Di dapur, Kesya sibuk menyiapkan bekal makan siang untuk Revan kekasihnya. Kesya itu tipe yang susah untuk dibangunkan. Setiap pagi, selalu saja ada drama dimana mama Jesi (Mama Kesya) selalu berteriak, hanya untuk membangunkannya. Kadang kala, pak Wily (Papa Kesya) sampai harus turun tangan, paruh baya itu akan menggendong dan langsung menceburkan Kesya ke dalam bak mandi.
Tapi berbeda dengan hari ini. Semalam, Kesya sengaja menyetel alarm ponselnya dengan nada yang paling nyaring. Tidak hanya ponsel, dia juga menyetel jam weker nya. Lalu meletakkan keduanya di sisi kiri dan kanan bantal.
Benar saja, tadi pagi, dia bangun begitu alarm berbunyi. Tidak ada drama mematikan alarm dan tidur lagi. Semuanya berjalan sesuai rencana. Dia bangun begitu alarm berbunyi.
Sosis dan bakso dipotongnya kecil-kecil. Rencananya, dia mau buat nasi goreng kecap. Di sampingnya, berdiri mbok Surti, paruh baya itu hanya menonton setiap gerakan Kesya. Sesekali dia menggeleng, menutup matanya sambill meringis dalam hati.
Beberapa kali Kesya bertanya pada mbok Surti. Seperti, mbok ini nasinya harus diapin, mbok ini cara blender bumbunya gimana, mbok ini kecapnya dituangin duluan apa sekarang aja, mbok …, mbok, …, mbok.
Mbok Surti sampai pusing sendiri. Lagian, tumben-tumbennya Kesya yang manja mau turun langsung ke dapur. Biasanya mah, dia hanya main perintah saja.
Lebih pusing lagi, saat mulai proses memasak. Kesya teriak-teriak, saat menumis bumbu halusnya. Katanya minyak goreng sering keciprat ditangannya.
Mbok Surti hanya bisa memandang malas seolah berkata. ‘’Hanya menumis dengan minyak sedikit sudah seperti itu, gimana kabarnya kalau harus menggoreng ikan yang minyaknya bercipratan kesana kemari?’’
Lucunya lagi, gadis manja itu main tuang aja, tanpa menakar. Seperti kecap, garam, gula, merica dan bumbu penyedap.
‘’Kasihan sekali den Revan,’’ ringis mbok Surti, turut prihatin pada perut Revan, nantinya.
‘’Harum mbok baunya.’’ Kesya tersenyum bahagia, menghirup aroma nasi goreng yang baru dia buat itu.
Mbok Surti mengendus. Benar saja, baunya enak. Aroma itu, bikin siapapun ingin segera mencicipi. Tapi karena tau proses pembuatannya, mbok Surti pun mengurungkan niat, tidak percaya saja pada rasa nasi goreng itu.
Di detik berikutnya, mbok Surti dibuat kaget dengan ucapan Kesya. Majikannya itu lompat kesenangan. Nasi goreng buatannya sangat enak, itu sih katanya, tapi sekali lagi. mbok Surti tidak percaya.
Mbok Surti bahkan menggeleng kuat, saat Kesya memintanya untuk nyicip sedikit.
‘’Astaga mbok Surti, Kesya. Kenapa dapurku jadi seperti ini?’’ Keduanya dikagetkan oleh teriakan mama Jesi. Paruh baya itu berdiri, meringis melihat dapurnya yang sudah seperti kapal pecah.
Piring bekas pakai dimana-mana, potongan sisa sayur dan kulit rempah yang berserakan, plastik sosis dan bakso yang diletakan begitu saja diatas meja dan botol-botol bumbu yang sudah bertiduran di samping kompor. Ah dan jangan lupakan, penggorengan yang kini sudah berubah hitam. Maklum saja, nasi goreng buatan Kesya hampir hangus tadi.
‘’Mbok.’’ mama Jesi menatap mbok Surti, minta penjelasan.
Mbok Surti langsung melempar tatapannya pada Kesya, seolah berkata. ‘’Dia noh pelakunya.’’
