NovelToon NovelToon

TRUST

Sahabat Kocak

Dalam sebuah ruang penuh goresan seni itu, lantunan musik terdengar begitu memanjakan telinga. Aksi seorang gadis yang begitu menjiwai isi sebuah karya dari kertas yang dipegangnya. Ucapan demi ucapannya teriringi oleh musik yang dimainkan begitu mendalam sama sepertinya. Tubuhnya kini ikut menggerak-gerakkan tangannya, salah satu bentuk penjiwaannya.

"Darda, lebih tenang sedikit."

Seketika gadis yang tengah menjiwai perannya itu kini berhenti, namun musik yang mengiringnya sedari tadi terus berjalan seolah sudah terbiasa dengan ini. Karena ucapan seseorang yang tak lain adalah sang pelatih itu, Darda menganggukkan kepalanya serius. Setelah itu ia kembali pada perannya mengikuti musik yang masih berlantunan sedari tadi.

Mereka berenam termasuk Darda sendiri, saat ini tengah menampilkan musikalisasi puisi. Latihan yang dilakukannya dari kemarin-kemarin kini diuji oleh sang pelatih guna kegiatan tak lama lagi.

Kini mereka sudah berhenti, termasuk Darda. Mereka menanti apa yang akan keluar dari mulut sang pelatih yang tampak sedikit tak puas itu. Hal tersebut membuat Darda cemas lantaran bisa dibilang ia yang menjadi pusat musikalisasi puisi ini. Wajahnya yang cukup berkeringat itu menatap gugup sang pelatih yang saat ini tengah menatapnya.

"Darda, tenangkan dirimu dan kontrol emosimu."

Kalimat itu membuat Darda semakin cemas dengan telapak tangannya yang bergerak gelisah tak mau diam, masih menunggu ucapan selanjutnya sang pelatih yang tampak belum selesai dengan ucapannya.

"Tapi terlepas dari itu, hari ini kalian menampilkannya dengan baik."

Hal itu sontak membuat mereka menunjukkan wajah yang lega lantaran pujian yang diberikan oleh sang pelatih. Darda pun ikut senang akan hal itu. Terlepas dari dirinya yang kurang dari baik, ia tetap bahagia ketika teman-teman timnya mendapatkan apresiasi seperti ini.

Darda senang, tapi secara bersamaan ia tiba-tiba teringat pada teman-temannya di kelas. Teringat kalau latihan ini tadi ia tak memberitahu kepada mereka. Tapi seperti sebelum-sebelumnya, mereka pasti bisa menebaknya.

--••--

"Apaan sih lo dari tadi?" cetus Azin yang melihat Aley terus menatapnya. Memang semenjak kejadian tadi yang ada di kelas, Aley terus saja memicingkan mata ke arahnya.

"Mau nguleg lo idup-idup." tangan Aley membentuk gerakan mengepal dan menunjukkannya pada orang yang bernama Azin itu.

"HAHAHA!" tawa renyah terdengar dari seseorang yang tempat duduknya tepat di depan Aley.

"Zal, gue serius ya."

"Lo bilang serius tapi muka lo kayak banteng kebelet lari gitu?"

"Zallen!"

"Hahaha!" tiga orang di kantin itu tertawa puas.

"Rasain! Karma lo selalu gangguin gue!" terang Slena dengan wajah yang sangat puas di depan wajah Aley. Ya, Slena ini adalah orang yang paling sering kena jahilan Aley, jadi terlihat wajah puasnya sekarang melihat Aley yang menderita.

"Haha, apa ini doa Slena yang tersakiti kemarin ya? Hahaha!" Zallen masih tidak bisa menghentikan tawanya. Ia malah mengeluarkan kata-kata yang semakin membuat seseorang memicingkan mata kepadanya menatapnya aneh. Aley yang ada di hadapannya itu hanya merasakan perasaan yang sama dari tadi. Kesal.

"Hei Zallen, bisa diem nggak?"

"HAHAHA!" Zallen malah tertawa sangat keras sampai mengeluarkan air matanya. Tangannya bahkan terkepal-kepal memukul meja kantin di depannya. Beberapa siswa yang lewat bahkan sampai melirik apa yang sedang terjadi.

"Aduh gak bisa berhenti." Zallen mengusap air matanya yang sudah menetes itu. Ibu jempolnya bahkan menangkap satu air mata yang akan meluruh ke pipinya.

"Kalian."

Terdengar seorang berucap. Aley menaikkan kepalanya dari sanggahan tangannya dan mencari di sekeliling kantin. Matanya tertuju pada seseorang yang ada di pintu kantin. Orang itu semakin melangkahkan kakinya menuju ke mejanya.

"Ck, datang juga lo."

Seseorang itu semakin mendekat dan berjalan melingkar dari arah Aley. Ia kini menarik sebuah kursi untuk diduduki. Kursi itu tepat di dekat Slena.

"Udah?"

Gadis yang baru duduk itu hanya mengangguk sekali menanggapinya. Tangannya terulur mengambil es jeruk di hadapannya. Kemudian menyeruput hingga tertinggal 3/4.

"Sibuk banget ya lo sekarang?"

"Enggak juga, bidang ini kan bidang yang gue suka."

"Tapi, sekolah kita dengan notabe sekolah kesehatan itu udah sibuk banget loh hari-harinya."

"Iya bener tuh, apalagi pelajaran umum dan kesehatan di sini kan imbangnya sama." sahut Zallen menyetujui ucapan Slena.

