NovelToon NovelToon

Tetaplah Bersamaku

PROLOG

*

*

*

Jihan masih trauma dengan masa lalunya, seumur hidupnya mungkin pengalaman kelam itu tidak akan pernah dilupakannya. Karena trauma itulah yang membuat ia sangat tertutup terhadap siapapun. Baik itu wanita apalagi pria. Ia sangat-sangat dingin. Bahkan bisa dibilang, ia tak pernah bersinggungan dengan siapapun secara dekat. Kecuali keluarga yang sangat ia percayai.

Bagi yang belum mengenal Jihan dengan baik, akan berpikir bahwa gadis berusia 20 tahun itu sangat sombong. Jangankan untuk berinteraksi, terlihat ia melempar senyum saja itu sudah suatu momen langka. Di kampus, ia tak pernah terlihat bersama seseorang. Jika pun ia terlihat bersama orang lain, itu tak lebih karena bersamaan jalan keluar dari ruang kelas, berjalan di koridor hingga ke parkiran. Selebihnya, ia selalu terlihat sendiri.

Dama, adalah mahasiswa di kampus yang sama tempat Jihan berkuliah. Selalu penasaran pada Jihan tapi tak pernah berani mendekati Jihan. Merupakan mahasiswa satu tingkat di atas Jihan. Entah bagaimana caranya. hingga ia begitu ingin mengenal gadis ini. Hatinya mantap, tapi selalu ada hal yang membuatnya urung untuk mendekat pada Jihan walau sekedar menyapa.

Vio, salah satu teman kelas Jihan. Sering duduk berdekatan dengan Jihan. Informan Dama, lebih tepatnya Dama sering minta bantuan pada Vio untuk tahu kabar Jihan, atau sekedar tahu apakah Jihan ada kuliah atau tidak. Vio dan Jihan tak begitu dekat, namun Jihan juga tak pernah mengambil jarak dari Vio.

*

*

*

Jika di masa lalu kamu pernah memiliki pengalaman buruk, seberapa lama kamu bisa melupakan masa itu dan merasa bahwa kamu telah siap untuk menyambut masa yang akan datang? Jihan, butuh waktu bertahun-tahun bahkan hingga saat ini, 5 tahun sejak pengalaman buruk itu terjadi padanya. Masih membekas, melekat di kepalanya, hingga seringkali ia mengurung diri di kamar berhari-hari. Membuat orangtuanya begitu khawatir, akankah ia sembuh atau tetap mengalami trauma berkepanjangan.

Bukan salah Jihan juga jika saat ini ia begitu membentengi dirinya. Jika ada gelagat laki-laki yang menurutnya mulai aneh, sebisa mungkin ia mengambil jarak dan berlalu sejauh mungkin. Jika ada hal yang paling dibencinya di dunia ini, maka itu adalah laki-laki.

Harusnya saat itu ia bisa menjaga dirinya dengan baik. Usianya baru 15 tahun, masih sangat remaja. Ia pertama kali mengenal laki-laki di bangku SMA. Ia begitu terpesona pada Kakak kelasnya yang merupakan anak basket. Terkenal seantero sekolah, semua cewek-cewek menjerit di pinggir lapangan hanya demi mendapat perhatian dari laki-laki remaja tanggung bernama Rio itu.

Jihan di usia 15 tahun, gadis belia yang tak bisa diremehkan kecantikannya. Postur tubuhnya tinggi dibanding gadis seusianya membuat ia terlihat sangat mencolok. Tak tanggung-tanggung banyaknya teman laki-lakinya yang seringkali menggodanya bahkan nekat mengungkapkan perasaan padanya. Tapi bukan Jihan namanya jika ia tak jual mahal. Bukannya senang digoda, ia malah risih dan terlihat menghindar. Beda perlakuan terhadap Kakak kelas jago basket bernama Rio itu. Ia berharap bisa berkenalan dengan Kakak kelasnya itu, jika tak bisa jadi pacar, minimal ia bisa menjadi orang yang special untuk Rio.

Keinginan itu siapa sangka malah membuat petaka dalam hidupnya. Mengenal Rio adalah kesalahan terbesar yang pernah ia lakukan. Itu sebabnya, ia sangat membenci mahluk berjenis kelamin laki-laki. Terutama yang bernama Rio itu.

