Alena terbangun dengan perasaan aneh. Tubuhnya menggeliat pelan di balik selimut tebalnya. Kelopak mata cantiknya mengerjap beberapa kali, berusaha membuka pandang sepenuhnya. Ia menatap sekeliling kamar berukuran sedang. Sebagian dinding terpasang stiker bergaris warna hitam dan abu muda bergantian. Jelas ia tahu, bahwa ini bukan kamar pribadinya.
Setelah menyingkap sedikit selimutnya dan bangun, Alena mencoba mengumpulkan sebagian memorinya. Mengulas kembali apa yang terjadi padanya semalam. Hingga ia bisa ada di dalam kamar ini. Seingatnya, ia tengah duduk santai di ruang tengah sambil menonton kartun kesukaannya.
Sekuat tenaga otaknya memutar kejadian malam tadi. Sampai ia menemukan kepingan adegan yang telah terjadi secara runtut.
*Alena tergesa berlari menuju ruang tamu apartemen, begitu mendengar teriakan tak jelas. Ia mendapati sosok pria yang tubuhnya seperti terhuyung ingin jatuh. Rambutnya acak-acakan. Kemeja kotak-kotak yang dikenakannya, sudah tak rapi lagi. Beberapa kancingnya nampak terlepas. Penampilannya sangat berantakan sekali. Sejenak ia mendesis kesal menatap Nevan yang hampir jatuh. Sebelum akhirnya Alena memegangi lengan pria mabuk tersebut dengan sigap.
Ia memapahnya menuju kamar Rendra, kakak laki-lakinya. Lebih tepatnya kakak tiri yang sudah tiga bulan, resmi menjadi bagian dari keluarga Alena.
"Kamu kenapa, Van? Hish, mabuk?!" omelnya pada Nevan yang masih meracau tak jelas.
Gadis itu berdecak sebal. Ia harus mengurus Nevan yang mulai menggila karena pengaruh alkohol sekarang. Jika bukan karena pria berkumis tipis itu adalah sahabat baik Rendra, ia pasti sudah mengusirnya sejak lima menit lalu.
Pasalnya Alena baru saja tinggal dengan sang kakak sekitar dua bulan. Itu pun karena ibunya tak ingin ia tinggal sendirian di Bali. Lagipula Rendra adalah sosok kakak laki-laki yang baik. Ia juga yang memaksa Alena utuk tinggal bersamanya selagi dipindah tugas kerja di Bali. Akan lebih aman dan irit daripada harus menyewa kos sendirian. Sehingga orang tua mereka di Surabaya, tak perlu mencemaskan keduanya lagi. Alena juga tak ingin membuat sang kakak geram, bila ia mengabaikan Nevan.
Alena segera memapah Nevan menuju kamar kakaknya. Kebetulan sekali hari ini Rendra sedang tak ada di rumah. Rendra selalu berkunjung ke rumah ibu kandungnya tiap akhir pekan, dan menginap di sana.
"Oh Tuhan ... pekerjaan macam apa yang gue jalani?! Ini salah! Itu salah! Mereka pikir gue robot! Hei, kalian! Gue Nevan Satya Utama! Gue suka kebebasan dan benci kekangan! Gue juga nggak masalah putus sama pacar! Dia cuma cewek matre sialan! Pergi aja lo ke jurang sana, Karina!"
Nevan terus saja mengoceh. Seolah ingin menumpahkan semua beban dalam dirinya. Ia bahkan memukul-mukul tubuhnya sendiri. Alena tak tahu harus berbuat apa, selain diam melihat kebodohan pria itu. Ya, baginya memang sangat bodoh, bila seseorang rela mabuk-mabukan hanya karena suatu masalah. Bukan ia ingin menyepelekan. Hanya saja, rasanya jauh lebih menyiksa bila harus berlaku demikian pada diri sendiri. Alena benci alkohol. Baginya, minuman itu adalah racun yang lebih berbisa dari gigitan kobra.
Berusaha mengahapus sebentar pikiran kesalnya, pelan-pelan Alena membaringkan Nevan ke tempat tidur. Belum sempat berbalik pergi. Lengan Nevan justru menarik tubuh Alena kuat. Membuat gadis jelita bermata bulat legam itu terjungkal menindihnya.
"Gila! Apa yang kamu lakuin?! Lepasin aku! Van! Mabuk atau pun sadar, sama saja menyebalkan!" gerutu Alena berusaha melepaskan rengkuhan tangan Nevan.
Sementara Alena meronta ingin di lepaskan, pelukan sang pria justru semakin kuat.
