Jovicca memperhatikan Xellan yang keluar dari kamar dengan penampilan seperti biasa. Kemeja hitam oversized yang lengannya digulung rapi, dipadukan dengan celana hitam ketat yang simpel, dan sepatu sneakers putih memberi kesan santai.
Namun, ada yang aneh. Jovicca bingung melihat sahabatnya keluar dengan langkah hati-hati, mengendap-endap seperti seorang pencuri yang sedang menjalankan aksinya di tengah malam. Wajahnya tampak cemas, matanya melirik ke kiri-kanan, seolah takut ketahuan oleh seseorang.
"Mukanya kayak markonah yang habis nyolong kain jemuran," gumam Jovicca, teringat pada warga desanya dulu yang suka mencuri jemuran tetangga. Ekspresi Xellan membuat Jovicca merasa seperti sedang menyaksikan drama komedi di depan matanya, lucu sekaligus membingungkan.
Jovicca tak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membara. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengikuti Xellan. Mereka pindah ke kota ini baru beberapa jam yang lalu, dan kini Xellan tiba-tiba ingin keluar malam-malam begini? Ada apa gerangan?
Tanpa pikir panjang, Jovicca segera meraih ponselnya, lalu melesat keluar dari apartemen mereka. Malam ini, dia akan memainkan peran sebagai mata-mata. Dengan langkah cepat, dia mengintai gerak-gerik Xellan.
"Kenapa masang muka kaya gitu? Kucel banget, udah kaya aer kobokan yang nggak diganti berhari-hari!" gumam Jovicca, melihat ekspresi kesal sahabatnya yang seperti baru aja dikejar induk ayam.
Mata Jovicca terbelalak melihat Xellan membuka pintu mobil Range Rover Evoque yang terparkir di deretan mobil mewah lainnya.
"Sejak kapan dia punya mobil?" gumam Jovicca, terkejut setengah mati. Yang dia tahu, Xellan tak beda jauh dengannya. Anak yatim piatu dan hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk bertahan hidup. Dan kini, Jovicca melihat sendiri Xellan mengendarai mobil yang cukup mewah menurutnya.
Tidak. Jovicca tak bisa diam saja. Malam ini, dia harus mendapatkan penjelasan dari Xellan, apapun caranya.
Melihat mobil hitam itu mulai melaju keluar dari gerbang apartemen, Jovicca langsung buru-buru masuk ke taksi yang sudah mangkal sejak tadi di depan apartemen mereka.
"Pak, tolong kejar mobil hitam itu!" ujarnya dengan nada tak sabar, matanya tak pernah lepas dari mobil Xellan, seolah-olah khawatir mobil itu akan hilang dari pandangannya.
"Baik, Nona," jawab sopir taksi sambil menatap ke spion, dan mulai menginjak gas.
"Cepat, Pak! Jangan sampai ketinggalan!" serunya lagi, hampir menjerit.
Sopir taksi hanya mengangguk lalu mempercepat laju mobilnya. Untung saja, malam ini jalanan cukup lancar, jadi mereka bisa mengejar Xellan tanpa hambatan.
Alis Jovicca menyatu, memandang bingung ke bar yang ada di depannya. Mereka baru saja pindah siang ini, tapi sekarang dia malah memergoki sahabatnya pergi ke bar? Kenapa ke tempat ini? Sejak kapan Xellan sering mengunjungi tempat seperti ini? Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepala Jovicca.
"Lo harus kasih penjelasan sih malam ini, Lan," gumamnya pelan, tak percaya.
Belum sempat melanjutkan lamunannya, Xellan sudah lebih dulu melangkah masuk ke dalam bar. Tanpa banyak pikir, Jovicca langsung turun dari mobil dan berjalan cepat, tak ingin kehilangan jejak sahabatnya yang kini sudah masuk.
