NovelToon NovelToon

Jodoh Terakhir

Episode 01

Arumi Nasha Razeta, seorang gadis berusia 23 tahun yang memiliki wajah cantik khas Indonesia. Gadis yang biasa di sapa Arumi itu, sudah sebulan lamanya harus menjalani perawatan di rumah sakit International Medical. Walau sudah lama ia dirawat, sebenarnya Arumi tak memiliki suatu penyakit yang kronis. Tapi pihak rumah sakit selalu menyarankan agar ia tetap dirawat disana, sampai benar-benar bisa di pastikan sudah membaik.

Sebulan yang lalu, Arumi baru saja menikah bersama kekasihnya bernama Gilang. Mereka saling mencintai hingga membawa cintanya ke pelaminan. Mereka sangat bahagia karena telah resmi menjadi sepasang suami-istri dan berjanji akan selalu bersama-sama hingga maut memisahkan. Namun sayang takdir berkata lain. Saat di perjalanan menuju tempat resepsi pernikahan yang di laksanakan disebuah hotel, mobil yang di kendarai mereka tiba-tiba mengalami kecelakaan. Total ada lima penumpang di dalamnya. Dua penumpang selamat dan Tiga lainnya meninggal ditempat. Salah satu diantara yang selamat adalah Arumi sendiri. Dan salah satu diantara yang meninggal adalah suaminya, Gilang.

Kecelakaan itu juga membuat Arumi tak sadarkan diri, seminggu lamanya. Di hari ketika ia sadar, Arumi langsung mencari suaminya yang baru saja menikahinya. Tapi betapa terkejutnya ia, saat mendengar pernyataan dari sang ibu tercintanya, Ningrum. Jika sang suami telah meninggal karena kecelakaan di hari pernikahan mereka itu. Tapi Arumi tak percaya semua yang dikatakan sang ibu, karena tak percaya Arumi ingin melihat langsung jenazahnya. Sayangnya, Gilang sudah di kebumikan sehari setelah kecelakaan. Saat itulah Arumi mengalami depresi karena di tinggal suami tercinta untuk selama-lamanya. Ia selalu menangis, berteriak menyebut nama Gilang dan juga janji-janji yang telah mereka buat. Arumi juga beberpa kali mencoba mengakhiri hidupnya, demi bisa bersatu kembali dengan Gilang. Tapi usahanya itu sia-sia saja.

Di bangsal yang di isi dengan dua pasien, Arumi duduk di atas tempat tidurnya dengan arah pandang yang selalu tak lepas dari jendela. Pandangannya nampak kosong seperti tak bernyawa. Kadang ia tersenyum, menangis dan tertawa sendiri. Ningrum yang selalu ada untuk menjaganya, nampak miris melihat kondiri Arumi. Meski tak lagi menangis atau meraung, Arumi saat ini lebih menghawatirkan. Karena ia selalu melamun dan kadang tak merespon orang yang mengajaknya bicara.

"Bagaimana kondisi anak saya, Dok..?" tanya Ningrum saat dokter bernama Rafi baru saja melakukan pemeriksaan pada Arumi.

"Kondisinya mulai membaik, tapi saya sarankan agar selalu diajak bicara agar ia tidak terus melamun. Saya permisi dulu." jawab dokter Rafi dan berpamitan.

"Syukurlah. Terimakasih, Dok." ucap Ningrum.

Ningrum mengambil bubur diatas nakas untuk makan siang Arumi. "Sayang makan dulu ya.." ucap Ningrum. Arumi hanya mengangguk mengiyakan, kemudian Ningrum mulai menyuapinya hingga bubur habis.

"Sebenarnya pasien dibangsal itu sakit apa sih. Sudah lama lho dia aku lihat disana.."

"Oh itu. Dia itu depresi."

"Lho bukannya kalau depresi di rawat di RSJ bukan disini.?"

"Kan masih depresi belum sampe jadi gila."

"Emang depresi karena apa..? Kayaknya parah banget."

"Ditinggal orang yang dicinta."

"Hah..! Sampe segitunya. Kasihan banget sih masih muda tapi depresi karena ditinggal pacarnya. Kayak nggak ada cowok lain aja."