Ya, sekolah mereka ini adalah sekolah kesehatan. Dalam pembelajarannya, tentu saja sesuai dengan kejuruan masing-masing. Namun, untuk mata pelajaran umum juga tidak bisa disepelekan.

"Kalau lo udah suka, gak bakal lo ngerasa tertekan atau capek. Percaya deh sama gue."

Empat gadis di meja itu menatap Darda dengan aneh. Bisa-bisanya ia dengan mudah mengatakan itu. Kemarin saja baru praktek kemudian masih diberi tugas lain di mata pelajaran yang lain. Itu saja sudah terasa pusing ketika dipikirkan di rumah. Belum persiapan mereka yang akan ujian akhir dalam waktu dekat ini.

"Dar, lo gak punya capek ya?"

"Iya nih orang."

"Kalau capek angkat tangan lo, Dar."

"Hm, no komen ya gue."

Seseorang yang dipanggil Darda itu hanya tersenyum menanggapi keempat sahabatnya. Ia kemudian menyantap makanannya yang memang sudah dipesankan teman-temannya seperti biasa. Yah, Darda bukan hanya satu kali ini saja, tapi hampir setiap hari selalu terlambat makan di kantin.

"Btw tadi kalian tertawa banget, ngapain?" tanyanya balik. Ia kini mengambil gorengan yang ada di depannya dan mulai memakannya. Sambal yang ada di dekat es jeruknya itu menjadi penambah rasa pada gorengan yang baru saja ia makan. Tapi, tak jarang juga ia mengambil cabe hijau yang ada di mangkok kecil yang dekat dengan sambal tersebut.

"Biasa, si Aley dan matematika." papar Azin.

Darda mengangguk-ngangguk mendengar Azin yang berbicara. Ia pun melanjutkan makannya.

"Lagian lo, berlebihan banget. Itu soal juga easy bagi lo, apalagi belum dijelasin lengkap sama Pak Beno, tapi lo langsung bisa." ungkap Azin, teman sebangku Aley. Ia berkata sambil menatap Aley yang sedang makan gorengan itu.

"Iya bener kata Azin. Lo juga lancar jelasinnya. Apalagi Pak Beno ini guru killer lho. Tapi lo satu satunya murid yang tadi gak dimarahin karena gak bisa jelasin. Juga lo gak pernah dimarahin sih." tambah Zallen.

"Tapii, gue itu selalu deg-deg an kalau waktunya Pak Beno. Kayak mau ada plot twist apa gitu, jadi gue pasti deg-deg an!" balas Aley. Ia berbicara dengan tangannya yang terangkat dan bergerak kemana-mana. Raut wajahnya juga tidak biasa. Kalau kata Azin, alay nih orang.

"Cuma perasaan lo aja. Lagian matematika kan emang bidang lo banget, Pak Beno juga sering nunjuk lo kan? Itu berarti emang lo itu dipercaya bisa sama Pak Beno." kali ini Darda yang berbicara.

"Nah, bener." Aley yang mendengar teman sebangkunya berbicara itu langsung menatap dan memelototinya.

"Apasih lo, Ley? Alay banget." cetus Azin dengan entengnya. Aley yang di depannya itu semakin melototkan matanya. Tanpa berbicara pun wajahnya sudah terbaca 'Lo kurang ajar banget ya?'

"Udah udah, ayo makan." akhirnya Darda menghentikan mereka berdua yang terus adu mulut. Mau tak mau pun mereka berhenti kemudian menyantap makanan yang ada di depannya. Yah, pasti lapar juga mereka. Pelajaran matematika menguras banyak pikiran, jadi perut menjadi mudah lapar. Padahal remaja seperti Aley yang pandai matematika saja sudah overthinking seperti itu.

"Oh iya, sekolah kita mau PAS ya?" tanya Zallen di sela-sela makannya.

"Haahh."

"Iya, 2 minggu lagi kan?" ujar Azin.

"Jadwal kita emang padat banget."

"Bener tuh, Dar. Seminggu setelah ujian kan kita praktek juga."

"Kayaknya gue salah jurusan deh."

Keempat remaja itu menatap Slena bersamaan. Slena yang sudah meletakkan kepalanya itu mengerutkan kedua alisnya menatap teman-temannya itu. Ia sedikit mengangkat kepalanya guna menatap mereka.

"Hm? Kenapa? "

Akhirnya semuanya meletakkan kepalanya di meja seperti Slena juga. Helaan nafas panjang keluar dari mulut masing-masing.

"Kita yang kalau praktek dapat nilai A aja stres begini, gimana anak-anak yang lain?" keluh Slena dengan frustasi sambil meminum minumannya. Memang ketika mereka praktek ataupun teori, bisa dibilang mendapat nilai yang bagus. Bisa melampaui yang lainnya. Tapi memang mereka menjadi lebih sibuk untuk prosesnya tersebut. Jadi, sering kali pusing menghampiri mereka.

"Gue jadi laper lagi." keluh lagi Slena memegang perutnya sambil mengerucutkan bibirnya.

"Laper ya tinggal pesen, gitu aja ribet si Slen."

"Diam ya Ley! Cari ribut aja lo sama gue. Gak gue kasih dessert kesukaan gue, lo!"

Mendengar itu, Aley terkejut kemudian mengubah ekspresinya menjadi sangat ramah sekali. Wajah yang sedari tadi malas itu kini berubah 180°. Ia yang tadi cemberut kini menjadi ceria karena ucapan seseorang itu. Dia tersenyum-senyum pada Slena. Dasar, baik kalau ada maunya doang.