Banyak pasang mata menatap Jovicca dengan pandangan aneh. Bagaimana tidak, dia datang ke bar mengenakan baju tidur dan sandal rumah berbentuk kelinci. Apakah wanita ini sedang mengigau? Penampilannya sangat jauh berbeda dengan orang-orang di sana, yang pastinya sudah rapi dan stylish. Tapi hal itu tidak Jovicca pedulikan, kakinya tetap melangkah masuk ke depan pintu bar itu, dia takut kehilangan jejak sahabatnya.
"Maaf, Nona, tapi Anda tidak boleh masuk," ucap seorang satpam sambil menghalangi jalan Jovicca.
"Ehh, Pak, itu teman saya!" Jovicca kesal. Dengan cepat, sahabatnya hilang di balik tembok bar yang ramai.
"Ck, Pak, kenapa sih? Saya ingin masuk!" omelnya, menatap kesal satpam yang tidak peduli.
"Pak, saya mau ketemu teman saya, ayo dong Pak, izinkan saya masuk, plis," Jovicca merayu, berharap bisa masuk dan bertanya langsung pada Xellan apa alasan wanita itu pergi ke tempat seperti ini.
"Maaf, Nona, tapi anak di bawah umur tidak boleh masuk. Sekali lagi, saya minta maaf, Anda boleh pergi." Bukannya melunak, satpam itu malah mengusirnya dengan tegas.
Tunggu! Apa?! Anak di bawah umur? Saya sudah 25 tahun, Pak! Anak di bawah umur apanya? Jovicca terkejut, merasa seperti dipermalukan. Bapak ini kira umurnya berapa, sih?
"Pak, umur saya 25 tahun, saya bukan anak kecil! Saya juga punya KTP, tapi tinggal di rumah," balas Jovicca, sambil tersenyum lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya yang hampir bersinar.
Namun, satpam itu tetap teguh pada pendirian, melarangnya dengan alasan anak di bawah umur tidak boleh masuk. Apa wajahnya semuda itu sampai-sampai satpam ini tidak percaya? Atau mungkin satpam ini hanya butuh kacamata?
Jovicca semakin kesal, tapi tidak menyerah. Dia tetap kekeh ingin masuk ke bar, tekadnya bulat. Dia harus bertemu dengan Xellan, harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Nona, jika Anda tidak bisa diajak kerja sama, saya akan bersikap kasar," kata pak satpam dengan nada yang mulai tajam. Kesabarannya sudah habis. Mereka sudah berdebat hampir 15 menit, dan Jovicca masih saja keras kepala.
Mau tak mau, Jovicca harus menyerah. Dia tidak ingin menahan malu karena diseret keluar oleh satpam. Sekarang saja mereka sudah menjadi sorotan orang-orang yang berlalu-lalang, bagaimana kalau nanti dia diseret keluar? Sudah jelas, dia tidak akan bisa sembunyi ke mana-mana. Mau taruh di mana muka ini?
Dengan langkah berat, Jovicca akhirnya berbalik dan berjalan gontai menuju pintu. Sesekali, dia bergumam kesal, memarahi satpam yang tidak punya otak itu. Dirinya sudah dewasa, kenapa masih berpikir kalau dia anak di bawah umur? Tapi, pikirannya masih sibuk dengan kejadian barusan, hingga tiba-tiba, lengan kanannya ditarik paksa oleh seseorang.
"Eh!" Jovicca terkejut, menoleh ke arah yang menariknya.
“Apa ini?! Lepas tangan saya… Siapa sih? Lepas!!” teriak Jovicca, namun suaranya tenggelam dalam kebisingan bar yang penuh orang. Pria yang menariknya tetap tidak menghiraukannya.
Jovicca berusaha keras untuk melihat wajah pria itu, tapi sulit karena dia berada di belakan. Lampu remang-remang semakin membuat penglihatannya kabur. Jovicca terus berontak, menahan ketakutan yang semakin membesar. Dia tidak ingin dibawa ke tempat yang tidak dia kenal. Bukan ini yang dia inginkan. Tapi tubuhnya terasa seperti orang lemah, dan genggaman pria itu semakin kuat.