‘’Kei?’’ Mama Jesi melihat Kesya dengan tatapan tak percaya. Kesya memasak? Sejak kapan anak malas itu mau masuk dapur. Saking malasnya, bahkan hanya untuk ambil air putih saja Kesya akan berteriak memanggil ART.
‘’Kamu masak Kei?’’
Kesya mengangguk bangga. Ini seperti pencapaian terbesar selama 17 tahun hidupnya. Bisa memasak dan rasanya enak? Itu patut dipuji bukan? Ah apa dia kayak diberi piala oscar untuk pencapaiannya ini?
Tatapan mama Jesi beralih pada kotak makan siang yang kini dipegang Kesya. Kotak sedang berwarna biru dengan motif bunga Lily itu sudah terisi penuh. Bagian yang paling besar sudah terisi nasi goreng, tiga bagian kecilnya diisi oleh potongan buah, tomat dan mentimun.
‘’Kamu bikin bekal?’’ Mama Jesi masih memperlihatkan raut tak percayanya. Paruh baya itu melangkah mendekat pada sang putri. Menyentuh kening Kesya kemudian ikut menyentuh keningnya.
‘’Nggak panas kok, sama.’’
‘’Ih Mama apa-apaan sih!?’’ protes Kesya menyingkirkan tangan mama Jesi.
‘’Ma, cobain deh, enak tau.’’ Kesya mengambil satu sendok nasi goreng yang tersisa di penggorengan dan hendak menyuapi mama Jesi. Bukannya membuka mulut, mama Jesi malah menutupnya rapat. Pandangannya tertuju pada mbok Surti yang kini sudah menggeleng, seolah meminta sang nyonya untuk jangan mencoba makanan yang kemungkinan besar akan bikin nyonyanya diare.
‘’Ada apa ini? Kenapa berantakan begini?’’ Ketiganya mengalihkan pandangan mereka, pada pria paruh baya yang masih terlihat gagah dan tampan, di usianya yang sudah hampir memasuki angka 50 tahun. Dia adalah Wily Addison, cinta pertamanya Kesya.
Mama Jesi legah. Selamatlah dia dari paksaan Kesya. Sedang Kesya, langsung melangkah mendekat pada papanya.
‘’Pa, cobain deh.’’ Tidak ada penolakan apapun. Papa Wily dengan suka rela membuka mulutnya, mengunyah setiap butir nasi goreng yang masuk ke mulutnya. Maklumlah, paruh baya itu tidak tau darimana asal nasi goreng atau siapa yang memasaknya. Kalau tau Kesya yang buat, dapat dipastikan papa Wily juga akan memberikan reaksi yang sama percis dengan yang dilakukan mama Jesi dan mbok Surti.
Sementara, mama Jesi dan mbok Surti menatap cemas, takut terjadi apa-apa pada papa Wily. Semakin cemas saja mama Jesi, saat papa Wily tak memberi respon sama sekali.
‘’Mbok, teleponin dokter Andy mbok,’’ suruh mama Jesi dengan nada paniknya. mbok Surti pun langsung berlari.
‘’Siapa yang sakit Ma, Mama?’’ Langkah mbok Surti terhenti, saat mendengar pertanyaan sang majikan. Paruh baya itu terlihat baik-baik saja dan sepertinya tak terganggu dengan rasa nasi goreng buatan Kesya.
‘’Pa, Papa nggak pa-pa kan?’’ Mama Jesi melangkah mendekat, memeluk perut sang suami dengan erat. Papa Wily menatap Kesya, mbok Surti lalu sang istri dengan wajah bingungnya, seolah bertanya. ‘’Ada apa?’’
‘’Pa, gimana nasi gorengnya?’’ Kesya tidak peduli pada sikap lebay mamanya. Gadis itu lebih penasaran dengan respon sang papa.
‘’Kei, lain kali mama nggak izinin kamu masak lagi. Kalau pengen sesuatu ya tinggal suruh ART aja, seperti biasanya.’’
‘’Ini kamu yang masak Kei?’’ Papa berucap dengan nada senangnya. Bangga pada apa yang baru putrinya lakukan. Memasak? Putri manjanya itu memasak? Oh Tuhan, papa Wily sangat bangga akan hal itu. Kalau boleh, dia ingin berteriak dan memberitahu dunia.
