Gressanata Eleanor Valmoris. Gadis cantik dengan mata coklat yang menurun dari sang Ayah. Rambut panjang sepinggang yang juga berwana coklat, bulu mata lentik, bibir mungil yang terlihat sangat indah bila tersenyum, juga gigi kelinci yang menambah kesan manis dan lucu bagi Ellen. Usianya masih 15 tahun, saat ini ia masih duduk di bangku SMA lebih tepatnya kelas 10 yang seharusnya baru masuk tahun depan, tapi karena Ellen adalah anak yang pintar dan tergolong jenius, jadi dia loncat kelas saat masih SD. Karena kehidupannya yang terlihat sempurna, semua orang selalu berpikir bahwa hidup Ellen sangat bahagia dan menyenangkan, hanya karena terlahir dari keluarga yang sangat di hormati juga kaya raya. Hanya orang-orang beruntung saja yang bisa mengenal bagaimana Ellen dan sifat aslinya.
Dia palsu.
Manipulatif.
Pengecut.
Pembohong.
Di balik wajah dingin dan tidak peduli sekitarnya, dia adalah orang yang lemah. Banyak rasa sakit di hidupnya yang orang lain tidak tahu, hanya saja karena dia sangat pandai memakai topengnya membuat banyak orang menilai jika Ellen adalah orang yang sombong karena kekayaan yang dimilikinya.
Liburan semester adalah hari yang ditunggu banyak siswa siswi sekolah. Untuk berlibur bersama keluarga, menghabiskan waktu bersama teman atau hanya bersantai untuk menghilangkan rasa penat belajar. Namun itu tidak berlaku bagi Ellen. Di rumah besar ini hanya ada dirinya dan juga para pekerja rumah, ibunya sudah meninggal saat ia berusia 10 tahun. Ayahnya? Entahlah, hampir 5 tahun terakhir ini Ayahnya benar-benar berubah, selalu mengabaikan Ellen, tidak memperdulikan bagaimana keadaannya bahkan keberadaannya seperti tidak terlihat.
Sedari tadi gadis itu merebahkan tubuhnya di kursi dekat kolam. Melemunkan dan mengingat semua yang telah ia lewati selama ini untuk tetap menjalani hidup.
Nyatanya hidup bergelimang harta tidak menjamin kebahagiaan dan ketenangan. Pikirannya terus berputar pada kehidupannya beberapa tahun lalu.
flashback on.
Saat itu ia masih berada di bangku SMP . setelah setahun lebih kematian Ibunya. Suatu malam Ayahnya pernah pulang larut malam dalam keadaan mabuk. Saat ingin pergi ke dapur untuk mengambil minum, ia malah berpapasan dengan Ayahnya yang baru saja pulang.
"Dad baik-baik saja? Kenapa pulang larut sekali" tanya Ellen saat melihat ayahnya berjalan sempoyongan.
"Minggir!! Pergi dari hadapanku. Dasar pembunuh!" Bentak sang ayah membuat Ellen bingung.
"Apa maksud Dad, siapa yang pembunuh?"
"Bisa-bisanya kamu masih bertanya setelah membunuh istri saya!!'
"Tidak Dad, aku tidak membunuh Mom kenapa Dad bicara seperti itu padaku"
"Kenyataannya kamu memang penyebab istri saya tiada!!" setelah mengatakan itu sang ayah langsung tidak sadarkan diri.
Sejak saat itu kehancuran hidupnya di mulai. Ia selalu berusaha menyangkal karena berpikir bahwa ayahnya mengatakan itu dalam keadaan tidak sadar. Tapi banyak yang mengatakan jika orang mabuk selalu mengatakan hal jujur tentang apa yang ia rasakan.
Karena terus memikirkan hal itu, hampir setiap malam gadis itu selalu bermimpi buruk tentang kematian Ibunya dan ucapan Ayahnya yang selalu terngiang-ngiang di pikirannya. Merasa ketakutan setiap melihat bayangan dimana ibunya tertembak tepat di depan mata kepalanya sendiri.
Karena rasa ketakutan dan trauma yang begitu besar membuat gadis itu sampai mengalami tekanan batin yang membuatnya benar-benar merasa kesulitan sampai harus konsultasi ke dokter dan mengonsumsi obat penenang saat ingatan buruk itu kembali lagi.