Saat mereka hendak masuki ke dalam bar, Jovicca melihat satpam yang tadi menahannya hanya diam tanpa bergerak. Kenapa? Bukankah orang itu tadi yang menghalanginya masuk? Kenapa sekarang dia malah tidak melakukan apa-apa? Jovicca semakin frustasi. Seharusnya malam ini bisa berjalan lebih baik. Dia hanya ingin mengikuti Xellan, menanyakan alasan sahabatnya pergi ke bar, tapi sekarang dia terjebak dalam situasi yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Dia merasa seperti dalam jebakan, dan tidak ada yang peduli. Keterpurukannya semakin dalam, rasa kesal yang membuncah di dadanya, membuatnya merasa seperti orang yang sangat sial malam ini.
“Lepas! Kamu siapa sih?! Jangan seenaknya menarik tangan orang seperti ini, saya bisa tuntut kamu. Ini namanya pelecehan. Lepas!!” teriak Jovicca, berusaha membebaskan diri. Ketakutan melanda dirinya, apalagi dia masih berstatus sebagai istri orang.
Di tengah kekacauan ini, pikirannya berputar. Xellan, di mana dia? Bukankah wanita itu tadi masuk ke bar ini? Xellan yang biasa ada untuk melindunginya dalam situasi seperti ini, tetapi sekarang dia menghilang entah kemana. Jovicca semakin merasa terasing dan tak berdaya.
Teriakan Jovicca tenggelam dalam suara musik keras yang menggema di bar. Lampu berwarna-warni menambah kebingungannya. Di sekelilingnya, orang-orang tampak sibuk dengan urusan mereka sendiri, tak ada yang peduli dengan teriakannya. Itu yang membuatnya semakin cemas dan bingung, bahkan dirinya merasa tak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Kemarahan Jovicca semakin menggebu, tetapi tubuhnya terasa lemas. Semua yang bisa dia lakukan hanya menangis, berteriak, dan berharap ada yang datang menyelamatkannya. Tapi saat itu, dia merasa begitu sendirian.
“Cowok gila, lepas tangan saya!!” teriak Jovicca, berusaha menarik lengannya agar bisa lepas dari genggaman pria itu. Namun, semakin keras dia berjuang, semakin kuat pula pria itu menahannya. Setiap usahanya untuk melepaskan diri terasa sia-sia. Suaranya tenggelam dalam riuhnya musik dan hiruk-pikuk di sekitar mereka.
Ketika mereka sampai di lantai atas, Jovicca didorong masuk ke dalam salah satu kamar dengan kasar. Tubuhnya gemetar, seperti dilanda badai ketakutan yang datang begitu mendalam. Detak jantungnya bergemuruh di telinga, seperti suara petir yang menggelegar, membuat seluruh tubuhnya terasa kaku. Setiap langkah yang diambil pria itu seolah mengarahkannya ke dalam ruang yang semakin sempit, dan saat pintu kamar tertutup dengan keras di belakang mereka, dunia seakan terhenti.
Cahaya yang cukup terang di dalam kamar itu membuat Jovicca akhirnya bisa melihat dengan jelas siapa yang menariknya. Jovicca terkejut, matanya membesar saat menyadari siapa pria itu. Wajahnya yang dingin dan tampak serius tidak asing lagi.
Ternyata, pria itu adalah Alvian, suaminya. Kelegaan dan kekhawatiran bercampur aduk dalam hati Jovicca. Kenapa Alvian ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?
Jovicca berdiri terpaku sejenak, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ini bukan mimpi, bukan juga bayangan semata. Alvian, suaminya, berdiri tepat di hadapannya, wajah yang selama ini hanya bisa dia lihat melalui layar ponsel kini ada di hadapannya, nyata.