Nevan membalik posisi keduanya. Sekarang giliran ia yang berada tepat di atas tubuh Alena. Menopang dua tangan untuk memberi jarak antara keduanya. Alena membeku, menatap ngeri melihat ekspresi sayu di wajah sendu Nevan. Wajah pias yang penuh dengan problematika tersembunyi. Seakan dua mata lelah itu, ingin menelannya hidup-hidup. Bulu kuduk Alena meremang bergidik.
"Minggir, Van!"
Suara Alena tak dihiraukan. Pria ini benar-benar kehilangan kendali diri. Bibirnya sudah menyentuh bibir Alena, melumatnya kasar. Kedua tangannya mencengkram kuat lengan Alena. Baru kali ini, Alena merasa harga dirinya dibanting sangat kuat hingga sulit bangkit. Ia tak mampu melawan.
"Nevan! Berhenti! Kubilang berhenti! Sakit, bodoh! Lepasin aku!"
Alena terus memberontak, hingga tanpa sadar air mata mengalir di pipinya. Menahan berat badan Nevan, meski tak seberapa tetap saja membuatnya lemas. Asupan oksigen menjadi sulit ia terima dalam rongga paru-parunya. Napasnya tersengal menahan sesak. Ia merasa kepalanya mulai pening. Dua bola mata polosnya menatap lampu yang menggantung pada gipsum. Sedetik kemudian, pandangannya membayang kabur.
Hanya terasa hembusan napas Nevan dan hangat kecupannya di leher Alena. Sampai akhirnya gadis itu lunglai tak sadarkan diri*.
***
Seluruh ingatannya telah berhasil ia satukan. Alena membelalak, hingga hampir sempurna bulatan lensa hitam di matanya. Masih berharap semua hanya mimpi semata. Buru-buru ia bangkit berdiri, tetap memegang kuat selimut untuk menutupi tubuh polosnya. Diraihnya helaian pakaian di lantai. Memakainya kembali dengan tergesa. Pikirannya diliputi kekacuan tak pasti. Antara percaya dan tidak. Antara yakin dan tidak. Batinnya gamang tak tentu arah. Jiwanya kosong melompong, bersamaan dengan rasa takut dan sesal yang mendesak hadir. Mengusik sisi tenang dalam pikirnya.
Alena berjalan cepat meninggalkan kamar Rendra. Sorot matanya masih sempat melihat seorang pria, yang lelap di tempat tidur. Untuk pertama kali, ia sungguh benci melihat wajah Nevan.
"Cowok brengsek!" desisnya menahan pilu.
\=\=***\=\=
Lenguhan angin menelisik masuk, melalui celan jendela kamar Alena yang sedikit terbuka. Tirai birunya melayang tersentuh sang udara pagi. Hangatnya mentari tak lagi mampu meluluhkan kebekuan dalam batin Alena yang merana. Jiwanya merutuk ingin menangis namun tak kuat menumpahkan lelehan air matanya. Ia hanya melamun menekuk lutut. Menelungkupkan wajah di antara kaki jenjangnua yang lemas tak bertenaga.
Di dalam kamar, Alena merutuk diri menyesali keteledorannya. Berulang kali ia bolak-balik menjelajah kamar mandi untuk membasuh diri. Sesekali terisak menangis di bawah guyuran air. Suara ketukan pintu berkali-kali terdengar nyaring. Ia tak mengindahkan sedikit pun suara Nevan, yang memohon untuk dibuka.
Sengaja Alena menutup telinga dengan headset. Memutar lagu dengan cukup kencang. Ditariknya selimut, menutupi seluruh dirinya. Nana meringkuk berpeluk boneka Pinguin, hadiah dari senior yang ia taksir hampir setahun.
"Alena! Buka pintunya! Gue mau ngomong! Please .... " rintih Nevan setengah frustrasi.
"Pergi kamu! Nggak usah muncul di hadapanku lagi!" bentak Alena melemparkan sebagian emosinya. Amarah yang tertahan mati-matian ia penjarakan kuat-kuat dalam dirinya. Jangan sampai ia meradang dan mengamuk Nevan yang tak berdaya di luar sana.
Nevan tertegun. Meski keduanya tak cukup akur selama ini. Namun baru kali ini ia merasa kemarahan Alena bukan lagi sekedar guruan belaka. Terdengar jelas dari nada dan caranya bicara. Teriakannya menggambarkan kekecewaan mendalam. Nevan sangat menyesal. Ia terduduk lesu di depan pintu kamar sang gadis. Lututnya tertekuk kaku. Dua tangan menopang kepala penatnya. Ia tak bisa menyalahkan Alena. Akibat kebodohannya, mau tak mau gadis muda itu harus menelan hal pahit. Ia tahu dampat dari perbuatannya, pasti sangat mengguncang batin Alena. Ia cemas bahwa yang ia ambil adalah malam pertama sang gadis.
