NovelToon NovelToon

MENIKAHI GADIS DESA KARENA WARISAN

Bab 1 - Warisan

Prolog :

Karena wasiat yang ditinggalkan oleh sang kakek, Wisnu Wardana diminta menikahi wanita pilihan kakeknya, jika ia ingin mendapatkan warisan sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang perbankan.

Sayangnya wanita yang ingin dijodohkan dengannya adalah seorang gadis desa bernama Annisa Salsabila. Sangat jauh dari tipe wanita idamannya. Di waktu yang bersamaan, ia juga sudah mempunyai kekasih yang tidak mungkin ia tinggalkan begitu saja hanya karena harus menikahi Annisa.

Selain diminta menikahi Annisa, Wisnu juga diminta untuk tinggal selama setengah tahun di desa tempat tinggal Annisa untuk beradaptasi dengan kampung halaman asal orang tua kakeknya dahulu.

Apakah Wisnu akan menerima wasiat dari sang kakek, demi harta warisan kakeknya itu? Karena jika ia menolak, bukan tidak mungkin perusahaan perbankan yang sudah lama ia idamkan akan jatuh pada sepupunya yang juga menginginkan warisan yang sama milik kakek mereka.

...❤️❤️❤️...

Pengenalan tokoh :

Wisnu Wardana (30 Tahun)

Wisnu adalah CEO di perusahaan leasing milik orang tuanya. Sebagai cucu laki-laki pertama dari pengusaha kaya raya Atmadinata Pratama, dia berhak atas warisan perusahaan perbankan swasta yang sangat bonafit di Indonesia. Namun, ada syarat yang harus dipenuhi oleh Wisnu, jika ia menginginkan warisan perusahaannya itu. Dia harus menikahi seorang gadis desa yang bernama Annisa Salsabila, yang merupakan cucu dari sahabat sang kakek.

Annisa Salsabila (20 tahun)

Seorang cucu Ustad yang tinggal di desa. Dia bekerja secara sukarela mengajar anak-anak yang tidak mengikuti sekolah melalui pendidikan formal. Dia sama sekali tidak tahu, jika dirinya akan dijodohkan dengan cucu dari seorang konglomerat kaya raya.

......................

WISNU

Rumah Sakit Good Health

Mobil kuparkirkan di basement Rumah Sakit Good Health dengan berburu-buru. Saat mendengar kabar dari Mama jika kondisi kakek kritis, aku segera meninggalkan rapat yang sedang kupimpin dan bergegas ke rumah sakit.

Walau aku sering beradu argumen dengan kakek, soal rencana beliau yang ingin menjodohkanku dengan wanita pilihannya, bukan berarti aku tidak menyanyangi kakek. Bagiku Kakek Atmadinata adalah pria terhebat, bahkan melebihi papaku sendiri.

Aku hanya tidak suka kakek mengatur jodohku. Apalagi saat ini aku mempunyai seorang kekasih yang sangat cantik dan hmmm ... tentu saja sangat seksi.

Dia adalah Monica, temanku saat kami kuliah di LA dulu. Bagaimana? Cantik, kan? Apalagi bibirnya yang sensual, membuatku betah jika menciumnya.

Lalu, bagaimana mungkin aku harus melepas Monica untuk menikahi gadis desa yang belum aku tahu wujudnya seperti apa? Tunggu, gadis desa? Apa aku yang seorang CEO pantas mendapatkan istri seorang gadis desa? Yang benar saja, harga diriku mau ditaruh di mana kalau aku sampai menuruti permintaan kakek.

Tapi, jika aku tidak menuruti keinginan Kakek, aku akan kehilangan kesempatan mendapatkan perusahaan perbankan yang sudah aku incar sejak lama. Dan aku yakin, sepupuku sudah bersiap menggantikanku mendapatkan perusahaan terbesar milik kakek kami itu.

Kulepas seat belt dan segera turun dari mobil sport mewahku. Aku seorang CEO, dan aku cucu dari orang kaya raya, bukan hal yang aneh jika aku memakai kendaraan bermerk dan berharga miliaran.

Saat ini Kakek berada di ruangan ICU, karena sudah tiga hari ini kakek tak sadarkan diri. Dan nampaknya kondisi kakek semakin memburuk, sehingga Mama menyuruhku secepatnya datang ke rumah sakit.