Setelah mengetahui apa penyebab Ayahnya membenci dirinya, Ellen selalu berpikir apakah ia harus menyusul Ibunya dengan cara yang sama agar Ayahnya tidak berpikir seperti itu lagi. Apakah dia juga harus tertembak agar Ayahnya bisa memaafkan kesalahan yang bahkan tidak pernah ia lakukan sama sekali. Sejak kebenaran itu tertangkap gadis itu selalu ikut Kakek dan Neneknya saat liburan sekolah.
Italia. Negara itu menjadi saksi bagaimana nyawanya selalu terancam. Mulai dari meminta sang Kakek untuk mendaftarkan dirinya ke Shooting Club. Saat melihat berbagai senjata api, Ellen selalu mengingat kenangan buruk itu, Kakeknya sudah melarangnya agar tidak memaksakan diri tapi ia tetap ingin melakukan hal itu.
"Ellen ayo kita pulang saja. Tidak usah memaksakan dirimu sendiri, memangnya untuk apa kamu melakukan hal ini" ucap William, Kakek Ellen.
"Ellen hanya ingin menghilangkan rasa takut ini, Kakek. Lagipula ini baru sekali percobaan jadi tidak masalah."
"Tapi tanganmu selalu bergetar saat memegang senjata api itu." ucap William yang sedari tadi memperhatikan Ellen.
"Kakek hanya tidak ingin kamu merasa tertekan. Ayo kita pulang, sweetie." lanjut William karena merasa tidak tega melihat cucunya selalu memaksakan dirinya sendiri.
"Dan Ellen akan jauh lebih tertekan jika tidak bisa melakukan hal ini" ucap Ellen lemah.
"Kakek, Ellen hanya ingin menghilangkan rasa takut ini saja. Tolong biarkan Ellen terus mencoba walau berulang kali" lanjut Ellen berusaha membujuk Kakeknya.
"Oke Kakek ijinkan, tapi ingat tidak ada yang memaksamu untuk melakukan semua ini, jadi jika memang tetap tidak bisa jangan memaksakan dirimu sendiri. Mengerti." Putus sang Kakek, dia benar-benar tidak bisa menolak permintaan cucu kesayangannya itu.
"Kakek yang terbaik" ucap Ellen semangat dengan mata berbinar.
"Sepertinya Kakek tidak bisa menemanimu, setelah ini ada meeting yang tidak bisa Kakek tinggalkan" ucap Kakeknya setelah memeriksa ponselnya.
"Emm tidak masalah Kakek pergi saja"
"Kakek akan menyuruh beberapa pengawal untuk menemanimu disini"
"Tidak perlu, bukankah tempat ini milik teman Kakek, jadi Ellen akan baik-baik saja disini" tolak Ellen. Oh ayolah dia sudah muak dengan semua pengawal itu.
"Tapi-"
"Please" bujuk Ellen lagi dengan puppy eyes-nya
"Hah baiklah. Ya sudah Kakek pergi dulu." Sang Kakek hanya bisa menghela nafas berat dan menyetujui apa yang Ellen minta.
"Hati-hati" ucap Ellen saat Kakeknya perlahan berjalan menjauh.
"Bye sweetie" ucap sang Kakek melambaikan tangannya yang juga di balas lambaian tangan oleh Ellen.
Setelah Kakeknya pergi, Ellen menghembuskan nafasnya berulang kali. Bagaimanapun caranya ia harus bisa menghilangkan rasa takut ini dan entah kenapa gadis itu punya pikiran untuk lebih dekat dengan hal-hal yang berkaitan dengan kematian ibunya, tanpa berpikir jika hal itu juga bisa membahayakan dirinya sendiri.
Yang ada di pikirannya saat ini bagaimana caranya agar Ayahnya tidak lagi membencinya walaupun dia harus berakhir sama dengan sang Ibu. Bukankah sama saja jika hidup tidak pernah di anggap keberadaannya dan yang lebih menyakitkan saat ia di sebut sebagai penyebab kematian Ibunya oleh Ayahnya sendiri.
Sejak kedatangannya tadi banyak pasang mata yang terus memperhatikannya, Ellen tau hal itu tapi ia tetap mengacuhkannya. Bagaimana tidak jadi pusat perhatian, gadis itu terlihat cantik walaupun hanya mengenakan setelan berwarna hitam dan juga topi putih yang terlihat cocok untuknya, terlebih lagi ia datang bersama William Valmoris. Siapa yang tidak mengenalnya, orang kaya raya yang paling di hormati di beberapa negara apalagi kekuasaan yang di milikinya tidak main-main, tapi baru kali ini mereka melihat cucu dari seorang William Valmoris. jadi tidak heran kenapa semua orang memperhatikan Ellen dan Kakeknya.
