NovelToon NovelToon

One Sweet Day With You

Bab 1. Papa meninggal

“Argh!” Kila mengerang kecewa, melihat pemandangan di depannya. Ruangan itu terlihat berantakan sekali. Sisa makanan berserakan di atas meja. Kaleng kosong bekas minuman berhamburan di sana-sini, menyisakan gelembung-gelembung yang mengecil dan perlahan mencair mengotori lantai kafe. “Kenapa mereka terus saja melakukan hal seperti ini?”

“Tarik napas,” tukas Ana seraya mengangkat kedua lengannya lalu mengikat rambut panjangnya menjadi ekor kuda. Ia tersenyum dan menolehkan wajahnya sesaat, pada Kila yang berdiri dengan bibir cemberut di sampingnya. “Kita bereskan semua sama-sama.”

“Tidak mau!” balas Kila dengan meninggikan nada suaranya, tak terima harus pulang telat lagi malam ini karena kembali harus membereskan semua kekacauan yang terjadi usai acara pesta dadakan anak lelaki atasan mereka dengan teman-temannya di kafe Dylan tempat mereka bekerja. Kafe yang biasanya tutup jam sembilan malam itu harus molor satu jam lamanya.

“Kalau begitu, biar Aku saja yang membereskannya.” Ana menghela napas, berdebat hanya akan membuang waktu mereka percuma. Ia bergegas ke belakang dan kembali lagi dengan banyak alat di tangannya. Tak mengapa ia yang harus melakukannya, toh tempat ini memang sudah menjadi tanggung jawabnya.

Ana memasang sarung tangan dan membuka kantung plastik besar yang dibawanya, mengitari meja dan mulai memasukkan sampah-sampah yang ada.

“Renjana Maheswara!” Seru Kila lantang menyebut nama lengkap Ana yang langsung menegakkan tubuhnya sembari mengusap cuping telinganya dan bibir menahan senyum. “Aku akan melakukannya, tapi Kau harus mentraktirku makan malam ini!”

“Oke.” Ana mengangguk setuju, tak bisa menyembunyikan senyum saat Kila datang mendekat dan mengambil alih pekerjaannya. Ia tahu, Kila tak akan membiarkannya bekerja sendirian.

Satu jam berikutnya, suasana kafe kembali seperti semula. Ana mengusap keningnya yang basah, duduk sejenak berselonjor kaki di bangku pojok teras kafe yang terlindung banyak tanaman anggrek sambil menunggu Kila datang dari membeli makanan.

Langit malam tampak cerah, banyak bintang di atas sana. Embusan angin lembut mengusap wajahnya, tak terasa matanya terpejam. Bayangan wajah seseorang berkelebat dalam ingatannya membuatnya tersentak dan langsung membuka mata. Ana menggeleng kuat, mencoba mengusir kenangan pahit masa lalu yang kembali datang dan mengusiknya.

“Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” Kila tahu-tahu muncul dan melambaikan tangan di depannya.

Ana mengerjap, menatap Kila yang duduk di hadapannya sembari membuka kantung plastik yang dibawanya. Dua porsi sate ayam lengkap dengan potongan lontong di dalamnya, ditambah dua kaleng minuman kini ada di atas meja.

“Kau terlihat melamun, Kau bahkan tak menyadari kalau Aku datang.” Kata Kila lalu melahap makanannya. “Jangan protes! Aku tahu Kau tak terlalu suka dengan makanan yang Aku bawa, tapi hanya ini yang mereka jual di luar sana.” Imbuhnya lagi dan kembali melanjutkan makannya.

“Aku tak akan melakukannya kali ini,” sahut Ana seraya mengulas senyum, ia mengambil satu tusuk lalu makan dan mengunyahnya pelan.

“Kau belum menjawab pertanyaanku barusan.” Kila mengusap mulutnya dengan selembar tisu, lalu menatap lekat mata sahabatnya itu. Ia sudah menghabiskan bagiannya sementara Ana masih memegang tusuk satenya tadi yang bahkan masih belum habis dimakannya.

Ana berdeham sejenak sebelum menjawab pertanyaan Kila. Makanan di tangannya ia letakkan kembali di tempatnya lalu menyambar kaleng minuman di depannya, membukanya cepat dan menegak isinya. Keningnya langsung berkerut begitu minuman itu menyentuh tenggorokannya.

Awalnya ia ingin menyimpannya sendiri. Tapi seperti yang sudah-sudah, ia tetap akan mengatakannya pada Kila. Ia tahu sahabatnya itu bisa dipercaya.