Ketika sampai di depan ruang ICU, aku melihat Mama Kartika menangis tersedu bersandar pada pundak Papa Faisal. Firasatku sudah tak enak. Sepertinya hal buruk sudah terjadi pada kakek.

"Ma ..." ucapku mendekat ke arah orang tuaku. "Kakek bagaimana?" Jantungku berpacu sangat cepat, takut mendengar jawaban menakutkan tentang kondisi kakek.

Mama langsung menoleh ke arahku saat melihat kedatanganku.

"Wisnu ... hiks ..." Mama berganti posisi kini memelukku, dan menangis di dadaku, karena postur tubuhku lebih tinggi dari papa. Mama tak mengatakan apa-apa selain tangisan.

"Kakekmu sudah berpulang ke Rahmatullah sekitar lima menit lalu, Wisnu." Papa menyampaikan berita duka padaku dengan raut wajah penuh kesedihan.

Rongga pernafasanku terasa menyempit. Jantungku seakan terlepas dari tempatnya mendengar kabar duka yang disampaikan oleh papa. Walau aku adalah cucu yang paling sulit diatur, tapi aku belum siap kehilangan kakek. Aku banyak belajar berbisnis dan mengurus perusahaan dari kakek, tak heran jika kakek menginginkanku meneruskan usaha perbankan miliknya.

"Innalillahi Wainnaillaihi Roji'un ..." Aku mendesah, merasa kehilangan yang sangat dalam. "Apa jenazah kakek masih di dalam, Pa?" tanyaku.

"Iya, sebentar lagi akan di bawa ke ruang jenazah dan dibawa pulang ke rumah," sahut papa.

"Apa aku bisa melihat Kakek sekarang, Pa?" tanyaku, karena aku ingin melihat kakek, sebelum kakek di bawa ke ruang jenazah.

Papa mengangguk, mengijinkanku masuk ke dalam ruang ICU.

Tak menunggu lama aku langsung masuk ke dalam ruangan ICU. Terlihat dua orang perawat sedang melepas peralatan medis yang terpasang di tubuh kakek.

"Saya boleh melihat kakek saya sebentar, Sus?" Tetap mengikuti aturan, aku meminta izin pada kedua perawat itu.

"Oh, silahkan, Mas. Tapi jangan lama-lama, karena akan segera di bawa ke kamar jenazah." Salah seorang perawat berwajah cantik menjawab dengan melemparkan senyuman ke arahku. Namun, tentu saja senyuman perawat itu aku abaikan. Karena tujuanku adalah menemui kakek.

Tubuh kakek masih terasa hangat saat kusentuh tangannya. Mungkin karena kakek baru saja meninggal.

"Kek, aku akan sangat kehilangan kakek. Walau kita sering berdebat, tapi bagiku, kakek adalah kakek terhebat yang aku miliki." Bukan aku mengesampingkan peran ayah dari papaku. Tapi, kakek dari keluarga papa sudah tidak ada sejak aku belum lahir. Sehingga aku tidak bisa mengenal langsung Kakek Dahlan, ayah dari papa. Berbeda dengan Kakek Atma, papa dari mama yang sudah dekat denganku sejak aku kecil.

"Innalillahi Wainnailaihi Rojiun. Selamat jalan, Kek. Semoga kita akan bertemu dan berkumpul kembali di surga nanti." Aku mengecup kening kakek. Sudah tak terlihat lagi kesakitan di wajah keriputnya. Sakit yang kakek derita sudah diangkat bersamaan dengan roh sang kakek oleh Malaikat pencabut nyawa.

***

Hari ini sudah tujuh hari kepergian kakek, Satu Minggu ini setiap malam diadakan acara tahlil, mendoakan agar arwah kakek mendapatkan jalan yang lapang di alam sama.

Acara tahlil yang diadakan rumah kediaman orang tuaku selalu ramai setiap malamnya. Tentu saja karena kakek adalah seorang pengusaha tersohor dan mempunyai banyak relasi. Sehingga tamu yang datang berkunjung untuk mengikut acara tahlil pun semakin banyak.

Hari ke delapan pasca meninggalnya Kakek Atmadinata.

