NovelToon NovelToon

Terjebak Psikopat

Kesepakatan

Mozayya Addena Ragayu, adalah seorang siswi SMA kelas XII. Dia terlahir sederhana, namun tidak menjadi penghalang mimpi-mimpinya. Karena sukses tidak harus di mulai dari kaya, tapi kaya di mulai dari kerja keras.

Artha Genandra Angkasa, seorang CEO di perusahaan ayahnya sendiri. Jabatan yang ia pegang, tentunya atas dasar paksaan sang Ayah. Mau tak mau Artha harus menuruti apa perintah beliau. Bagaimanapun juga Artha tidak mau kehilangan pasilitasnya.

Selain seorang CEO, Artha juga seorang psik0pat kejam, yang tidak memiliki perikemanusiaan. Karena, pada dasarnya seorang psik0pat memang tidak memiliki hati nurani. Tidak banyak orang tau pribadinya tentang hal ini, hanya sebatas teman dekatnya dan orang-orang suruhannya, juga korban-korban yang mungkin telah mengembuskan napas terakhirnya. Bahkan kedua orang tuanya pun tidak mengetahui tentang hal ini. .

*

*

*

*

Gdor gdor gdor!

Mozayya yang sedang menjemur pakaian, terhenti ketika mendengar suara keras dari arah pintu. Mozayya memasuki rumahnya dari pintu belakang, berjalan menuju pintu depan sambil merapihkan bajunya yang kelihatan kusut, serta rambutnya yang juga kelihatan berantakan.

Ceklek!

Mozayya mendongak ke arah pria dihadapannya, menatapnya tanpa kedip, serta bulu kuduknya yang tiba-tiba berdiri.

Mozayya; "Nyari siap— eh--eh, kok, main masuk aja!" bentaknya, menatap tajam pria itu.

Pria itu tampak tak menghiraukan perkataan Mozayya, ia terus menerobos masuk lebih dalam lagi. Tanpa banyak una-inu, pria itu berhasil membuat Mozayya semakin kesal.

"Angga Ragayu! Keluar!" Suaranya begitu menggelegar di rumah yang bisa di bilang kesempitan, itu.

Mozayya menatap tajam pria itu, sambil berkacak pinggang.

Mozayya; "Hei, Tuan! Berani-beraninya anda meninggikan suaramu di rumah orang! Anda fikir rumah saya ini, stadion?!" bentaknya lagi.

Mozayya semakin tersulut emosi ketika pria itu lagi-lagi seperti tak menganggap keberadaannya.

Mozayya; "AND— "

"CUKUP, MOZA!"

Bentakkan itu berhasil membuat Mozayya terlonjak, ia membalikan tubuhnya, menatap orang yang barusan membentaknya. Angga Ragayu, selaku ayah Mozayya.

Pak Angga mulai berjalan mendekati Mozayya yang sedang dalam ekspresi loading. Ini kali pertamanya Mozayya mendapatkan bentakan yang amat mengerikan.

Setibanya Pak Angga dihadapan Mozayya, Mozayya menatap Pak Angga penuh kebinguan. Kembali ia menatap pria bertubuh besar itu yang sedang menatapnya datar.

Mozayya; "Yah, dia siapa? Kenapa, dia berani sekali melantangkan suaranya di rumah kita? Bahkan dengan tidak sopannya dia meneriaki nama ayah." tanyanya, menatap Pak Angga dengan serius.

Pak Angga menatap pria itu sekilas, lalu kembali menatap Mozayya sendu. Terlihat jelas di mata Pak Angga, tatapan yang sepertinya sedang tidak baik-baik saja.

Mozayya yang tidak mengerti dengan tatapan Pak Angga, memilih untuk menatap kembali pria bertubuh besar itu. Menatapnya dengan mata yang semakin menajam.

Mozayya; "Sebenarnya apa yang terjadi?! Kamu ada urusan apa sama ayah saya? Apa kamu mengatakan sesuatu sehingga ayah jadi seperti ini! IYA?!" Bentakan itu tak kalah menggelegar dari bentakan Pak Angga.

"Ada ap— maaas! Kamu gapapa?"

Terlihat wanita setengah baya itu berlari kecil ke arah Pak Angga, dengan menampakan wajah khawatirnya.

Ningsih, selaku ibu Mozayya.

Bu Ningsih kemudian melirik ke arah Mozayya, mengusap lembut kepalanya, menariknya untuk lebih dekat dengannya.

Bu Ningsih; "Kamu gapapa, Nak?" tanyanya sambil mengusap-usap punggung Mozayya.

Mozayya hanya menggelengkan kepalanya, namun tatapannya masih menatap tajam pria bertubuh besar itu.

Mozayya; "Bu, dia siapa?!" tegas Mozayya, terus menatap pria itu.

Dengan menunduk, Bu Ningsih hanya menggelengkan kepalanya pelan, kemudian meraih sebelah tangan Pak Angga.

Pak Angga membalas pautan tangan Bu Ningsih, lalu keduanya menatap Mozayya bersamaan.

Pak Angga; "Moz— "

Brak!

"Kenapa lama sekali, HAH?! DERO! Kita tidak punya banyak waktu untuk berlama-lama berada di rumah ini, untuk apa menyaksikan drama palsu mereka!"

