“Yusuf, sudah sore mandilah dulu sebelum ibumu datang dan membuat kebisingan dengan pidatonya,” kataku.
Sadar akan yang aku katakan Yusuf pun segera merapikan mainan-mainan miliknya. Kemudian ia mengambil handuk dan bersiap ke kamar mandi.
Sepertinya dia juga sudah mulai bosan mendengar ceramah sore ibunya jikalau sudah lebih dari jam 17.00 dia masih berkutat dengan mainannya.
“Yusuf mana mas?”, tanya istriku yang tiba-tiba sudah berada di tengah anak tangga.
Aku berpura-pura mencarinya.
“Ah, mungkin dia sedang mandi”, sahutku.
Aku meneruskan membaca bacaanku yang sedari tadi aku lakukan.
Istriku menajamkan telinganya dan setelah memastikan terdengar suara gemericik air dari kamar mandi ia pun kembali naik ke atas.
“Sudah sore mas, jendelanya. Tolong.”, terdengar titah dari satu-satunya perempuan yang tinggal di rumah ini.
“Aku pun tahu kalau hari sudah sore”, batinku.
Aku menyelesaikan paragraf terakhir dari bab yang sedang aku baca.
Setelah itu aku meresponnya dengan menyalakan lampu halaman teras rumah yang bisa dikonfirmasi oleh istriku dari jendela lantai dua.
Aku pun menutup pintu dan mengunci jendela-jendela untuk menyambut langit yang sudah mulai gelap.
Jangan salah sangka. Istriku tidaklah semanja dan sediktator itu.
Justru dia adalah orang yang perfeksionis makanya ia tadi membunyikan alarmnya.
Biasanya ia melakukan apa yang bisa dikerjakannya sendiri, mungkin karena dia sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Aku, istriku tercinta, dan juga Yusuf jagoan kami adalah penghuni rumah bergaya minimalis dengan dua lantai ini. Kami baru beberapa hari menempati rumah baru ini.
Diperlukan waktu hampir satu bulan untuk merenovasi rumah tua yang diwariskan oleh orangtuaku ini sebelum akhirnya kami benar-benar bisa mendiaminya.
Ya, rumah ini adalah rumah masa kecilku. Sekarang aku dan keluargaku tinggal di lingkungan dimana aku tumbuh dulu.
“Sayang apakah kamu sudah siap?”, istriku memanggil.
Aku sudah ada janji dengannya.
Semua berawal ketika tadi siang aku menyuruh Ana untuk membeli bohlam lampu untuk mengganti bohlam lampu dapur yang mati.
Dia pergi ke warung yang ternyata pemilik warung itu adalah seorang tua yang memang dari dulu ia sudah tinggal di desa ini.
Pak tua itu bertanya siapakah gerangan istriku, katanya ia jarang bahkan belum pernah sekalipun melihatnya.
Kemudian Ana menerangkan bahwasanya dia adalah istriku dan reaksi dari pak tua itu adalah,
“Oh Sapto yang sering bersama Yusuf itu?”.
Aku memang pernah sedikit menyinggung tentang Yusuf kepada Ana bahwasanya dia adalah temanku dari kecil.
Istriku pun berlalu setelah mengakhiri percakapan dengan pak tua pemilik warung itu.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Ana berpapasan dengan salah seorang warga desa yang rupanya masih belum dikenalnya.
Seorang ibu muda yang usianya seusia dengannya pun menyapa dan mereka saling berkenalan layaknya seseorang yang baru pertama kali bertemu.
Sama seperti pak tua pemilik warung tadi, perempuan yang usianya juga sebaya denganku itupun merupakan warga asli desa Tunggal ini dan seusai istriku memperkenalkan diri,
“Oh mas Sapto yang suka bareng sama mas Yusuf”,
Itulah yang dikatakan perempuan itu dengan ekspresi yang sama dengan pak tua pemilik warung dimana Ana baru saja dari sana.