“Mantan papa mertuaku sakit keras dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Kau tahu, beliau satu-satunya orang yang mau menerima kehadiranku di rumah itu.”

“Maafkan Aku.” Kila langsung berpindah tempat dan duduk di samping Ana, merengkuh bahunya dan mengusapnya pelan. “Bagaimana Kau bisa tahu. Apa mereka menghubungimu dan menyampaikan berita itu?”

Ana menggeleng, tersenyum kecut. “Aku bertemu dengan Leo tanpa sengaja saat ia tengah menemani adik perempuannya berbelanja,” jelas Ana sambil mengingat kejadian kemarin.

“Siapa Leo?”

“Keponakan papa. Dia langsung menemuiku dan mengatakan kalau papa sakit keras dan ingin sekali bertemu denganku. Belum lama kami bicara, ada yang meneleponnya dan menyuruhnya untuk segera pulang.” Ana menundukkan wajahnya, suaranya bergetar menahan sesak di dada. Kedua tangannya bertaut resah di bawah meja.

“Apa Kau ingin datang melihatnya?” tanya Kila hati-hati, ia tahu bagaimana kisah masa lalu Ana dengan keluarga itu sejak hari di mana ia bertemu dengan mereka.

Ana mengangkat wajahnya, dan Kila bisa melihat kilat duka di sudut mata itu yang kini mulai berembun. Ana ingin sekali datang ke sana dan melihat langsung kondisi papa, satu-satunya lelaki yang menyayanginya dengan tulus dan kerap mengajaknya bicara saat semua orang di rumah itu mengabaikannya.

“Aku belum memutuskannya,” jawab Ana pelan, kala keraguan melingkupi hatinya. Jika ia memutuskan untuk datang, ia akan bertemu kembali dengan Hugo, laki-laki yang membencinya yang membuatnya harus pergi dari rumah itu.

“Oh.” Kila mengangguk mengerti, ia bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Ana saat ini. “Apa Kau masih belum bisa melupakannya?”

Ana mengangguk berulang dengan bibir terkatup menahan tangis. “Kau benar, Aku belum bisa melupakannya. Bahkan hingga detik ini, Aku masih bisa mengingat jelas garis tegas wajahnya.” Kata Ana saat merasa lebih tenang dan bisa menguasai dirinya, membuat Kila langsung terdiam.

“Kalau Kau berubah pikiran, Aku bersedia menemanimu datang ke sana. Kita bisa ambil cuti besok.”

“Tidak perlu, Kila. Aku bisa datang sendiri ke sana tanpa harus Kau temani,” tolak Ana cepat, tak ingin melibatkan Kila dengan masalahnya.

“Baiklah, Aku mengerti.”

Perbincangan mereka berakhir, Kila pamit pulang dan Ana kembali ke rumahnya yang letaknya berada tak jauh dari kafe tempatnya bekerja. Ya, rumah yang ditempatinya itu milik nyonya Astrid atasannya.

Saat datang tiga tahun lalu untuk melamar kerja, nyonya Astrid langsung menerimanya karena merasa kasihan padanya. Ia memberinya tempat tinggal dan mandat penuh padanya untuk membantu menjalankan usaha kafenya. Ana menikmati pekerjaannya, ia menggunakan kesempatan emas itu dan tak menyia-nyiakan kepercayaan yang sudah diberikan padanya.

Ana merebahkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya, namun sulit. Pikirannya dipenuhi bayangan wajah papa mertuanya, bagaimana kondisinya sekarang. Takut kalau terjadi hal buruk padanya. Pikiran itu menghantuinya dan membuat matanya nyalang sepanjang malam.

Saat dering ponselnya berbunyi tepat jam satu malam, Ana tersentak bangun dan melompat turun dari ranjang. Ia merasakan dadanya berdegup sangat kencang saat matanya membaca nama yang tertera di sana.

“Papa meninggal.” Suara dingin di seberang sana terdengar bergetar, hanya sebentar dan detik berikutnya langsung menghilang.

“Innalillahi wainna ilaihi raajiun.” Ana berucap lirih, lalu tersadar tapi laki-laki itu sudah menutup teleponnya. “Halo? Halo?!”

Tak ada sahutan, hanya bunyi nada sama yang terus berulang terdengar di telinganya. “Pa-pa meninggal?” ulang Ana lirih dan tanpa sadar wajahnya sudah basah air mata.

“Aku harap Kau bisa datang menemui paman. Paman ingin sekali bertemu denganmu, ia terus-terusan menyebut namamu sampai kami kebingungan bagaimana harus menjawabnya karena kami tak tahu harus mencarimu ke mana.”