Tidak terasa sudah delapan hari gadis itu latihan menembak, dari pagi hingga malam hari. Memang usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Ellen sudah bisa menghilangkan rasa takut dan trauma terhadap senjata api itu, bahkan bisa di bilang ia cukup mahir menggunakan beberapa jenis senjata api, padahal ia baru mempelajarinya dalam waktu singkat.
Ini hari terakhir dia latihan menembak. Memang awalnya Ellen hanya ingin menghilangkan rasa takutnya tapi tidak di sangka ia malah memiliki bakat dalam hal ini. Tidak di ragukan lagi, Ellen memang serba bisa karena jika dia sudah menginginkan sesuatu maka ia akan berusaha dengan keras kecuali mengembalikan kasih sayang Ayahnya seperti semula. Bahkan sampai saat ini gadis itu masih mencari cara agar bisa mengembalikan Ayahnya seperti dulu lagi.
Ellen saat ini masih fokus latihan, dia tidak akan menyia-nyiakan hari terakhir ini. Dia akan menghabiskan waktu liburannya bersama Kakek dan Neneknya karena beberapa hari lagi ia akan kembali ke LA bersama Ayahnya lagi.
"Hey little girl" ucap laki-laki paruh baya seraya menepuk pundak Ellen.
"You startled me, Jay!" Ucap Ellen benar-benar terkejut, untung saja gadis itu tidak sampai memukulnya.
"Sorry, I didn't mean to startle you." sesal Jay merasa bersalah. Dia adalah pemilik tempat ini sekaligus teman Kakek Ellen.
"Yes, it is okay"
"I don't think you really have any friends here." ucap Jay pada Ellen.
"Many people want to approach you, why don't you try to be friends with them?" lanjut Jay merasa heran, disini banyak yang ingin mendekati Ellen tapi gadis itu enggan menerima mereka.
"they all want to approach me because they know who I am. sorry but I don't need fake friends"
"No wonder William's blood flows in your body. You really look alike." ucap Jay terkekeh membuat Ellen memutar bola matanya malas.
"Look at that girl. Actually, she really wants to be friends with you." ucap Jay seraya menujuk kearah seorang gadis.
"I don't care" balas Ellen setelah melihat apa yang Jay tunjukkan.
“Her name is Katy. Since you came here, He has always been paying attention to you but he doesn’t dare to come close." jelas Jay pada Ellen.
“Didn't I tell you that I don't care?” balas Ellen membuat Jay mengembuskan nafas kasar.
"Is this really the last day you come here?" tanya Jay mengalihkan pembicaraan.
"Yeah, because my holiday is almost over, so I want to spend time with grandpa and grandma." jelas Ellen.
"Aren't you coming here anymore?"
"I will visit you again if I have time"
"Yeah, just continue your training, I'll check on the others." pamit Jay setelah itu dia pergi meninggalkan Ellen dan gadis itupun melanjutkan kegiatannya.
...----------------...
Seperti biasa Ellen sampai di rumah jam delapan malam. Gadis itu langsung pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri, mungkin setelah ini akan makan malam bersama dengan Kakek dan Neneknya.
Selesai mandi Ellen langsung turun ke bawah dengan setelan piyamanya. Mungkin Kakeknya sudah pulang bekerja dan akan makan malam bersama.
"Nek, Kakek belum pulang?"
"Belum sweetie. Ohh ya kapan kamu pulang, kenapa Nenek tidak melihatmu"
"Baru saja. Ellen langsung mandi jadi tidak sempat mencari Nenek dulu"
"Ya sudah duduk dulu, mungkin sebentar lagi Kakekmu pulang"
"Apakah kalian sudah rindu padaku, hmm" sahut William yang baru saja tiba.
"Tidak ada yang merindukanmu. Sudah cepat pergi bersihkan dirimu setelah itu kita makan malam bersama"
"Sweetie kenapa Nenekmu galak sekali" tanya William pada Ellen. Membuat gadis itu geleng-geleng kepala.
"Yaa. Sudah ku bilang cepat bersihkan dirimu. Cucuku sudah kelaparan karena terlalu lama menunggumu"
"Baiklah baiklah aku menyerah"
"Ada-ada saja" perdebatan mereka membuat Ellen tidak bisa menahan tawanya.