Bentakkan seseorang di ambang pintu terdengar paling menggelegar dari bentakan sebelumnya di rumah ini.

Mozayya membalikan tubuhnya, menatap pria yang lebih menyeramkan dari pria yang pertama ia lihat.

Pria menyeramkan itu tak lain adalah Artha.

Mozayya lagi-lagi dibuat bingung dengan keadaan sekarang, kenapa rumahnya tiba-tiba kedatangan orang-orang asing seperti ini.

Karena perasaannya mulai tak tenang, Mozayya kembali menatap lekat Pak Angga dan Bu Ningsih.

Mozayya; "Yah, Bu, sebenarnya mereka ini siapa? Kenapa mereka bisa seenaknya teriak-teriak di rumah kita? Apa mereka fikir ini stadion, yang bisa teriak sekencang-kencangnya?!" Cecaran itu lolos dari mulut Mozayya, dengan menatap dalam Pak Angga dan Bu Ningsih bergantian.

Artha; "Hai! gadis cantik. Biar saya yang menjelaskan. Sepertinya mau ditunggu beberapa tahun kemudian juga orang tuamu tidak akan pernah memberitahukan yang sebenarnya!" Seringainya, menatap datar Mozayya.

Berjalan sambil bersidekap dada, Artha menghampiri Pak Angga. Melepaskan tangan Bu Ningsih, lalu merangkul Pak Angga kasar.

Mozayya membelalakkan matanya, baru kali ini ia melihat ada orang yang bersikap semena-mena terhadap ayahnya, ditambah lagi orang itu sepertinya jauh lebih muda dari ayahnya.

Ini tidak bisa di biarkan. Mozayya mencoba melepas rangkulan itu, dengan terus menarik-narik sebelah tangan Artha kuat.

Mozayya; "Lepaskan ayahku! Kamu bener-bener kurang ajar, tidak tau sopan santun! Dia lebih tua darimu! Seharusnya kamu bisa menghormati orang yang lebih tua!" bentak Mozayya, sambil terus berusaha melepaskan rangkulan Artha dari Pak Angga.

Bruk!

Dengan sekali hempasan, Mozayya tersungkur sempurna di lantai polos itu.

Bu Ningsih; "Moza!" teriaknya, bergegas menghampiri Mozayya yang sedang terduduk sambil memegangi lututnya.

Namun sebelum itu, Dero yang sudah hapal dengan isyarat dari Artha, segera memegang kedua tangan Bu Ningsih.

Mozayya mengepalkan tangannya, melihat kedua orang tuanya diperlukan seperti itu, membuat emosinya meledak.

Dengan perlahan, Mozayya kembali berdiri, setelah sudah terlihat tegak. Mozayya menatap tajam bola mata Artha.

Mozayya; "LEPASKAN ORANG TUA SAYA!"

Artha; "Wow, punya mental sebesar apa? Sehingga berani-beraninya meninggikan suara di hadapan saya, hm?" Begitu lembut suaranya, yang sudah di pastikan dibalik semua ini ada sesuatu yang bakal terjadi.

Mozayya menelan salivanya susah payah, menatap tajam Artha. Walaupun dalam hati yang paling dalam, Mozayya bener-bener tidak yakin dengan keberaniannya ini.

Namun, karena ini menyangkut kedua orang tuanya, Mozayya tak segan-segan menepis ketakutannya.

Mozayya; "Wahai, Tuan yang mulia! Tolong lepaskan kedua orang tua, saya!" tegasnya.

Sejenak Mozayya mengatur nafasnya terlebih dahulu.

"Saya memang tidak tau apa yang terjadi di antara kalian dan orang tua saya. Tapi, apakah harus dengan cara kasar seperti, ini? Kamu tidak pernah diajarkan sopan santun oleh orang tuamu?" lanjutnya.

Artha melepas rangkulannya, lalu berjalan perlahan ke arah Mozayya. Mozayya sedikit memundurkan posisinya. Kala, jarak antara dirinya dan Artha semakin menipis.

Artha menatap Mozayya dari atas hingga bawah, dan sebaliknya.

Mozayya mengikuti gerak mata Artha, dengan mengerutkan keningnya.

Mozayya; "Hei! Apa yang sedang kamu perhatikan?!" tegasnya, menatap Artha heran.

Artha bergumam, "Boleh juga." Tentunya tak luput dari pendengaran Mozayya.

Mozayya menyampingkan kepalanya, serta memicingkan kedua matanya. Ia kemudian bersidekap dada.

Mozayya; "Tuan! lebih baik kalian keluar sekarang juga. Sebelum saya mengusir kalian dengan cara kasar!" tegasnya, menatap Artha dan Dero bergantian.

Artha; "Dero! Lepaskan perempuan itu. Saya punya satu keringanan buat kalian berdua!" Ucapnya, menatap sinis Pak Angga dan Bu Ningsih bergantian. Setelahnya ia menatap Mozayya dengan menerbitkan senyum miringnya.

Mozayya segera menghampiri Bu Ningsih, memegang sebelah tangannya dengan erat.

Mozayya; "Ibu, gapapa?" tanyanya khawatir, sambil terus menulusuri tiap inci tubuh Bu Ningsih.

Bu Ningsih menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum, "Ibu, gapapa." jawabnya, mengelus tangan Mozayya yang menggenggam sebelah tangannya.