**"

Note: Ini sekedar gambaran tokoh dan jalan ceritanya ya, untuk episode satu akan segera di up. Semoga ada pembaca yang suka. Trimakasih. (≧∇≦)/

Part 1

Part. 1

"Jihan...."

"Jihan...."

"Jihan...."

Sontak Jihan terbangun dari tidurnya. Ia bermimpi buruk lagi. Suara yang memanggil namanya itu terus terngiang. Sekelebat ingatan mengacaukan pikirannya di pagi buta itu. Matanya tiba-tiba tergenang, ia meringkuk memeluk lutut bagai orang ketakutan.

"Kamu kenapa?" Suara berat Ibunya muncul dari balik pintu kamar, membuat Jihan seketika terkejut.

"Tidak apa-apa Bu, Jihan hanya mimpi buruk."

"Iyah, Ibu sampai khawatir. Belakangan ini Ibu selalu dengar kamu seperti orang meracau. Apa yang menganggu pikiranmu Jihan?"

"Seperti biasa Bu, bayangan dan mimpi buruk itu kembali hadir. Belakangan ini semakin sering. Aku takut Bu---"

Ibu Jihan bergegas memeluk anak semata wayangnya itu. Ia tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hati anaknya. Tidak mudah bagi Jihan, itu pasti. Meski kejadiannya sudah lama dan berbagai terapi psikologis pun telah dijalani Jihan, namun kejadian itu terus membekas di dalam kepala anaknya. Membuat Jihan semakin tertutup dari hari ke hari.

"Kalau kamu tidak ingin ke kampus hari ini tidak apa-apa, Ibu mengerti. Kamu lebih baik istirahat, jangan sampai kamu sakit karena memikirkan mimpi buruk itu terus menerus."

"Tapi Bu---

"Sudah, Ibu juga tidak pernah memaksa kamu untuk kuliah kan? Sudah tidak usah dipikirin. Ibu akan lebih sedih jika kamu terus-terusan menangis dan merasa bersalah. Ibu tahu kamu kuat."

Jihan memeluk Ibunya begitu dalam. Ia sangat berterimakasih pada Tuhan karena telah dilahirkan dari rahim seorang Ibu yang begitu sabar dan penyayang seperti Ibunya.

***

Hujan pertama sebagai pertanda musim telah berganti, Jihan termangu dj jendela. Mengamati tetes demi tetes hujan yang turun. Menggapai gerimis yang mencuri masuk melalui kisi-kisi jendela. Jihan memang suka hujan. Ia rela duduk berlama-lama hanya untuk menikmati air yang jatuh ke bumi itu.

---

Bruukk!!!

Jihan bertubrukan dengan sosok besar dan tinggi di sebuah koridor sekolah. Ia terjatuh ke lantai, perlahan ia mendongak dan melihat siapa yang tidak punya mata dan menabraknya hingga terjatuh.

"Eh sorry, aku tidak sengaja." Ucap lelaki bertubuh besar dan tinggi itu. Jihan terdiam lama, matanya terpaku pada sosok itu.

"Eh kenapa? Ada yang sakit ya? Perlu aku bawa ke UKS gak?" Tanya lelaki itu yang tak lain adalah Rio, raja Basket idola cewek-cewek di sekolahnya.

"En--Nggak apa-apa. Nggak ada yang luka kok." Buru-buru Jihan berdiri dan matanya sejurus kemudian bertubrukan dengan mata Rio.

"Rio." Ucapnya sembari menjulurkan tangan.

"Eh Jihan..."

"Aku minta maaf atas insiden tadi. Sebagai gantinya maukah kamu menemaniku makan di kantin? Aku traktir. Gimana mau gak?"

Jihan terbelalak.

Ini benar kan? Aku diajak makan bareng sama Rio? Ditraktir pula! Wah kesempatan langka. Ini gak bisa dilewatin gitu aja.

Seru Jihan dalam hati.

Ia pun ikut bersama Rio ke kantin. Tak terbilang berapa pasang mata yang menatap penasaran. Ada juga yang tersenyum dan meneriakinya "Cieee Cieee...."