Beberapa menit kemudian William datang dengan keadaan yang lebih segar setelah membersihkan diri. Mereka pun mulai makan malam bersama dengan tenang.
"Besok mau kemana sweetie?" Tanya William pada Ellen.
"Belum tau Kakek"
"Memangnya tidak pergi latihan" tanya Amber karena tidak tau jika hari ini adalah hari terakhir Ellen berlatih menembak.
"Dia pergi kesana hanya untuk menghilangkan rasa takutnya bukan untuk menjadi penembak jitu" sahut William asal.
"Aku kan cuma nanya kenapa kamu yang sewot" balas Amber kesal.
"Mau ikut Kakek ke kantor aja gak?" tanya William, ia takut jika nanti Ellen akan merasa kesepian lagi.
"Boleh?" tanya Ellen memastikan.
"Boleh dong apapun yang kamu mau Kakek sama Nenek akan usahain" balas William.
"Iya sayang, kalau kamu mau apa-apa bilang aja" lanjut Amber membuat Ellen benar-benar merasa di sayangi walaupun hanya di rumah ini.
"Makasih, Ellen sayang kalian"
"Sama-sama sayang, kita juga sayang sama Ellen"
Hanya di rumah ini Ellen merasakan kehangatan. Saat kembali nanti Ellen pasti akan merasa di acuhkan kembali oleh Ayahnya. Meskipun begitu gadis itu enggan meninggalkan Ayahnya.
"Nona Ellen." panggil salah satu pelayan seraya menepuk pundak Ellen.
Sejak tadi pelayan itu sudah memanggil Ellen berulang kali tapi gadis itu tidak mendengarnya.
"Ya." jawab Ellen setelah tersadar dari lamunannya.
"Tuan sudah pulang dan baru saja memasuki gerbang utama."
"Really?" Tanya Ellen semangat yang di balas anggukkan oleh pelayan itu.
"Ya sudah aku pergi dulu. Terimakasih Bibi."
Gadis itu berlari penuh semangat masuk ke dalam rumah. Dengan tergesa-gesa ia menuju ruang keluarga dan mengambil dua piala dan medali emasnya di atas meja.
Seseorang baru saja memasuki ruang keluarga. Dia adalah Grayson, Ayah Ellen. Membuat gadis itu segera menghampiri Ayahnya dengan semangat untuk menunjukkan apa yang ia bawa.
"Dad, lihat ini." ucap gadis itu seraya mengangkat kedua tangannya untuk memperlihatkan piala dan medali yang ia bawa.
"Aku baru saja menang olimpiade dan lomba taekwondo. Bagaimana jika kita merayakannya." lanjut gadis itu semangat dengan mata berbinar penuh harap.
"Saya sibuk."
"Tidak bisakah Dad meluangkan waktu untukku sedikit saja?" tanya Ellen berusaha membujuk sang Ayah.
"Kumohon sekali ini saja." Lanjut Ellen lagi dengan tatapan memelas.
"Saya sibuk. Apa kamu tidak mengerti juga." ucap Grayson seraya berjalan menjauh dari gadis itu.
"Sampai kapan?" Tanya Ellen sontak membuat Grayson berhenti melangkah.
"Apa maksud kamu?" Tanya Grayson setelah membalikkan tubuhnya kearah Ellen.
"Sampai kapan Dad bersikap seperti ini padaku?"
"Saya lelah, tidak usah mencari gara-gara."
"Katakan saja jika sudah tidak menginginkanku lagi."
"Terserah kamu mau mengatakan apa. Saya sedang tidak ingin berdebat." Ucap Grayson kembali melangkahkan kakinya untuk kembali meninggalkan gadis itu.
"Aku ingin pindah ke Indonesia" ucap Ellen membuat Grayson kembali menghentikan langkahnya seraya berbalik kearah sang anak.
"Untuk apalagi kamu pindah ke sana? Tidak cukup selama ini sudah banyak menyusahkan saya." balas sang Ayah penuh penekanan.
"Untuk apalagi aku di sini? Bukankah selama ini Dad tidak pernah menganggap ku ada?" tanya sang Anak dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca.
"Memangnya apa kesalahanku? Sampai Dad begitu membenciku? Bahkan sudah hampir 5 tahun Dad bersikap seperti ini padaku"
Sebenarnya ia sudah tau beberapa tahun yang lalu apa alasan sang Ayah membencinya, tapi dia ingin mendengarnya secara langsung, siapa tau Ayahnya salah bicara waktu itu.