Pak Angga menghampiri keduanya, lalu memegang pundak sang istri lembut, serta melemparkan senyuman hangatnya.

Ketiganya kompak menatap Artha serius.

Artha kemudian bersidekap dada, sambil mengangkat sebelah alisnya.

Pak Angga; "Den Artha, saya akan melakukan apapun yang kamu minta, tapi tolong beri saya waktu lebih lama lagi, untuk mengumpulkan uang itu." lirihnya, menatap Artha sendu.

Artha tersenyum remeh, sambil memalingkan wajahnya singkat. Kemudian menatap datar ketiganya.

Tak luput dari perhatian Mozayya yang tidak tahu apa permasalahannya. Hanya, berdiam diri, agar mengerti apa yang mereka maksud.

Artha; "Angga Ragayu," ucapannya terjeda sejenak, "Begitu manis sekali ucapanmu itu. Dalam sebuah kurung, hanya untuk meringankan hutang-hutangmu!" tegasnya, sambil mengelilingi ketiganya.

Berhenti tepat di hadapan Mozayya. Menatap Mozayya dalam, sambil tersenyum manis. Entah itu mungkin hanya senyuman palsunya.

Artha; "Anak kalian sepertinya sepadan dengan hutang-hutang kalian." ucapnya, sambil terus menatap Mozayya dengan senyuman miringnya.

Pak Angga dan Bu Ningsih saling melempar pandangan, sedangkan Mozayya memundurkan kepalanya sedikit, sambil mengerutkan keningnya. Tak lupa mulutnya yang sedikit terbuka.

Mozayya; "Maksudmu, apa?!" Menatap Artha dalam.

Artha tersenyum tipis, lalu menatap Pak Angga tajam.

Artha; "Bukankah ini keringanan langka. Jika, saya membawa anak kalian, lalu hutang kalian lunas beserta bunga-bunganya." ucapnya serius, menatap keduanya tajam.

Pak Angga tampak terkejut dengan apa yang di ucapkan Artha. Kemudian menatap Bu Ningsih serius. Setelahnya menatap Mozayya, dengan Mozayya yang sedang dalam masa pemulihan otaknya.

Mozayya loading ...

Mozayya; "Apa-apaan?! Apa hubungannya dengan saya?!" Tegasnya, menatap tajam Artha.

Artha mengalihkan pandangannya terhadap Mozayya, menganalisis seluruh tubuh Mozayya.

Artha; "Sepertinya kamu cocok di rumah saya."

Mozayya membelalakkan matanya, menatap bingung Artha.

Memiliki banyak pertanyaan di benaknya. Pertama, Mozayya masih belum tahu hutang apa yang mereka maksud. Kedua, kenapa jadi dirinya yang kena imbasnya.

Mozayya; "Yah, sebenarnya apa yang terjadi? Memangnya ayah punya hutang berapa sama pria ini?" tanyanya, tanpa memikirkan perkataan Artha.

Mozayya hanya ingin tahu, sebenarnya hutang apa yang di maksud, sehingga dirinya ikut terseret, dan sebesar apa, sampai-sampai hutangnya sepadan dengan manusia.

Pak Angga menundukkan kepalanya. Enggan untuk menatap Mozayya.

Bu Ningsih juga ikut menunduk, sambil menggenggam tangan Pak Angga.

Mozayya mengembuskan nafasnya kasar, lalu menatap Artha tajam.

Mozayya; "Saya akan membayar hutang-hutang orang tua saya. Beri saya waktu!" tegasnya.

Artha memicingkan matanya, lalu tak terduga gelak tawa kecil keluar dari mulutnya.

Artha; "Gadis kecil bisa apa? Apakah kamu harus menunggu sumbangan dari pemerintah untuk membayar hutang kedua orang tuamu, gitu?! Ck." ucapnya, dengan senyum meremehkan.

Mozayya; "Siapa bilang saya gadis kecil? Asal kamu tahu, ya. Walaupun saya masih sekolah, tapi saya tidak mengharapkan uang dari orang tua, saya. Saya sekolah dengan uang saya sendiri. Faham?!"

Artha; "Oh, ya? Apakah saya percaya? Tentu tidak!" Menatap tajam Mozayya.

Mozayya mengeraskan rahangnya, lalu memalingkan wajahnya secepat mungkin.

Artha; "Bagaimana menurut kalian? Kalian setuju dengan usulan yang saya berikan?" tanyanya, kembali menatap Pak Angga, "Jika kalian tid—,"

Pak Angga; "Saya setuju!" tegasnya.

Bu Ningsih menatap Pak Angga serius, dan jangan lupa, Mozayya lebih terkejut dengan apa yang diucapkan Pak Angga barusan.

Artha tersenyum tipis, mendengar jawaban Pak Angga.

Mozayya; "Yah! Maksud ayah, apa? Ayah becanda, kan?!" tanyanya, menatap serius Pak Angga.

Pak Angga menggelengkan kepalanya, "Anakku, Moza. Ayah tidak punya pilihan lain, ayah bener-bener sedang di ujung tanduk. Tak tau harus berbuat, apa. Kalo memang ini satu-satunya jalan keluar untuk ayah. Ayah harus merelakan, kamu. Maafkan, ayah." lirihnya, sambil menundukan kepalanya.