Mama Jesi langsung menengadah. Heran dengan respon sang suami.
‘’Iya Pa. Nggak enak ya?’’
‘’Siapa bilang? Enak kok Papa suka malah. Rasanya memang nggak seenak buatan abang-abang pinggir jalan, tapi sudah terbilang enak, untuk kamu yang baru sekali memasak. Ah, Papa bangga banget sama kamu sayang.’’ Papa Wily melerai pelukan istrinya, menggantinya dengan Kesya. Diciumnya puncak kepala sang anak, sambil terus melontarkan pujian.
Mama Jesi dan mbok Surti syok dong mendengar pernyataan itu. Keduanya berpikir, papa Wily hanya sedang berbohong, karena takut mengecewakan Kesya. Pokoknya mereka benar-benar tidak percaya dengan rasa nasi goreng buatan Kesya.
‘’Beneran Pa?’’ Kesya kesenangan. Pandangannya langsung diarahkan pada mama Jesi dan mbok Surti, ‘’tuh kan, udah Kei bilang rasanya enak. Kalian nggak percaya sih.’’
Keduanya kembali saling melempar pandang. Masih tak percaya. ‘’Beneran enak Pa?’’ tanya mama Jesi yang langsung diangguki papa Wily.
‘’Anak papa emang paling hebat,’’ puji papa Wily lagi, sembari menjentik kecil hidung mancung Kesya.
‘’Makanya cobain Ma, jangan main bilang nggak enak aja.’’
Mama Jesi ragu-ragu menerima suapan Kesya. Paruh baya itu menatap sang suami terlebih dulu. Seolah mengatakan. ‘’Kamu nggak boongin aku kan?’’
Papa Wily kembali mengangguk, untuk menyakinkan sang istri.
‘’Enak ‘kan?’’ tanya Kesya saat mama Jesi mengunyah nasi goreng buatannya dengan mata yang terbuka lebar.
‘’Enak mbok,’’ ucap mama Jesi pada mbok Surti.
‘’Masa sih nyonya? Tadi tuh saya lihat jelas, non Kesya main lempar aja semua bumbu ke dalam penggorengan, nggak ada takarannya.’’
‘’Gimanapun prosesnya, yang penting itu hasilnya.’’ Kesya sok bijak. Gadis manja itu melangkah meninggalkan mereka. Bekal makan siangnya di letakan di meja makan sedang dirinya kembali ke kamar untuk siap-siap berangkat sekolah.
‘’Kamu gimana sih mbok? Informasinya nggak Valid. OMG!’’ Paruh baya itu kembali sadar akan keadaan dapurnya yang sudah kacau balau, seperti habis terjadi peperangan disana. Dia pun melangkah, menghampiri penggorengan. Diangkatnya penggorengan itu, untuk melihat sisi bawahnya.
‘’Kesya, kamu bikin penggorengan mama gosong!’’ teriaknya kesal.
Bersambung .....
Di kamarnya, Kesya sibuk merias diri. Dia duduk di meja rias, tangannya sibuk mengcurly sambil sesekali menyemprotkan hair mist ke rambutnya. Setelah selesai dengan urusan rambutnya, dia beralih ke wajah.
Wajah cantik itu belum terpoles makeup. Baru basic skincare yang dia gunakan. Kesya tersenyum, melihat pantulan dirinya di cermin. Bibir tipis dengan warna pink alami, mata bulat berwarna coklat, senada dengan warna rambutnya sekarang, bulu mata lentik tanpa harus menggunakan eyelash extension seperti wanita-wanita lainnya, Alis yang tebal hingga tak perlu lagi menggunakan pensil alis, dan jangan lupakan kulit wajahnya yang putih mulus, bersih dan seolah tidak berpori.
Satu jam sudah Kesya merias diri. Sekarang dia sudah siap, lengkap dengan seragam dan sepatu putih kesayangannya. Pemberian sang kakak, saat ulang tahunnya beberapa bulan lalu.