Seluruh anggota keluarga besar Atmadinata Pratama berkumpul di ruang tamu rumah orang tuaku. Ada juga Pak Heidy, pengacara keluarga kami yang hadir di sana. Sesuai dengan keinginan mendiang kakek, untuk membacakan isi surat wasiat di hari kedelapan meninggalnya kakek.

Pak Heidy menyebutkan warisan milik kakek yang dibagi kepada semua anak, cucu dan juga beberapa tanah untuk diwakafkan kepada sebuah yayasan panti asuhan.

Aku sendiri mendapatkan apa yang aku inginkan. Tentu saja perusahaan perbankan Royal Bank adalah perusahan terbesar milik kakek, karena tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Sementara cucu-cucu kakek yang lain hanya mendapat perusahaan-perusahaan kakek lainnya. Namun, tentu saja tak sebesar yang didapatkan olehku.

"Pak Atmadinata juga memberikan syarat pada Mas Wisnu jika ingin mendapatkan perusahaan perbankan yang saya sebutkan tadi." Di tengah kebahagiaanku soal perusahaan yang aku peroleh, ucapan pengacara keluarga kami itu sangat mengusikku.

"Syarat? Syarat apa?" tanyaku penasaran.

"Mas Wisnu harus menikahi cucu dari sahabat Pak Atmadinata yang tinggal di desa dan meminta Mas Wisnu untuk tinggal selama setengah tahun di sana. Jika Mas Wisnu tidak bersedia menjalankan apa yang diminta oleh Pak Atmadinata, maka harta yang diterima Mas Wisnu akan dialihkan kepada Mas Bayu," lanjut Pak Heidy.

"What??" Seketika mataku terbelalak mengetahui syarat yang tentu saja sangat berat untuk aku terima. Tapi, jika aku menolak, maka perusahan perbankan itu akan jatuh pada Bayu, adik sepupuku.

Sontak pandanganku mengarah ke arah Bayu yang terlihat mengembangkan seringai tipis. Aku tahu apa yang dipikirkan Bayu saat ini.

*

*

*

Bersambung ...

Jangan lupa kasih like, komennya. Jangan berhenti baca di tengah jalan ya, biar bantu retensi ini agar selalu tinggi. Makasih🙏

Bab 2 - Kecantikan Wanita

ANNISA

Suara kokok ayam yang bersautan membuatku mengerjapkan mata. Tanda pagi menjelang, dan rutinitas harian harus segera di mulai.

Sementara lantunan ayat-ayat Alquran dari arah Masjid tak jauh dari rumah pun mulai terdengar. Menandakan diriku harus segera beranjak dari tempat tidur, karena waktu Shubuh akan segera tiba.

Kusingkap selimut yang menggulung tubuh seraya merentangkan kedua tangan untuk merenggangkan otot-otot. Mengeliat adalah hal paling nikmat ketika terbangun dari tidur.

Tak ingin bermalas-malasan, aku segera turun dari peraduan. Ingin melaksanakan kewajiban dua rakaat yang sejak usia dini ditanamkan oleh abah, ayah dari abi-ku.

Sempat kulihat ponsel untuk melihat jam. Aku tidak mempunyai banyak circle pertemanan, jadi tak ada pesan yang aku tunggu masuk ke ponselku. Tak juga aku melihat update story beberapa orang yang ada di kontak ponselku. Karena saat ini bukan waktu untuk bersantai dan ingin tahu apa yang dilakukan orang.

Setelah mengecek ponsel, barulah aku keluar dari kamar, beranjak ke kamar mandi untuk mencuci muka dan mengambil air wudhu.

"Kamu baru bangun, Nis?" Umi Zaenab terdengar menyapaku ketika hendak ke kamar mandi.

Umi sudah menggunakan mukenah dan menyampirkan sajadah di lengannya.

"Umi sudah mau ke mushola?" tanyaku menggulung lengan baju tidur sampai batas siku.

"Iya, abah, abi sama Hasbi sudah duluan ke mushola. Umi nunggu kamu," ucap umi.

"Tunggu sebentar, Umi. Nissa wudhu dulu." Tergesa-gesa masuk ke dalam kamar mandi.