Tak pernah terbayangkan bertemu dengan suami yang satu ini di tempat seperti ini, dalam situasi yang penuh ketegangan dan ketakutan. Namun, meskipun perasaan bingung masih menggelayuti, secercah perasaan lega menyusup di hatinya. Sebuah rasa aman yang mulai perlahan menggantikan kecemasan yang menguasai dirinya beberapa saat lalu.
Matanya meneliti setiap inci wajah Alvian dengan seksama. Begitu mendalam, seolah ingin memahat kenangan ini dalam ingatannya. Tatapan tajam dari mata almond itu menusuk langsung ke dalam bola matanya, membuat jantung Jovicca berdegup lebih cepat. Ada sesuatu yang begitu mendalam di sana, seperti sebuah kedalaman yang sulit dipahami. Wajahnya yang terkesan dingin dan tegas justru menambah aura maskulin yang tak bisa disembunyikan, membuat Jovicca terpesona, meski sedikit takut.
Alis tebal yang menyatu, garis rahang yang tegas, serta bekas luka sayatan di sekitar wajahnya, semuanya membuat Jovicca merasa ada sisi lain dari suaminya yang selama ini ia tak tahu. Setiap detil wajah Alvian bagai memancarkan kekuatan yang tak bisa terbantahkan, dan meskipun rasa cemas masih terpendam di dalam dirinya, ia tidak bisa menahan perasaan kagumnya. Alvian tampak seperti seorang pria yang terbentuk oleh waktu, oleh pengalaman hidup yang keras dan penuh perjuangan.
Namun, meskipun ada sedikit rasa takut yang tetap bertahan di dalam dirinya, ada juga rasa keinginan untuk lebih mengenal pria ini, kini Alvian berdiri di depannya dengan tatapan yang sulit dibaca. Rasanya seperti ada semacam jurang yang memisahkan mereka, meskipun mereka sudah menikah dua tahun, namun wajah ini, pria ini, terasa begitu asing. Wajah yang dulu hanya bisa ia lihat dari layar ponsel, kini ada di hadapannya, begitu nyata.
Seakan lupa dengan tujuan awalnya datang ke tempat ini, Jovicca malah tenggelam dalam pesona suaminya yang begitu memanjakan mata. Setiap detik yang berlalu bersama Alvian membuatnya terhanyut dalam dunia yang berbeda, dunia di mana hanya ada mereka berdua.
Sejenak, Jovicca merasa seperti dunia berhenti berputar. Segala keraguan, kebingungannya, dan kekhawatirannya terbuai oleh kedekatan ini. Rasanya seperti berhadapan dengan sebuah teka-teki yang telah lama menunggu untuk dipecahkan.
Namun, meskipun ada rasa penasaran yang menggebu, ada pula ketakutan yang perlahan merayapi perasaannya. Apakah dia benar-benar mengenal Alvian? Atau justru, apakah ini justru merupakan langkah pertama dari sebuah perjalanan yang tak terduga, penuh misteri yang akan terus terungkap seiring berjalannya waktu?
Jovicca tidak tahu pasti, tetapi satu hal yang pasti pada detik itu, dia merasakan sebuah perasaan yang begitu intens, tak terdefinisikan. Sebuah perasaan yang mengombang-ambingkan antara kagum, takut, dan penasaran.
Belum sempat Jovicca menyelesaikan kekagumannya, bibirnya disambar dengan tiba-tiba. Ciuman itu kasar, tak memberi ruang bagi perlawanan, seolah-olah segala sesuatu yang mengganjal telah dilupakan begitu saja. Jovicca memejamkan matanya, tubuhnya terasa lemah dan terombang-ambing, namun ada sesuatu dalam dirinya yang tak bisa ia bendung.