"Kamu mau tau kenapa saya membencimu?" Tanya sang Ayah.
"Karena kamu penyebab Istri saya tiada. Jika saja Dia tidak menyelamatkanmu dari para penculik itu, maka semua ini tidak akan terjadi dan Dia tidak akan pernah meninggalkan saya" teriak sang ayah dengan mata yang sudah memerah.
"Dan aku yang akan tiada? Begitu maksud Dad?" Sang anak menggeleng tidak percaya. Tak terasa air matanya mengalir begitu saja.
"Jangan menangis!! Kamu lupa jika istri saya tidak suka melihat kamu menangis!" Bentak sang ayah, membuat Ellen langsung mengusap air matanya dengan kasar.
"Bagaimana bisa Dad mengatakan semua ini kesalahanku. Aku sangat menyayangi Mom, aku juga tidak ingin Mom pergi, tapi semua ini sudah Takdir." balas sang anak dengan suara yang mulai melemah.
"Tidak usah bawa-bawa Takdir! ni semua memang kesalahanmu." bentak sang ayah tetap kekeuh menyalahkan sang anak.
"Aku juga tidak ingin Mom pergi. Jika bisa di ganti aku akan menggantikan Mom saja, daripada hidup tapi tidak pernah di anggap ada oleh Dad." teriak Ellen dengan memukuli dadanya yang terasa semakin sesak karena tidak boleh menangis.
"Cukup Ellen!!" Bentak sang Ayah menolak kenyataan. walaupun hatinya sempat terasa sakit setelah mendengar ucapan sang Anak tapi egonya lebih besar dari apapun.
"Pergi saja jika kau ingin pergi. Memangnya apa yang bisa di banggakan dari dirimu"
Ellen. Gadis cantik penuh Prestasi, Cucu satu-satunya dari keluarga Valmoris dan juga cucu kedua dari keluarga Dirgantara yang begitu di sayang oleh semua keluarganya, tapi setelah kematian ibunya, sekarang Ellen malah di benci ayahnya sendiri karena dianggap sebagai penyebab kematian ibunya. Semua keluarga Ellen tidak tau tentang masalah ini. Dulu Ellen dan orang tuanya memang tinggal di Indonesia tapi semenjak usia Ellen menginjak 5 tahun, mereka memilih pindah ke Los Angeles, awalnya hanya sementara karena ayah Ellen harus mengurus perusahaan yang ada di sana, tapi pada akhirnya mereka memilih untuk menetap di LA, karena itu tidak ada yang tau jika Ellen di benci ayahnya sendiri kecuali Lucy pekerja di rumah Ellen dan William kakek Ellen, ayah dari ayahnya Ellen.
Ellen, Gadis itu hampir tidak bisa berkata-kata lagi setelah mendengar ucapan sang Ayah.
"Apa Dad pernah sekali saja menghadiri acara di sekolahku? Ah jangankan mendatangi sekolah, melihatku saja Dad tidak pernah." jawab Ellen dengan kekehan.
"Setelah Mom tiada, Ellen selalu berusaha dengan keras. Memenangkan banyak perlombaan dalam bidang Akademik maupun Non Akademik dan itu semua Ellen lakukan agar Dad mau melihat Ellen sekali saja"
"Tidak masalah jika Dad tidak mau menganggap Ellen ada, tapi Ellen mohon lihat Ellen sekali saja Dad." mencoba untuk tetap tersenyum walaupun dadanya terasa begitu sesak.
"Itu sudah cukup bagi Ellen" lanjut Ellen dengan suara lirihnya
Percayalah tidak mudah mengatakan semua itu saat penyakitnya mulai kambuh, sejak tadi Ellen sudah merasa cemas dan ketakutan yang berlebih tapi berusaha menahannya, bahkan tangannya sudah berekringat dingin dan badannya mulai bergetar, hanya saja sang Ayah tidak memperhatikannya.
"Saya akan segera mengurus kepindahan mu." setelah mengatakan itu dia pergi begitu saja meninggalkan Putrinya. Walaupun hati kecilnya tidak rela sang Putri pergi tapi ia tetap menyangkalnya.
Tubuh Ellen merosot kebawah dengan tatapan kosong. Seseorang yang sedari tadi bersembunyi di balik tembok segera menghampiri Ellen.