Kata-kata Leo kembali terngiang di benaknya. Ana menangis mengingat wajah teduh sang papa mertua. Malam itu juga ia memutuskan untuk datang ke sana, melihatnya untuk yang terakhir kalinya.

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Bab 2. Hugo Denis

Hugo Denis baru saja menginjakkan kakinya di lantai gedung kantornya ketika ponsel di dalam saku bajunya berbunyi. Ia menghela napas sesaat, lalu menyerahkan tas kerjanya pada Yuda sang asisten yang berdiri menunggu di belakangnya sebelum meraih benda pipih itu.

“Ada apa?” sahutnya tanpa basa-basi.

Pukul 08.05 pagi, Hugo meringis mendengar ucapan seseorang di seberang telepon yang mengingatkan soal keterlambatannya datang hari ini. Ia melangkah perlahan dan hanya mengangguk kecil membalas sapaan para karyawan saat berpapasan dengannya.

Beberapa hari belakangan ini Hugo menghabiskan malam yang sulit. Ia memang banyak menghabiskan waktunya berada di kamar rumah sakit, menemani sang papa yang kembali harus menjalani perawatan intensif karena penyakit jantungnya yang kian melemah.

“Baik, Kau siapkan saja semua berkas yang diperlukan.” Hugo menutup sambungan telepon dari Mitha, sekretarisnya yang baru saja mengingatkan soal janji temu dirinya dengan klien di ruang kantornya tepat jam sembilan pagi ini.

Saat memasuki ruang kerjanya, sudah ada Mitha yang berdiri menyambutnya dengan buku di tangan. “Selamat pagi, Tuan. Saya sudah menyiapkan berkas yang akan Tuan tandatangani nanti saat pertemuan dengan klien pagi ini. Dan ini, berkas lain yang juga harus Tuan ...”

“Kopi,” pinta Hugo seraya mengangkat tangan, mengabaikan ucapan sekretarisnya itu. Ia butuh sesuatu yang bisa menyegarkan pikirannya pagi ini setelah semalaman hampir dibuat tak bisa memejamkan mata karena sang papa yang kerap terjaga dari tidurnya dan mengajaknya bicara.

“Baik, segera akan Saya siapkan.” Mitha melangkah mundur dan segera keluar dari ruangan.

Masih ada waktu lebih untuk bersantai, Hugo merebahkan kepalanya pada sandaran kursi di belakangnya seraya memejamkan matanya. Sejenak membiarkan pikirannya melayang mengingat kejadian lalu dan percakapannya semalam dengan papanya.

“Papa ingin sekali bertemu dengan Ana, Papa bersalah padanya. Tak seharusnya ia pergi dari rumah kita.”

Selalu nama itu yang keluar dari mulut papa setiap kali mereka mulai bicara, meski Hugo berusaha mengalihkannya dengan bercerita soal lain. Sayang papa tak mau mendengarnya, dan hal itu membuat Hugo lelah. Tapi ia hanya bisa memendam dalam hati, kebenciannya pada wanita itu membuatnya enggan menuruti keinginan papanya.

“Dia sebatang kara, sejak kecil sudah ditinggal kedua orang tuanya. Ia tumbuh besar hanya dengan kasih sayang dari neneknya. Papa kasihan padanya, itulah sebabnya Papa ingin ia tinggal di rumah kita.”

Lalu ia melihat Ana untuk pertama kalinya saat wanita itu datang dengan memakai baju seragam sekolahnya. Begitu muda dan polos, menatapnya malu-malu dengan pandangan kagum yang kentara jelas.

Hugo bukan anak remaja ingusan yang baru mengenal wanita, ia lelaki dewasa yang sudah pernah berumah tangga. Ia tahu arti pandangan itu dan mengabaikannya, memasang wajah kaku menjaga jarak tak ingin didekati. Ia setuju pada niat baik papanya yang ingin menolong gadis itu, apalagi setelah mengetahui kalau sang nenek sudah meninggal dunia. Tapi tidak untuk hal lainnya.

Meski serumah, mereka jarang bertemu atau lebih tepatnya Hugo jarang sekali pulang ke rumahnya. Ia lebih banyak tinggal di apartemennya dan banyak menghabiskan waktunya mengurus perusahaan miliknya. Ia mencintai pekerjaannya, baginya itu satu-satunya cara untuk melupakan semua kepahitan yang dialaminya setelah kegagalan rumah tangganya.

“Papa ingin melihat kalian bersama lagi, tak bisakah Kau memenuhi keinginan terakhir Papamu ini?”