"Sssstt.. Pelankan suaramu, kalau sampe dia denger dan ngamuk lagi bisa gawat. Juga dia bukan ditinggal mati pacarnya tapi suaminya."

"APA..! Ditinggal mati suaminya..!"

"Aduh, dibilang jangan keras-keras.."

Lagi dan lagi, ada saja perawat yang selalu bergosip tentang kondisi Arumi. Arumi memang selalu diam saja, tapi bukan berarti dia tak mendengar. Setiap kali perawat bergosip tentang dirinya ia selalu dengar tapi enggan untuk menanggapi.

"Jangan di dengarkan, nih minum dulu." ucap Ningrum sambil menyodorkan segelas air putih.

Ningrum tahu kalau anaknya selalu mendengar gosip tak bertanggung jawab itu dan dia selalu berusaha untuk membuat Arumi tak memikirkannya. Karena kalau sampai ia banyak berpikir lagi, maka akan berakibat pada kondisinya saat ini. Tentu Ningrum tak ingin kejadian itu terjadi lagi.

Saat Ningrum sibuk memikirkan bagaimana agar anaknya segera membaik, di luar bangsal tak ada yang tahu apa yang terjadi. Sudah beberapa hari ini, mata tajam bermanik hitam pekat itu selalu memperhatikan bangsal tempat Arumi dirawat. Entah apa alasannya, setiap jam tertentu ia selalu berdiri disana dan memperhatikan Arumi. Dan dia akan pergi setelah merasa puas.

Episode. 02

Hari ini pasien dibangsal yang sama dengan Arumi, telah di perbolehkan pulang setelah seminggu dirawat disana. Kini pasien yang tinggal di bangsal itu hanya ada Arumi seorang.

Masih seperti biasanya, Arumi duduk termenung sambil menatap luar jendela. Melihat anaknya yang masih seperti itu membuat hati Ningrum sakit. "Sayang, sudah waktunya makan siang. Ayo sini makan dulu." ucap Ningrum. Arumi hanya menurut saja ketika sang ibu menyuapinya.

Setelah memberi makan Arumi, Ningrum berencana untuk mengisi perutnya juga di kantin rumah sakit. "Sayang, ibu keluar dulu ya. Kalau mau ke kamar mandi nanti minta suster temani ya.." ucap Ningrum. Arumi hanya menganggukan kepala tanpa mengalihkan pandangannya.

Ningrum pun keluar dari bangsal, tapi sebelum itu ia berpesan pada salah satu suster untuk mengawasi putrinya. Bangsal itu menjadi hening seketika, hanya sesekali terdengar suara dari luar saja.

Air mata yang beberapa hari tertahan, kini meluncur dengan bebasnya. Disana Arumi menangis tanpa suara. Ia selalu menahan air matanya karena tak ingin membuat sang ibu khawatir. Rasa sakit akibat pukulan yang mendalam atas kepergian Gilang, masih jelas terasa di hati Arumi. Tapi selain menangis, ia tidak tahu harua bagaimana. Haruskah ia ikut menemani Gilang disana? Lalu bagaimana dengan ibunya, siapa yang akan menjaganya? Berbagai pikiran selalu memenuhi kepala Arumi dan itu membuatnya sakit kepala.

Sebuah kenangan tiba-tiba terlintas begitu saja, bersama dengan cairan bening yang masih belum surut. Ia menggenggam erat kearah dadanya, disana ia merasa begitu sesak hingga tak bisa bernafas.

Saat itu Gilang dan Arumi sedang berada di sebuah taman dekat rumah Gilang. Arumi menyenderkan kepalanya di bahu Gilang. "Kak, kalau kita sudah menikah mau anak berapa..?" tanya Arumi

"Berapa saja deh, yang penting kamu masih kuat untuk melahirkannya.." jawab Gilang.

"Ahaha.. Mau anak perempuan atau laki-laki..?"

"Perempuan atau laki-laki, yang penting sehat."

"Kak Gilang, sayang nggak sama Arumi..?"

"Sayanglah. Kalau nggak sayang mana mungkin kita bisa bersama sampe sekarang."

"Hihihi.. Iya deh, Arumi percaya kalau Kak Gilang itu sayang Arumi."