Bagi insting Ana kejadian berurutan dari perkenalannya dengan pak tua dan perempuan tadi yang dalam percakapannya sama-sama menyebutkan nama Yusuf bukanlah suatu kebetulan dan tentu saja itu membangkitkan rasa keingintahuannya.
Ketika sampai di rumah Ana menceritakan perkenalan dan percakapan yang baru saja ia alami dan memberondong ku dengan pertanyaan-pertanyaannya.
Aku sempat ingin mengelak dengan alasan ingin memasang bohlam yang telah dibelinya. Tapi ia bersikeras ingin tahu sebenarnya ada kisah apa antara aku dan seseorang yang bernama Yusuf yang sepertinya begitu dikenal di kampung ini.
“Bukankah dulu aku sempat menyebutkan kalau dia adalah temanku dari kecil”, setelah menghela nafas panjang aku mencoba menjelaskannya.
“Nanti saja. Malam hari sepertinya lebih tepat untuk menyimaknya,” kata Ana.
Sepertinya ia bisa membaca wajah berat di mukaku ketika aku ingin menceritakannya. Sehingga ia memintaku untuk menceritakannya nanti saja.
“Sayang ayolah”, itu suara Ana yang kembali memanggilku dengan rayuannya.
Mungkin inilah saatnya aku menceritakan tentang kisah sahabatku ini.
Aku pun naik ke lantai dua dimana dia sudah menunggu.
Setelah sepertinya ia selesai dengan segala cerita-ceritanya kini giliranku yang akan bercerita untuknya.
Istriku adalah seorang penulis, mungkin siapa tahu kisahku ini bisa memberikannya inspirasi dalam menulis buku-bukunya.
“Apakah Yusuf ku sudah tidur?”, tanya istriku tentang Yusuf buah hati kami.
“Aku sudah memindahkannya ke tempat tidur ketika tadi ia tertidur saat menonton televisi”, jawabku.
“Sekarang bagaimana dengan Yusuf mu, lekas ceritakan lah”, serunya.
Aku duduk disebelahnya yang sudah terlebih dahulu menyamankan posisi duduknya di sofa berwarna ungu favorit kami.
Dan akupun mulai bercerita.
Desa ini hanya terdiri dari satu dukuhan saja. Jika biasanya satu desa itu terdapat beberapa dusun, tidaklah dengan desa tempat dimana aku dilahirkan ini.
Mungkin itulah mengapa desa ini dinamakan desa Tunggal yang bisa berarti satu atau pun sendiri.
Jalanan aspal yang tidak terputus sampai di depan desa dahulu belumlah ada. Jalan yang dijadikan lalu-lalang oleh orang-orang dahulu adalah jalanan tanah yang kontur jalannya akan mengikuti bagaimana situasi langit.
Akan terasa keras dan panas di sepanjang musim kemarau. Jalanan juga akan berubah menjadi lembek dan berlumpur ketika air terus-terusan mengguyur di sepanjang musim penghujan.
Bangunan-bangunan yang berderet-deret itu dulunya adalah tanah lapang dan juga kebun-kebun dimana tempatku dulu biasanya bermain.
Udara sekarang sudah mulai mengikuti hawa udara di perkotaan.
Pagi yang dulu benar-benar terasa segar dan terasa sangat nyaman dengan hawa yang begitu sejuk yang memanjakan hidung dan wajah, sekarang udara didominasi asap-asap pabrik dan asap-asap dari ramainya kendaraan yang tanpa malu-malu langsung mengancam paru-paru.
Tunggal terletak di pelosok sekaligus terpencil. Jarak antara desa kami dengan pemukiman terdekat berkisar 25 KM dan itu satu-satunya jalur yang menghubungkan kami dengan sumber kehidupan lainnya.
Sawah, ladang dan juga kebun mengitari pemukiman warga. Tidak jauh dari rumah-rumah penduduk terlihat hutan yang masih rimbun dan nampak liar. Sungai yang menjadi sumber air bisa kami tempuh hanya dalam waktu kurang dari lima menit.