Mozayya menggelengkan kepalanya, menatap tak percaya terhadap ayahnya.

Mozayya; "Yah, kita bisa cari uang, untuk membayar hutang itu. Tidak harus dengan cara seperti ini. Aku yakin, pasti ada jalan keluarnya. Yang jelas-jelas Ini itu bukan jalan keluar, tapi ini jebakkan, yah." ucapnya, menatap Pak Angga penuh harap, agar ayahnya berubah fikiran.

Pak Angga; "LIMA PULUH JUTA, MAU UANG DARI MANA?!"

Lagi-lagi Mozayya terlonjak kaget, mendapatkan bentakan yang sempurna membuat hati kecilnya sesak. Sebisa mungkin ia bersikap tenang, ia tau ayahnya sedang emosi. Tapi, ia juga kaget, uang lima puluh juta! Buat apa? Kenapa Mozayya tak pernah melihat uang sebanyak itu.

Setelahnya Pak Angga bergumam, "Maafkan, ayah. Maafkan, ayah." lirihnya sambil menundukan kepalanya dalam, dengan tubuh bergetar.

Bu Ningsih mengusap pelan punggung Pak Angga. Kemudian menatap dalam Mozayya. Selaku anak mereka satu-satunya.

Bu Ningsih menarik nafasnya dalam, "Moza, Ibu setuju dengan ayahmu." lirihnya, kemudian juga menundukkan kepalanya.

Duar!

Hati Mozayya benar-benar sakit, ia kira ibunya akan menentang keputusan ayahnya. Ternyata, cinta sejati mereka cukup kuat. Sehingga, dirinya yang harus terpaksa menelan pil pahitnya.

Mozayya; "Ayah, aku bener-bener gak tau, uang sebesar itu ayah pergunakan untuk, apa. Tapi, apa kita harus mengambil keputusan secepat ini? Apakah kalian rela melepaskanku kepada orang asing seperti dia?!" lirihnya, kemudian menatap tajam Artha.

Artha; "Sudahlah gadis kecil, kam—,"

Mozayya; "Stop panggil saya gadis kecil, saya sudah besar. Jadi, panggilan itu tidak cocok untuk saya!"

Artha; "Baiklah, saya akan menuruti apa kemauan calon istri saya."

Pak Angga dan Bu Ningsih menatap serius Artha bersamaan. Tak terkecuali Mozayya yang juga menatap kaget Artha.

Artha menatap satu persatu orang yang sedang menatapnya. Berhenti ditatapan Pak Angga.

Artha; "Saya akan menikahi anak kalian. Jadi, kalian tidak perlu resah." ucapnya dengan menatap datar Pak Angga.

Pak Angga; "Apa kamu serius dengan ucapanmu?" tanyanya dengan menatap Artha sendu.

Artha; "Hm,"

Tanpa Ba-bi-bu, Pak Angga bersimpuh lutut di kedua kaki Artha.

Mozayya menggelengkan kepalanya, "Yah, tidak perlu seperti, ini. Ini tidak baik." ucapnya, menarik kembali tubuh Pak Angga.

Pak Angga menatap Mozayya dalam.

Pak Angga; "Mozayya! Nama dia adalah Mozayya Addena Ragayu. Titipan Allah yang sangat berharga." Menatap sendu Mozayya, sambil mengusap pelipis Mozayya lembut. "Saya bener-bener menyayangi anak ini, walaupun saya harus mengorbankan dirinya. Tapi, saya yakin, kamu bener-bener serius, untuk menikahi anak saya, bukan?" tanyanya, menatap Artha serius.

Artha; "Tidak usah banyak drama, saya tidak punya banyak waktu!" tegasnya, menatap datar Pak Angga.

Mozayya; "Oke! Kalo memang ini keputusan kalian, aku setuju. Setidaknya aku sudah meringankan beban kalian. Selama delapan belas tahun, ini. Aku, belum pernah memberikan kebahagiaan kepada kalian. Lalu, sekarang aku sudah mengikuti kemauan kalian. Apakah, itu bisa di bilang, kalo aku sudah membahagiakan, kalian?" Lirihnya, menatap lesu Pak Angga dan Bu Ningsih bergantian.

Terlihat di pelupuk mata Bu Ningsih, sudah terdapat cairan bening, yang dengan satu kedipan, air itu pasti jatuh detik itu juga.

Pak Angga memegang kedua sisi tubuh Mozayya, "Sejak kamu dilahirkan kedunia, dari situlah kebahagiaan kami dimulai. Sampai detik ini kamu adalah simbol kebahagiaan, kami. Jadi, jangan pernah berfikir seperti itu!" tegasnya, menatap sendu Mozayya.

Tak kuat menahannya, bendungan air yang menggenang di pelupuk mata Mozayya, luruh detik itu juga.

Pak Angga menarik Mozayya ke dalam dekapannya. Mengusap kepalanya lembut, sesekali mencium puncak kepala Mozayya.

Pak Angga; "Maafkan ayah, nak." lirihnya.

Persetujuan

Dengan kasar Artha menarik Mozayya dari pelukan kedua orang tuanya. Mencekal kuat pergelangannya. Tak memperdulikan ringisan yang keluar dari mulut Mozayya.

Bu Ningsih yang mengerti dengan raut wajah Mozayya. Mencoba mendekati keduanya.