"Jangan lari-lari kalau di kamar mandi, Nissa!" Terdengar suara umi menegur karena tadi aku terburu-buru masuk ke kamar mandi.

Selepas mencuci muka, menggosok gigi dan berwudhu, kami segera pergi ke Mushola tak jauh dari rumah.

Abahku seorang ustad, jadi beliau selalu berusaha mendidik aku dan adikku untuk taat dalam melaksanakan ibadah dan ikut memberikan contoh yang baik pada masyarakat desa di mana kami tinggal. Termasuk membiasakan diri pergi beribadah ke masjid.

Adzan Shubuh mulai terdengar membangunkan setiap warga kampung untuk segera melaksanakan ibadah. Suara abi yang melantunkan panggilan sholat terdengar sangat merdu di telinga.

"Umi, Nissa ...."

Seseorang menyapa kami saat kami memasuki gerbang halaman mushola yang terbuat dari pagar bambu sebatas pinggang.

Aku dan umi sama-sama menoleh ke arah suara yang menyapa kami tadi.

"Eh, Kang Jamal ...." Jamal adalah pria yang banyak disukai gadis-gadis di desaku. Selain mempunyai fisik yang lumayan memikat, dia bekerja bersama abi di balai desa karena abi menjabat sebagai kepala desa di tempatku tinggal.

"Ayo, Nis. Nanti keburu Iqomah." Sementara umi langsung menarik lenganku agar segera masuk ke dalam masjid.

Umi selalu menjauhkanku dari setiap pria yang berusaha mendekatiku, meskipun pria itu adalah anak buah abi. Padahal usiaku saat ini bisa dikatakan sudah matang untuk ukuran gadis-gadis di desaku yang rata-rata menikah di usia lima belas sampai tujuh belas tahun.

Sempat kubertanya kepada umi. Jawaban umi selalu mengatakan 'Kamu sudah dijodohkan'. Namun, aku sendiri tak pernah tahu siapa pria yang telah dijodohkan denganku. Apalagi melihat wajah dan bertemu dengan pria itu.

Aku menoleh Jamal di belakangku. Dengan tak enak hati hanya bisa mengembangkan senyum tipis dan berkata, "Aku masuk dulu, Kang." Berpamitan agar tidak dianggap sombong.

***

Sarapan pagi ini, aku dan umi menyiapkan nasi liwet. Umi memang jago memasak. Dan aku pun senang belajar memasak dari umi. Sebagai seorang wanita yang nantinya berumah tangga, pintar memasak itu penting. Suami akan senang menikmati masakan istrinya daripada membeli makanan di luar. Setidaknya itulah yang aku lihat dari sikap abi. Setiap waktu istirahat, abi selalu menyempatkan pulang ke rumah untuk menikmati makan siang menu masakan umi.

"Mar, semalam abah mendapat kabar dari keluarga Pak Atma. Katanya teman abah itu sudah meninggal seminggu lalu." Abah Rahmat menyampaikan berita duka dari pihak keluarga Atmadinata.

"Innalillahi, Wainnailaihi Roji'un ..." Semua yang ada di meja makan langsung mengucapkan kalimat istirja secara serempak.

"Pak Atma sakit apa, Abah?" tanya Abi Umar. Abah sudah menceritakan kepada abi, siapa Pak Atmadinata, jadi abi tahu siapa Pak Atma yang dimaksud dalam ucapan abah tadi.

"Katanya Pak Atma mengalami pecah pembuluh darah di otak." Abah menjelaskan penyebab kematian sahabat lamanya semasa remaja dulu.

"Menantu Pak Atma bilang, katanya pekan depan akan ke sini membawa anaknya yang rencananya ingin dijodohkan dengan Nissa." Abah juga menjelaskan tentang rencana kedatangan keluarga Atmadinata yang ingin melamarku.

Seketika aku menghentikan kunyahan saat abah menyinggung soal perjodohan. Sejak tadi aku hanya mendengarkan obrolan abah dan abi, tanpa berpikir jika orang yang dimaksud adalah orang yang ingin menjodohkanku.

Entah mengapa, tiba-tiba saja jantungku berdegup cukup kencang saat mengetahui pria yang akan dijodohkan denganku akan datang kemari. Rasa penasaranku seolah merayap hingga membuatku bertanya-tanya, seperti apakah dia? Apakah dia pria yang Sholeh dan baik hati? Hanya dua itu yang aku harapkan sebagai calon suami idamanku.