Berbicara tentang kakak, Kesya punya seorang kakak laki-laki. Namanya Andrean Addison. Sekarang pria itu sedang menempuh pendidikannya di salah satu universitas ternama dunia yang berlokasi di California, Amerika Serikat. Kakaknya akan pulang 3 bulan sekali, tapi kadang Kesya bersama kedua orang tuanya yang datang berkunjung.
‘’Ma, Pa, hari ini - ‘’ Kesya menghentikan langkahnya yang sedang menuruni anak tangga. Dia menyipitkan matanya dan menatap sinis pada seorang pria yang dengan santainya duduk di meja makan. Sarapan bersama kedua orang tuanya.
Dia adalah Darel Williams, tetangga Kesya sejak 5 tahun terakhir. Pria dengan tubuh atletis itu sering kali bikin Kesya kesal. Dulu, dulu sekali, Kesya pernah berpikir kalau Darel menyukainya dan membuatnya kesal adalah salah satu cara Darel menarik perhatiannya. Tapi, semakin lama, semakin Kesya sadar, Darel bukannya tertarik padanya, pria itu hanya suka bertindak seenaknya. Lagian kalaupun Darel menyukainya, sudah selama ini, nggak mungkin kan kalau pria itu belum mengutarakan perasaannya?
Satu yang mengganggu indera penglihatannya. Dengan cepat dia kembali melangkah, menghampiri pria itu. Kesya menganga, menatap bekal makan siangnya yang hampir ludes dimakan. Langsung saja dia menarik kasar kotak bekal itu, memandangi isi kotak yang hanya tersisa beberapa potongan tomat.
‘’Lu gila ya, ini bekal buat Revan!’’ teriaknya saking kesal. Semakin kesal saja dia, saat si pria malah menatapnya datar dan jangan lupakan, ucapannya yang seolah malah menyalahkan Kesya.
‘’Bukan salah gw lah. Salah sendiri makanannya ditaroh di meja makan.’’
Oh Tuhan, demi apapun. Detik ini juga, ingin sekali Kesya membunuh orang. Pria menyebalkan itu benar-benar membuatnya kesal di pagi hari. Bagaimana tidak kesal, bisa kalian bayangkan bukan, bagaimana perjuangannya dalam membuat bekal makan siang itu? Dan sekarang, bekal yang dia buat dengan penuh cinta itu malah dibabat habis oleh pria yang paling menyebalkan itu.
‘’Lu itu begok apa gimana sih? Makanan udah dalam kotak, masih aja dimakan!’’
Bukannya minta maaf, pria itu malah berdiri, pamit pada orang tua Kesya dan melangkah keluar begitu saja. Dia sempat berhenti sejenak dan berbisik pada Kesya ‘’Jangan lebay, besok bekalnya gw ganti,’’ ucapnya seenak jidat.
Bagaimana Kesya tidak kesal coba? Sudah salah, bukannya minta maaf eh pria itu malah mengatainya lebay. Ditatapnya punggung pria itu, dengan penuh kekesalan. Jari-jemarinya mengepal dengan sempurna, karena rasa kesalnya yang hampir tak bisa dibendung.
‘’Ma, Pa. Kenapa dibiarin? Itu kan bekal buat Revan.’’ Kesya membawa tatapannya pada dua paruh baya yang sejak tadi duduk diam menyaksikan perdebatannya dan Darel. Kesya ikut kesal pada keduanya. Mereka jelas tau, untuk siapa Kesya bikin bekal itu, tapi kenapa tidak menegur, saat tadi Darel makan bekal buatannya?
‘’Nggak enak Kei. pas Mama sampe, makanannya udah dimakan Darel,’’ jawab mamanya. Kesya pun mengalihkan pandangannya pada sang papa. Paruh baya itu sedikit berdehem, lalu mengatakan hal yang sama dengan mamanya.
Kesya hanya bisa menahan kesalnya. Sungguh menyebalkan, perjuangannya bangun pagi jadi sia-sia, karena Darel. ‘’Semoga perutnya kenapa-napa,’’ decak Kesya, menyumpahi Darel.
‘’Lagian, kenapa dia sarapan disini sih? Emang dia nggak punya rumah, sampe harus numpang di rumah tetangga?’’
‘’Kei, sayang kok kasar gitu ngomongnya,’’ tegur papa Wily.
