NovelToon NovelToon

Perjalanan Hidup Sherinda

BAB 1

Siang hari, Sherinda baru saja pulang dari berjualan kue di pasar. Ketika dia membuka pintu rumah, seketika terkejut melihat sosok ibunya tergeletak di lantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. 

Panik, Sherinda menjatuhkan keranjang jualannya dan berlari penuh kecemasan mendekati tubuh ibunya yang terkulai lemas. Dalam gemetaran, ia mencoba membangunkan ibunya. 

"Ibu, bangun bu," ucap Sherinda dengan suara yang parau, sembari menepuk-nepuk pipi ibunya dengan lembut. Namun, ibunya tetap terdiam, tidak ada reaksi apa-apa, seolah nyawa yang menghangatkan tubuh itu sudah pergi jauh. Rasa cemas berganti menjadi takut dan keputusasaan, Sherinda merasa dunianya runtuh seketika saat ini.

Dalam keadaan panik, Sherinda berlari keluar rumah, memohon pertolongan kepada tetangganya. 

"Tolong, ibu saya pingsan!" tangis Sherinda histeris, suaranya parau oleh rasa takut yang mencekam hatinya. 

Mendengar teriakan memilukan itu, warga sekitar bergegas berkumpul di rumah Sherinda, ingin menolong wanita yang terbaring lemah di lantai itu. 

Raut wajah mereka cemas saat menyaksikan keadaan Ranti, ibunda Sherinda, yang tak sadarkan diri. Salah seorang warga berkata dengan nada tegas, "Dia pingsan, kita harus segera membawanya ke rumah sakit sebelum kondisinya semakin memburuk!" 

Di tengah keriuhan dan kegelisahan itu, Sherinda hanya bisa berdiri termangu, hatinya dilanda keputusasaan, tak sanggup membayangkan hidup tanpa pelukan hangat dan nasihat-nasihat bijak sang ibu tercinta.

Dibantu oleh para warga, Sherinda dengan sigap membawa ibunya ke rumah sakit. Begitu tiba di sana, dokter dan perawat segera memeriksa kondisi Ranti. Ketegangan terasa menggelayuti ruangan ketika Sherinda menunggu kabar kondisi ibunya, tak mampu menahan kecemasan yang memuncak dalam hatinya.

Setelah menunggu dengan penuh kecemasan, akhirnya dokter yang memeriksa ibunya muncul dari ruangannya. Sherinda segera bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri dokter tersebut. 

"Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?" tanya Sherinda dengan suara yang gemetar karena khawatir. Dokter menarik nafas dalam, dan wajahnya tampak serius. 

"Mari ikut ke ruangan saya, Nona. Ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan dengan Anda," ujarnya dengan lembut namun tegas. Sherinda mengangguk dan hatinya semakin berdebar kencang, 

Lalu ia mengikuti dokter yang membimbingnya menuju ruangannya. Ketika memasuki ruangan, suasana hening menyelimuti mereka. Pikiran Sherinda kalut, mengkhawatirkan berita yang akan disampaikan dokter mengenai kondisi ibunya. Namun, ia berusaha tetap tegar dan bersiap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.

"Sudah sejak kapan Ibu Anda mengalami sakit seperti ini?" tanya dokter dengan ekspresi serius yang terpancar di wajahnya.  

"Sudah tiga bulan yang lalu, Dok. Ibu sering mengeluh sakit perut yang teramat sangat, dan terkadang bahkan muntah darah," jelas Sherida dengan nada cemas yang tak terbendung.  

"Sakit apa sebenarnya yang diderita Ibu saya, Dok?" Desakan Sherida terdengar getir, mencerminkan kegundahan hatinya yang mendalam.  

"Menurut gejala yang ada, dugaan kami Ibu Anda terkena kanker usus. Namun, untuk memastikannya, kami perlu melakukan serangkaian pemeriksaan lebih lanjut," ucap dokter dengan hati-hati, mencoba menenangkan hati Sherida yang kini tengah terguncang oleh rasa khawatir yang tak terhingga. 