"Nona Ellen baik-baik saja" tanya Lucy atau yang sering di Ellen panggil dengan sebutan Bibi Lu. Dia adalah salah satu pekerja di rumahnya sekaligus orang yang merawat Ellen sejak umur 5 tahun.
"Bibi Lu kenapa rasanya sakit sekali." tanya Ellen seraya menepuk dadanya beulang kali, bahkan kepalanya juga sudah mulai pusing. Bibi Lu tidak bisa menahan air matanya saat melihat Ellen seperti ini.
"Semua akan baik-baik saja. Bibi akan selalu bersama Nona Ellen. Menangis saja tidak usah di tahan" ucap bibi Lu seraya mengusap sisa air mata Ellen yang belum mengering.
"D-darah Nona Ellen kenapa hidungmu berdarah lagi" tanya bibi Lu panik dan berusaha membersihkannya.
"Tidak apa-apa" jawab Ellen berusaha menenangkan.
Bibi Lu menghela nafas berat, ini memang bukan pertama kalinya Ellen seperti ini, tapi dia sama sekali tidak tau apa penyebabnya.
"Apakah masih sering seperti ini" tanya bibi Lu yang hanya di balas anggukkan oleh Ellen.
"Baiklah ayo istirahat, biar Bibi yang mengantarkan Tuan Putri ini ke kamar" ucap bibi Lu mencoba menghibur Ellen.
Membuat Ellen mengangguk dengan senyum manisnya agar tidak semakin membuat Bibi Lu khawatir.
Setelah sampai di kamarnya, Ellen menyuruh Lucy untuk segera pergi dari kamarnya tak lupa mengunci pintu. Setelah itu ia mengobrak abrik isi kamarnya untuk mencari obat penenang yang biasa ia minum dan setelah itu langsung meminumnya, matanya terasa semakin memberat dan perlahan gadis itu mulai tertidur.
Kembali lagi ke ruang tamu, setelah keduanya pergi ke kamar Ellen, tanpa di sadari ada yang melihat dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
Dia adalah Daniel Grayson Valmoris ayah Ellen. Grayson adalah anak dari William, pria asli Indonesia yang menikahi Amber, gadis yatim-piatu dari Los Angeles. Mereka bisa saling mengenal karena dulu William mendapatkankan beasiswa ke LA membuat mereka bertemu di universitas yang sama. Dulunya marga Valmoris tidak begitu di kenal banyak orang tapi karena usaha William kini semuanya mengenal marga itu bahkan perusahaannya bercabang di beberapa negara.
Kembali lagi ke Grayson. Kini dadanya terasa sesak setelah mendengar apa yang mereka bicarakan apalagi setelah melihat darah yang mengalir dari hidung Putrinya. Ada rasa tidak tega, tapi hatinya begitu bimbang tidak tahu apa yang harus di lakukan selain diam dan menganggap semua akan baik-baik saja.
...----------------...
*Penyakit pada hidung ini bisa dipicu oleh banyak hal, mulai dari benturan keras di hidung hingga kondisi medis tertentu yang memengaruhi hidung.
Namun, Anxiety and Depression Association of America melaporkan bahwa mimisan juga bisa terjadi saat stres dan kecemasan kronis.
Bahkan, orang-orang yang sering stres dan cemas berlebihan lebih berisiko mengalami mimisan kronis yang sifatnya kambuhan dan sering mimisan tiba-tiba.
Hanya saja, perlu diketahui bahwa stres atau kecemasan tidak mengakibatkan mimisan secara langsung.
Biasanya, terdapat kondisi lain yang menyertai stres atau kecemasan Anda sehingga bisa menyebabkan mimisan, seperti kebiasaan atau perilaku, kondisi kesehatan tertentu, dan obat-obatan.
Sakit kepala. Stres terkadang bisa memicu gejala fisik tertentu, salah satunya sakit kepala. Jika terjadi cukup parah, sakit kepala saat stres juga bisa memicu atau disertai dengan mimisan.
Semua orang menjalankan hari-harinya seperti biasa. Ada Grayson, ayah Ellen yang sibuk dengan pekerjaannya. Setelah perdebatan beberapa hari yang lalu, Grayson semakin sibuk dan jarang pulang ke rumah. Walaupun dia pulang, akan sangat larut saat semua orang sudah tidur.
Ada juga Ellen, yang sibuk dengan urusannya. Beberapa kali gadis itu pernah tidak pulang ke rumah ,entah kemana perginya.