"Senyum-senyum kayak orang gila aja lo!"

"Slenaaa, lo bawain dessert ya besok?"

Semua di meja itu menatap aegyo Aley dengan cringe, terutama Slena. Mereka berempat hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Aley. Kemudian Azin menepuk bahu Aley. Ekspresinya sudah ia pasang sebaik-baiknya untuk Aley, dengan bibirnya yang penuh lengkung senyum dan mata yang lebar.

"Gak punya malu ya, Ley?"

"Gimana Slen, iya bawain ya?"

Namun, reaksi Aley tampak tak menggubris ucapan teman sebangkunya itu. Ia hanya terus mengeluarkan aegyo luar biasanya. Ia bersikap seperti Azin tak pernah ada di sampingnya dan menepuk bahunya.

"Wah, udah parah nih orang."

Azin diabaikan oleh Aley. Aley tidak peduli hal lain. Kalau dalam masalah ini, dessert Slena nomor 1. Tak peduli teman sebangkunya itu yang melakukan hal aneh (?) untuk mengganggunya.

Azin dengan kesabaran seluas samudra itu pun kembali makan gorengannya sambil melihat pertunjukkan teman yang duduk di sebelahnya itu. Yah, ia sudah terbiasa dengan Aley yang alay itu. Lebih baik menonton saja daripada samudra kesabarannya itu nanti akhirnya habis disedot Aley?

"Y."

"Slen kok singkat banget sih, pasti lo mau permainin gue. "

"IYA GUE BAWAIN BESOK ALEY."

Satu kantin sampai menoleh pada meja mereka. Slena yang melihat itu buru-buru menutup mulutnya dan berbicara pelan. Ia pun menatap tajam Aley yang ada di hadapannya.

"Anjir! Gara-gara si Aley!"

Aley hanya meringis menampilkan lesung pipinya.

Kakak Baik?

Dalam sebuah ruangan yang cukup luas, terdapat beberapa siswa tengah berkumpul. Mereka tampak menantikan ucapan yang akan keluar dari seorang di hadapannya. Suasana terasa hening dengan angin dan cahaya senja yang menyapu ruangan nan luas di dalam sana.

"Hari ini bagus. Kalian sudah bekerja keras." puji seorang wanita paruh baya yang masih tampak belia yang berhasil membuat siswa-siswa itu bernapas lega. Saat ini, beliau berdiri di depan mejanya menatap keenam muridnya. Setelah itu melanjutkan kembali kegiatannya mengemasi barang-barangnya dan memasukkan ke dalam tas abu-abunya.

"Terimakasih, Bu." enam orang di ruangan itu secara bersamaan berterima kasih. Menundukkan sedikit kepalanya dengan tangan yang tertumpuk membentuk sudut segitiga di depan tubuhnya. Bentuk rasa hormat pada seseorang yang tak lain adalah guru sekaligus pembinanya.

"Hari ini pun kalian sudah menampilkan yang terbaik. Aku percaya pada kalian. Darda, sebagai vokal utama di musikalisasi ini, kamu bisa menambahkan ide pendapatmu."

"Baik. Terimakasih, Bu."

Sementara itu, Slena, Zallen, Aley dan Azin sudah berada di gerbang sekolah. Mereka tampak menunggu seseorang di balik sana. Siswa-siswi berlalu lalang di sekitar mereka. Karena ini memang sudah waktunya pulang.

"Darda mana sih?" ujar Slena berdiri di gerbang sekolahnya sambil menengok-nengok kebelakang melihat ada tidaknya keberadaan sahabatnya yang satu itu. Kakinya gelisah tidak bisa diam.

"Iya, udah sore banget juga."

"Pasti latihan musikalisasi dadakan lagi."

"Kalau gitu, kita duluan gapapa kali ya? Kan ada teman yang sejalan pulang sama Darda."

"Iya, ayo buruan pulang! Perut gue sakit banget, kayaknya kebanyakan sambel tadi." kini Slena menunjukkan wajah yang semakin gelisah. Keringat mulai bercucuran di dahinya. Ia terus bergerak acak dengan tangan yang terus memegangi perutnya.

"Toilet sekolah kan banyak, Slen. Makin lama makin gak jelas lo."

"Anjir! Diem lo Ley, inget dessert lo!"

"Bercanda doang anjir.."

Slena sudah tidak peduli lagi apapun itu, ia kini berlari untuk pulang. Rumahnya memang cukup dekat dengan sekolahnya. Sedangkan Aley hanya menggelengkan kepalanya melihat itu dan akhirnya mereka bertiga pun menyusul di belakang Slena.

"Hei hei!"

Darda yang baru keluar dari gedung sekolahnya itu melihat teman-temannya yang sudah keluar gerbang, yang mana jaraknya dengan teman-temannya dipisahkan lapangan juga halaman sekolah yang luas.

"Heii!"

Meskipun Darda sudah berteriak memanggil sambil berlari seperti itu, ketiga temannya tetap tidak mendengar. Kalau yang satu, mungkin sudah sampai di rumahnya.

