Diantara gelapnya malam, seorang gadis nampak terduduk di atas sebuah gedung. Pandangannya kosong menghadap langit gelap tanpa bintang, dalam dekapannya nampak sebuah buku lusuh. Entah bintang tak terlihat akibat cahaya bumi yang terang atau karena memang awan gelap menyelimuti, yang jelas malam itu langit tak menampakkan sedikitpun cahayanya.
Di sisi lain, sesosok pria nampak berdiri tegak di tepi gedung, pandangan si gadis langsung tertuju pada sosok tersebut dan mengetahui maksud di baliknya.
Siang itu PHK besar-besaran terjadi di perusahaan yang kini hampir bangkrut itu, tanpa terkecuali gadis bernama Alena ini.
Hidup sebatang kara sejak kecil bukanlah hal yang mudah, namun tuhan memberikan berkat padanya dengan otak yang sedikit cerdas. Meski saat ini dia terkena PHK, namun beberapa perusahaan sudah mengirimkan undangan kepadanya untuk bekerja. Dia juga salah satu lulusan sebuah universitas ternama dan akan segera lulus sebagai Doktor muda tahun ini.
Sangat mudah baginya mendapatkan pekerjaan baru, namun untuk beberapa orang yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan ini tentulah bukan hal mudah. Mereka memiliki banyak beban di dunia ini, bukan hanya dirinya sendiri melainkan hidup orang lain juga.
Langkah Alena akhirnya mendekat dan kian mendekat, sosok pria itu juga kian melangkah membuat langkah Alena di percepat dan terus di percepat.
Bruk!
"Aaa..!" Teriak Alena saat kakinya tersandung dan terjatuh dari lantai 30 gedung tersebut, terikan itu seolah tak ada yang mendengar selain sosok pria yang hendak dia tolong kini justru menjatuhkan tubuhnya dan merih tangannya. Buku di tangan Alena jatuh berserakan, lembaran buku itu menghambur bersama angin malam.
"Terima kasih." Bisik pria tersebut di atara angin yang seolah menghempaskan tubuh mereka, sebuah cahaya kemerahan nampak keluar dari kening pria itu dan matanya berubah menjadi merah.
Alena seketika terkejut melihat perubahan itu, hingga tangannya terlepas dan perasaannya menghilang. Semuanya seolah terlepas hal yang menjadi beban seolah terhempas.
Brak! Tiiin! Tiiiin!
Suara keras terdengar nyaring menghantam atap mobil dan Alena tak merasakan apapun, tangannya tak merasakan apapun kepalanya yang berdarah tidak dia rasa. Atau lebih tepatnya, Alena menyaksikan kejadian yang menimpa dirinya sendiri. Buku kesayangannya kini berhamburan dan terbang.
Mata Alena langsung menengadah menatap pria tanpa sayap di antara angin yang kian menghilang, matanya nampak berair membuat perasaan Alena menjadi bimbang seketika. Gelar Doktor yang sekejap lagi akan dia miliki hanya menjadi abu sekarang.
Pria itu menarik lengan Alena dan menempelkan keningnya di kening Alena, mata Alena langsung bersitatap dengan mata merah yang kini terpejam itu. Pria itu perlahan menjadi bayangan dan tangan Alena terasa dingin.
"Terima kasih, Alena." Tutur pria itu lagi dengan kurang ajarnya dia menempelkan bibirnya yang hampir menghilang pada kening Alena.
Alena mengedipkan matana saat pengelihatannya menjadi gelap, tangannya berubah dingin. Tubuh Alena tiba-tiba terasa mengigil dan matanya kembali berkedip hingga sebuah cahaya kian merasuk dalam pelupuknya.
"Aleeena!" Terdengar sebuah terikan yang begitu nyaring menyadarkan Alena dalam diamnya dan matanya kembali berkedip.
Tangannya terangkat menyentuh keningnya yang terasa berdenyut, pemandangan putih bersih mulai terlihat oleh Alena, ranting dan suhu dingin yang sangat menusuk.
Mata Alena seketika membulat dan tubuhnya langsung terduduk, matanya langsung mengarah ke arah sekitar dan menangkap sosok wanita yang nampak menangis menatapnya dengan sendu.