"Arumi juga harus janji ya, apapun yang terjadi kita harus bersama. Baik susah dan senang kita harus lewati bersama."

"Iya janji. Arumi akan hidup dan mati bersama kakak. Kita akan menua bersama." Gilang mengecup kening Arumi sayang dan dibalas senyuman manis yang biasa tersungging dibibirnya.

Tubuh Arumi bergetar karena menahan suara tangisannya agar tak terdengar oleh siapa pun. Akhirnya Ia menangis hingga lelah dan tertidur. Arumi tak menyadari jika adegan menangisnya itu tertangkap oleh sepasang manik hitam pekat yang biasa mengawasinya dari luar bangsal.

Beberapa hari telah berlalu, kondisi Arumi masih saja tak menunjukan perubahan dan masih sama seperti hari-hari lain. Ia juga masih suka menangis jika sang ibu sedang tidak didekatnya. Tapi hari ini seperti sebuah keajaiban untuk Ningrum, karena anak perempuannya itu sudah mau bicara. Kerena sebelumnya Arumi enggan untuk bersuara.

"Bu..!" panggil Arumi lirih, namun masih terdengar oleh Ningrum.

Mendengar suara Arumi memanggilnya, membuat Ningrum bahagia. "Apa sayang, coba ulangi lagi."

"Bu..!" ulang Arumi menuruti kemauan ibunya.

Air mata Ningrum menetes saat mendengar suara Arumi kembali terdengar di telinganya. Sudah sebulan ini Arumi memang tak pernah bicara atau mengeluarkan suara, meski untuk menyebut satu huruf saja. Tentu Ningrum sangat bahagia mendengarnya, ia memeluk dan mengelus rambut panjang Arumi.

"Akhirnya kamu mau bicara lagi sama ibu, Nak. Ibu seneng banget." ucap Ningrum. Arumi tersenyum dalam dekapan ibunya.

Senyum manis yang sudah lama tak terlihat kini kembali terhias di bibir mungil dan tipisnya. Meski hanya sesaat tapi itu sudah merupakan suatu kemajuan dari kondisi yang sebelumnya. Bagaikan suatu berkah bagi sepasang manik hitam pekat, menyaksikan senyum manis yang tersungging dari bibir mungil tapi pucat itu.

Ia tak menyangka jika pasien bernama Arumi itu memiliki senyuman yang begitu manis. Tapi ia merasa sedih karena senyuman itu harus hilang dalam sekejap saja.

"Bu, maafin Arumi ya. Arumi sudah menjadi beban untuk ibu." ucap Arumi lirih

Ningrum melepas pelukannya. "Nggak sayang, kamu nggak membebani ibu kok. Ibu senang anak ibu ini sudah mau bicara lagi sama ibu."

"Bu, kalau Arumi pergi ibu harus tetap bahagia ya. Arumi juga seneng bisa lihat ibu tersenyum meski banyak yang tak suka sama Arumi."

"Kamu ngomong apa sih sayang. Ibu nggak mau dengar kamu bicara yang aneh-aneh ya."

"Arumi nggak ngomong aneh-aneh kok. Arumi denger semua yang mereka bilang. Mereka bilang Arumi anak pembawa sial, siapa pun yang dekat Arumi pasti mati. Mereka benar,Bu. Buktinya kak Gilang meninggal karena Arumi. Mereka juga bilang kalau Arumi ini selalu nyusahin ibu. Arumi nggak mau nyusahin ibu dan membawa sial untuk ibu. Kalau Arumi mati pasti ibu tidak mengalami itu kan, Bu..!"

Ningrum menangis mendengar pernyataan anaknya, yang selama ini ia pendam. "Jangan dengerin mereka sayang. Biar mereka bicara apa, jangan di dengar. Ibu nggak pernah merasa Arumi menyusahkan, apa lagi membawa sial. Arumi itu anak keberuntungan Ibu." jelas Ningrum. Ia memeluk kembali Arumi dan mereka sama-sama menangis.

Mereka menangis hingga lelah. Arumi sendiri tertidur dalam dekapan sang ibu. Karena kondisinya yang masih lemah, membuat Arumi tertidur setiap kali habis menangis. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang, Ningrum membaringkan Arumi agar lebih nyaman. Ningrum berharap agar esok menjadi hari baik dan kondisi Arumi juga membaik.