Bukankah percuma jika ia berada di rumah besar ini tapi hampir tidak pernah bertemu dengan Ayahnya sendiri.
Banyak yang berubah dari Ellen Dari dulu Ellen memang orang yang pendiam tapi sekarang ia berubah menjadi orang yang lebih dingin dan hanya bicara seperlunya saja.
Ellen baru saja masuk ke rumah. Gadis itu keluar sejak kemarin dan baru pulang siang ini. Ternyata sudah ada Grayson yang sedang duduk di ruang tamu, sepertinya memang sengaja menunggu kedatangan Ellen.
Tidak menyadari keberadaan sang Ayah, Ellen tetap melanjutkan langkahnya untuk pergi ke kamar, tapi belum sampai menaiki tangga, tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya.
"Eleanor" panggil Grayson seperti biasa, dengan nada yang terkesan dingin.
Ellen berhenti dan membalikkan badannya kearah sang Ayah. Tidak mengatakan apapun menunggu Grayson melanjutkan ucapannya.
"Hari ini kamu akan pindah. Jam 8 malam nanti waktu penerbangan mu. Segeralah bersiap-siap." Lanjut Grayson terkesan tidak peduli.
"Ya" hanya itu yang mampu Ellen ucapkan. Setelahnya gadis itu kembali berjalan ke kamarnya.
Setelah menutup pintu kamar badannya merosot begitu saja.
"Mom, apakah yang Ellen lakukan sudah benar" ucap Ellen sembari menatap langit-langit kamar.
Perlahan air matanya ikut mengalir tapi ia segera mengusapnya karena teringat saat Ayahnya membentaknya beberapa hari yang lalu.
Gadis itu terus berpikir apakah yang ia lakukan benar atau salah. Di satu sisi ia ingin tetap bersama Ayahnya tapi di sisi lain semakin kesini keberadaannya semakin tidak terlihat oleh sang Ayah.
Ketukan pintu dari luar membuat Ellen segera berdiri dan membukakan pintu. Ternyata itu adalah Lucy.
"Apakah Nona Ellen benar-benar akan pindah" tanya Lucy setelah masuk ke kamar Ellen.
"Iya. Lagipula ada atau tidak adanya Ellen sama saja bagi Dad" jawab Ellen dengan senyum tipisnya.
Menghela nafas panjang seraya mengusap kepala Ellen. Dia tidak menyangka hidup Ellen akan seperti ini akhirnya.
"Bibi akan ikut kemanapun Nona Ellen pergi" jawab Bibi Lu penuh keyakinan.
"Tidak perlu, Bibi Lu tetap disini. Jika Bibi Lu ikut bersama Ellen, lalu siapa yang akan menjaga Dad" tanya Ellen khawatir.
Belum sempat Lucy bicara lagi, Ellen lebih dulu menyelanya.
"Ellen bisa jaga diri baik-baik, tidak perlu khawatir. Apakah Bibi Lu lupa siapa Ellen." Tanya Ellen menaik turunkan alisnya.
Baiklah jika sudah begini Lucy hanya bisa pasrah saja.
Ingatkah kalian jika gadis itu pernah menang lomba taekwondo? Bahkan masih banyak lagi lomba dan olimpiade yang pernah ia menangkan. Sayangnya semua itu tidak cukup membuat Ayahnya mau melihat kearahnya lagi.
"Tetap jaga diri baik-baik selalu hubungi Bibi dan jangan sampai sakit. Mengerti?" ucapnya memperingati Ellen yang di balas anggukkan dan senyum manis dari Ellen.
"Kapan Nona Ellen berangkat?" tanya Lucy seraya merapikan rambut Ellen.
"Nanti jam 8."
"Baiklah ayo Bibi bantu mengemas barang-barang tuan putri ini" kata Bibi Lu yang hanya di balas anggukkan dari Ellen.
Keduanya sibuk mengemasi baju dan barang-barang yang akan Ellen bawa dan akan memasukkannya ke dalam koper.
"Sebentar, biar Bibi ambilkan koper lagi." ucap Lucy memecah keheningan dari beberapa menit yang lalu.
"Tidak perlu Bibi Lu. Cukup satu koper saja."
"Pasti tidak akan muat. Lihat saja semua baju ini." Ucap Lucy seraya menunjuk baju di atas tempat tidur Ellen.