Jihan tak sanggup menahan letupan bahagia di dalam hatinya. Ia merasa hari ini Dewi Fortuna sedang berpihak padanya.

"Pesan apa?" Tanya Rio

"Apa saja. Terserah kamu." Jihan deg deg-an.

Ia masih fokus ke sosok di depannya. Tak henti ia menatap sampai Rio membubarkan lamunannya.

"Segitunya ngeliatin."

"Iyah, kamu--

"Kenapa?"

"Nggak... nggak..."

Jihan merasa tertangkap basah dan jadi salah tingkah. Tiba-tiba teman-teman Rio datang ke arah meja mereka.

"Kecengan baru? Boleh juga tuh." Goda Brian pada Rio.

"Kapan resminya?" lanjut Reza.

Jihan terlihat makin canggung.

"Apaan sih kalian ini. Kenalin namanya Jihan. Tadi gak sengaja aku nabrak dia karena buru-buru mau ke kantin. Dan sebagai ucapan permintaan maaf aku nawarin Jihan makan."

"Oo..."

"Hai... Jihan."

"Brian"

"Reza"

"Kalau mereka banyak bicara yang tidak-tidak, jangan didengar. Mereka memang senang menggoda cewek-cewek, otaknya suka korslet."

Ucapan Rio kemudian disambut senyum oleh Jihan dan muka kecut kedua temannya Brian dan Reza.

---

Sekeping cerita pertemuan pertama Jihan dengan Rio kembali memenuhi kepalanya. Hujan selalu membawa ingatannya pada Rio. Lelaki yang ia jatuh cinta untum pertama kali, sekaligus lelaki yang paling ia benci di dunia ini.

Part 2

Jihan berangkat ke kampus jam 8 pagi. Ada kuliah jam 9 nanti, karena ia selalu datang sebelum kelas di mulai. Baru saja Jihan memarkir kendaraannya, butiran hujan yang besar-besar telah menyambutnya pagi itu. Jihan berusaha melindungi kepalanya dengan tangan dan berlari ke arah halte kampus untuk berteduh.

Suatu kebetulan, di halte itu ada Dama. Dengan perasaan ragu, Dama memutuskan menyapa Jihan. Terlihat kemeja Jihan sedikit basah, rambutnya yang hitam panjang juga nampak klimis kena air hujan.

"Jihan ya?" Tanya Dama basa basi.

"Iyah. Siapa ya?" Jihan kembali bertanya karena ia asing dengan pria di depannya apalagi hanya berdua seperti itu.

"Dama. Satu tingkat di atas kamu."

"Oh...."

Jawaban singkat Jihan membuat suasana semakin kaku. Dama seolah kehabisa bahan untuk dibicarakan, sementara Jihan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Suasana kampus masih sepi. Dama terpaku di tempatnya. Sesekali ia memandangi Jihan tanpa sepengetahuan orangnya. Ia melihat Jihan begitu dingin, begitu pendiam dan terlebih lagi begitu menjaga jarak dengannya.

Hujan tak ada tanda-tanda untuk berhenti. Jihan nekat menerobos hujan lebat itu dan berlari mendapati koridor kelasnya yang terletak sekitar 50 meter dari parkiran. Tanpa kata, tanpa menghiraukan ada Dama di sana.

Cewek ini begitu sulit. Membuatku semakin penasaran untuk mengenalnya. Aku tertarik pada matanya, matanya yang seperti tertutup tabir. Sesungguhnya mata itu indah, tapi entah kenapa di balik keindahan itu, bagiku seperti terlukis kesedihan yang begitu mendalam. Siapa kamu sebenarnya Jihan. Mengapa kamu begitu berbeda dengan perempuan mana pun yang kukenal. Kau bahkan tak melihatku, padahal aku ada di sana, di sampingmu.

Dama membathin di tempatnya. Baru kali ini ia merasa benar-benar dikacangi. Jika semua perempuan yang ia dekati bisa ia taklukkan dengan sempurna, berbeda dengan Jihan. Ia begitu menutup diri dan menghindar kontak mata apalagi kontak fisik. Jangankan ada kontak fisik, Jihan melihat ke arah Dama saja bagi Dama itu sebuah kemajuan. Tapi bukan Dama namanya jika ia menyerah.