Episode. 03

Pagi tadi dokter Rafi yang bertanggung jawab menangani Arumi, telah memeriksa kondisi Arumi. Kata dokter Rafi, keadaan Arumi mulai membaik apa lagi ia sudah mulai untuk berbicara lagi. Itu sudah merupakan suatu kemajuan yang bagus selama sebulan ini.

Tak henti-hentinya, Ningrum mengucap syukur karena anaknya sudah mulai membaik. Meski kadang-kadang Arumi masih saja termenung. "Sayang hari ini kamu mau makan apa..? Nanti ibu belikan deh." tawar Ningrum.

"Humm, belikan ayam goreng saja deh Bu." jawab Arumi

"Ya sudah kamu tunggu disini, ibu turun dulu belikan kamu ayam goreng." Arumi hanya mengangguk menjawabnya.

"Oh ya, nanti kalau perlu apa-apa panggil suster saja. Ibu tinggal dulu ya sayang."

Setelah itu, Ningrum berlalu pergi menuju kantin untuk membeli pesanan putrinya. Hari ini ia sungguh sangat bahagia karena sebentar lagi Arumi akan sembuh.

Dikantin RS...

Hampir semua meja di kantin itu terisi penuh oleh para konsumen. Di salah satu meja, disudut ruangan. Duduk seorang lelaki bermanik hitam pekat. Ia terlihat sedang menikmati makan siangnya disana.

"Boleh gabung..?" tanya dokter Rafi yang terlihat tak mendapat tempat untuk duduk.

Lelaki itu mendongak dan mempersilahkannya duduk. "Terimakasih." ucap Dokter Rafi. Hanya dibalas anggukkan saja.

"Dokter Rafi tumben makan dikantin.?" tanya lelaki itu.

"Ah. Istri saya lagi ngambek, jadi saya tidak dibuatkan bekal hari ini."

"Oh ternyata begitu."

"Iya. Tapi ngomong-ngomong, dokter Akhtar kapan datangnya dari Malaysia..?"

Ya lelaki bermanik hitam pekat itu bernama, Akhtar Rafzan Wijaya. Seorang dokter spesialis bedah. Ia memang selalu berpergian keluar kota bahkan negeri juga. Karena keahlian dan keterampilannya itulah, ia jarang stay di rumah sakit International Medical.

"Sudah dua mingguan." jawab Akhtar

"Lho ternyata sudah lama. Kok saya baru lihat ya."

"Dokter Rafi yang terlalu sibuk sehingga tidak menyadari kalau saya sudah pulang."

"Eh, apa iya ya. Tapi kayak memang benar. Saya akhir-akhir ini memang sibuk, harus selalu mengawasi pasien yang sedikit spesial itu."

"Pasien spesial..?"

"Ah, masa dokter Akhtar belum tahu tentang pasien saya yang satu ini, yang namanya Arumi. Hampir satu rumah sakit tahu lho, masa dokter Akhtar tidak tahu..?"

"Saya kan bukan tukang gosip seperti mereka yang tahu segalanya."

"Hehehe.. Benar-benar nih dokter Akhtar. karena dokter Akhtar nggak suka gosip gimana kalau saya yang kasih tahu saja."

"Lho sejak kapan dokter Rafi ikutan jadi tukang gosip..?"

"Mulai saat ini deh. Mau denger nggak."

"Karena dokter Rafi sudah menawarkan jadi saya harus mendengarkan."

Mereka akhirnya berbicara sambil menyantap makan siangnya. Dokter Rafi terlihat sangat antusias menceritakan kondisi pasien spesialnya.

"Nah, pasien saya bernama Arumi itu mengalami depresi sejak kecelakaan yang menimpanya. Karena kecelakaan itu, dia koma selama seminggu. Setelah sadar dia mencari suami yang baru saja menikahinya itu, tapi sayang suaminya tidak tertolong."

"Pengantin baru..?"

"Iya. Saya dengar dari ibunya, waktu kecelakaan mereka sedang dalam perjalanan menuju tempat resepsi pernikahannya tapi Tuhan berkata lain. Mobil yang mereka tumpangi itu mengalami tabrakan. Suaminya meninggal ditempat dan Arumi beruntung bisa diselamatkan waktu itu. Iiihh, ngeri kan?"