Bisa kalian bayangkan bagaimana suasana pedesaan zaman dahulu yang biasa diperlihatkan dari lukisan-lukisan buatan orang-orang dulu.
Keasrian, kesejukan dan ketenangan hidup berdampingan dengan alam sekitar yang masih begitu alami.
Seperti itulah layaknya desa Tunggal dimana dulu aku tinggal.
Selaras dengan tata letak geografis kami, penduduk di sini hampir semuanya mengerjakan hari-harinya dari pagi hingga petang di ladang dan di persawahan. Bercocok tanam adalah mata pencaharian yang kami kerjakan.
Hidup di negeri yang tropis ini memang menjadi keuntungan tersendiri bagi petani seperti kami.
Tanah Tunggal sangatlah subur. Dalam rentan 1 tahun kami bisa 2-3 kali menuai hasil panen. Padi menjadi produk unggulan kami sejalan dengan salah satu visi pemerintahan pada masa itu yang menginginkan bangsa ini mampu berswasembada dalam pangan.
Pertama kalinya desa ini dihuni hanya terdapat tidak lebih dari 25 kepala keluarga, merekalah yang menjadi penduduk awal desa ini.
Rumah-rumah kayu dengan halaman depan yang luas.
Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain yang masih berjauhan.
Aku sangat beruntung ketika masa kecilku aku langsung bisa bersekolah. Aku dan teman-teman sebayaku adalah murid angkatan pertama di Sekolah Dasar Tunggal.
Sedangkan anak-anak desa yang umurnya lebih tua dariku jarang ada yang bersekolah. Mereka bukannya tidak mau untuk menuntut ilmu, tapi tidak adanya fasilitas pendidikan yang memang kala itu belum ada di desa kami meskipun sudah dijanjikan dan ditagih berulang-ulang.
Begitu juga yang terjadi dengan jaminan kesehatan kami. Puskesmas terdapat di kota Kecamatan yang jarak tempuhnya sangat jauh dan belum ada alat transportasi yang selalu bisa membawa kami setiap harinya ke sana menjadi satu-satunya rujukan kami jika ingin berobat dan memerlukan penangan kesehatan lainnya.
Satu minggu sekali petugas dari puskesmas datang ke desa, itu pun hanya tertera di jadwalnya saja. Apalagi jikalau musim hujan tiba akses jalan menuju desa medannya menjadi sulit untuk dilalui.
Itulah gambaran umum tentang desa Tunggal tempat dimana aku menghabiskan masa-masa kecilku hingga aku tumbuh cukup dewasa untuk pergi meninggalkannya.
Dia memang lebih tua dariku, dia selalu berkeyakinan bahwa jarak usia antara aku dengannya hanya hitungan bulan meski faktanya dia empat tahun lebih tua dariku.
Dia juga merasa jauh lebih tinggi dariku meski faktanya hanya, ya mungkin cuma 3 cm saja.
Dia adalah orang yang sangat percaya diri dan dia dikenal sebagai anak muda yang sangat pemberani di desa ini.
Walaupun menurutku kadang-kadang tindakannya adalah sebuah kecerobohan karena keras kepalanya yang tidak mengindahkan pendapat orang-orang disekitarnya.
Pernah di suatu malam dia benar-benar menjadi bintang di desa Tunggal.
Si kurus Yusuf begitu dielu-elukan oleh warga bahkan aku sendiri waktu itu terheran-heran dengan sikapnya.
“Hi hi hi... hi hi hi.... hi hi hi... hi hi hi....”,
Suara itu sudah dua malam berturut-turut didengarkan oleh penghuni rumah yang berada di sekitaran pohon besar yang menjadi sumber suara yang mencekam dan mengerikan itu.
Suara itu biasanya akan dimulai pukul tengah malam lalu menghilang setengah jam kemudian.