Darda yang sudah sangat capek dan tidak membuahkan hasil dalam larinya itu akhirnya berhenti di gerbang depan sekolahnya. Ia mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal. Tangannya yang berada di depan dada itu kini beralih mengelap keringat yang bercucuran di pelipisnya. Ia pun mengambil air putih yang ada di dalam tasnya, meminumnya hingga tandas. Setelah itu, ia langsung merasa lega karena segarnya air berhasil membasahi tenggorokannya yang kering. Setelah merasa segar kembali, ia pun menyimpan kembali botol minumnya di tempat minum dalam tasnya. Kemudian, ia melihat ke sekitar menengokkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

"Kayaknya harus pulang sendiri.."

Memang tak ada siapapun yang ia kenal di sekitarnya. Mau tak mau ia pun harus pulang sendirian.

Setelah dirasa tidak capek, Darda kembali melangkahkan kakinya untuk sampai di rumahnya. Sepanjang jalanan, terlihat ramai remaja seusianya tengah pulang sekolah. Yah, meskipun ia tidak kenal siapapun yang ada di sekelilingnya lantaran melihat seragam mereka yang sudah berbeda.

Tiba-tiba langkahnya terhenti dengan mata tertuju akan sesuatu. Ia pun segera menuju ke sana.

"Hentikan adik-adik!"

Darda datang dan mengulurkan kedua tangannya mencoba memisahkan 4 anak TK yang sedang berkelahi. Ada 1 anak di dorong-dorong oleh 3 anak lainnya. Darda begitu kewalahan memisah anak-anak tersebut.

"Hentikan!"

Seketika 4 anak itu berhenti dan menatap Darda yang ada di samping mereka. Darda kini berjongkok menatap keempat anak itu. Matanya menatap 1 anak yang kondisinya lebih buruk dari 3 anak lainnya.

"Kenapa kalian berkelahi?"

"Si Helna mendorongku! Aku sampai jatuh dan terluka kayak gini!" ucap anak yang bernama Carle sambil menunjuk telapak tangannya yang sedikit berdarah. Wajah gadis kecil itu benar terlihat kesal dengan kerutan alisnya yang terlihat jelas. Bahkan, mulut kecilnya itu berkerucut menandakan kalau ia memang benar-benar kesal.

"Benar!"

"Benar, anak itu mendorong Carle!"

Kedua teman seumuran yang bersama Carle sontak membela teman dekatnya yang berada di tengah-tengah di antara mereka berdua. Sama seperti Carle, mereka berdua juga dipenuhi kerutan dengan bibir yang mengerucut.

Darda melihat anak yang dipanggil Helna itu hanya diam saja dengan tatapan yang masih kesal ke arah Carle. Tidak seperti anak lainnya, ia tidak mencoba membantah atau menyangkalnya. Terlihat Helna hanya berdiri saja menatap mereka bertiga, terutama Carle tanpa berniat membalas ucapan mereka. Ia hanya diam dengan wajah yang kesal kepada mereka bertiga.

Darda yang melihat itu pun mencoba berbicara kepada Helna. Ia berbicara dengan lembut sembari berusaha mengerti apa yang tengah terjadi di antara mereka.

"Mereka bilang Helna anak yang nakal. Tidak ada yang menyayangi Helna. Karena ayah meninggalkan Helna dan ibu juga pergi ke langit."

Mendengar itu, sontak Darda langsung memeluk Helna erat dengan kedua tangan hangatnya. Ia seperti merasakan kehidupan Helna yang selama ini tanpa kedua orang tuanya. Betapa beratnya anak sekecil ini sudah tak hidup bersama orang tua lagi? Darda sedih membayangkan semua hal itu.

Akhirnya, ia mendamaikan mereka berdua. Dengan kata-kata yang lembut dan penuh kehangatan, ia berusaha menasihati kedua anak tersebut. Berharap mereka bisa berhenti berselisih dan bisa menjadi teman.

"Maafkan aku, Helna."

Carle meminta maaf kepada Helna. Carle berbuat seperti itu bukan semata-mata karena membenci Helna. Ia hanya kesal saja kepada Helna, "Aku kesal karena kamu tidak pernah mau jika kuajak main. Padahal kamu sendirian. Lalu tadi kamu mendorongku. Mangkanya aku bilang kamu anak yang nakal."

Sepertinya Darda sudah tahu permasalahannya yang ada di sini sekarang. Kemudian ia mengambil hansaplast yang selalu dibawa kemana-mana olehnya di saku kirinya. Ia membuka kulit kemasan hansaplast bergambar kartun itu lalu langsung menempelkannya ke tangan Carle yang terluka akibat terjatuh.

Melihat hansaplast itu yang sudah tertempel sempurna di tangan gadis kecil itu, Darda berbicara lagi dengan Carle. Menasihatinya dengan lembut bahwa yang dilakukannya itu salah. Carle hanya menunduk sembari mengangguk-anggukkan kepalanya mendengarkan Darda. Tak lupa ia juga tidak membenarkan perilaku Helna yang mendorong Carle hingga membuatnya terjatuh dan diangguki Helna sama halnya seperti Carle.

Waktu cukup lama berlalu hingga keempat gadis kecil itu kini saling tertawa tak lagi bermusuhan seperti awal Darda datang.

"Teman?"

"Temann!!"

Ya, seperti itulah awal pertemanan mereka yang dimulai dengan pertengkaran. Namun, Carle dan kedua temannya terpaksa pergi lebih dulu karena sang ibu menjemput mereka.

"Dah!"

Lambaian Carle yang akan pergi juga dua lainnya. Helna pun hanya tersenyum dan membalas lambaian tangan mereka. Setelah teman-temannya itu hilang dari pandangannya, senyum yang di wajahnya memudar. Ia masih menatap jalan teman-temannya dan ibunya yang sudah menjauh. Helna sedih. Helna juga ingin dijemput seperti itu.