Artha; "Stop!" Tegasnya, menatap Bu Ningsih tajam.

Mozayya mencoba melepaskan cengkramannya, walaupun sepertinya sia-sia.

Artha; "Dengerin saya! Saya akan membawa anak kalian mulai hari ini juga!" tegasnya.

Mozayya; "Apa?! Kenapa secepat, ini?"

Artha; "Loh, mau nunggu apa, lagi? Mau, nunggu kalian kabur, gitu? Memangnya saya orang bodoh, apa!" tegasnya, menatap nyalang Mozayya.

Mozayya menggelengkan kepalanya, "Enggak, bukan seperti itu. Maksud saya, apa tidak melaksanakan pernikahan dulu, baru kamu boleh membawa, saya?" ujarnya dengan hati-hati.

Artha memiringkan bibirnya, kemudian menatap setiap inci tubuh Mozayya.

Artha; "Itu urusan, saya!" tegasnya.

Mozayya; "Loh, itu juga urusan, saya!" tegasnya juga.

Pak Angga; "Sudah-sudah! Moza, ayah yakin Den Artha tidak akan berani macem-macem terhadapmu. Jadi, ikuti saja perintahnya." lirihnya.

Mozayya; "Tapi, Yah—"

Bu Ningsih; "Mozaa ... " lirihnya, menatap sendu Mozayya.

Mozayya mengembuskan nafasnya kasar, lalu kembali menatap Artha datar.

Artha; "Tapi, kamu janji, tidak akan menyentuh saya sebelum kamu menikahi saya!" tegasnya, menatap tajam Artha.

Artha memalingkan wajahnya, menatap Dero datar, memberikan isyarat, yang dengan mudah dapat Dero pahami. Setelahnya Dero segera keluar meninggalkan ke empat insan itu.

Artha; "Anggap saja kalian telah menjual anak kalian kepada, saya!" tegasnya, menatap tajam Pak Angga dan Bu Ningsih bergantian.

Pak Angga terlihat gelisah, ia masih memikirkan apakah keputusannya memang jalan keluar untuk permasalahannya.

Mozayya; "Uang lima puluh juta kamu ratain sama manusia? Kamu fikir saya barang apaan?!" sarkasnya.

Artha; "Itu tidak termasuk pemeliharaannya. Urusanmu akan menjadi urusan saya juga. Jadi, soal biaya hidupmu, saya yang nanggung! Termasuk Sekolahmu."

Mozayya masih belum percaya dengan ucapan Artha. Mana mungkin pria ini yang tadinya seperti orang kesetan4n, tapi sekarang dengan entengnya ingin menikahinya. Lalu, hutangnya dinyatakan lunas. Sedikit tidak masuk akal.

Dengan perasaan tak tenang, Mozayya mencoba mengikuti apa ucapan Artha. Bagaimanapun nantinya, ia yakin keputusan ayahnya tidak akan pernah salah.

Artha; "Baiklah, sepertinya anak kalian setuju dengan usulan saya." ucapnya, menatap Mozayya datar.

Mozayya menatap tangannya yang masih dalam Cengkraman Artha.

Artha mengerti apa maksudnya, lalu segera melepaskan cengkramannya.

Mozayya berlari menghampiri Bu Ningsih dan Pak Angga. Menatap dalam keduanya. Lalu memeluk keduanya bersamaan.

Pak Angga dan Bu Ningsih, mengusap punggung Mozayya lembut.

Pak Angga; "Nak, kamu wajib bahagia." bisiknya, tepat di telinga Mozayya.

Mozayya; "Aku gak yakin, Yah." Lirihnya dengan suara bergetar.

Artha bergumam, "Ck, menyebalkan!"

Artha kembali menarik Mozayya kuat, hingga terlepas dari pelukan kedua orang tuanya. Kali ini Mozayya berada dalam rangkulan Artha.

Mozayya membelalakkan matanya, menatap tak percaya kepada pria ini, dan ada perasaan yang juga sulit ia artikan.

Mozayya mencoba menggeser tubuhnya agar sedikit berjarak, namun hal tak terduga. Artha malah menarik pinggang ramping Mozayya, sehingga Mozayya tak bisa berkutik lagi.

Dengan perasaan yang menggebu-gebu, Mozayya mencoba mengatur ekspresinya se santai mungkin.

Pak Angga dan Bu Ningsih saling melempar pandangan. Disusul dengan senyuman tipis menghiasi b1bir keduanya.

Artha; "Apakah saya sudah boleh membawa Mozayya Addena Ragayu?" tanyanya, dengan senyuman tipisnya.

Pak Angga masih loading ... Setelahnya, "Bo--boleh, silahkan." Lalu menatap Mozayya dengan tatapan sendu.

Mozayya melipat b1birnya, sebisa mungkin menahan gejolak perasaan yang bertengkar didalam hatinya.

Ada perasaan kecewa terhadap kedua orang tuanya, karena dengan mudah mereka melepaskan dirinya begitu saja. Tapi, Mozayya mengerti akan perasaan mereka.

Perlahan Mozayya kembali menatap Artha, "Artha! Namamu Artha?"

Artha; "Hmh,"

Mozayya mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian menatap kembali kedua orang tuanya.