"Kamu tidak apa-apa sayang?" Tanya wanita itu dengan lembut langsung memeluk Alena dengan hangatnya, Alena mengedipkan kembali matanya.
"A-anda siapa?" Tanya Alena yang memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, mata wanita itu tiba-tiba berkaca-kaca.
"Kenapa kalian diam saja? Cepat panggilkan tabib!" Perintah wanita itu pada beberapa orang di belakangnya, Alena semakin bingung dan di bantu untuk berdiri oleh wanita itu.
Alena di bawa masuk ke dalan sebuah kamar yang membuat Alena menjadi sedikit bergidik ngeri, semua benda di dalamnya berwarna merah muda. Begitu banyak lukisan dan boneka, pernak-pernik bahkan penangkal mimpi buruk juga nampak terpajang beberapa.
"Bagaimana tabib?" Wanita itu kembali bertanya, saat Alena selesai di periksa. Tabib itu nampak menggelengkan kepalanya.
"Dia nampak sehat dan tidak terjadi sesuatu yang serius," jawab tabib itu jujur, Alena mulai mengamati sekeliling dan matanya kini tertuju ke arah jendela yang di penuhi oleh salju.
"Apa anda ibu saya?" Tanya lagi Alena, Alena mulai menganalisis hal yang mungkin saja terjadi.
"Mungkinkah karena terjatuh, anda menjadi melupakan beberap hal Nona?" Tanya tabib itu nampak serius, Alena hanya menganggukkan kepalanya pelan agar dapat menerima penjelasan yang lebih lanjut.
"Anda tenang saja, hal ini lumrah terjadi pada beberapa orang. Ingatan anda juga akan kembali dengan berjalannya waktu." Tutur tabib itu sangat santai, Ibu Alena nampak sudah mengangkat lengan bajunya.
"Tabib! Apa kau benar-benar sudah memeriksa putri saya? Bagaimana bisa kau mengatakan itu dengan sangat mudah!" Pekik Ibu Alena.
"Mama, sudah biarkan saja. Bolehkan aku istirahat sejenak?" Tanya Alena tersenyum ramah, wanita itu nampak berkaca-kaca dan memeluk Alena dengan hangatnya.
"Tentu saja sayang." Jawabnya lembut, mereka semua akhirnya keluar dan menyisakan Alena seorang diri.
"Astaga! Apa-apan ini?" Alena langsung beridiri dan menatap cermin di hadapanya, mata berwarna biru terang serta rambut hitam bergelombang yang begitu indah. Kulitnya putih mulus, bulu mata panjang dan hidung mancung.
"Apa ini aku?" Tanya Alena pada dirinya sendiri, dia meraba wajahnya yang cantik itu dengan penuh kekaguman.
Tatapan Alena langsung tertuju pada sebuah buku di depan meja rias, dia membaca lembaran pertama yang ternyata buku hariannya sejak dua tahun terakhir.
Alena melanjutkan bacaannya ke bagian lembar ke dua, Alena yang mulai memahami situasi yang ada langsung menghela nafas panjang.
"Jadi aku masuk pada sebuah Novel?" Alena menghela nafas panjang dan akhirnya sepanjang sore dan malam itu dia membaca setiap bait buku tersebut.
"Sudah aku duga, Alena yang selalu para pembaca jelek-jelekan itu hanya seorang gadis polos." Tutur Alena menghela nafas berat lagi.
Nyatanya, Alena kini masuk pada sebuah Novel yang penulisnya tidak di ketahui. Namun popularitas dan penyampaian kata dalam novel itu sangat baik hingga membuatnya menjadi begitu terkenal.
Kisah ini merupakan kisah cinta manis seorang gadis manis berambut pirang emas dengan mata hijau terang bernama Evelin, dia sosok gadis yang memiliki banyak siasat cerdik demi menjadi seorang putri mahkota.
Polos adalah topengnya selama ini, melakukan banyak hal dan menghalalkan segala cara untuk meriah tujuannya menjadi semboyan bagi Evelin. Ya, sejauh ini itulah yang dapat di tangkap kesimpulan yang di miliki Alena.