Darda yang melihat itu kemudian kembali berbicara kepada Helna.

"Helna mau es krim?"

"Mau!" Helna yang cemberut langsung ceria mendengar ucapan Darda.

"Ayo, ikut kakak!"

...--••--...

"Nenek! Nenek! Helna pulang!"

"Iya iya, Helna." dari dalam sebuah bangunan kokoh, seorang wanita paruh baya itu keluar dari halaman rumahnya. Kedua tangannya terbuka lebar menyambut cucu perempuannya ke dalam pelukannya.

"Nenek! Helna bawa pulang kakak!"

"Hm?" ujar wanita paruh baya itu mengalihkan mata dari cucu perempuannya. Ia kemudian melihat di depannya, "Ah, nenek gak lihat sekitar. Siapa ini?"

Melihat seorang nenek yang dipanggil Helna di hadapannya, Darda pun menampilkan senyumnya, "Halo, Nenek. Saya-"

"Nenek! Nenek! Kakak ini baik! Tadi Helna dibeliin es krim dan diberi permen yang ada gantungan kuncinya!" ujar Helna dengan riang sambil memegang permen dan menunjukkan gantungan kuncinya kepada sang nenek.

"Ish kamu ini! Udah berapa kali nenek bilang? Gak boleh main motong pembicaraan orang!"

"Maaf, Nek." pinta Helna yang tadi berbicara riang kini tampak cemberut dan menunduk ke bawah, memainkan jemari tangannya.

"Minta maaf sama kakak."

"Maafin Helna, Kak."

"Iya gapapa."

Namun, wajahnya kembali ceria ketika melihat wajah Darda yang tersenyum kepadanya, "Pokoknya hari ini Helna senang-senang sama kakak!"

"Astaga.. kamu ngerepotin aja.." sang nenek menatap cucunya itu dengan serius kemudian beralih menatap Darda, "Nak, maaf ya ngerepotin kamu."

"Tidak sama sekali, Nek. Saya juga yang ajak Helna. Tadi di jalan tidak sengaja bertemu Helna yang sendirian, jadi saya pulang bersama sekalian beli es krim. "ucap Darda dengan kedua tangan mengisyaratkan gerakan tidak.

Meskipun begitu, wajah sang nenek tetap terlihat tidak enak.

"Kakak, ayo masuk ke dalam!" tangan Helna menggandeng tangan Darda menariknya dan menuntunnya masuk ke dalam rumahnya, "Eh Helna, kakak harus pulang." Darda dengan pelan menghentikan langkah kakinya yang sepertinya sedikit terseret dengan tarikan tangan Helna.

"Loh kakak gak masuk?"

"Kapan-kapan ya, Helna." Darda berucap sambil tersenyum.

"Nak, beneran gak masuk dulu?"

"Terimakasih, Nek. Tapi Darda pulang saja, sudah mau malam juga."

"Begitu?" Darda hanya menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan dari sang nenek.

"Oh iya, biar dianter kakaknya Helna."

"Tidak perlu repot-repot, Nek! "

"Repot apanya. Helna, panggilkan kakak kamu."

"Kakak!"

"Kakak!"

"Kakaaakk!"

Dengan suara yang sangat keras Helna memanggil kakaknya. Tapi, tidak ada tanda-tanda kemunculan seorang yang dipanggil itu, "Ish, kakak mana sih?"

"Udah, Helna. Gapapa." imbuh Darda menepuk-nepuk penggung Helna agar ia tenang. Tangan yang sedari tadi dirangkul Helna juga kini ada di wajah gadis kecil itu. Lebih tepatnya ada di pipinya. Senyumnya tak pernah luput dari wajahnya.

"Nenek, gapapa saya pulang sendiri. Lagian rumah saya gak begitu jauh dari sini." mendengar itu, sang nenek tampak melihat sekelilingnya. Dan benar saja, rembulan sepertinya sudah siap untuk memancarkan sinarnya. Sang nenek pun mau tak mau hanya bisa mengiyakan, "Kalau begitu, hati-hati ya Nak."

Darda tersenyum dan mengangguk kepada sang nenek. Ia kemudian melepaskan tangannya dari Helna, "Kakak pulang dulu, ya?"

Helna tampak tak rela melihat Darda yang perlahan keluar dari halaman rumahnya. Melihat itu, Darda pun  melambaikan tangan ke arahnya.

"Dadah kakak!"

Helna pun balik melambai-lambaikan tangannya ke arah Darda. Tak selang berapa lama, kini Darda pun hilang dari pandangan Helna dan sang nenek.

Namun, dalam keheningan itu tiba-tiba sebuah suara bariton terdengar.

"Ada apa, Nek?"

Seseorang keluar dari dalam rumah dengan tubuh yang masih sedikit basah. Tubuhnya menjulang tinggi, mungkin kisaran kurang lebih 180 cm. Rambutnya masih terlihat titikan air. Orang lain kalau melihatnya pun pasti tahu kalau orang tersebut mandi dengan terburu-buru, jadi berpakaian pun masih basah semua. Kini ia sedang ada di depan pintu, akan menghampiri adiknya.

Sang nenek yang melihat hal tersebut akan berucap kata, namun sudah terdahului oleh sang cucu perempuannya, "Huh! Kakak darimana saja?! Tadi Helna panggil biar kakak nemani kakak!"