"Kan-ker usus?!" jerit Sherida dalam hatinya, merasa seolah-olah dunianya runtuh seketika. Matanya yang semula berkaca-kaca kini menatap tak percaya pada dokter yang baru saja menghancurkan harapannya dengan berita yang begitu menggemparkan. 

"Tidak, ini pasti salah! Dokter pasti salah! Ibu tidak mungkin terkena penyakit mematikan seperti itu," batin Sherida, menahan amarah dan air mata yang hendak mencucur deras.

"Tenanglah nona, kami masih harus melakukan pemeriksaan terlebih dahulu untuk memastikannya." Ucap dokter menenangkan Sherinda. 

Sherinda berharap keras bahwa diagnosa yang diberikan dokter salah, dia benar-benar tak sanggup membayangkan nasib ibunya tercinta yang kini terancam oleh penyakit mematikan tersebut. Detik demi detik, kesedihan dan kekhawatiran menyelimuti hatinya yang rapuh, seakan ingin meruntuhkan seluruh jiwa dan harapan yang tersisa di dalamnya.

Dokter melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap Ranti. Prosedur Biopsi akan mengangkat jaringan dalam tubuh untuk di jadikan sample laboratorium. Dokter akan melijat jaringan tersebut merupakan sel kanker atau bukan.  Tes kanker ini pun terbilang sangat akurat, sehingga sering di gunakan oleh para dokter sebagai standar emas prosedur pemeriksaan kanker. 

"Hasilnya akan keluar dalam waktu dua sampai tiga hari kerja, Nona. Untuk saat ini, Ibu Anda perlu dirawat di sini. Mohon selesaikan dulu biaya administrasinya," ujar dokter dengan nada serius. Seluruh ruangan terasa hening, penuh tekanan. Seolah setiap menit yang berlalu akan menentukan nasib dan masa depan sang ibu. Sherinda menahan napas, dadanya berdebar kencang, dan keningnya basah oleh keringat dingin. Dia mencoba sekuat tenaga untuk tidak menunjukkan kecemasan yang mendera hatinya di depan dokter tersebut, namun semakin lama dia merasa tidak mampu lagi menahannya. Air matanya mulai menggenang, membuat matanya semakin kabur, dan dalam sekejap dunia di sekelilingnya seolah berubah menjadi lautan kebimbangan. Dia hanya ingin Ibu-nya pulih secepatnya, melupakan rasa sakit yang harus dijalaninya, dan kembali merasakan kebahagiaan yang sempat hilang.

"Baiklah dok" ucap Sherinda dan berlalu menuju ke bagian administrasi. 

Sherinda merasa cemas yang tak terkendali, pasalnya saat ini ia tidak memiliki cukup uang untuk membayar pengobatan sang ibu. Hatinya terasa berkecamuk, rasa takut dan kekhawatiran bergulat di benaknya. Ia merunduk, menahan isak tangis, berdoa dalam hati agar tagihan pengobatan ibunya tidaklah membengkak, seolah hidup dan mati bergantung pada sebuah keajaiban.

"Ini tagihan pengobatan ibu anda nona," ucap petugas administrasi dengan nada datar. Sherinda menahan napas ketika menyimak angka yang tertera di kertas tersebut. 

"S-sepuluh juta rupiah?" gumam Sherinda terperanjat. Jantungnya berdetak keras, seolah menyerbu jiwanya yang penuh kekhawatiran. Dengan perlahan, ia membuka dompetnya dan mencoba menghitung uang yang dimilikinya. Hasilnya jauh dari mencukupi. 

"Bagaimana ini?" keluh Sherinda dengan nada lemah, hampir tak terdengar. Ia menghela nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri dari rasa panik yang merayapi. Sambil mengepalkan tangannya, ia merasakan semangat juang mulai menyala dalam hatinya untuk menemukan cara agar dapat membayar tagihan pengobatan sang ibu.

"Aku harus pergi ke rumah Papa, mungkin saja dia bersedia membantuku untuk membayar biaya pengobatan ibu," ujar Sherinda penuh tekad, mengepalkan tangannya erat sambil menggigit bibir bawahnya yang memerah karena kekhawatiran.