"Aku hanya akan membawa seperlunya saja. Kenapa Bibi mengeluarkan semuanya." Balas Ellen seraya menggelengkan kepalanya.
"Semua baju yang Bibi keluarkan masih baru. Jadi Bibi pikir Nona Ellen akan membawa semuanya." ucap Lucy dengan polosnya membuat Ellen kembali menggelengkan kepalanya.
"Bahkan koper ini saja tidak akan muat menampung semua baju ini." balas Ellen seraya menunjuk baju-baju yang Lucy keluarkan.
"Biar aku saja yang memasukkannya kedalam koper." putus Ellen karena waktunya tidak banyak lagi.
Ellen memasukkan barang apa saja yang akan ia bawa. Beberapa pasang sepatu dan tas juga yang lainnya. Untuk baju ia hanya membawa semuat kopernya saja.
Setelah kurang lebih satu jam selesai mengemasi semua barangnya dan Lucy juga sudah pergi dari kamar Ellen beberapa menit yang lalu.
Kini gadis itu juga sudah selesai bersiap siap untuk segera pergi ke Bandara. Semuanya cukup terburu-buru karena jarak rumah ke Bandara lumayan jauh.
Keluar dari kamar tidak lupa menutupnya kembali. Kini Ellen memandangi semua yang ada di rumah ini. Mulai dari kamar sampai lantai bawah, hingga tibalah ia di ruang tamu. Di sana sudah ada Grayson dan juga Lucy yang sedang menunggu Ellen.
Menghela nafas panjang, Kini Ellen mendekati Grayson tidak lupa memasang senyum manisnya.
"Dad, Ellen pergi dulu. Terimakasih untuk semuanya. Jangan lupa tetap jaga kesehatan, jangan terlalu sibuk Bekerja, jangan pulang larut malam, makan dengan teratur, tidur tepat waktu dan tolong jangan sakit." Ucap Ellen panjang lebar dengan suara lirihnya.
Perlahan berjalan mendekat ingin memeluk Ayahnya, namun baru selangkah Ellen maju Grayson malah berjalan mundur seolah tidak mau memeluk Ellen. Matanya sudah berkaca-kaca, kini Ellen beralih mendekati Bibi Lu.
"Ellen pergi dulu ya" ucap Ellen berusaha tetap tersenyum.
"Biarkan Bibi ikut. Bibi tidak akan bisa tenang jika tidak berada di dekat Nona Ellen" kata Lucy yang sudah berlinangan air mata.
"Tetap disini, Ellen titip Dad" balas Ellen seraya memeluk Lucy dengan erat.
Melepas pelukannya kini Ellen beralih menghapus air mata Lucy. "Ellen pergi sekarang ya, nanti bisa ketinggalan pesawat."
Lucy tidak berhenti menagis, Bagaimanapun Dia yang merawat Ellen dari kecil. Rasanya sangat tidak rela jika harus membiarkan Ellen pergi darinya.
Mundur beberapa langkah, kini Ellen menatap Grayson dan Lucy bergantian.
"Ellen pergi dulu, jaga diri kalian baik-baik dan sampai bertemu kembali." Pamit Ellen dengan melambaikan tangannya yang hanya di balas oleh Lucy.
Setelah itu ia keluar dari rumah tanpa menoleh lagi ke belakang. Walaupun ingin rasanya melihat ke belakang karena teriakan Lucy yang memohon agar Ellen tidak pergi, tapi Ellen tetap melanjutkan langkahnya. Jika berbalik bisa saja ia berubah pikiran karena tidak tega dengan tangisan Lucy.
Setelah keluar dari rumah Ellen langsung masuk ke mobil dan membiarkan Supir memasukkan kopernya. Selama perjalanan ke Bandara Ellen hanya diam menatap jalanan dengan tatapan kosong. rasanya sangat lelah dan menyesakkan.
Sesampainya di Bandara Ellen segera mengurus berbagai keperluan untuk Penerbangannya. Setelah menunggu setengah jam lebih kini Pesawat yang di tumpangi Ellen telah lepas landas menuju Indonesia.
"Selamat tinggal Los Angeles" batin Ellen dalam hati seraya memejamkan matanya.
Selama di pesawat Ellen hanya memejamkan mata. Semuanya bercampur aduk, Ada rasa sesak tapi juga ada rasa lega. Mungkin Ellen pikir, sekarang ia akan lebih dekat dengan Ibunya, karena dulu Mommy nya memang di makamkan di Indonesia.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!