Dua tangan Nevan memukul keras lantai. Ia harap luka di tangannya dapat mengalihkan penyesalan dalam hatinya. Percuma saja, apa yang telah terjari tak dapat ditarik kembali.
"Argh! Bodoh! Bodoh!" makinya pada diri sendiri.
Nevan tak tahu, bila dampak dari mabuknya bisa sangat parah. Masalahnya dengan atasan di tempat kerja belum selesai. Juga tentang kekasihnya, yang dua hari lalu ketahuan berciuman dengan pria lain dan meminta putus. Sekarang masih harus ditambah dengan ulah kotor dari perilakunya sendiri. Ia mengacak rambut. Satu tangannya kembali meninju tembok tanpa ragu. Rasa sakit di punggung tangannya tetap tak seberapa, dibandingkan rasa sakit hati yang ia alami.
"Alena! Buka pintunya! Atau gue dobrak pintu kamanya?!" ancamnya putus asa.
Tak ada jawaban selain keheningan yang makin menjadi.
"Lo benar-benar nggak mau ngelihat gue? Kita bicarakan baik-baik! Tolong buka pintunya .... " pinta Nevan memelas.
Gadis di dalam sana tetap pada pendirian. Ia mengabaikan semua pesan masuk di ponselnya. Hanya demi membuang kenangan semalam.
Nevan bangkit berdiri. Ia menuju kamar Rendra. Langsung mengacak seluruh isi laci di meja kerja temannya. Ia teringat Rendra sering meletakkan kunci cadangan apartemen di sana. Begitu berhasil menemukannya, ia bergegas kembali menghampiri pintu kamar Alena. Mencoba satu persatu kunci yang tergantung bersamaan.
Selimut tersingkap, Alena terlonjak kaget. Buru-buru ia menyeka sisa air matanya. Diterawangnya sosok Nevan yang baru saja berhasil melihat sosok rapuhnya.
"Mau apa lagi?!" pekik Alena berpaling muka. Ia lebih rela menengok lampu di sudut ruangan. Ketimbang melihat wajah mengesalkan Nevan.
Ketampanan pria 27 tahun tersebut tak cukup mampu menggetarkan hati Alena. Ia lebih dulu menanamkan benci untuk Nevan.
"Gur bakal bertanggung jawab."
"Buat apa?!"
"Buat kesalahan gue semalam. Gue minta maaf, Len. Gue nggak sadar ... Sorry .... "
"Pergi sana!"
Suara tegas Alena seakan mengisyaratkan ia belum siap Nevan berada di dekatnya.
"Oke. Tapi gue pasti akan tetap tanggung jawab."
"Nggak perlu! Lagipula belum tentu kita benar-benar melakukan sesuatu semalam. Kamu mabuk dan aku pingsan. Siapa yang bisa menjamin kejadian semalam sampai sana?"
Ucapan Alena membuat Nevan menimbang bingung. Ia harap benar-benar tak ada apa-apa semalam.
"Apa lo yakin nggak ngerasain sakit atau nyeri di-?"
Buk.
Sebuah bantal melayang tepat mengenai wajah karismatik Nevan. Pria itu memijat tengkuk ragu-ragu. Ia mulai merinding, mendapati tatapan ngeri dari Alena.
"Masih bisa nanya begitu?! Brengsek!" maki Alena.
"Gue cuma pengen memastikan. Siapa tahu elo kesakitan atau bahkan pendarahan?" Nevan mengira-ngira sendiri.
Lagi-lagi sebuah bantal melayang bebas. Mendarat mencium mukanya yang meringis.
"Keluar! Lihat wajah mesummu, aku nggak tahan!"
"Nggak tahan? Jangan bilang elo ketagihan?" Nevan bertanya dengan tampang polos.
\=\=***\=\=
Semenjak kejadian itu. Mereka saling diam seribu bahasa. Tidak ada yang tahan berlama-lama saling melihat satu sama lain, terutama Alena yang terus menghindar. Nevan sangat merasa bersalah dan berusaha memperbaiki keadaan. Namun belum ada titik terang dari Alena.
Alena masih sangsi dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ia berulang kali membuka Google dan Youtube. Mencari tahu tentang rasanya, setelah melakukan malam pertama. Kebanyakan ciri-ciri yang disebutkan tak sepenuhnya ia rasakan. Kecuali hanya mawas diri dan tertekan dengan pikiran bingung. Sebab, ia ingat pagi itu pakaiannya lepas semua dari badan. Bagaimana mungkin ia bisa tenang, bila saja mungkin tak sepenuhnya kesuciannya ternoda. Tetap saja, Nevan telah menikmati dan melihat sebagian dirinya yang polos tanpa busana. Tidak, atau malah seutuhnya polos?