"Mbak, uangku tak cukup... bolehkah aku membayar setengahnya dulu?" Sherinda menggigit bibirnya, berusaha untuk tidak menunjukkan kecemasannya. 

Matanya berkaca-kaca, berbinar penuh penyesalan dan harap. "Saya janji akan segera melunasinya secepatnya, Mbak. Mohon bantuannya." 

Dalam hati Sherinda, dunia rasanya ambruk seketika. Ia tidak menyangka kebutuhan akan uang secepat ini. Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seperti cambuk yang menghujam jiwanya, memohon pengertian pada orang yang tak ia kenal. Namun ia tak memiliki pilihan lain, selain meraih belas kasihan. Sambil berusaha keras menahan air mata yang memburu keluar, Sherinda terus menatap nanar pada petugas administrasi. Hanya doa yang tertanam di benaknya saat itu, berharap ucapannya tak lagi melukai siapa pun di jalannya, termasuk dirinya sendiri.

BAB 2

Setelah melunasi tagihan Rumah Sakit, Sherinda bergegas memesan ojek online untuk segera menuju kediaman sang ayah.Terbayang dalam benaknya deretan mobil mewah yang pasti sudah memenuhi halaman rumahnya.

Begitu sampai, pandangannya tidak salah, barisan mobil berlambang kemewahan itu terparkir dengan anggun di pekarangan rumah.

Dengan hati berdebar, Sherinda turun dari motor yang membawanya, menatap rumah ayahnya untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama. Ia menyerahkan uang ongkos pada pengemudi dan tersenyum menenangkan diri, lalu melangkah masuk dengan langkah penuh harap. Keberanian ini, demi menghadapi orang-orang yang akan merubah hidupnya, menjadi kekuatan untuk melawan rasa sedih dan kecewa yang berkecamuk di dada.

Wanita paruh baya itu terkejut saat membukakan pintu untuk Sherinda.

"Kamu siapa?" tanyanya dengan wajah penasaran.

"Saya Sherinda, papa ada bi?" jawab Sherinda yang masih mengingat wanita tua di hadapannya itu sebagai pelayan keluarganya.

Mata sang pelayan terbelalak ketika menyadari bahwa anak majikannya yang telah lama hilang bak ditelan bumi kini berdiri di hadapannya.

"Silakan masuk, Non," ucap Bibi Sri dengan ramah sambil mempersilahkan Sherinda melangkah ke dalam rumah.

"Bibi akan panggilkan Tuan dulu, ya." Sherinda mengangguk pelan, lalu melangkahkan kakinya dengan hati-hati, seolah tak ingin mengusik kenangan lama yang terpendam di setiap sudut rumah itu.

Ia menatap sekeliling, menyerap suasana rumah yang tampaknya tak banyak berubah sejak terakhir kali ia tinggal di sana. Dinding-dinding yang sama, furnitur yang sama, hingga aroma yang sama, semuanya seperti berkata padanya bahwa ia pernah menjadi bagian dari tempat ini. Dan meski hatinya bergetar penuh haru, Sherinda tahu bahwa takdir telah menuntunnya kembali ke sini, entah untuk apa.

Di masa lalu saat masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, Sherinda mencoba mendekati ayahnya yang terpisah dengannya, menggenggam erat harapan di hatinya. Namun, alih-alih menerima sambutan hangat, yang ia terima hanyalah cacian yang melukai hatinya.

"Sherinda, berani-beraninya kau kembali ke sini setelah menginjak-injak harga diri keluarga!" ayahnya berseru penuh amarah, membuat gadis itu tersungkur di bawah tatapan sinis keluarga yang tak pernah ia kenal.

Sejak saat itu Sherinda tidak lagi datang ke rumah ayahnya, tetapi sekarang dia memberanikan diri datang ke rumah ini demi sang ibu.

Tak lama Danu ayah Sherinda datang bersama sang istri menemui Sherinda. Sherinda bangun dari tempat duduknya melihat kedatangan ayahnya.