"Hm?" tampaknya seseorang tersebut tidak paham dengan apa yang adik perempuannya bicarakan.

"Ah, pokoknya Helna kesal sama kakak! Helna ngambek!" ungkap Helna berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya. Melewati kakaknya sambil mengerucutkan bibirnya.

Sang kakak yang melihat hal itu pun memandangi neneknya dengan bingung. Neneknya hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Melihat itu, ia masuk ke dalam mencari keberadaan adiknya. Ketika tahu di mana adiknya berada, Ia pun duduk di kursi meja makan tepat di mana adiknya berada. Ia kemudian mengangkat tubuh kecil adiknya itu dan menaruh di pangkuannya.

"Ada apa?"

"Huh!"

"Helna jadi nakal ya sekarang, gak mau bicara sama kakak."

"Habisnya Helna kesal sama kakak! Tadi kakak baik udah bermain sama Helna! Kakak itu jadi pulang sendirian.."

"Hm? Kakak baik?"

"Iya, kakak baik."

"Siapa kakak baik?"

"Kakak yang ngasih ini!" jelas Helna sambil menunjukkan permen dengan gantungan kunci tersebut kepada kakaknya. Tiba-tiba ia menurunkan tangannya dengan raut wajah yang berubah, "Loh, kakak baik tadi namanya siapa?!" Helna menatap kakaknya dengan wajah yang panik. Sang kakak hanya menggidikkan kedua bahunya.

"Siapa ya? Kok Helna tadi gak nanya.." bingung Helna berusaha mengingat interaksinya tadi. Sedangakan kakaknya yang tengah memangkunya itu hanya mencubit pelan hidung kecil Helna.

"Pokoknya ini semua gara-gara kakak!" protes Helna terus menyalahkan kakaknya karena Darda yang pulang sendirian. Ia kini bahkan sampai cemberut karena tidak tahu nama kakak yang sepanjang hari tadi menemaninya.

"Yaudah, ayo kakak beliin es krim."

"Gamau! Udah tadi sama kakak baik!"

"Kalau gitu kakak beli sendiri aja."

Kakaknya bersiap untuk berdiri dan mendudukkan Helna di kursi sebelah.

"Helna mau!" tiba-tiba tangan Helna terangkat ke kakaknya minta digendong. Kakinya juga bergerak ke atas ke bawah. Merengek pada umumnya.

"Tadi katanya gak mau."

"Mau!"

"Tadi gak mau, berarti ya gak mau."

"Kak Edren!!"

Kehidupan Darda

Darda POV

Aku tinggal di perumahan dekat anak yang kuantar kemarin. Sebenarnya tidak bisa dibilang dekat, tapi tidak jauh juga. Aku tinggal sendirian di sini. Ah, sebenarnya tempat ini adalah saksi bisu ayah dan ibu ketika membesarkanku. Namun, kedua orang tuaku itu sedang bekerja di luar kota.

Rindu? Sangat sekali. Tapi, apa rindu itu harus diwujudkan? Tidak. Ada rindu yang dapat diwujudkan dan juga ada yang tidak akan dapat diwujudkan. Selama seseorang yang kamu rindukan itu selalu ada di hatimu, maka kamu akan dekat dengan orang itu.

Rindu itu egois, apa kamu setuju? Apa aku harus mengacaukan pekerjaan kedua orang tuaku demi kerinduanku ini? Ego ku yang menginginkan mereka? Aku tahu mereka juga pasti merasakan hal yang sama sepertiku. Tapi inilah hidup, tidak semua hal di dunia ini bisa terjadi sesuai keinginan hatimu.

Author POV

Seperti sekarang, Darda tengah duduk di ruang keluarga dengan TV yang menyala di depannya. Terlihat benda kotak dengan layar bercahaya itu menampilkan film kesukaannya.

"Begitukah?"

Oh, dia sedang berbicara dengan seseorang di layar laptop nya. Ia bahkan sampai mengabaikan episode yang dari kemarin-kemarin ia nantikan.

"Hahaha."

"Jangan hanya tertawa saja! Jaga tubuh kamu juga ya, sayang."

Darda mengangguk-anggukkan kepalanya merespon seseorang di sana. Ia hanya tersenyum melihat seseorang yang ada di layar laptopnya itu mengomelinya.

"... juga selalu pakai jaket atau yang hangat-hangat. Sekarang kan musim dingin."

"Iya-iya-"

"Hatchu!"

"Loh, kamu sakit?! Udah berapa lama? Kenapa kok bisa sakit? Perlu ibu telponin dokter? Atau ibu kembali aja sekarang?"

Pertanyaan beruntun itu tiba-tiba terdengar di gendang telinganya. Ia yang sehabis bersin itu masih mencoba mengadaptasikan dirinya yang terasa bersin kembali. Namun, ternyata ia tidak bersin. Tapi, malah hidungnya yang terasa gatal saat ini.Darda pun hanya mendengarkan ibunya berceloteh sembari memejamkan matanya. Ibunya memang sangat protektif kepadanya.

"Ibu, Darda gapapa. Ibu gak perlu terlalu mengkhawatirkan Darda." akhirnya ia bisa berbicara setelah merasakan tidak ada bersin yang ke-2.

"Tidak khawatir apanya?! Kamu sakit gitu, masa ibu gak khawatir! Pasti kamu gak benar jaga kesehatan kan?"

"Apa? Engga bu-"

"Udah, biar ibu panggilin ayah kamu!"