‘’Habisnya Kei sebel Pa.’’
‘’Jangan gitu sayang, kasihan dia - ‘’ Papa Wily tak lagi meneruskan ucapannya, karena gelengan mama Jesi, yang seolah meminta sang suami untuk tidak meneruskan ucapannya.
‘’Sudahlah sayang, bekal nya diganti aja. Nih nasi goreng buatan mbok Surti juga nggak kalah enak kok,’’ ucap mama Jesi sambil menunjuk nasi goreng yang tersisa.
Bagaimana bisa sama coba? Mamanya nggak ngerti apa, tentang kekesalannya? Ini bukan semata tentang enak dan tidak enaknya, tapi lebih pada perjuangannya yang ingin membuatkan makan siang sendiri, buatan tangannya sendiri, untuk Revan, kekasihnya.
Kesya yang kesal, langsung meletak kasar kotak bekal yang sejak tadi dia pegang. Setelah itu dia keluar, dengan kakinya yang dihentak kuat, sebagai luapan dari rasa kesalnya.
Baru juga keluar dari pintu rumahnya, Kesya sudah dikagetkan oleh lemparan helm yang hampir mengenai wajahnya, kalau dia tidak cepat menangkap helm itu.
‘’Lu gila ya? Kalau kena gw gimana?’’
‘’Buruan’’
Kesya memutar matanya jengah. Menatap Darel yang sudah duduk diatas motor sportnya. Pria itu hanya menggunakan kaos dan celana seragamnya sedangkan kemejanya? Entahlah, Kesya tidak mau memikirkan hal tidak penting itu. Terserahlah dia mau pakai seragam atau mau pakai baju compang camping sekalipun Kesya tidak peduli.
‘’Lu mau naik atau gw tinggal?’’ Darel sedikit membentak. Kesya pun mulai melangkah, walau sedikit enggan.
Biasanya, Kesya berangkat sekolah dengan diantar sopir, tapi dua hari terakhir sopir pribadi Kesya mengajukan cuti, karena harus pulang ke kampung, untuk menjenguk anaknya yang sakit. Sang papa sebenarnya sudah menawari, untuk mengantar jemput Kesya, tapi si pria menyebalkan ini alias si Darel malah mengatakan kalau Kesya berangkat bersamanya saja. Mengingat keduanya satu sekolah, kedua orang tua Kesya pun tak keberatan.
‘’Pegang yang erat, kalau jatuh gw lagi yang bakalan disalahin.’’ Darel melingkarkan tangan Kesya di pinggangnya.
‘’Modus aja lu.’’ Kesya memukul punggung Darel dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya masih dibiarkan melingkar di perut kotak-kotak pria itu yang terbungkus kaos hitam berlengan pendek yang ngepas di tubuhnya.
*****
Seperti dua hari terakhir, Darel pasti akan menurunkan Kesya di tengah jalan. Katanya, pria itu tak ingin ada yang salah sangka tentang mereka yang datang ke sekolah bersama. Kesya mengerti, karena dia juga tidak ingin hal itu terjadi. Tapi bisa nggak, Darel menurunkannya di jalanan yang ramai atau mungkin Darel bisa menurunkannya di dekat kampus.
Ah, Kesya mengumpat kesal, memandang Darel yang sudah membawa motornya jauh dari pandangan Kesya. Saking kesalnya, bahkan terik matahari pun kena umpatan wanita cantik itu.
‘’Aish, dasar Darel gila, psikopat, aneh, sinting, kulkas, pluto ….’’ Dan masih banyak lagi. Dia pun mulai celingak celinguk, mencari taxi. Aish, pria ssialan itu menurunkannya di jalanan sepi, jarang ada taxi yang lewat di area itu.
‘’Ah ini salah Mama-Papa,’’ ucapnya yang ikut kesal pada kedua orang tuanya. Bagaimana tidak, kemarin, setelah hari pertama Kesya berangkat bareng Darel dan Darel menurunkannya ditengah jalan. Pulangnya Kesya langsung mengadu. Wanita itu juga meminta izin untuk berangkat naik taxi. Ah tapi entah apa yang sudah dilakukan si Darel menyebalkan itu, sampai orang tua Kesya sangat percaya padanya dan tidak mengizinkan Kesya untuk naik taxi dan tetap harus berangkat dengan Darel.