"Untuk apa kamu datang kesini?" Tanya Danu dengan suara yang terdengar tidak bersahabat.

Sherinda menarik nafas dalam, ia sudah menduga kedatangannya tidak akan di sambut baik oleh papanya itu.

"Aku datang kemari karena ingin meminta tolong dengan mu pa. Ibu sakit, dan saat ini sedang di rawat di rumah sakit, aku butuh.. " belum sempat menyelesaikan ucapannya Danu sudah lebih dulu memotong ucapan Sherinda.

"Saya tidak memiliki uang, lebih baik kamu pergi dan jangan pernah datang lagi ke rumah ini" usir Danu.

"Aku mohon pa, aku sudah tidak memiliki uang lagi untuk bayar tagihan  rumah sakit. Sekali ini saja tolong kami" ucap Sherinda memohon. Ia berharap papanya mau menolongnya.

Danu melengoskan wajahnya kearah lain, dia takut terpengaruh dengan wajah memelas putrinya. 

"Kau mau uang?" Tanya Danu dan Sherinda mengangguk cepat. 

"Kalau begitu besok siang temui papa di hotel Xx" ucap Danu. 

Sherinda mengerutkan keningnya, bertanya-tanya dalam hati, "Mengapa ke hotel? Kenapa tidak di rumah saja?" Namun segera dia mencoba untuk menenangkan pikiran dan perasaan yang bergejolak di dalamnya. Ia meyakinkan dirinya bahwa sang ayah tidak mungkin melakukan hal yang aneh-aneh pada anak kandungnya sendiri. Dalam detik-detik tersebut, tangan Sherinda gemetar dan dadanya berdebar kencang, mencoba mengatasi kecemasan yang menghantuinya.

"Baiklah, Pa, kalau begitu aku pulang dulu. Besok aku akan menemui papa di hotel itu," ujar Sherinda dengan penuh harap. 

Dengan perasaan lega, Sherinda segera kembali ke rumah sakit tempat ibunya dirawat. Kini, dia memiliki keyakinan bahwa seberkas sinar harapan muncul, membantunya mendapatkan uang untuk membayar biaya perawatan Ibunya.

"Aku tidak setuju kamu membantu wanita itu untuk pengobatan, dia bukan istrimu, tidak seharusnya kamu menanggung beban hidupnya!" tegur Ana tajam, geram melihat suaminya, Danu, peduli pada wanita lain.

"Memangnya siapa yang ingin membantu pengobatan wanita itu? Tidak sedikitpun aku berniat menanggung biayanya," bantah Danu tegas, berusaha menjernihkan pikiran Ana.

"Lalu untuk apa kamu menyuruhnya menemui mu di hotel? Apakah ada sesuatu yang ingin kamu sembunyikan?" tanya Ana penuh prasangka, merasa ada yang tidak beres. Danu menarik nafas panjang, lantas mengungkapkan kebenaran. 

"Sebenarnya, aku ingin menjodohkan dia dengan putra Tuan Bram. Dia berjanji akan berinvestasi di perusahaan kita asalkan kita mau menjodohkan salah satu anak perempuan kita dengan putra beliau." Dalam sekejap, suasana berubah menjadi tegang seiring terungkapnya rahasia di balik pertemuan tersebut. Kejujuran Danu, meskipun dengan niat baik, membuka pintu konflik baru dalam hubungan mereka.

"Kamu yakin dia mau?" Ana merasa ragu dengan rencana suaminya. 

"Aku yakin dia pasti mau, karena hanya dengan cara ini dia bisa mendapatkan uang untuk membiayai pengobatan ibunya yang sakit itu," sahut Danu tegas. 

Senyuman jahat tersirat di bibir Ana, hatinya bergelora gembira melihat Sherinda terpuruk dan menderita. Dia tahu betul bahwa putra Tuan Bram adalah sosok yang angkuh dan sombong. Meskipun telah memiliki kekasih, Tuan Bram tidak merestui hubungan itu. Bagi Ana, ini adalah kesempatan yang sempurna untuk menjatuhkan mereka.