Aku hanya wanita desa, tak punya pendidikan tinggi, hanya tamat SMA. Aku juga hanya pengajar sukarela untuk mengisi kekosongan aktivitas sehari-hari. Jadi aku pun tak terlalu muluk mengharapkan seorang pendamping.

"Keluarga teman abah mau datang kemari?" Umi ikut menyahuti, "Wah, kita harus beres-beres rumah atuh, Bi." Umi langsung senewen. Sangat wajar apa yang dirasa oleh umi. Tentu umi harus mempersiapkan jika ada tamu penting datang ke rumah, apalagi yang ingin datang adalah keluarga calon besan.

"Nanti suruh Mang Usep cat rumah, Bi. Sudah mulai pudar warnanya. Pagar juga yang kayunya sudah keropos diganti saja, Bi." Umi sudah membuat planning merenovasi rumah, untuk menyambut kedatangan keluarga Atmadinata.

"Iya, nanti Abi suruh Mang Usep siang ini ke sini." Abi menyetujui permintaan Umi.

"Nis, calon suami kamu akan datang kemari. Jangan lupa rawat tubuh dan wajah kamu, agar kamu tidak mengecewakan calon suami kamu nanti." Umi pun langsung menasehatiku. "Kalau perlu kamu ke kota, coba perawatan wajah biar makin cantik." Bahkan umi menyuruhku pergi ke salon yang ada di kota.

Keningku seketika berkerut mendengar nasehat umi. Untuk apa aku harus pergi ke salon. Apa penampilanku kurang menarik? Apa wajahku tidak cantik? Padahal semua orang yang melihatku, selalu mengatakan jika aku adalah wanita tercantik di desa tempat tinggalku.

"Untuk apa pergi ke salon, Umi? Putri abi ini sudah cantik, tidak usah pergi-pergi ke salon lagi." Untung saja abi menolak saran yang dianjurkan umi.

"Abi ini ... Umi hanya tidak ingin mengecewakan calon menantu kita, Bi." Umi berkilah.

"Mengecewakan bagaimana, Umi? Nissa itu sudah cantik lahir batin. Tidak mungkin anak abi ini bikin kecewa orang."

Aku tersenyum melihat abi membelaku. Aku pun setuju dengan abi. Kencantikan wanita tidak dapat diukur dengan seberapa sering dia pergi perawatan ke salon. Tapi, dari perilaku dan kepribadian wanita itu sendiri.

*

*

*

Bersambung ...

Happy Reading ❤️

Bab 3 - Menikahi Seorang ABG?

WISNU

Jika bukan karena usaha perbankan milik kakek, mungkin aku tidak akan sudi mengikuti wasiat dari kakek untuk menikah dengan gadis pilihan kakek. Masih tak habis pikir, kakek yang selama ini tinggal di kota, mengelola perusahaan besar dan bertemu dengan banyak kolega dari dalam dan luar negeri, justru berpikiran konyol menjodohkanku dengan wanita desa.

Padahal, bisa saja kakek menjodohkanku dengan keluarga kolega bisnis kakek. Setidaknya lebih elit dan berkelas. Ya, meskipun belum tentu juga kusetujui. Karena keinginanku saat ini adalah menikahi kekasihku, Monica.

Namun, sepertinya aku harus menunda hal itu dan mengikuti skenario dari almarhum jakek, untuk menikahi gadis desa yang tidak kukenal dan tak kutahu rupanya seperti apa. Mendengar kata gadis desa saja sudah membuatku mengedikkan bahu. Mana mungkin aku nanti akan menyentuhnya jika pernikahan itu benar-benar terjadi.

Dan hari ini, Papa dan Mama mengajakku ke desa tempat gadis itu berada. Astaga, menyusahkan saja. Kenapa tidak gadis itu saja yang datang ke Jakarta? Atau jemput dia datang kemari. Apa susahnya? Membayangkan harus ke desa, dengan jalan yang rusak dan becek. Apalagi musim hujan seperti sekarang ini. Mungkin ini adalah beban terberatku sejauh ini.