Saat itu aku yakin semua orang yang mendengar rengekan mengerikan itu hanya akan terdiam di tempat tidurnya dan berdoa dengan diselimuti ketakutan.
Tepat dimana malam ketiga suara itu terdengar, tiba-tiba,
“Tenang, tenang. Tidak usah takut.”
Aku mengenali suara itu. Itu suara Yusuf.
“Ayo semua keluar aku kasih lihat,”
kata Yusuf dengan lantangnya mengajak orang-orang yang mendengar suara dari pohon besar itu untuk keluar dari rumah dan juga dari rasa takut mereka.
Satu per satu penghuni rumah keluar termasuk juga aku.
Ketika kami sudah di luar rumah dan menuju ke pohon besar, dengan perasaan heran kami saling pandang.
Di bawah pohon itu sudah ada Yusuf yang sedang tersenyum-senyum menunggu kedatangan kami.
Yusuf menggoyang-goyangkan pohon yang berukuran pelukan dua orang dewasa itu.
Terdengar suara yang tidak asing yang sudah dua malam ini membuat pikiran kami kalut dalam ketakutan.
“Buk...!”,
sesuatu jatuh dari atas pohon dengan cukup keras dan kemudian sesuatu itu berlari kencang menuju kegelapan malam.
“Itu cuma luwak pohon. Sudah tidak usah takut lagi, aku yakin luwak itu sudah kapok tidak akan ke sini lagi. Kalau besok malam luwak pohon itu berisik lagi biar aku tangkap”,
Yusuf dengan bangganya menjelaskan kepada kami bahwasanya yang selama ini mengusik kami hanyalah seekor luwak pohon yang nampaknya sedang menggoda lawan jenisnya untuk kawin.
Para warga begitu kagum dan juga mengelu-elukannya.
Tapi ada juga yang kurang berkenan dengan sikap pongah dan sombong Yusuf yang nampak jelas dari ekspresi wajahnya.
“Ayo Sapto balik ke kamarmu. Sudah tidak usah takut lagi”,
sapa Yusuf pada ku dengan mengedipkan mata dan senyum bangganya.
Aku menjawabnya dengan sedikit sunggingan senyum di bibirku.
“Kampret”, batinku.
Pagi harinya seperti biasa aku mencari rumput di sekitaran ladang dan hutan untuk pakan kambing-kambing peliharaan.
Di pagi yang cerah itu aku tidak sendirian, Yusuf juga sedang mencari rumput untuk peliharaannya.
Kami berjalan dari rumah kami yang berdekatan menuju ke pematang sawah luas para warga desa Tunggal yang menjadi batas antara pemukiman penduduk dengan hutan lebat yang sudah terlihat begitu segar dengan warna hijaunya yang diterangi sengatan matahari pagi.
Dia belum mengucapkan sepatah katapun sambil mengasah sabitnya dengan wungkal.
Tapi aku bisa melihat dari gelagatnya pria sawo matang dengan rambut cepak yang tidak terlalu rapi ini begitu sumringah.
Tentu saja itu karena kejadian semalam yang masih terasa manis dipikirannya. Dan itu juga yang menggangguku dari tadi ketika dia menatapku dengan penuh kemenangan.
“Suf”, aku membuka pembicaraan dengan nada yang datar.
“Ada apa gerangan adik Sapto pencari rumput? Adakah pertanyaan yang ingin engkau ajukan”?,
dia menjawab dengan senyum tengil dan bahasa bergaya kesajak-sajakannya yang ia tirukan dari buku-buku yang baru-baru ini sering ia baca.
“Kampret”, gerutuku.
Dia pun tertawa lepas.
“Bagaimana kamu tahu kalau yang ada di pohon itu adalah seekor luwak?”,
aku mengajukan pertanyaan dengan serius.
Ia pun kembali tertawa sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.