Dengan satu gerakan otomatis, lengannya melingkar di leher Alvian, menerima setiap ciuman yang diberikan. Kali ini, ia tidak lagi berontak. Menerima perlakuan ini seolah menjadi kewajibannya sebagai seorang istri, mungkin juga kewajiban yang telah lama terabaikan, yang akhirnya datang juga. Perasaan cemas, bingung, dan takut berbaur dengan hasrat yang tak bisa dijelaskan.
Namun, meskipun fisiknya ada di sana, pikirannya seakan berputar ke arah yang tak ia duga. Bagaimana bisa pria yang selama ini ia anggap acuh dan tak peduli tahu tentang keberadaannya? Bukankah Alvian begitu sibuk dengan dunianya, tak pernah benar-benar peduli pada hidupnya? Selama ini dia hanya tahu tentang suaminya lewat kabar dan foto yang tersebar di media sosial, tetapi kali ini, di hadapan Jovicca, Alvian tampak seperti seorang yang sangat berbeda. Ada sesuatu yang terselip di balik matanya, sesuatu yang tidak pernah ia pahami.
Untuk saat ini, semua pertanyaan itu tak lagi menjadi masalah. Semua rasa ingin tahu, semua kegelisahan, seakan lenyap begitu saja oleh ciuman yang semakin dalam. Yang penting sekarang adalah dia, Jovicca, dan suaminya. Hanya itu yang bisa ia pikirkan saat ini. Tugasnya sebagai istri harus dilaksanakan, dan dia akan menunggu sampai besok untuk mengetahui jawaban dari semua kegelisahan yang mengganggunya.
“Jangan pernah tinggalkan aku, Chesy.” Tiba-tiba, kata-kata itu meluncur dari bibir Alvian, membuat segala sesuatu di sekitar Jovicca seakan membeku dalam waktu.
DEG.
Jovicca terdiam kaku. Sejenak dunia sekelilingnya hilang, hanya ada kepingan-kepingan kata yang berserakan di pikirannya. Chesy? Nama itu menggema seperti petir yang menyambar malam, meninggalkan kekosongan yang tak terisi. Siapa Chesy? Apakah ada wanita lain di hidup suaminya? Hatinya seperti diiris perlahan, menciptakan rasa sakit yang mengalir begitu dalam. Tak ada jawaban yang bisa ia temukan. Apakah selama ini dia hanyalah bagian dari sebuah kebohongan?
Setiap detik berlalu, otaknya terus berputar, mencari jawaban yang tak kunjung datang. Kecemasan dan kebingungan itu merasuki dirinya, seperti kabut tebal yang menghalangi penglihatannya. Ciuman yang awalnya terasa penuh gairah kini berubah menjadi tumpukan pertanyaan tak terjawab. Chesy... siapa dia?
Jovicca menundukkan kepalanya, mencoba menenangkan diri. Tapi setiap detik kata itu terus berputar dalam benaknya, seperti mantra yang terus mengusik. Semua yang ada di sekitarnya tampak terdistorsi, suaranya menjadi samar, dan dia merasa seolah berada di tengah kegelapan. Satu kalimat yang keluar begitu saja dari mulut Alvian telah mengguncang dunia yang dia anggap aman. Dunia yang selama ini dia percayai, kini dipertanyakan.
Perasaan cemas, rasa sakit yang membuncah, dan kebingungannya membentuk sebuah badai dalam dirinya. Namun, di tengah kepanikan itu, Jovicca tahu satu hal pasti: dia harus mencari jawaban. Namun untuk sekarang, jawaban Itu masih terlalu jauh untuk dijangkau.
Jovicca membuka kedua mata indahnya, perlahan, seperti ada beban yang menahan setiap kelopak mata itu untuk terbuka. Dengan susah payah, ia mencoba duduk, tubuhnya terasa berat dan kaku, dan perlahan ia bersandar di kepala kasur.