Mozayya; "Tuan Arth—"

Artha; "Sepertinya kosakata itu terlalu formal untuk kita yang sebentar lagi akan menjadi pasangan suami-istri."

Mozayya mengerutkan keningnya sambil menatap Artha bingung.

Artha; "Kamu boleh memanggil saya, Artha, atau ... Sayang, juga boleh." ucapnya, menatap Mozayya sambil mengangkat sebelah alisnya, tak lupa sebelah b1birnya yang juga ikut tertarik.

Mozayya bener-bener tak mengerti dengan jalan pikiran pria ini. Sepertinya ada maksud tertentu dibalik semua ini. Mozayya sudah siap bertarung dengan kenyataan-kenyataan yang akan menghampirinya.

Mozayya menghembuskan nafasnya perlahan, lalu menatap Artha dalam.

Mozayya; "Kak, kamu harus janji sama say— aku, kamu gak akan pernah ganggu ayah dan ibuku lagi." lirihnya, lalu menatap kedua orang tuanya.

Artha; "Hmh! Asal kamu mau mengikuti apa perintahku. Bagaimana, Dil?!" ujarnya, lalu menyodorkan sebelah tangannya.

Dengan perlahan Mozayya meraih tangan kekar itu. Tak ingin lama-lama dalam posisi, Mozayya segera melepas pautan itu.

Artha; "Oke, Dil yah?!" tanyanya, menatap dalam Mozayya.

Mozayya menganggukkan kepalanya pelan.

Artha menatap Pak Angga dan Bu Ningsih bergantian, "Lihat baik-baik, Kesepakatannya sudah dil di hadapan kalian berdua. Jadi, Mozayya sekarang sudah menjadi milik saya!" Menatap keduanya tajam, "Dalam sebuah kurung, Mozayya masih darah daging kalian. Jadi, dia masih bisa menemui kalian. Tapi, harus dengan ijin dari saya!"

Pak Angga menatap Artha serius, "Terimakasih Den Artha, ini adalah sebuah keringanan yang paling berharga. Terimakasih sekali lagi." ucapnya sambil menundukan kepalanya singkat.

Tidak sesuai ekspektasi

Di dalam perjalanan, hanya ada keheningan yang melanda antara keduanya. Duduk berdampingan di bangku belakang, membuat perasaan Mozayya sedikit tak tenang. Apalagi Artha yang tampak tak bersuara sama sekali. Bahkan untuk melihat dia bergerak saja, sepertinya tidak.

Mozayya mencoba mencuri perhatian Artha, memicingkan sebelah matanya. Melihatnya dari samping, namun ini tidak bisa dibiarkan.

Posisi Artha yang menyenderkan punggungnya ke belakang, sedangkan Mozayya duduk dengan posisi tegak. Jelas-jelas tidak akan terlihat dari samping.

Mozayya menghembuskan nafasnya perlahan, kemudian memilih untuk menatap jalanan, yang menampakan lalu lalang kendaraan.

Tling!

Suara itu mengintrospeksi lamunan Mozayya, sepertinya sebuah notifikasi. Segera Mozayya mengecek ponselnya, namun tidak ada menampakan pesan apapun. Sepertinya, bukan ponsel miliknya.

Sudah dipastikan itu berasal dari ponsel milik pria disampingnya. Mozayya memberanikan diri untuk menoleh ke arahnya. Terlihat Artha sedang berkutik dengan benda pipihnya itu.

Mozayya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya pelan, lalu kembali menatap suasana jalanan yang semakin terang-benderang, karena penerangan dari lampu-lampu disepanjang trotoar.

Ada perasaan takut di hatinya, malam ini Mozayya tidak yakin bisa tidur dengan nyenyak. Selain jauh dari kedua orang tuanya, ia juga takut karena bakalan satu atap dengan pria asing disampingnya. Bukan apa-apa, Mozayya sangat benci dengan fikiran negatifnya.

Tak terasa, mobil yang ia tumpangi sepertinya sudah berhenti. Ia menoleh ke samping, dan tak menampakkan Artha di sampingnya.

Mozayya mengalihkan pandangannya ke kursi pengemudi, dan juga tidak menampakkan orang yang menyetir sedari tadi.

Tok tok tok!

Suara ketukan itu membuyarkan lamunannya, Mozayya melirik ke arah pintu mobil, dan menampakan pria yang tadi berada disampingnya, sudah di luar mobil menatapnya datar.

Mozayya bergumam, "Aneh banget, kok, bisa mereka keluar tanpa sepengetahuanku." Mozayya membuka pintu mobilnya, dan juga menatap Artha datar.

Artha; "Baru pertama kali naik mobil? Saking menikmatinya, sampai-sampai mobil berhenti saja tidak sadar." gumamnya, kemudian melangkahkan kakinya, meninggalkan Mozayya yang masih dalam pendiriannya.

Mozayya; 'Kalo iya emang, kenapa?!' Sayangnya bentakkan itu hanya berhenti di tenggorokannya.

Tanpa berfikir lagi, Mozayya mulai mengikuti langkah kaki Artha, yang semakin menjauh darinya.

Di setiap langkahnya, Mozayya tak berhenti-hentinya membelalakkan matanya. Melihat taman yang indah, dipenuhi dengan bunga-bunga yang aromanya memang cocok dihidung. Mozayya membalikan tubuhnya singkat, menatap gerbang hitam yang menjulang tinggi, dan tak lupa kedua pria besar nan tinggi berdiri tegap, saling berhadapan.