“Di malam pertama waktu suara itu terdengar aku merinding To, ngeri. Dalam pikiranku ini pasti setan dari hutan. Kemudian ajaibnya To pada saat itu tanpa rekayasa, perutku mules aku ingin buang air besar.”,
dengan sedikit kesal dia menceritakannya.
“Terus Suf?”,
aku penasaran dengan kelanjutan ceritanya yang ia sampaikan dengan penuh gaya ini.
“Ya mau gimana lagi To. Dengan memantapkan hati dan pikiran, menundukkan rasa takut atau bisa juga disebut dengan karena kepepet ya aku pergi ke jamban di luar. Dan dari mulai jongkok aku sambil terus memandangi pohon besar itu To. Kamu bisa bayangkan betapa mencekamnya suasana saat itu dan betapa beraninya aku.”
“Masih bisa-bisanya dia sombong saat sedang bercerita tegang seperti ini”, ungkapku dalam hati.
“Tapi tiba-tiba suara itu berhenti dan dari atas pohon turun sosok makhluk dengan cepatnya. Sempat luwak itu berhenti ketika sampai di bawah dan tolah-toleh, kemudian dia berlari ke arah semak-semak dan menghilang”, Yusuf melanjutkan ceritanya.
“Kalau aku tidak sedang dalam keadaan darurat sudah kukejar luwak itu”, kini ia bertutur dengan kesal.
Giliran aku sekarang yang tertawa mendengar keseluruhan cerita yang terjadi pada dirinya.
Ia pun menjelaskan bahwa tindakannya tadi malam dengan membangunkan sebagian orang-orang rumah supaya mereka jadi tidak gampang takut dan cepat menyimpulkan kalau ada suatu peristiwa terjadi.
Dia juga bilang itu adalah tindakan balas dendamnya kepada si luwak agar tidak berani datang ke pohon dekat rumah warga lagi. Bahkan ia juga berencana untuk menangkap luwak itu jika si luwak kembali datang.
Jika ada yang tidak aku sukai dari Yusuf adalah sikapnya yang tidak mau mendengarkan pendapat orang lain.
Jika ia sudah yakin akan sesuatu hal maka dengan mudahnya ia akan mengabaikan saran-saran dari teman-temannya.
Ataukah memang itu sebuah sikap yang dimiliki oleh kebanyakan orang?
“Kamu tidak ingin merantau seperti teman-teman sebaya mu yang lainnya Suf?”, tanyaku.
“Nggak perlu kayanya To. Nanti simbahku sendiri.”
“Kan masih ada aku, ada ibuku dan tetangga-tetangga yang lain”, timpalku.
“Ya tidak bisa begitu. Kalian kan juga punya keluarga sendiri jadi tidak bisa setiap waktu bisa menemani simbahku," kata Yusuf.
Perdebatan kecil yang sering kami lakukan.
Aku sering menanyakan akan sikapnya yang tetap bertahan di desa. Sedangkan orang-orang sepantarannya sudah berada jauh merantau di kota mencari pekerjaan di lingkungan luar sana untuk mencari rizki dan mengasah kemampuan mereka di bidang yang baru.
Setidaknya itulah yang sebagian besar pemuda Tunggal lakukan yang hanya berbekal pendidikan sekolah dasar dan bermodal fisik yang sudah tertempa sejak kecil dengan bekerja membantu orang tua di sawah dan ladang.
Dengan begitu yang tersisa di desa adalah para orang-orang tua, anak-anak kecil dan beberapa remaja tanggung sepertiku yang kesehariannya berkutat dengan alam.
Seperti halnya Yusuf yang hanya tinggal dengan neneknya. Begitu pun juga aku yang hanya tinggal dengan ibuku.
Aku tinggal dengan ibuku untuk sementara waktu dikarenakan bapak dan juga kakakku yang pergi merantau ke pulau seberang.
Sedangkan Yusuf hanya tinggal dengan neneknya sudah sejak dari kecil dikarenakan kedua orang tuanya yang berpamitan untuk bekerja ke luar negeri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!