Pandangannya menyapu sekeliling kamar yang masih terasa asing, mencari-cari sosok yang semalam tidur bersamanya. Namun, Alvian tidak ada. Ruangan itu kosong, sepi, seakan-akan segala yang terjadi semalam hanyalah mimpi buruk yang cepat berlalu.
“Dia sudah pulang ya? Kenapa gak ngomong dulu sih? Minimal ijin sebelum pergi kek,” ucap Jovicca dengan nada kesal, suaranya terdengar hampa.
Pikirannya kembali terjerat kenangan semalam, suara Alvian yang terdengar kasar dan terburu-buru, menyebut nama gadis lain. Chesy, nama itu terus berputar-putar di kepalanya, seperti gonggongan anjing yang tak henti bersuara.
“Siapa Chesy? Apa itu pacarnya? Apa dia punya cewek lain?” Pertanyaan-pertanyaan itu membelit hatinya dengan ketajaman yang tak bisa dia hindari.
Perasaan marah dan kecewa menghimpit dadanya, setiap helaan napas terasa sesak. Ia tahu betul kalau Alvian tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Tapi tidak pernah ia bayangkan, pria yang telah lama mengabaikan perasaannya, ternyata juga mampu mengkhianati kepercayaan yang ada dalam pernikahan mereka.
Kemudian, beberapa pertanyaan muncul dalam pikirannya. Apa yang bisa dia lakukan? Marah-marah? Memaki lelaki itu? Atau malah menghajar suaminya yang seolah tak peduli?
Tapi, itu semua tidak mungkin. Ia bukan siapa-siapa baginya, hanya seorang gadis yang dijual pada keluarga kaya. Ia tahu betul bahwa sejak awal Alvian sudah terang-terangan menolak pernikahan ini, menolak segala bentuk komitmen yang seharusnya dimiliki oleh seorang suami kepada istrinya.
Jovicca merasa dirinya hanyalah bagian dari sebuah transaksi, bukan sebuah hubungan. Dia tidak punya hak untuk marah, untuk menuntut, atau bahkan untuk berharap lebih. Dia hanya gadis yang terjebak dalam takdir ditentukan orang lain, menjalani peran yang diberikan tanpa bisa memilih.
“Gak penting ah, mau pacarnya kek, calon istrinya kek, atau cewek yang disukainya kek. Itu bukan urusan gue,” ucap Jovicca dengan nada acuh tak acuh, seolah masalah itu tidak layak untuk dipikirkan lebih lanjut.
Dia lebih memilih untuk mengabaikan semuanya. Lagi pula, dia juga terpaksa menerima pernikahan ini, bukan karena cinta, tapi karena takdir yang menuntut.
Namun, Jovicca tetap menganggap pernikahan itu adalah hal yang sakral dan harus dihormati. Itu sebabnya, meskipun hatinya terasa kosong, dia tetap setia. Satu-satunya yang bisa dia lakukan adalah menutup hati untuk orang lain dan menerima keadaan yang ada.
“Sekarang gue mau mandi, habis itu pulang, terus interogasi Xellan soa masalahsemalam. Awas aja lo, Lan,” ucap Jovi sambil berbicara pada dirinya sendiri, mulutnya melengos kesal.
“Argh, kok sakit?”
“Gue tau sih pertama kali tuh sakit, tapi gak kebayang bakal sesakit ini,” keluh Jovicca, menahan rasa sakit itu.
Sementara pikirannya sibuk mengingat kejadian semalam, lamunan Jovicca terhenti saat mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Refleks, dia langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya.
Alvian keluar hanya dengan mengenakan handuk putih, tubuhnya basah dengan tetesan air yang belum sepenuhnya mengering. Rambut hitamnya yang sedikit panjang tampak sedikit acak-acakan, dan mata tajamnya menatap Jovicca sejenak.
Kulit sawo matang itu terlihat kontras dengan warna handuk putih yang dipakainya. Rahang tegas yang mengeras menambah kesan maskulin, namun Jovicca tak bisa mengabaikan sebuah luka sayatan kecil yang membekas di sekitar rahangnya, seakan sebuah petunjuk kisah lain yang tersembunyi.