"Ibu ibu gak perl-"

"Darda." belum sempat Darda berbicara sampai akhir, suara ayahnya datang menginterupsi. Mendengar suara tersebut Darda memejamkan matanya sembari tersenyum, "Iya, Ayah."

"Ayah denger, kamu kok gak jaga kesehatan gitu."

"Engga, Ayah. Darda jaga kesehatan."

"Kalau iya, kok bisa sakit?"

"Ini karena disini musimnya gini, dingin-dingin. Tapi sebenarnya Darda gapapa kok." Darda berusaha meyakinkan ayahnya yang tampak khawatir sama seperti ibunya. Ayahnya ini tipikal orang yang tidak bisa dibohongi. Jadi, jika Darda berbicara aneh sedikit saja, sudah pasti ayahnya menyadarinya. Tapi ia tidak berbohong kok? Ia memang menjaga tubuhnya dengan baik. Jadi, ia tak perlu khawatir.

"Engga bisa! Engga bisa! Kamu sakit gitu, pasti emang kondisinya gak enak buat kamu! Pokoknya besok ibu dan ayah akan pulang juga!"

Darda melihat ibunya yang ada di layar laptopnya itu terlihat sangat khawatir kepadanya. Sampai-sampai ibunya itu berbicara entah apa namun terlihat mempengaruhi ayahnya. Ayahnya terlihat makin khawatir setelah berbicara dengan ibunya. Darda yang melihat ini mencoba berbicara kepada ibu dan ayahnya. Dengan perlahan ia mulai berbicara, "Ibu, Ayah. Kalian gak percaya sama Darda?"

Pertanyaan itu membuat Darda dan kedua orang tuanya saling menatap satu sama lain.

"Bukan gitu maksud kami, Nak. Kami hanya ingin kamu baik-baik saja."

"Ayah lihat, Darda sekarang baik-baik aja kan?"

Darda berkata sambil merentangkan kedua tangannya menunjukkan bahwa sekujur tubuhnya dalam keadaan yang sangat sehat.

"Tapi, Darda.."

"Ibu, percaya sama Darda. Darda gapapa, baik-baik aja."

Darda tersenyum menatap layar laptopnya itu. Sedangkan kedua orang tuanya tampak tak bisa berkata apa-apa lagi. Mereka hanya bisa menatap Darda dengan penuh sayang, tanpa bisa memeluknya.

"Darda.."

"Ibu sangat ingin pulang bertemu denganmu."

"Darda juga. Tapi, ibu dan ayah kan sibuk sekali jadi kalau gak fokus kayak gini malah gak pulang-pulang. "

"Iya benar, Sayang. Maka dari itu kami akan segera menyelesaikan urusan di sini dan langsung pulang." ujar sang ibu sambil tersenyum hangat kepada Darda. Dalam layar laptop itu terlihat juga ayahnya yang menatapnya hangat meskipun tidak tersenyum lebar seperti ibunya.

Darda yang melihat itu tersenyum ceria. Ia kini juga menatap keduanya dengan hangat. Ada perasaan menghangat di dada meskipun tanpa sentuhan sayang seperti pelukan. Mereka menyalurkan rasa rindu lewat mata.

"Baiklah, Sayang. Kami tutup ya, ada pertemuan yang penting setelah ini."

"Iya Ibu, Ayah. Sampai jumpa lagi, aku sayang kalian."

"Kami juga sayang padamu."

Setelah ucapan kedua orang tuanya keluar, layar laptop yang menampilkan orang tersayangnya itu pun tertutup. Darda yang sedari tadi tersenyum ceria kini menjadi diam dalam waktu yang lama. Merasakan bahwa hawa di sekitarnya mendadak berubah setelah ia kini kembali sendirian. Iklan TV terasa lewat begitu saja tak menjamah telinga Darda.

"Sepi sekali."

Ia beranjak dari duduknya kemudian pergi melangkahkan kakinya ke balkon. Menatap hari yang sudah senja. Matanya melamun ke satu arah. Langit, yang berwarna jingga kekuningan itu. Membiarkan angin senja menerpa rambut dan wajahnya.

Perasaan ini datang lagi. Kosong dan sepi. Ia tidak suka dengan ini. Setiap selesai bertelepon dengan orang tuanya, perasaan ini selalu datang menyelimutinya. Perasaan ini membuatnya ingin dikelilingi oleh orang-orang yang disayanginya. Ia menjadi tidak suka sendirian meskipun setiap hari sudah menjalaninya.

"Sebenarnya kenapa?"

Apakah dia tidak suka ketika dihubungi oleh orang tuanya? Tentu saja sangat suka. Karena itu, ia benci dengan perasaan ini. Perasaan ini ada ketika orang tuanya meneleponnya. Padahal setelah mengalami perasaan seperti ini, ia akan melawan rasa itu hingga menjadi tembok besar dihatinya. Yang membuatnya tidak merasakan perasaan ini lagi. Namun, tembok ini akan hancur sia-sia setelah orang tuanya meneleponnya. Begitupun seterusnya.

"Aku benci."

Ia menatap langit senja dengan berbagai perasaan yang beragam. Kesal, sedih, kecewa, benci, harapan.

"Apa yang sedang kurasakan ini? Aku ingin kedua orang tuaku, aku ingin berbicara lebih lama pada mereka. Dan, aku juga ingin mereka ada di sisiku. Selalu."