Mozayya menyeringit heran, sejak kapan ada gerbang itu. Perasaan, ia tak melihatnya sejak berada di mobil, padahal pandangannya fokus keluar.

Tak ingin berlama-lama dalam fikiran yang tak berguna itu, Mozayya kembali melanjutkan perjalanannya.

Hayoh, ketinggalan jauh lagi, kan.

Mozayya berlari kecil, mengejar Artha yang semakin menjauh darinya.

Mozayya menghentikan langkahnya, menatap Artha dalam. Terdengar suara detak jantungnya yang tak beraturan.

Artha menatap Mozayya datar.

Artha; "Bisa gak, tidak usah terlalu norak!" tegasnya, menatap Mozayya yang sedang mengatur nafasnya.

Mozayya tak menanggapi ucapan Artha, ia jadi semakin yakin, kalo Artha punya rencana lain di balik usulan pernikahan itu. Terlihat sekali perlakuannya, dari tadi terus-terusan memojokan dirinya.

Daripada menanggapi ucapan Artha yang memang ada benarnya, Mozayya memilih untuk menatap lurus ke depan.

Lagi-lagi Mozayya dibuat terkejut, dengan apa yang sekarang ia lihat. Ini bukan di negri dongeng, tapi, rumahnya ... Ah, fiks sih ini istana di dunia nyata.

Sebisa mungkin Mozayya mengatur ekspresinya se datar mungkin. Ia tak mau kepergok yang kesekian kalinya.

Artha menatap datar Mozayya. Mozayya yang sadar akan tatapan itu. Hanya mengerutkan keningnya heran.

Artha; "Bagimana? Jantungnya aman, kan?" tanyanya, diakhiri tawa kecil yang meremehkan.

Mozayya berbatuk kecil, setelahnya menatap Artha datar, "Gak, biasa aja!" jawabnya, yang tentunya bertolak belakang dengan kenyataannya.

Artha; "Ck, bohong banget!" gumamnya, yang masih terdengar jelas di telinga Mozayya.

Tlik!

Artha menekan tombol hijau yang berada dekat samping handle pintu yang diberi warna abu-abu.

Dengan sekali sentuhan, pintu itu terbuka lebar sempurna.

Kesekian kalinya lagi, Mozayya dibuat terkejut dengan apa yang ia lihat didepan kedua matanya sendiri. Enam orang wanita setengah baya, dengan kostum samaan, berjajar rapi saling berhadapan.

Ketika Artha mulai melewati ke enam manusia itu, mereka semua sontak menundukkan kepala mereka kompak.

Mozayya mengernyitkan keningnya, mencubit sebelah tangannya.

Mozayya; "Awsh ... Ternyata ini bener-bener nyata," gumamnya, yang tak bisa orang lain dengar selain dirinya.

Mozayya yang merasa tak pantas untuk melewati ke enam orang itu, atau bisa dibilang Maid. Masih berdiam diri di posisi, menunggu apa reaksi yang akan Artha tunjukan.

Artha membalikan tubuhnya, menatap datar Mozayya. Terdengar helaan nafas kasar dari mulutnya, kemudian berjalan kembali menginjaki lantai yang sebelumnya ia lalui.

Menarik tangan Mozayya kasar. Tapi, kali ini bukan Cengkraman, melainkan genggaman yang cukup erat.

Mozayya terkejut bukan main, tapi sebisa mungkin ia bersikap biasa saja.

Ketika sudah melewati ke enam Maid itu, Artha membalikkan tubuhnya lagi, menatap mereka satu persatu. Tentunya masih dengan menggenggam tangan Mozayya.

Artha melepas genggamannya, kemudian mendorong pelan tubuh Mozayya, hingga posisi Mozayya berada lebih dekat dengan ke enam Maid itu.

Mozayya mengerutkan keningnya, menolehkan kepalanya ke belakang...

Mozayya; "Ap—,"

Sebelum Mozayya berhasil melanjutkan kata-katanya, Artha terlebih dahulu, meluruskan kembali kepala Mozayya.

Mozayya tampak kebingungan, menatap satu persatu Maid di sana. Rasanya, sangat canggung.

Mozayya kembali menatap Artha yang masih setia di belakangnya.

Karena takut keduluan...

Mozayya; "Ya, apa?! Aku gak ngerti!" tegas dan cepat, menatap bingung Artha.

Terdengar helaan nafas kasar dari mulut Artha yang ke sekian kalinya. Menatap datar Mozayya.

Artha melangkahkan kakinya, lalu mensejajarkan posisinya dengan Mozayya.

Artha; "Dia ..." Menjeda ucapannya, sambil terus menatap Mozayya, "Maid baru disini! Saya harap kalian bisa mengajarkan dia sampai menjadi Maid senior seperti kalian," lanjutnya, lalu menatap ke enam Maid itu.

Mulut Mozayya sedikit terbuka, dengan kerutan dikeningnya.

Apa? Maid? Bukankah harusnya, calon ... Ah, ada yang tidak beres.

Artha; "Maid Ling, bawa ... Oh, ia, namanya Mozayya, panggil saja Maid Moza." ujarnya,

"Karena, kamar pelayan tidak tersedia lagi. Bawa Maid Moza ke kamar atas, yang bersebrangan dengan kamar saya!" lanjutnya, dengan menatap salah satu Maid disana, yang bername tag Ling, itu.