*****

Sherinda baru saja tiba di rumah sakit dengan langkah gontai dia menuju keruang ibunya. 

Setibanya di ruang perawatan, matanya tertuju pada sang ibu yang tampak melamun sembari menatap langit-langit kamarnya, wajah penuh kekhawatiran dan kerinduan. 

"Ibu... sudah bangun? Maaf, aku meninggalkanmu," ucap Sherinda dengan suara yang getir saat memasuki ruangan. Napasnya tersengal-sengal, menahan isak yang hampir pecah. 

Ranti menoleh seketika, mencoba menutupi kekesalannya saat menyadari hadirnya sang putri. 

"Kamu darimana? Ayo, kita pulang," ajak Ranti seraya mencoba tersenyum lemah. Namun, senyumannya tak mampu menutupi kegelisahan yang mencengkam hatinya. 

Ia tahu bahwa Sherinda tidak memiliki uang yang cukup untuk membayar biaya rumah sakit, dan keputusasaan itu mengoyak hati Ranti. Pilihan antara menjaga kesehatan diri sendiri atau menghadapi utang yang melilit mereka semakin meruncing. Akankah Sherinda mampu menemukan jalan keluar dari ketimpangan hidup yang terus menghantui mereka?. 

"Tidak bisa, Bu. Kata dokter, Ibu harus dirawat sampai hasil pemeriksaan Ibu keluar," ujar Sherinda dengan nada lembut namun tegas. Raut wajahnya menggambarkan kekhawatiran yang mendalam terhadap kondisi ibunya.

Kening Ranti berkerut, matanya yang basah dengan air mata cemas menatap Sherinda.

"Kita harus tetap pulang, Sher. Biayanya pasti mahal, bagaimana cara kamu membayarnya?" tanyanya dengan suara yang parau. 

Sherinda tersenyum, menatap mata ibunya dengan penuh kehangatan. Dengan perlahan, ia mengusap lengan Ranti, berusaha menenangkannya. 

"Ibu, jangan cemas. Sherinda baru saja pergi ke rumah Papa, dan dia berjanji akan membantu kita membayar biaya pengobatan Ibu," kata Sherinda, sambil berusaha menyembunyikan kegelisahan di hatinya. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian, Sherinda berusaha untuk tetap kuat dan menunjukkan rasa optimis demi menenangkan ibunya yang sedang sakit, sambil menantikan hasil pemeriksaan yang menentukan nasib mereka ke depan.

BAB 3

Keesokan harinya, Sherinda bersiap-siap untuk menemui sang ayah di sebuah hotel. Dengan penuh keberanian, ia mengenakan celana jeans ketat yang dipadukan dengan kaos oversize. Tak ada barang branded yang melekat di tubuhnya, Sherinda hanya memakai pakaian sederhana yang ia miliki. 

"Bu, doakan Sherinda ya, semoga papa mau bantu kita," pinta Sherinda pada ibunya sebelum berangkat, yakin bahwa sang ayah adalah satu-satunya harapan mereka saat ini. 

"Ibu mendukung kamu, sayang," ucap Ranti lembut, namun dengan nada sedikit pesimis. "Tapi kamu yakin? Lebih baik ibu pulang saja, kamu tidak perlu repot-repot meminta tolong pada papamu." Ia tahu betul bagaimana watak mantan suaminya itu. Jangankan menolong mereka, selama ini dia bahkan tak pernah peduli pada anaknya sendiri. 

Sherinda menggigit bibirnya, merasakan campuran rasa cemas dan tekad yang kuat. "Tidak, Bu. Sherinda harus mencoba, demi masa depan kita semua. Paling tidak, Sherinda harus yakin bahwa sudah berusaha sebaik mungkin." Dalam hati Sherinda, dia bertekad untuk menghadapi sang ayah, apapun yang akan terjadi. Mereka pantas mendapatkan bantuan dan kebahagiaan yang selama ini mereka impikan.

Hanya ibunya satu-satunya orang yang ada di hidupnya, Sherinda akan mengorbankan segalanya demi kesembuhan sang ibu. 