Memikirkannya saja membuat Alena pusing dan stres sendiri. Ia ingin mengenyahkan praduga buruk yang menyiksa hari-hari indahnya.
Di kantor Alena baru menyelesaikan konsep majalah, yang akan diajukan minggu ini. Kamila, temannya menegur berkali-kali tapi tak dapat respon. Akhirnya ia mencolek Alena dengan ujung bulpoin Fasternya. Alena menoleh kaget.
"Kenapa? Ada masalah? Melamun terus," tukas Kamila meneliti wajah lesu temannya. Tak seperti biasa yang selalu mudah menebar tawa.
"Ehm, boleh aku nanya sesuatu?"
"Yes, of course."
"Kamu udah pernah melakukan itu belum?"
"Itu?"
Kamila bingung, tak mengerti arah obrolan mereka. Alena terlalu klise mengungkapkan sesuatu.
"Itu, maksudku ... apa kamu udah pernah ML?"
"What?! ML?"
Spontan Kamila berteriak histeris. Buru-buru Alena membekap bibir temannya. Semua orang menoleh curiga, namun kembali sibuk dengan aktifitas masing-masing. Alena menyingkirkan telapak tangannya dari bibir temannya.
"Apa kamu melakukannya? Aduh aku nggak percaya. Kamu punya pacar, Len? Siapa? Siapa?"
Mendadak Kamila menghujani rasa penasaran bertubi pada Alena.
"Diamlah, Mil! Aku cuma nanya aja!" dalih Alena menyimpan kegugupan.
"No no no. Aku mengenal kawanku dengan baik. Kamu bukan tipe orang yang suka sekedar bertanya tanpa tujuan, Len."
Tak sempat Alena membela diri, resepsionis kantornya datang menyerahkan bungkusan pada Alena. Katanya itu titipan dari seorang pria tampan. Alena membuka isinya makanan dan minuman. Ada selembar kertas di dalamnya. Kamila mengintip isi surat, ketika Alena fokus membacanya.
Makan dan minum yang sehat. Kalau kau hamil, kau dan anak kita harus punya nutrisi yang baik. -Nevan-
"Nevan?! Teman kakakmu yang ganteng dan tinggi itu?" seloroh Kamila takjub. Ia ternganga tak percaya.
"Bukan!" ketus Alena sembari *** kertas dan membuangnya sembarangan ke tempat sampah terdekat.
"Bayi siapa yang dimaksud? Oh Tuhan ... Alena yang suci dan bersih, aku masih nggak percaya, kamu benar-benar melakukan hal itu?!"
Ponsel Alena bergetar. Ia tak berniat menggubris pertanyaan Kamila. Diraihnya ponsel di atas meja. Sebuah pesan masuk dari Nevan.
Nevan_
Jangan lupa istirahat dan makan siang. Kalau butuh sesuatu bilang, ya?
"Apa dia makin gila?!" gerutu Alena mengabaikan pesan tersebut.
***
Sepulang kerja, Alena dikejutkan dengan kehadiran Nevan. Pria berjaket biru navy itu sudah menunggunya sejak setengah jam lalu. Hanya saja, rona wajahnya tampak agak berbeda. Adabekas kebiruan di pipi dan sudut bibir Nevan. Seperti habis dipukul. Karena tak tega, Alena terpaksa mendekatinya.
"Ngapain kamu di sini?!" Alena tak senang.
"Jemput kamu. Kita perlu bicara."
Alena menautkan satu alis. Telinganya belum terbiasa, mendengar pria Jakarta itu memanggilnya dengan sebutan aku kamu.
"Nggak ada yang perlu dibicarakan!"
"Ada. Jangan keras kepala. Kamu lihat hasil cap tangan dari Rendra ini? Aku udah cerita semua ke dia."
Alena mendelik mendengar penjelasan dari Nevan. Ia merasa gemetaran tak jelas. Bagaimana bila sampai Rendra mengadu pada orang tuanya. Ia panik akan dicoret dari daftar silsilah keluarga.
Dering ponsel terdengar nyaring. Alena meraih telepon genggamnya dan membaca nama yang tertera di layar sana. Rendra menghubunginya. Alena tak berani mengangkat. Lalu sebuah pesan masuk dari Rendra ia baca.
Cepat pulang! Kalian berdua harus bicara denganku! Atau langsung ke ayah dan ibu?!
Damm. Tanpa menunggu lama, Alena langsung naik ke dalam mobil Nevan. Ia harus mempersiapkan memtal untuk menghadapi kakaknya.
\=\=***\=\=
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!