Dan sialnya bagi Alena adalah, Evelin adalah adik tirinya di masa depan. Cap, sebagai anak haram akan di miliki Alena di masa depan, sedangkan Mamanya akan menjadi sosok ibu tiri jahat. Yah, tak beda dengan kisah-kisah tuan putri di Negri dongeng.
Alena teringat bagaimana komentar pedas para pembaca pada sosok ibu Alena, dia juga ingat bagaimana sumpah serapah pembaca tentang Alena, Alena menghela nafas berat teringat hal tersebut.
"Masih tersisa sekitar satu tahun lagi, tapi alasan utama pernikahan ibuku adalah aku sendiri. Aku tidak boleh membiarkannya menikah dengan pria kurang ajar itu! Aku juga harus mulai merubah keadaan di sini, demi bertahan hidup!" Alena mengepalkan tangannya.
Dalam novel tersebut Alena akan mati di ujung pedang sang Putra Mahkota dan ibunya akan di gantung sebelum Alena di eksekusi, Alena yang sebenarnya sangat mengagumi Putra mahkota dan sangat mencintainya dengan tulus.
Namun akibat kepolosan dan kebodohannya, Alena justru hanya di manfaatkan oleh Putra mahkota dan kesuciannya terenggut oleh pria bejat itu.
"Baiklah Alena yang cantik, sekarang kamu harus merubah keadaan." Alena menatap kamarnya yang super duper mewah itu, memang tidak heran kemewahan di rasakan oleh Alena karena dia adalah cucu dari keluarga Daisy.
Keluarga Daisy adalah keluarga yang tak memiliki gelar bangsawan, sang kakek juga tidak menginginkannya. Mereka adalah pengusaha yang terkenal dan sangat di hormati bahkan sang Raja harus tunduk padanya.
Kekuasaan dan uang yang di miliki keluarga Daisy tak terhingga jumlahnya, sedangkan penerus dari keluarga tersebut adalah sang Kakak Elena benama Elektra Daisy.
Meski namanya terkesan cewek banget, namun dia adalah seorang pria yang sangat penuh tanggung jawab. Elektra mendapatkan pelatihan khusus dari sang Kakek dan selama dua bulan terakhir Elektra belum pulang.
Brak!
"Alena?" Seorang pria membuka paksa kamar Elena dengan terengah-engah. Mata Alena langsung terbelalak dan menatap sosok pria bermata biru itu dengan ragu.
"Kak Elektra?" Alena nampak ragu namun sosok tersebut langsung memeluk Alena dan mengecup kening adiknya itu.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Elektra khawatir, Alena mengangguk dan tersenyum lembut.
"Syukurlah, saat aku mendapatkan kabar, aku langsung kabur dari Kakek dan ke mari, heheh.." Elektra terkekeh dan Alena juga tersenyum mendengar celotehan sang Kakak.
"Apa Kakak lelah? Ini sudah sangat larut kak, sebaiknya Kakak istirahat dulu." Saran Alena membuat perasan hangat tersendiri pada Elektra.
"Kau sedikit berubah Alena, tapi aku menyukainya." Elektra mengelus pipi Alena dan berlalu meninggalkan Alena sendirian, Alena hanya tersenyum saat sang Kakak nampak tersenyum sebelum menutup pintu.
Di balik pintu nampak banyak kerumunan pelayan dan ibu Alena yang menunggu Elektra bercerita, Elektra tersenyum dan memasang wajah serius.
"Dia nampak baik-baik saja, aku justru menyukainya yang sekarang, tatapannya hangat penuh dengan harapan. Ucapannya terdengar lembut dan hangat, membuatku merasa nyaman." Jawab Elektra, beberapa pelayan mengangguk setuju.
"Anda benar Tuan, saya bahkan berharap Nona akan seperti ini selamanya." Tutur salah seorang pelayan, tak ada yang membantah harapan itu seorangpun.
Selama ini Alena adalah seorang gadis yang memiliki banyak keinginan, selalu berpenampilan mencolok dan berteriak sudah menjadi kebiasaannya, hanya ada satu orang yang di matanya di manusiakan, dia adalah sang Putra mahkota.