Ranti menghela nafas panjang, penuh keraguan, namun akhirnya memberikan restu bagi putrinya untuk menemui mantan suaminya. 

"Hati-hati di jalan, ya Nak," ucap Ranti dengan nada parau, mencoba memberi dukungan meski hatinya dilanda kecemasan. Sherinda mengangguk teguh, membalas senyuman ibunya yang sayu, sebelum sosoknya perlahan lenyap di balik pintu ruangan yang tersayup haru.

Memanfaatkan layanan ojek online, Sherinda bergegas menuju Hotel Xx sesuai perintah ayahnya. Sesampainya di sana, Sherinda segera turun dari motor dan membayar biaya perjalanan itu. 

Hatinya berdebar, takut dan bersemangat sekaligus, saat Sherinda melangkah pasti memasuki hotel mewah tersebut. Matanya menelusuri setiap sudut, mencari wajah yang dikenal, tapi nihil.

Sherinda berjalan menghampiri resepsionis untuk menanyakan keberadaan ayahnya. Namun dalam perjalanan, tiba-tiba saja seseorang menabraknya hingga membuat Sherinda terpekik karena kaget. 

"Aaah...!" Dibandingkan meminta maaf, si pria malah melanjutkan langkah, meninggalkan Sherinda yang kaget dan kesal sekaligus. Melampiaskan kekesalannya dengan mendengus pelan, Sherinda kembali melanjutkan perjalanan ke resepsionis untuk mencari tahu lebih lanjut tentang sosok yang diharapkannya.

"Ada yang bisa kami bantu, Nona?" tanya sang resepsionis dengan ramah, senyumnya membawa ketenangan dalam diri Sherinda. 

"Saya sedang mencari papa saya, Mbak. Namanya Tuan Danu," jawab Sherinda, mata berbinarnya menunjukkan kerinduan pada sosok sang ayah. 

Resepsionis itu mengangguk dan segera membuka komputer di hadapannya, mencari informasi reservasi atas nama Tuan Danu. Setelah beberapa saat, ia kembali menatap Sherinda. 

"Beliau ada di rooftop hotel, Nona. Tempat itu berada di lantai paling atas hotel. Anda bisa langsung naik lift saja yang berada di sebelah sana," ucap resepsionis itu sambil menunjuk ke arah sebuah lift mewah yang berada di sudut hotel. 

Hati Sherinda terasa berdebar kencang, harapannya kini semakin dekat. Ia mengucapkan terima kasih pada resepsionis tersebut dan dengan langkah tegap, ia berjalan menuju lift, dan masuk saat pintu lift sudah terbuka. 

Tring

Lift tiba di lantai atas, Sherinda melangkahkan kakinya keluar dari dalam lift, jantungnya berdegup kencang ketika melihat sang ayah duduk bersama beberapa orang yang tidak ia kenal. 

"Sebenarnya apa yang sedang papa rencanakan? Kenapa perasaan ku tiba-tiba tidak enak" gumam Sherinda cemas. 

Dari kejauhan Danu melihat kedatangan putrinya, dia melambaikan tangannya dan meminta sang putri untuk mendekat. 

Demi sang ibu Sherinda mengusir kecemasan yang ada didalam hatinya. Dengan langkah ragu wanita itu melangkahkan kakinya menghampiri sang ayah. 

"Bram, kenalkan, ini Sherinda putri saya yang saya ceritakan kemarin" ucap Danu memperkenalkan sang putri pada rekan bisnisnya itu. 

Bram melihat penampilan Sherinda dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, entah apa yang di pikirkan, hanya lelaki saja yang tahu. 

"Sherinda" ucap Sherinda sambil mengulurkan tangannya kearah Bramantyo. 

Bram menjabat tangan Sherinda, lalu mempersilahkan gadis itu untuk duduk. 

"Duduklah, tunggu sebentar putra saya masih dalam perjalanan kemari" ucap Bram. 

Sherinda mengernyitkan keningnya, pertanyaan demi pertanyaan melintas dalam benaknya. Siapa orang ini? Kenapa ayahnya memintanya datang ke sini? Meskipun bingung, Sherinda berusaha tetap tenang.