"Wisnu, ayo kita berangkat!" Mama muncul dari pintu kamarku.

Dengan menghempas nafas panjang, aku pun bangkit. Jika mama sudah memberi perintah, jangan harap beliau mau menerima bantahan.

Kami akan menempuh perjalanan ke tempat gadis desa itu menggunakan mobil selama empat jam. Bayangkan, bahkan untuk pergi ke desa itu saja tidak bisa menggunakan pesawat dan harus menempuh perjalanan dengan jalur darat selama berjam-jam. Benar-benar membosankan. Mungkin jika bersama Monica, sehari semalam pun rela aku nikmati.

"Ma, gadis desa itu wajahnya seperti apa?" Entah berapa kali pertanyaan ini kutanyakan sejak mengetahui aku akan dijodohkan dengan gadis itu. Namun, tak sekalipun mama memberitahu atau menunjukkan fotonya kepadaku.

"Nanti juga kamu akan ketemu orangnya." Hanya itu jawaban yang diberikan mama. Atau, mama juga sering menjawab dengan mengatakan, "Kamu penasaran banget, sih!?" Seolah-olah, aku lah yang bersemangat dengan perjodohan ini. Padahal aku hanya ingin tahu, karena tidak ingin wanita yang menjadi pendampingku itu memalukan.

"Oh ya, Wisnu. Jangan panggil dia gadis desa. Namanya itu Nissa, Annisa Salsabila. Jangan bikin malu Papa dan Mama karena ucapan kamu itu, deh." Mama justru mengkritik karena aku sering menyebut wanita yang ingin dijodohkan denganku dengan panggilan 'gadis desa'.

"Memang dia gadis desa, kan, Ma? Apa salahnya aku panggil dengan panggilan itu?" Aku memutar bola mata menaggapi teguran mama tadi.

"Itu tidak sopan, Wisnu!" Papa membela mama. Saat ini, kedua orang tuaku justru sama-sama menyatakan aku bersalah.

Hempasan nafas kasarku langsung terdengar. Belum apa-apa saja gadis desa sudah membuat aku berdebat dengan orang tua, apalagi nanti kalau aku benar-benar menikah dengannya.

Setelah menempuh perjalanan empat jam lebih, akhirnya kami memasuki desa yang kami tuju. Di luar dugaanku, ternyata jalan di tempat tinggal gadis itu sangat mulus, tak seperti yang aku bayangkan. Pemandangan hijau dari hamparan padi dan beberapa tanaman perkebunan lainnya yang terbentang sepanjang perjalanan memang sangat menyegarkan mata. Hingga akhirnya sampailah kami di sebuah rumah berpagar kayu.

Rumah dan halaman itu lebih luas dibanding rumah-rumah di sekitarnya. Namun, tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan rumah keluarga besarku. Dan membayangkan aku diwajibkan tinggal di sini beberapa waktu setelah menikah, rasanya itu tidak masuk di nalarku.

Tak seperti papa dan mama, aku turun dan menginjakkan kaki di halaman rumah itu dengan sangat ragu. Tak terbayang sepatu mahalku harus menginjak rumput yang agak lembab karena tadi pagi terguyur air hujan.

"Ayo, Wisnu!" ujar mama saat melihatku ragu turun dari mobil.

Di teras rumah itu nampak dua orang pria dan seorang wanita yang menyambut kami. Hanya ada satu wanita yang memakai hijab itu saja yang ada di sana. Tatapanku terus mengarah pada wanita itu.

"Apa wanita itu yang ingin dijodohkan denganku? Kenapa pakaiannya seperti ibu-ibu begitu?" gumamku mengkritik penampilan wanita itu. Bagaimana komentar rekan bisnisku, jika mengetahui istriku berpenampilan jauh dari kata modis dan terkesan kuno. Jangankan untuk menyentuh, dekat-dekat saja rasanya enggan jika calon istriku seperti ini.

"Assalamualaikum ..." Papa dan Mama menyapa mereka bertiga.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh ..." Ketiga orang itu menjawab salam.

"Apa kabar Abah? Abah masih terlihat segar bugar" Papa menyapa dan berjabat tangan lebih dulu dengan abah, pria yang terlihat paling tua dari ketiga orang itu. Sepertinya papa sudah mengenal pria tua itu, karena papa memanggilnya dengan panggilan 'Abah', dan terkesan akrab.