.
.
.
Pagi hari tiba, Alena menggunakan celana berkuda dan baju longgar yang cukup hangat. Salju masih turun dan matahari juga belum terlihat, tapi Alena sudah bertekad.
Alena merapikan semua bonekanya dan menaruhnya di sudut ruangan, Alena juga menaruh parfum yang beraroma mencolok di sana. Selain itu, Alena juga memisahkan beberapa gaun yang terlalu mencolok baginya.
Para pelayan pada akhirnya bangun dan terkejut saat mendapati Nona muda meraka yang nampak tengah memisahkan barang-baranya.
"Ya ampun Nona, apa ada yang bisa saya bantu?" Tanya salah seorang pelayan.
Alena tersenyum ramah dan mengikat rambutnya dengan kencang, beberapa pelayan hanya tersenyum melihat perubahan sang Nona yang terlalu mendadak itu.
"Apa pakaian itu bisa di jual?" Tanya Alena menunjuk beberapa gaun mewahnya, beberapa pelayan nampak mengangguk pasti.
"Baiklah kalo begitu, siang ini kita akan membagikan sembako pada warga yang kedinginan. Jual pakaian itu, dan beli beberapa pakian hangat dan selimut. Dan boneka-boneka ini kita akan membagikannya pada anak-anak yang kedinginan. Oh ya, apa parfum ini juga bisa di jual?" Tanya lagi Alena dan beberapa pelayan yang melongo hanya mengangguk.
"Jual juga ini, beli banyak beras dan kita masak besar hari ini. Kita bagikan makanan hangat bagi para warga yang kedinginan, semalam aku melihat beberapa warga kedinginan di luar sana." Alena menunjuk ke luar jendela, beberapa pelayan nampak meneteskan air matanya dan saling berpelukan.
"Astaga Nona, apa ini benar-benar anda?" Tanya salah seorang pelayan, Alena hanya terkekeh dan mengganti beberapa peralatan kamanya dengan yang lebih nyaman.
Alena juga mengeluarkan barang-barang yang tak berguna menurutnya. Alena mengganti gorden dan hiasan kamar itu dengan warna yang lebih nyaman dan tidak mencolok.
Elektra yang baru bangun hanya menatap keriuhan itu dengan tanda tanya besar, Alena yang berada di tengah-tengah mereka seolah menjadi pemimpin di antara mereka semua.
"Kamu ngapain Al?" Tanya Elektara bingung, Alena tersenyum dan terkekeh kemudian.
"Mau bantu dananya Kak?" Tanya Alena tertawa seraya menyodorkan tangannya dengan ceria.
Suasana kediaman megah itu seketika riuh di datangi banyak bangsawan yang menginginkan barang Alena yang di jual dengan harga yang cukup terjangkau, Elektara yang melihat itu hanya mampu tersenyum melihat gaya sang adik yang berubah pesat itu.
"Bu, apa ini tidak apa-apa?" Tanya Elektra menatap sang ibu yang sama memperhatikan tingkah putrinya.
"Biarkan saja, kita tunggu dulu apa yang sebenarnya akan dia lakukan." Tutur sang ibu hingga mereka sarapan bersama dan Alena terus melakukan segala rencana hidupnya yang belum kesampaian di kehidupan sebelumnya.
Alena pernah bermimpi untuk membangun banyak panti asuhan dan panti jompo yang dia biayai sendiri, Alena juga pernah bermimpi membangun sekolah bagi mereka yang membutuhkan. Semua itu semata-mata adalah impian Alena karena Alena adalah seorang anak yatim piatu yang terkesan beruntung.
Namun mimpi itu tak sempat Alena wujudkan di kehidupan sebelumnya, Alena berjanji pada dirinya sendiri bila impian itu akan dia wujudkan dalam kehidupannya kala itu.
Para pelayan hari itu akhirnya merasakan kesibukan yang sesungguhnya, namun mereka senang saat dapat bersenda gurau tanpa adanya batasan seperti itu. Mereka membuat bubur dengan jumlah yang banyak dan beberapa toping seperti ayam goreng hangat dan sup kacang menjadi pilihannya.