Kenapa semalem lukanya gak keliatan ya?
Kalau dilihat sekilas, luka itu memang tak terlalu jelas. Alvian tampak sempurna, meskipun sedikit goresan itu membawanya terasa lebih manusiawi di mata Jovicca.
Mata Jovicca perlahan turun, menyusuri tubuh Alvian yang terbalut handuk putih. Pandangannya terhenti pada perut sixpack yang terlihat jelas, membentuk lekukan yang sempurna. Otot-otot tipis di sepanjang tubuhnya memancarkan kesan kekuatan yang terjaga, tanpa terlihat berlebihan. Bahu dan lengan yang sedikit berotot mempertegas kesan maskulin lelaki itu, sementara lekuk tubuhnya tetap tampak ramping dan proporsional, membuat Jovicca tak bisa mengalihkan pandangannya.
Alvian mengeluarkan suara batuk yang sengaja keras, seolah ingin membangunkan Jovicca dari lamunannya. Dia tahu betul dengan tatapan kagum yang sering dilontarkan para wanita kepadanya, jadi tatapan seperti itu bukanlah hal baru.
Jovicca yang sadar akan kelakuannya hanya bisa tersenyum lebar, berusaha mengabaikan perasaan canggung dan malu yang mulai merayap. Meski jelas-jelas baru saja memperhatikan tubuh Alvian dengan intens, dia mencoba untuk bersikap santai.
“Kamu belum pulang? Saya pikir kamu sudah pergi sejak tadi,” ucapnya dengan nada seolah tak ada yang aneh, meskipun dalam hatinya bergejolak rasa tidak nyaman karena terang-terangan mengamati tubuh suaminya yang begitu sempurna.
Namun, Alvian hanya menatapnya dengan tatapan datar, seolah tidak peduli dengan ocehan yang keluar dari mulut Jovicca. Dia melangkah dengan tenang menuju meja tempat pakaian dan barang-barangnya, lalu sibuk mengeringkan rambutnya menggunakan handuk, seakan tidak ada yang penting di luar aktivitasnya.
Jovicca menghela napas, merasa sedikit kikuk dengan dirinya yang tidak bisa menahan pandangan. Tapi, ia tahu, begitulah dirinya, selalu terbuka dan tidak bisa diam begitu saja.
Dengan wajah berbinar, Jovicca memandangi kartu ATM yang tergeletak di kasur. Apakah ini nafkah dari Alvian untuknya? Terserah Alvian mau punya simpanan atau memiliki hubungan lain, asal uang bulanannya tetap lancar Jovicca tidak akan keberatan sama sekali.
Bohong rasanya jika dia bilang tidak membutuhkan uang. Semua orang pasti membutuhkan uang, apalagi dalam hidup yang serba mahal. Lagipula, Alvian adalah suaminya. Bukankah sudah menjadi tanggung jawab suami untuk menafkahi istrinya?
‘Tapi, bukankah ini terlalu cepat ya? Emang dia udah tau kalo gue istrinya?' Jovicca merasa bingung. Kenapa Alvian bisa secepat ini memberinya nafkah?
'Ahh terserah deh, pokoknya gue bisa beli baju baru nanti.’ batinnya.
Alvian, yang melihat ekspresi wanita itu, tidak bisa menahan tatapan sinis. Dia sudah terbiasa dengan ekspresi-ekspresi seperti itu, mereka hanyalah wanita yang cuma tertarik pada uang dan fasilitas. Tidak tahu apakah mereka benar-benar peduli padanya atau tidak, yang jelas uangnya selalu diterima dengan senyum manis dan wajah berbinar.
"Bayaranmu," ucapnya singkat, seperti biasanya, tanpa ekspresi.