Dan beginilah jadinya, dirinya yang harus menderita karena rasa percaya berlebihan yang diberikan orang tuanya pada si Darel psikopat itu.
Bersambung .....
Williams high school
Kesya baru saja masuk halaman sekolah. Gadis itu berjalan dengan cepat. Maklumlah, sudah hampir setengah jam berlalu sejak bel masuk sekolah berbunyi. Mulutnya masih komat kamit, mengomel karena Darel yang sudah membuatnya kesal dipagi hari.
Tadi, dia harus berjalan kurang lebih 1 KM, untuk sampai di jalanan yang ramai dan biasa dilewati taxi. Sialnya lagi, hari ini matahari begitu terik dan menusuk permukaan kulitnya. Kesya juga merasa energinya hampir terpakai habis.
''Woi…,'' teriak Raisa bikin Kesya kaget setengah mati. Dia hampir jatuh, kalau tidak cepat menyeimbangkan tubuhnya.
''Raisa, kebiasaan deh kalau gw jatoh gimana?'' protes Kesya terhenti karena Raisa yang kini sudah membungkam mulutnya.
‘’Berisik deh, masih pagi juga.’’
‘’Lu yang berisik peak!’’ dengus Kesya. Maklumlah, rasa kesalnya pada Darel masih menguasai. Jadinya Raisa lah yang turut kena imbasnya.
‘’Lu kenapa sih, masih pagi juga.’’
‘’Sorry. Lagi kesal aja gw.’’
‘’Kesal ke - ‘’ Raisa menghentikan ucapannya, saat suara teriakan masuk dan mengambil alih indera pendengaran keduanya.
‘’Mati kita.’’ Raisa menutup matanya. Kenapa juga mereka harus tertangkap basah guru rese itu sih? Keduanya membalik badan, melihat bu Nadia sambil tersenyum kaku.
‘’Kesya …. Raisa kalian benar-benar ya!’’ teriak bu Nadia. Guru rese yang selalu memberi Kesya dan Raisa hukuman. bu Nadia melangkah mendekat
‘’Bagaimana ini? Gw nggak mau dihukum lagi ya.’’ Raisa berbisik.
‘’Lah mau bagaimana lagi, lu mau kita kabur apa gimana?’’ tanya Kesya yang langsung mendapat tendangan kecil di kakinya. Tentu saja tendangan itu berasal dari Raisa.
‘’Lu gila ya kalau kabur sekarang yang ada hukuman kita bakalan lebih berat lagi.’’
‘’Lah terus gimana dong, apa kita sogok aja bu Nadia-nya?’’
‘’Lu pikir mempan, lu kayak nggak tau bu Nadia aja.’’
‘’Yaudah kalau gitu terima aja nasib kita. Lagian salah lu juga, udah tau sekolahnya masuk jam 8, eh lu datangnya malah jam 8.30.’’
‘’Lu juga sama ogeb.’’
‘’Ya iya, makanya karena itu kan kita jadi sahabat sampai sekarang.’’ Keduanya malah cekikikan. Hampir lupa pada bu Nadia.
‘’Kalian emang nggak ada sopan santunnya ya. Udah telat ke sekolah dan sekarang malah saling berbisik. Sama sekali tidak terlihat menyesal.’’ Bu Nadia meradang melihat tingkah santai keduanya. Kalau Siswa lain, mereka akan langsung menundukan kepala dan mengakui kesalahan mereka serta berjanji tidak akan mengulangi lagi. Tapi kenapa dua siswi di depannya ini berbeda? Ah, bikin pusing bu Nadia saja.
‘’Nyesel kenapa bu? Terlambat ke sekolah kan bukan berarti akan menghancurkan hidup kita,’’ jawab Raisa dengan nada santainya. Toh siswa yang teladan tidak akan selamanya sukses, sedangkan siswa yang bandel belum tentu gagal dalam hidupnya. Menurut Raisa ada dua hal yang menjamin kesuksesan, satunya adalah kerja keras, sedangkan yang satunya lagi adalah terlahir di keluarga kaya raya.