Di sore hari yang kian dingin, tanpa menggunakan mantel Alena dan beberapa pelayan pria memasang meja panjang dan Alena berdiri tegak dengan sangat pasti.
"Makanan dan selimut gratis!" Teriak Alena membuat beberapa orang menatap Alena bingung, beberapa pelayan yang di pimpin Alena langsung membagikan makanan itu pada beberapa gelandangan, beberapa juga akhirnya mulai mengantri.
Para bangsawan yang melihat itu nampak meremehkan Alena, sedangkan Alena tak memperdulikan tatapan itu, dia membagikan boneka-boneka besarnya pada anak-anak yang kedinginan.
"Apa anda kedinginan?" Alena menyelimuti seorang pria yang nampak terduduk di tepi jalan, Alena menyerahkan sebuah boneka berwarna merah muda dan sebuah mangkuk hangat berisi bubur lengkap topingnya.
"Makanlah, bila ini kurang anda bisa nambah kok." Ucap Alena ramah, pria itu nampak menatap Alena yang kini mulai menjauhinya.
Pria itu mengusap mangkuk bubur yang mengepul itu, dia merasakan kelembutan saat boneka itu dia dekap. Selimut hangat dan aroma harum yang sangat nyaman merasuki penciumannya.
"Aku salah menilai mu Alena." Tutur pria itu tersenyum penuh arti. Alena sendiri hilir mudik terus membantu para pelayannya.
Di balik jendela Elektra dan sang Ibu memperhatikan Alena yang nampak sangat senang, Elekta juga merasa kagum dengan sang adik yang nampak lelah namun masih tersenyum.
Pandangan Elektra langsung tertuju pada sosok yang mirip gelandangan tengah melahap bubur dan memeluk boneka yang di berikan Alena.
Hingga meraka ahirnya kini saling bersitatap, mata Elektra langsung merinding dan kakinya langsung menjauh dan mendekati gerbang rumahnya menuju Alena. Elektara langsung mencari sosok gelandangan yang sangat di kenalinya itu.
Elektra langsung mencari ke sekeliling namun tak dia temukan lagi, Elektra menghela nafas panjang dan menatap Alena yang sudah hampir selesai.
"Dia masih sama berhati-hatinya." Tutur seorang pria yang kini bersembunyi di balik sebuah tembok.
Lengannya tanpa sadar mengelus boneka dalam pelukannya dan tersenyum lembut, dia tersenyum penuh arti.
"Tadi aku tak salah lihat, dia Mattias. Mau apa Duke itu berada di tempat ini?" Tanya Elektara pada dirinya sendiri.
Misi Alena yang pertama akhirnya selesai juga, semua orang mendapatkan sembako gratis untuk satu minggu ke depan. Mereka juga tak akan takut kedinginan karena Alena membagikan selimut yang hangat.
Membagikan makanan mungkin bukanlah pilihan yang tepat untuk menyokong orang-orang. Namun itu semua di lakukan Alena sebagai tanda syukur karena dia sudah dapat melihat masa depannya sendiri dalam novel itu.
Alena membakar buku hariannya, dia juga membakar segala hal tentang sang Putra Mahkota. Sudah selesai segalanya sekarang, dan Alena juga sudah berusaha keterikatan pengarang pada Novel itu yang ternyata sangat lemah. Orang-orang dalam dunia itu seolah bergerak sesuai keinginan mereka tanpa keterikatan cerita yang sesungguhnya.
Dua minggu lagi hal yang di nantikan Alena akan terjadi, Alena sudah mempersiapkan segalanya.
Benar, sesuai dengan keinginan Alena. Hari itu sebuah undangan sampai ke kediamannya, sang ibu nampak sudah risau saat Alena mendapatkan undangan itu, namun kekhawatiran mereka semakin bertambah saat Alena menerimanya dan menyanggupi akan datang pada acara tersebut.
Acara itu adalah acara di mana hari ulang tahun Putra mahkota di gelar, Alena tahu apa yang akan terjadi dalam pesta itu. Yang jelas dalam novel aslinya kejadian itu bukanlah hal yang baik.