Ia bingung mengungkapkan isi hatinya yang rumit. Ia ingin mengeluarkan semuanya. Ia tidak tahan dengan semua ini. Ia benci rasa kesepian ini!

"Meong."

Terdengar suara kucing, namun Darda masih terhanyut dalam perasaannya. Kepalanya tak menoleh sedikitpun. Kedua matanya menatap sendu hamparan langit sore.

"Meong."

Tak memperdulikan sekitarnya, ia masih menatap luasnya langit itu dengan hamparan yang sejuk.

"Meong."

"Meong."

"Meong."

Sepertinya suara itu berhasil mengalihkan perhatiannya. Akhirnya ia mengalihkan pandangannya dari langit di sore hari itu. Matanya beralih ke halaman rumahnya mencari sumber suara yang dari tadi terdengar itu. Setelah matanya menangkap sesuatu, ia bergegas menuju halaman rumahnya.

"Meong."

Kini di depannya sudah ada seekor kucing. Kucing itu memiliki bulu hitam lebat diselingi dengan bulu putih. Matanya tajam namun terkesan imut. Darda pun melihat kucing itu dengan seksama, "Kucing siapa ini?"

Darda melihat sekeliling sekitar rumahnya. Tidak ada siapa-siapa. Lalu kucing ini milik siapa? Setahunya tidak ada yang memelihara kucing di sekitarnya. Ia pun berjongkok pada kucing itu. Mengelus-elus bulunya, "Kamu juga sendirian?"

"Meong."

Kucing itu hanya mengeong sambil menjilati kakinya.

"Eh, tunggu."

Darda melihat kaki kucing itu yang terluka. Ia pun mengambil perban dan memakaikannya di kaki kucing itu, "Loh kok habis."

Ternyata perbannya itu masih tersisa sedikit untuk digunakan pada kucing itu. Karena perban yang habis itu ujungnya belum dikaitkan, maka ia menempelkan hansaplas agar perbannya saling terkait.

Setelah selesai, ia menepuk-nepukkan tangannya. Darda menatap kucing itu. Ia baru berpikir sekarang, kucing ini tidak rewel seperti kucing-kucing pada umumnya. Bahkan tadi saat ia memberikan perban, kucing itu hanya diam menurut, "Kamu pasti ada pemiliknya."

Darda segera lari ke dapur rumahnya mengambil sesuatu kemudian keluar kembali ke halaman rumahnya. Ia menaruh beberapa ikan untuk dimakan kucing itu. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, ikan itu tertinggal durinya saja.

"Meong!"

Darda mengelus bulu-bulu kucing itu. Lihat, untuk sesaat ia lupa dengan kesepiannya. Ia sekarang bisa tersenyum dan gemas pada kucing itu.

Triring! Triring! Triring!

Darda mendengar nada dering teleponnya yang terdengar sampai ke halaman rumahnya, "Siapa telpon jam segini?"

Ia pun bergegas lari ke dalam rumahnya untuk mengangkat telponnya itu.

"Meong."

Kucing yang ada di halaman rumahnya itu hanya mengeong. Kucing itu kemudian berjalan pergi meninggalkan halaman rumah Darda. Kucing itu terus berjalan sampai keluar kompleks tempat tinggal Darda. Kucing itu terus berjalan dan berjalan.

"Disini kau rupanya."

Seorang laki-laki muda itu berjalan menuju kucing tersebut dari arah yang berlawanan.

"Kakakk! Udah ketemu?"

Ada juga seorang gadis kecil yang kini berlari dari belakang tubuhnya. Gadis itu langsung menghampiri kucing itu. Ia berjongkok agar tubuhnya lebih dekat dengan kucing tersebut.

"Emang ya, Bren! Sukanya ngilang aja!"

"Meong."

Kucing itu hanya bergelayut manja di kaki gadis kecil itu. Gadis kecil itu pun mengelus-elus bulu lebat kucing kesayangannya. Memang ya, kalau dirawat jadi segemas ini. Ia jadi ingin terus mengelus bulu-bulu itu seperti sebelum-sebelumnya ketika berada di rumah.

Tiba-tiba tangan besar meraih tubuh gadis kecil itu. Ia yang tadinya berjongkok mengelus kucing kesayangannya itu kini beralih di gendongan sang kakak laki-laki. Posisinya ia digendong di depan bak koala dengan kepalanya yang ia sandarkan di bahu kiri sembari mengalungkan kedua tangannya di leher kakaknya.

"Udah ayo pulang."

Suara beratnya berbicara pada adik perempuannya itu. Kakinya pun mulai melangkah kembali ke rumahnya. Kucing itu mengikutinya seperti sebuah kebiasaan.

"Kakkk aku belum tahu nama kakak ituuu."

"Aku mau ketemu lagii."

"Kakak itu dimana yaaa?"

"Kakk!!"

Gadis kecil itu kesal karena kakaknya hanya diam saja tidak menanggapinya. Dengan bibir mengerucut dan wajah kesal, ia menatap kakaknya yang masih berkespresi datar itu.

"Apa?"

"Aku mau ketemu kakak ituu."

"Terus?"

"Kakakk!!"

"Iya, terus kakak harus gimana?"

"Ish!" ia menyerah dengan kakaknya yang tidak seru sama sekali. Ia pun memilih menyandarkan kepalanya di dada sang kakak. Ia bersandar menghadap kiri menatap kucing imut kesayangannya yang sedang berjalan di sampingnya itu. Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu.

"Kaki Bren kenapa kak?!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!