Bu Nadia langsung menjewer keduanya, saking kesalnya. ‘’Kalian benar-benar ya!’’
‘’Bu … bu Nadia, telinga Kesya bu, telinga Kesya mau copot tuh.’’ Bu Nadia memutar jengan bola matanya. Hampir saja dia dibodohi Raisa lagi. Lama-lama dia bakalan pensiun jadi guru, kalau terus menerus mengurus keduanya.
*****
‘’Membersihkan halaman sekolah? Bu kami ini siswi disini bukan tukang bersih-bersih,’’ protes Kesya saat bu Nadia memerintahkan keduanya untuk membersihkan halaman belakang sekolah. Gila saja, halaman seluas itu harus mereka bersihkan? Ogah banget.
‘’Kesya!’’
‘’Bu jangan teriak-teriak dong. Sakit kuping saya.’’ Kali ini Raisa yang protes.
‘’Astaga Tuhan, lama-lama aku bisa mati berdiri, menghadapi kedua siswi durhaka ini,’’ gumam bu Nadia.
*****
Dan disinilah mereka sekarang, di halaman belakang. Tadi, bu Nadia mengatakan mereka tidak bisa mengikuti mata pelajarannya selama satu semester, kalau tidak mau membersihkan halaman belakang. Jadi, mau tidak mau mereka menerima hukuman tersebut.
‘’Ini gara-gara lu tau nggak?’’ Raisa menyalahkan Kesya. Keduanya sedang menyapu halaman belakang sekolah.
‘’Eh ogeb ngapain lu jadi nyalahin gw?’’
‘’Aish,’’ kesal Raisa membuang sapu yang ada di tangannya. Halaman seluas itu kapan selesainya?
‘’Kei.’’
‘’Hhmm.’’
Raisa memberikan kode pada Kesya dengan menggunakan tangannya. Meminta gadis itu mendekat padanya, lalu dia mulai berbisik pada Kesya.
‘’Emang bisa?’’
Raisa mengangguk dengan semangat. ‘’Nanti lu awasi tu guru rese dan gw yang urus semuanya, oke?’’ ucapnya membentuk tanda oke dengan tangannya. Kesya tentu setuju. Kalau ada jalan pintas, kenapa harus bersusah-susah, iya nggak?
*****
‘’Beres kan?’’ ucap Raisa lagi sejam kemudian dengan mata yang berbinar, melihat halaman itu sudah bersih tanpa satu sampah pun. Tadi, keduanya menyewa hampir 5 orang untuk membantu membersihkan halaman. Tentunya dengan upah yang lumayan besar, perorangnya diberikan 250rb. Entah darimana Raisa memanggil orang-orang itu, Kesya tak mau ambil pusing. Toh yang terpenting halamannya bersih.
‘’Ke kantin yuk gw laper nih,’’ ajak Kesya yang langsung diiyakan Raisa. Lihatlah kedua gadis nakal itu, bukannya kembali ke kelas mereka malah datang ke kantin.
‘’Itu kak Darel bukan sih?’’ tunjuk Raisa pada seorang pria yang sedang menikmati makanannya. Bukankah ini masih jam pelajaran, terus kenapa pria itu di kantin?
‘’Aish kalau begini ceritanya kita nggak bisa ke kantin dong,’’ gerutu Raisa lagi sedang Kesya hanya bersikap santai. Wanita itu menarik tangan Raisa dan tetap melangkah menuju kantin.
‘’Kei ada kak Darel disana, lu mau dihukum lagi?’’
‘’Lu nggak lihat si Darel lagi makan dengan santainya? Tenang aja Sa, kalau dia laporin kita maka kita juga akan ngelaporin dia. Adil bukan?’’
‘’Iya juga ya, kok gw nggak kepikiran sih?’’
‘’Itu karena otak lu nggak nyampe, secara kan otak lu nggak se encer otak gw.’’
Langsung saja Raisa menoyor kepala Kesya. ‘’Otak beku gitu dibilang encer.’’
‘’Lu pikir es batu?’’ kesal Kesya dan kembali menarik tangan Raisa.
Bersambung .....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!