***

"Vio... Jihan itu memang sedingin es ya?" tanya Dama pada Vio.

"Bukan sedingin es lagi, tapi beku seperti di antartika sana. Di kelas aja nih ya, ia ngomong panjang saja kita semua sekelas sudah takjub banget. Secara ia memang jarang bicara yang panjang, apalagi ngobrol santai kayak mahasiswa kebanyakan. Tapi anak itu terbilang cerdas sih, semua mata kuliah yang ia ikuti tidak ada nilai B semuanya A. Kamu segitu penasarannya ya sama dia?" tanya Vio sejurus kemudian.

"Aku juga nggak tahu, tapi baru kali ini aku hadapin cewek yang benar-benar membuat aku mati kutu karena kehabisan topik pembicaraan. Tadi pagi aja nih, aku sama dia terjebak hujan dan akhirnya berteduh di halte, aku nanya tapi dijawab irit banget. Aku jadi salah tingkah sendiri dibuatnya. Kamu beneran gak tahu Jihan kenapa gitu, sampai sedingin itu. Sialan... Kok aku jadi sepenasaran ini sih!" umpatnya.

"Nantilah coba aku cari tahu, tapi aku gak janji ya. Makanya cari tahu sendiri sana kalau penasaran. Oh iyah satu lagi, Jihan memang sangat menahan diri terhadap laki-laki. Di kelas, ia selalu menghindar jika harus duduk dan kursinya berdekatan dengan laki-laki, sebisa mungkin ia akan Mengangkat kursinya dan pergi dari sana."

"Apa mungkin ia ada trauma ya? Tapi karena apa? Akhh pusing aku mikirinya." Ucap Dama sembari menggosok rambutnya seperti orang putus asa.

*

*

*

"Jihan, aku anter pulang ya?" seru Rio.

"Emang harus ya? Aku sudah terbiasa pulang sendiri." jawabnya.

"Makanya sekarang harus terbiasa pulang sama aku."

Jihan tersenyum, Rio memang tipe orang yang tak bisa ditolak. Jihan mengangguk dan bersedia diantar pulang.

"Jihan tidak apa-apa naik motor begini? Kan panas, kulit kamu bisa terbakar loh."

Jihan yang berada di belakang punggung Rio hanya tersenyum. Dalam hatinya justru inilah yang sangat diinginkan. Naik motor berdua, menikmati semilir angin dan sesekali memeluk Rio dari belakang jika sewaktu-waktu motornya melaju cepat.

"Kenapa diam? Kamu masih di sana kan?" goda Rio.

"Masih. Memangnya aku mau ke mana, diterbangin angin? Makanya bawa motornya jangan kebut-kebut."

"Kalau takut kamu pegangan dong."

Mendengar itu Pipi Jihan. bersemu merah. Ia menepuk pundak Rio karena merasa malu.

Sejak hari itu, Jihan merasa hari-harinya begitu indah. Rio setiap hari mengantar jemput dirinya. Teman-teman di sekolahnya pun ramai membicarakan tentang hubungan mereka. Jihan hanya tersenyum jika ada yang bertanya lebih jauh padanya.

"Kalian sudah jadian?"

"Wah sejak kapan?"

" Kok aku ga tau?"

Sejumlah pertanyaan mampir ke telinganya. Jihan merasa malu karena tidak tahu harus jawab apa. Memang benar, Rio rajin mengantar jemput Jihan tiap hari, bahkan sering makan bersama di kantin, tapi apa itu semua cukup menjadi bukti kalau mereka pacaran?

Jihan tidak peduli dengan statusnya bersama Rio. Pacar atau bukan apa bedanya. Mereka sering jalan bareng, tertawa bareng, bahkan Rio seringkali memberinya kado kecil yang membuat Jihan merasa begitu spesial.

Sayangnya, Jihan begitu polos, Jihan tidak pernah tahu apa yang sedang direncanakan Rio di belakangnya.

*

*

*

Note: Tulisan miring di atas sebagai penanda cerita sedang flashback ya. Mohon masukannya bagaimana seahrusnya cerita ini dituliskan. Trimakasih. Selamat membaca. Jangan lupa baca cerita ku yang lain judulnya "Complicated Love"

l

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!