Jika abah itu adalah teman kakek, kemungkinan seumuran dengan kakek. Tapi, pria yang dipanggil abah itu memang terlihat sehat dan segar bugar.

"Alhamdulillah sehat wal afiat, Nak Faisal. Abah turut berduka cita atas meninggalnya Pak Atma. Semoga amal perbuatan beliau diterima Allah SWT dan husnul khotimah ..." Abah menyampaikan empati atas kepergian kakek pada papa sebagai menantu dari kakek.

"Aamiin, terima kasih, Abah," balas papa. Selanjutnya papa bersalaman dengan pria di sebelah abah. Jika dilihat dari fisiknya, pria itu seumuran dengan papa. "Pak Umar, apa kabar?" tanya papa.

"Alhamdulillah baik, Pak Faisal. Saya turut berkabung, Pak Faisal. Pak Atma adalah sosok yang sangat baik. Semoga Allah SWT menempatkan almarhum di tempat yang layak," ucap Pak Umar.

Setelahnya, Papa hanya mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada saat berhadapan dan tak bersentuhan tangan dengan wanita di sebelah Pak Umar. Wanita yang kuduga akan dijodohkan denganku.

Kini giliran mama yang melakukan hal yang sama, hanya mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada saat berhadapan dengan abah dan Pak Umar. Dan baru bersalaman dilanjut cipika-cipiki dengan wanita di samping Pak Umar.

"Saya turut belasungkawa atas meninggalnya Pak Atma, Bu Kartika," ucap wanita itu seraya mengusap punggung mama.

"Terima kasih, Bu Zaenab." Mama sepertinya mulai melankolis karena mendapatkan pelukan dari wanita bernama Bu Zaenab itu.

"Zaenab? Tunggu, tunggu ... bukankah wanita yang ingin dijodohkan denganku bernama Annisa? Berarti bukan wanita ini?" Aku masih bertanya-tanya dalam hati.

"Oh ya, ini Wisnu, anak kami, Abah, Pak, Bu." Mama kemudian memperkenalkanku yang sejak tadi hanya berdiri memperhatikan interaksi mereka semua.

"Wisnu, ini abah, kakeknya Nissa. Ini Pak Rahmat, abinya Nissa dan ini Bu Zaenab, uminya Nissa. Ayo kamu kasih salam, malah bengong saja." Mama langsung menyuruhku bersalaman dengan anggota keluarga Nissa.

"Halo, Pak, Om, Tante." Tak banyak basa-basi seperti papa dan nama, aku menyapa mereka semua. Dan mulai menarik nafas lega, karena wanita yang ingin dijodohkan denganku bukanlah wanita yang saat ini aku lihat. Tapi, apa benar wanita itu adalah mama dari Nissa? Semuda itu? Apakah aku akan menikahi seorang ABG? Sambil mengedikkan bahu, aku membayangkannya.

"Sudah besar dan tampan anak kalian ini. Dulu waktu dibawa main ke sini usia berapa dia, Faisal?" tanya abah.

Pertanyaan abah membuat dahiku berlipat. Aku pernah kemari? Kapan? Kenapa tidak ada di dalam memoriku?

"Waktu usia dua tahun, Abah," jawab papa.

"Pantas saja aku tidak ingat," batinku.

"Wah, sudah lama sekali," sahut abah.

"Mari silahkan masuk dulu, Pak, Bu." Umi mempersilahkan kami semua masuk ke dalam ruangan tamu.

Aku mengedar pandangan memperhatikan ruang tamu di rumah itu. Banyak perabotan terlihat antik di ruangan itu. Tapi, tentu saja tidak sesuai dengan seleraku. Aku lebih suka furniture yang lebih modern, elegan dan mewah.

"Mana Nissa, Umi?" tanya abi menanyakan keberadaan gadis yang ingin dijodohkan denganku.

"Sedang menyiapkan minuman, Bi. Sebentar Umi panggilkan dulu," Umi kemudian beranjak ke arah dapur meninggalkan kami yang kini duduk di kursi tamu, sambil melanjutkan perbincangan.

*

*

*

Bersambung ...

Happy Reading

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!