Maid Ling; "Baik, tuan!" ucapnya, sambil menundukan kepalanya singkat, "Ayok, ikut saya." lanjutnya, lalu melirik Mozayya, kemudian berjalan mendahuluinya.

Menepis segela pikiran yang bertengkar di benaknya, Mozayya melangkahkan kakinya, mengikuti Maid Ling yang sudah berjalan lebih dulu.

Sesampainya di kamar yang Artha maksud, sebelum Maid Ling meninggalkannya ...

Maid Ling; "Kamu beneran Maid baru, disini?" tanyanya, dengan ekspresi yang sulit di artikan. Namun, terdengar menjengkelkan.

Mozayya masih menimbang-nimbang pertanyaan itu. Bagaimana bisa Artha memperkenalkan dirinya sebagai pembantu, bukankah mereka akan segera menikah? Namun, dengan ragu Mozayya menganggukkan kepalanya pelan.

Terlihat Maid Ling mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu menatap sekeliling kamar yang sekarang mereka tempati.

Maid Ling; "Enak banget bisa tidur disini, baru kali ini ada Maid yang langsung dapat kamar paling nikmat." ucapnya, kemudian menatap lekat Mozayya.

Dapat Mozayya simpulkan, sepertinya wanita yang bisa ditaksir usianya se umuran dengan ibunya ini, tidak menyukai kehadirannya. Ah, si4l Artha hanya memperkenalkannya sebagai pembantu, coba kalo sebagai calon istri. Mozayya akan memamerkan itu semua. Walaupun pernikahannya hanya di atas dasari hutang orang tuanya.

Mozayya mengangkat sebelah alisnya, "Memangnya Maid-Maid yang lainnya tidur dimana?"

Maid Ling; "Ya, di bawah lah, dengan luas se ala kadarnya." jawabnya sinis.

Lihatlah, sudah mulai menampakkan ketidaksukaannya terhadap Mozayya.

Mozayya menyembunyikan senyuman tipisnya, lalu menatap Maid Ling dengan senyuman yang merekah.

Mozayya; "Ya, gimana ya? Ya, sabar aja."

Terlihat Maid Ling menatap tajam Mozayya, "Kamu—,"

"Maid dilarang ngobrol satu sama lain, jika tidak ada hal yang bersangkutan dengan pekerjaan!" Bentakkan seseorang terdengar keras dari arah pintu itu.

Keduanya menoleh bersamaan, dengan perasaan kaget masing-masing, lebih tepatnya teruntuk Maid Ling.

Tanpa menatap lama-lama, Maid Ling segera menundukkan kepalanya dalam.

Maid Ling; "Ma--af, Tuan. Saya permisi." ucapnya, kemudian lari dengan terbirit-birit.

Setelah Maid Ling sudah tak terlihat, Artha masuk lebih dalam lagi.

Ceklek!

Artha menutup pintunya, setelahnya berjalan menuju king size itu, yang hanya diberi warna putih polos. Menatap Mozayya dalam, tangannya mengusap lembut kasur yang sekarang ia duduki.

Artha; "Mozayya, lihatlah ... Kamu adalah orang paling beruntung di rumah ini, mendapatkan tempat tidur yang nyaman, dan sepertinya kamu akan betah lama-lama disini." seringainya, terus menatap Mozayya yang masih dalam pendiriannya.

Mozayya tersenyum tipis, "Yang ada, aku adalah orang paling apes di rumah ini." ujarnya, menatap tajam Artha, "didepan ayah dan ibuku, kamu bilang akan menikahiku, tapi didepan Maidmu? Maksudmu, apa?!" tegasnya.

Artha kemudian beranjak dari duduknya, lalu berjalan menghampiri Mozayya dengan melipat kedua tangannya.

Tepat dihadapan Mozayya, Artha melemparkan senyuman miringnya. Mozayya yang sudah kenyang dengan senyuman itu, kali ini tak lagi memiliki rasa takut dihatinya.

Artha mencengkram kuat lengan Mozayya, lalu menghempaskan tubuh Mozayya hingga ambruk di king size putih polos, itu.

Mozayya segera membalikan tubuhnya, menatap nyalang Artha. Meremas kuat selimut yang berada dalam genggamannya.

Artha menatap tajam Mozayya, sambil bersidekap dad4.

Mozayya; "Maumu, apa?!"

Artha; "Mauku, kamu!"

Mozayya; "Ma--maksdumu, apa?!"

Artha; "Maksudku, menghukummu!"

Mozayya mengerutkan keningnya, "Atas dasar, apa?!"

Artha berbalik badan, tanpa menjawab pertanyaan Mozayya, hanya mengedikan bahu, lalu tepat di ambang pintu, Artha membalikkan tubuhnya ...

"Jangan berani macem-macem. Ingat! Hak asuhmu sudah berada dalam tanganku!" Setelahnya Artha bener-bener hilang dari pandangan Mozayya.

Mozayya yang masih tak mengerti dengan apa yang di ucapkan Artha. Menatap dalam pintu yang sudah tertutup rapat. Sepertinya kengerian di dalam hidup Mozayya akan segera tayang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!