken yang diangguki oleh semuanya. Alhamdulillah, masih banyak orang-orang baik yang mau berteman denganku. Setidaknya aku tidak akan sendirian di lingkungan ini. Benar kata mbak Niken, aku selalu hanya di rumah. Seolah tidak peduli dengan lingkungan. Padahal itu semua aku lakukan karena aku minder jika harus berkumpul dengan orang-orang.
"Terimakasih ya mbak-mbak sekalian. Oh ya insyaallah aku bisa kok membuat seblak. Bagaimana? Apakah diijinkan. " Tanyaku.
Mereka saling beradu pandang. Mungkin tidak yakin jika aku bisa membuat makanan khas bandung itu. Dulu saat amaih bekerja di rumah makan aku dan temanku yang orang bandung asli suka membuat seblak untuk kami makan bersama. Dan ia memberitahu resep yang enak. Dan buktinya memang benar-benar enak.
"Boleh Rim. Boleh banget. Itu bahan dan semuanya sudah siap. Oh ya Risky biar mainan atau makan buah ya. Sini biar aku jaga. " Kata mbak Yuni meraih Risky dair pangkuan ku. Seperti biasa, anakku akan nurut dengan mbak Yuni.
Aku mulai membuat bumbu yang resepnya sesuai dengan apa yang aku tahu. Memulai memasak seblak dengan harapan hasil masakanku akan enak dan disukai oleh semuanya. Kami saling bercanda, di sini aku bisa tertawa lepas tanpa beban. Berbeda jika di rumah. Bahkan untuk tersenyum pun aku tidak bisa. Apalagi jika ibu mertuaku datang, yang ada justru rasa tekanan batin yang teramat berat.
"Silahkan mbak. "
Seblak yang sudah jadi aku hidangkan pada mereka. Asap masih mengepul karena baru saja aku angkat dari wajan. Segera aku ambil Risky anakku dari pangkuan mbak Yuni, supaya ia bisa mencicipi seblak buatanku.
"MasyaAllah, ini enak banget Rim. Kamu kok bisa sih buat seblak seenak ini. " Ujar mbak Niken yang sejak tadi sudah tidak sabar ingin mencoba seblak buatanku. Mungkin indra penciuman nya yang tajam sejak tadi mencium aroma yang sudah mengebul.
"Iya enak banget. Gurih dan pas. Pokoknya enak. " Tambah mbak sari yang juga sudah muali makan seblak.
"Ini seblak yang paling enak yang pernah aku makan. " Tambah mbak Ayu.
"Iya Rim, kamu kok bisa sih membuat seblak seenak ini. Dari semua tempat yang jual seblak, ini paling enak. " Imbub mbak Yuni.
"Setuju banget. Kalau seperti ini ada baiknya kamu jualan seblak deh Rim. Pasti laris manis. Yakin deh. " Kata mbak Yuni lagi. Semua juga mengangguk setuju.
Menjual seblak ya, apa aku bisa?? Kalaupun aku bisa tapi aku dapat modal dari mana. Lalu, aku jual dimana? Apa di depan rumah. Bisa ngamuk mas Rama jika tahu aku berjualan di depan rumah. Andai saja aku punya HP, pasti enak ya aku bisa berjualan online.
"Hei Rima, kok malah bengong sih. " Kata mbak Niken yang cukup mengagetkan ku. Aku melamun karena usulan mbak Yuni tadi.
"Eh i-iya maaf mbak. Sudah monggo dihabiskan seblak nya. Kalau kurang nanti aku buatkan lagi. Bahannya masih banyak sekali tuh. " Tunjuk ku pada bahan-bahan yang begitu banyaknya. Mbak Yuni menyediakan banyak untuk kami semua.
"Boleh Rim. Aku mau bawa pulang deh. Baut di rumah. " Kata mbak Ayu.
"Iya juga, aku juga mau Rim. Tapi nggak apa nih kamu masak lagi? " Imbuh mbak Niken.
"Sama sekali enggak apa-apa mbak. Lagian pekerjaan rumahku juga sudah selesai. Dan suamiku pulangnya nanti sore. Nggak apa kalau aku masak lagi. " Kataku.
Jam tiga sore aku pulang dari rumah mbak Yuni. Tangan ini sampai pegel saking banyaknya makanan yang mereka bawakan untukku. Soal jualan seblak, mbak Yuni bilang akan membantuku. Tapi kami belum membicarakan lagi sebab ada yang lain. Aku hanya mengangguk pasrah, biarlah Allah memberikan jalan kepadaku. Jika mbak yuni lah jalan dari Allah itu, aku akan sangat bersyukur. Aku sungguh ingin mempunyai pengahasilan sendiri. Supaya aku tidak selalu pusing mengatur uang dua ratus ribu dalam seminggu.
"Banyak sekali makanannya Rim. Katanya uangmu habis. Kok bisa ada makanan sebanyak ini. Kamu sudah pandai berbohong ya sekarang. " Kata mas Rama dengan entengnya kepadaku. Bukannya bersyukur ada makanan lebih di rumah. Eh ini malah mengatai ku berbohong.
"Aku tidak berbohong mas. Aku memang sudah tidak memegang uang saat ini. Sedangkan hari senin masih lusa. Ini makanan di beri oleh mbak Yuni. Risky juga dikasih banyak jajan dan buah. Alhamdulillah. Ayo kita makan mas. " Ucapku sambil menahan emosi.
Menghadapi mas Rama memang harus kesabaran ekstra. Jika ia dihadapi dengan emosi, sama saja. Aku tidak akan menang berdebat dengannya. Mas Rama banyak alasan dan sekarang pandai berbicara.
"Jangan terlalu dekat dengan tetangga. Mereka itu bisanya cuma nyinyir saja. Kalau dikasih makanan terlalu sering juga jangan mau. Takutnya mereka ada niat jelek. Di jaman sekarang kita harus pandai-pandai jaga diri. Banyak orang yang terlihat baik namun hatinya jahat. " Ucap mas Rama.
Astaghfirullah, justru yang terlihat baik namun jahat itu kamu sendiri mas. Kamu jahat pada istri dan anakmu. Namun dimata orang kamu terlihat sebagai suami dan ayah yang membanggakan. Aku menggelengkan kepala kesal pada mas Rama.
"Kamu makanlah dulu, aku mau mandi. " Kata mas Rama lagi lalu ia meninggalkan ku.
Banyaknya makanan ini ada yang kusimpan di kulkas untuk besok. Tinggal aku hangatkan dan membuat nasi. Sekali lagi aku bersyukur, aku tidak harus pusing lagi memikirkan makan untuk besok. Tapi, aku pusing bagaimana aku akan berbicara dengan mbak Yuni soal aku mau jualan seblak. Sedangkan besok itu minggu dan mas Rama akan di rumah seharian. Duh, pusing juga kan.
*******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!