"Alena, apa kamu tidak apa-apa sayang?" Tanya ibu Alena yang merasa sangat khawatir.
"Gak papa Ma, apa aku terlihat kurang baik?" Alena tersenyum manis, sang Ibu menggelengkan kepalanya pertanda Alena nampak sangat baik.
"Apa yang akan kamu hadiahkan Nak?" Tanya sang Ibu khawatir, dalam novel aslinya Alena memberikan hadiah berupa mahkotanya sendiri yang dia jaga selama ini.
"Aku akan memberikan hadiah yang tidak akan beliau lupakan selamanya Ma, Mama tidak perlu khawatir. Aku pasti akan menjaga Mama dan keluarga kita dengan baik." Ucap Alena menyeringai, ibu Alena menyipitkan matanya.
Tanpa sengaja dia merasa merinding dengan apa yang dia lihat sendiri, dia sama sekali tidak menyangka bila putrinya akan memperlihatkan sisinya yang seperti itu, namun sang Ibu juga sudah bersiap akan segala hal buruk yang akan terjadi. Ibu Alena juga membayar beberapa mata-mata sekaligus assasin untuk berjaga-jaga, bila seauatu yang buruk terjadi pada sang putri.
Selama ini Alena yang asli sudah mempelajari gerak-gerik para bangsawan sekaligus bersikap layaknya bangsawan kelas atas.
"Al, kamu hendak pergi dengan siapa?" Tanya sang Ibu lagi merasa sangat khawatir.
"Ya ampun Ma, apa Mama belum tahu aku akan pergi dengan siapa? Bukankah itu sudah sangat jelas bila aku akan pergi dengan siapa?" Mata sang Mama kembali menyipit.
"Al, apa kamu akan menjadi pendamping Putra Mahkota?" Mata Alena seketika membulat mendengar pertanyaan itu dari sang Ibu.
Byuuur!
Alena menyemburkan teh yang ada di mulutnya, sang ibu yang melihat itu langsung menepuk pundak Alena dan mengusapnya lembut.
"Uhuk! Uhuk! Apa-apaan si Ma. Aku tidak akan pernah mau berpasangan dengan b4jing4n itu!" Ungkap Alena tegas, wajah sang ibu nampak berseri-seri mendengarnya.
"Syukurlah, lalu dengan siapa?" Tanya sang ibu lagi serius.
"Dengan Kak El," jawab Alena, sang ibu melongo mendengarnya namun dia merasa sangat tenang dan bangga pada Alena.
"Baiklah sayang, padahal beberapa hari lalu Kakak mu baru saja pulang." Singgung sang ibu, Alena hanya mampu terkekeh dan merekapun melanjutkan minum teh seraya mengobrol santai.
.
.
.
Dua hari sebelum perayaan tersebut, banyak gaun di ibu kota sudah ludes. Perhiasan dan permata juga nampaknya sudah habis dan hal itu di manfaatkan dengan baik oleh keluarga Daisy sebagai pengusaha terbesar di benua tersbut.
Alena juga memilih gaun yang sederhana, meski sisi elegan dan pesonanya sebagai sisi seorang Alena jelas semakin terpancar.
.
.
Hari perayaan itu akhirnya berlangsung, sore itu Alena dan Elektra sudah siap dengan setelan layaknya kakak beradik sesungguhnya, sebuah mantel super mewah yang terbalut sutra dan ukiran emas menghiasi luaran jas Elektara, warna merah tua dan hitam menjadi pilihan mereka.
Sebuah sapu tangan berwarna biru terang layaknya mata mereka, Alena juga menggunakan gaun yang lebih dewasa dari yang biasanya dia gunakan.
Alena menggunkan pakaian yang lebih berani meski masih terkesan sopan bagi kalangan bangsawan. Sebuah gaun yang sangat indah membalut tubuh Alena. Warna merah di pilih Alena dengan hiasan mawar merah di rambutnya, gemerlap permata yang nampak sederhana menghiasi telinga dan lehernya.
Punggung mulus Alena nampak terekspose dengan indah meski terbilang normal karena itu gaun malam, wajah manisnya kini jauh lebih dewasa dan tegas dari biasanya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!