 

Dengan langkah pelan, ia duduk di sofa yang berada di depan Bram. Lima belas menit telah berlalu, putra Bramantyo masih tak kunjung muncul. Bram yang tak sabaran, akhirnya memutuskan untuk menghubungi sang anak. 

"Kau di mana? Kenapa lama sekali?" tanya Bram ketika panggilannya tersambung dengan putranya. 

"Sabar Dad, aku baru selesai mandi. Sebentar lagi aku akan menemui mu dad," sahut putranya singkat, sebelum dengan entengnya mematikan sambungan telepon. 

Bram menghela nafas panjang, emosi mencuat di hatinya. Anaknya itu benar-benar kurang ajar, tidak ada rasa hormat terhadap orang tua. 

Saat ini, rasa penasaran Sherinda semakin menggebu-gebu. Apakah yang akan segera terjadi?. 

"Putra saya segera akan tiba," ucap Bram dengan wajah berseri-seri. Danu menganggukkan kepalanya, menandakan pengertiannya. 

Tidak lama kemudian, orang yang telah dinanti-nantikan akhirnya tiba di hadapan mereka. "Maaf, saya terlambat," ucap pria itu dengan nada biasa saja. 

Sosok tersebut tidak lain adalah Zein Iskandar, putra dari Bramantyo Iskandar. Mendengar ada yang datang  Sherinda segera mengangkat wajahnya yang semula tertunduk lesu.

Perlahan, mata Sherinda membulat ketika menyadari siapa sosok yang baru saja datang. Tanpa disadari, detak jantungnya berpacu liar dan emosinya bercampur aduk. Marah, terkejut, dan kagum. Orang tersebut ternyata adalah pria yang menabrak dirinya tadi saat di lobi hotel, yang juga merupakan anak dari pria yang kini sedang duduk di hadapannya.

"Ternyata dia," bisik Sherinda dalam hati, mencoba meredam gemuruh di dadanya.

"Perkenalkan, dia Zein putra saya" ucap Bramantyo sambil tersenyum. 

Setelah menyapa Danu beserta keluarga, Zein pun duduk di sisi ayahnya yang masih kosong. 

"Putramu sangat tampan, sangat cocok dengan putriku. Lalu, kapan kita akan menikahkan mereka?" tanya Danu, senyum licik terlukis di wajahnya. Sherinda terkejut, berusaha mencerna ucapan ayahnya barusan. 

Dengan perasaan gugup, ia memberanikan diri untuk bertanya pada sang ayah. "Siapa yang mau menikah, Pa?" tanya Sherinda, suaranya gemetar. 

"Kamu," sahut Danu tegas. "Kalau kamu ingin Papa membiayai pengobatan Ibumu, kamu harus mau menikah dengan Zein." 

Sherinda menganga, syok mendengar ucapan sang ayah. "Aku tidak mau, Pa!" seru Sherinda, sambil menggelengkan kepalanya menolak perjodohan yang diatur oleh ayahnya. 

"Kamu harus menerimanya," Danu memaksa. "Bukan hanya Papa yang akan membiayai pengobatan Ibumu, Tuan Bram juga akan membantumu." 

Tepat pada saat itu, Bramantyo menganggukkan kepalanya, "Yang dikatakan Papamu benar, Sherinda. Aku akan membantumu membiayai pengobatan ibumu." Wajah Bramantyo nampak serius, namun dalam hati Sherinda, ia merasa seperti terjebak dalam pilihan sulit yang tidak pernah ia inginkan.

Sherinda menatap ayah nya dengan mata yang sudah berkaca-kaca, dia sangat kecewa dengan papanya. 

"Maaf, saya tidak bisa" ucap Sherinda dan bangkit dari tempat duduknya. Seherinda pergi meninggalkan mereka. 

Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba Danu berucap. "Kamu bisa memikirkannya terlebih dahulu Sherinda, jika kamu setuju kamu bisa temui papa" ucap Danu. 

Sherinda tidak peduli, dia terus melangkah meninggalkan mereka. 

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!