Wajah Jovicca yang tadinya cerah penuh kebahagiaan kini berubah, seiring dengan kebingungannya mencoba memahami perkataan Alvian. "Bayaran? Bayaran untuk apa?"
Bukankah ini adalah nafkah suami kepada istri? Tapi kenapa sekarang Alvian menyebut bayaran? Apa maksudnya?
Seiring dengan pertanyaan yang menggelayuti pikirannya, Jovicca merasa seolah-olah ada yang hilang. Senyum yang sempat menghiasi wajahnya tiba-tiba terasa kaku, digantikan oleh keraguan yang menghantui.
Alvian yang tampak acuh, sibuk dengan ponselnya, seolah tidak memberi ruang untuk klarifikasi atau penjelasan. Hal ini semakin membuat Jovicca merasa kecil, tidak dihargai. Dia hanya bisa menatap kartu ATM itu, seolah ada jarak yang begitu jauh antara dirinya dan apa yang seharusnya menjadi haknya sebagai seorang istri.
Jovicca memandang Alvian dengan tatapan penuh kebingungan. Otaknya mulai berpikir hal-hal negatif. “Alvian!!”
"Bayaranmu karena sudah menemani saya tadi malam."
Kata-kata itu meluncuR begitu saja dari bibir Alvian, seolah itu adalah hal biasa, tidak ada yang aneh, tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Tetapi bagi Jovicca, itu adalah sebuah tamparan yang lebih keras daripada apa pun yang pernah dia rasakan sebelumnya.
"Apa maksudmu?" suara Jovicca serak, hampir tidak keluar.
Namun, Alvian hanya menatapnya dengan tatapan datar, tidak peduli dengan kebingungan dan kekecewaan yang jelas terpancar dari wajah Jovicca.
‘Sungguh drama yang menjengkelkan.’
"Kurang? Berapa bayaranmu satu malam?" Alvian bertanya dengan nada sarkastik, matanya menatap tajam Jovicca, seolah menganggap semua ini hanya masalah kecil yang bisa diselesaikan dengan uang.
Jovicca merasa seperti dihina, seolah kesetiannya dalam pernikahan ini tidak lebih dari sekadar sebuah transaksi. Dia merasa terasing, terbuang, dan benar-benar tidak tahu harus berbuat apa.
Jovicca merasakan tubuhnya begitu lelah, setiap langkah terasa menyakitkan. Selimut yang melilit di tubuhnya tampak seperti beban tambahan yang membuatnya semakin kesulitan bergerak.
Namun, rasa sakit itu tidak cukup kuat untuk menghalanginya dari apa yang ingin dia lakukan. Emosinya yang meluap-luap, perasaan kecewa yang menghancurkan, mendorongnya untuk tetap bergerak, meski tubuhnya hampir tidak sanggup.
Langkahnya terhuyung, tapi dia tetap memaksakan diri untuk mendekati Alvian. Pikirannya berkecamuk, hatinya dipenuhi rasa sakit yang sulit dia bendung. Setiap langkah terasa semakin berat, tetapi ada satu hal yang membuatnya terus maju. Hinaan dan rasa yang tidak bisa dia sembunyikan.
Tanpa peringatan, tamparan itu terlepas dari tangannya. Suara yang menggema mengisi ruangan, bersaing dengan degup jantung Jovicca yang berdebar hebat. Pipi Alvian memerah, bekas telapak tangannya jelas terlihat di sana.
Jovicca bisa merasakan tangannya bergetar, namun dia tidak menyesali tindakan itu. Sakit yang dia rasakan jauh lebih besar daripada rasa takut atau canggung.
Alvian terdiam, wajahnya memucat seketika. Tidak ada seorang pun yang pernah berani menyentuhnya, apalagi menamparnya. Namun, wanita ini justru melakukan itu. Rasa terkejut dan marah bercampur aduk di wajah Alvian, namun itu tidak berarti apa-apa bagi Jovicca.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!