"Karena mengetahui sang suami meninggal, Arumi menjadi syok dan selalu menangis bahkan teriak-teriak manggil nama suaminya. Beberapa kali juga mencoba bunuh diri, untung ada yang lihat jadi masih ketolong lagi. Saya sebagai dokternya merasa kasihan sekali sama Arumi ini, diusia yang masih muda ia harus mengalami kajadian seperti itu. Ya kalau memang sudah cinta, kita sulit untuk berpisah."

"Trus, apa kenapa dia jadi pasien yang spesial..?" tanya Akhtar

"Nah, kenapa saya bilang dia pasien saya yang spesial karena dia itu sangat pintar. Kadang dia pura-pura tersenyum untuk menunjukan kalau dirinya baik-baik saja, setelah kewaspadaan kita menurun dia akan mencoba untuk bunuh diri lagi. Dan kondisinya saat ini memang sudah terlihat membaik, dia sudah mulai mau berbicara lagi sama ibunya dan tersenyum lagi. Tapi saya sedikit khawatir, takutnya itu semua palsu. Jadi saya meminta ibunya agar tetap mengawasinya. Ya mudah-mudahan dia benar-benar membaik."

Akhtar mendengarkan cerita dokter Rafi tentang pasien spesialnya itu, hingga makan siangnya habis. Tapi saat ia meneguk air minumnya, tanpa sengaja mata tajamnya itu menangkap wanita paruh baya yang sedang membeli sesuatu di kantin.

"Dok, bukankah itu ibu dari pasien anda yang spesial..?" tanya Akhtar sambil menunjuk seorang wanita paruh baya yang sedang tersenyum.

Dokter Rafi mengikuti arah yang di tunjuk oleh Akhtar. "Oh iya. Itu ibu pasien saya yang spesial. Eh, kok dokter Akhtar tahu itu ibunya, hayoo ketahuan nih."

"Itu nggak penting saya tahu dari mana, yang penting sekarang kalau ibunya disini berarti dia sendirian."

"Eh, iya. Aduh gawat ini, ayo kita kesana."

Mereka berdua pun segera menghampiri Ningrum. "Lho, ibu Ningrum kok disini..?" tanya dokter Rafi sambil menepuk pelan pundak Ningrum

Ningrum menoleh karena merasa pundaknya di tepuk oleh orang dibelakangnya. "Eh. Dokter Rafi, iya ini Arumi minta dibelikan ayam goreng katanya dia pingin. Dokter lagi makan siang ya..?"

"Iya, baru saja selesai. Siapa yang jagain Arumi, Bu..?" ucap dokter Rafi basa basi.

"Oh tadi sebelum saya pergi sudah kasih tahu suster untuk nemenin dulu. Kenapa ya, Dok?"

"APA..!" pekik Akhtar dan Rafi bersamaan.

Dengan segera Akhtar berlari menuju bangsal tempat Arumi dirawat. Ia berharap agar yang ia pikirkan tidak akan terjadi. Sedangkan Ningrum dibuat terkejut oleh reaksi dari dokter tampan disebelah dokter Rafi itu. Sebenarnya bukan hanya Ningrum yang terkejut, tapi dokter Rafi juga. Ia heran dengan sikap sigap teman dokternya itu. Tapi tak peduli apa alasannya, yang terpenting sebuah keselamatan pasiennya.

"Maaf, Dok. Ini sebenarnya ada apa ya..?" tanya Ningrum yang masih belum mengerti situasi.

"Gini, Bu. Arumi harus selalu di awasi jangan ditinggal. Saya takut dia mencoba bunuh diri lagi seperti waktu itu."

"APA..!"

Ningrum terkejut setengah mati mendengar pernyataan dokter Rafi. Bagaimana bisa anaknya melakukan hal itu lagi? Bukankah anaknya sudah membaik seperti yang dikatakan dokter Rafi sebelumnya? Berbagai pemikiran berkecamuk dalam kepala Ningrum, tapi ia berdoa semoga hal yang di takutkan tidak terjadi lagi pada anaknya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!