Hugo bisa mengingat dengan jelas papa mengucapkannya sambil menahan tangis. Meski dilarang banyak bicara, papa terus saja bicara seolah ingin menumpahkan semua yang ada dalam hatinya.

“Ana tidak bersalah, Papa yang salah. Dia tidak pernah berniat menipumu.”

Dan kejadian malam itu kembali melintas dalam ingatannya. Segalanya terjadi begitu cepat, ia pulang ke rumah papanya dalam keadaan mabuk setelah menghabiskan malam panjang bersama teman-temannya dan naik ke tempat tidur yang salah. Lalu terbangun di pagi hari dalam keadaan tubuh tanpa sehelai benang dengan lengan kuat memeluk wanita di sampingnya yang tidak lain adalah Ana.

“Tuan, ini kopinya.”

Hugo tersentak dan seketika membuka mata, dilihatnya Mitha berdiri di depannya tersenyum menatapnya. “Tuan kelihatan lelah sekali.”

Hugo menegakkan punggungnya, lalu menyentak ujung jasnya melihat arloji di tangannya. Tersisa waktu sepuluh menit, ia harus segera bersiap menyambut tamunya. Setelah menghirup kopinya, ia meminta Mitha untuk memberikan berkas yang sudah disiapkan untuknya.

Tepat jam sembilan pagi tamu yang ditunggu datang, Hugo menyambutnya dengan senang berharap apa yang sudah dikerjakannya selama beberapa waktu ini membuahkan hasil gemilang.

Sementara itu, di luar gedung terjadi keributan kecil. Ada pengendara motor yang terserempet mobil perusahaan saat hendak berbelok keluar dari gedung Mayapada Grup. Leo yang berada di dalam mobil tak jauh dari tempat kejadian, bergegas turun dan meminta sopirnya untuk menunggu sementara ia menemui Hugo.

Ia berlari ke dalam gedung kantor Mayapada Grup, masuk ke dalam lift dan langsung menekan angka 5 yang akan mengantarnya ke lantai 3 ruang kerja Hugo. Napasnya tersengal karena mengejar waktu. Setelah pertemuannya dengan Ana kemarin, ia harap Hugo mau bicara pada wanita itu dan mengabulkan keinginan pamannya.

Mitha, sekretaris Hugo sedang sibuk mengetik di komputernya. Leo berjalan melewati meja kerjanya dan langsung membuka pintu, nyaris tidak memperhatikan ekspresi wajah Mitha yang terkejut melihat kedatangannya.

“Jangan masuk!” Teriak Mitha lalu beranjak berdiri, mencoba menahan lelaki itu yang hendak menerobos masuk. “Tuan Hugo sedang ada pertemuan penting dengan klien.”

“Berita yang Aku bawa ini jauh lebih penting karena menyangkut nyawa seseorang!” tegas Leo, menepis cekalan tangan Mitha di lengannya lalu melangkah masuk dengan tergesa.

“Ta-pi Tuan ...”

Hugo sedang duduk menghadapi dua orang tamunya, ia mendongak dan terkejut melihat Leo yang datang dengan wajah tegang juga Mitha yang berdiri di belakangnya dengan wajah pucat.

“Ada apa ini? Apa Kalian tidak melihat Aku sedang berbicara dengan tamuku?” tanya Hugo galak dengan kedua alis bertaut. “Dan Kau Mitha, apa Kau sudah bosan bekerja denganku?”

Kedua tamu Hugo langsung menoleh padanya. Mitha tercekat lalu melangkah maju dengan wajah tertunduk. “Ma-maafkan Saya, Tuan. Ssh-Saya sudah berusaha mencegahnya, ta-pi ...” jawabnya dengan suara terbata-bata.

“Aku menemukannya!” potong Leo tak sabar hingga mengejutkan semua orang yang ada di sana. Ia berjalan mengitari meja dan berdiri di hadapan Hugo dengan kedua tangan bertumpu di atas meja.

“Apa maksudmu?” alis hitam tebal milik Hugo terangkat, matanya memicing menatap lawan bicaranya.

“Aku bertemu dengannya di sana dan Aku sudah bicara padanya.” Sahut Leo lalu mengambil secarik kertas dari dalam saku bajunya dan meletakkannya ke dalam genggaman tangan Hugo. “Selanjutnya terserah Kau, keputusan ada di tanganmu. Aku sudah melakukan tugasku.”

Hugo menatap kertas di tangannya, sebaris angka yang merujuk pada nomor telepon seseorang yang tampaknya tak asing baginya.

“Maaf kalau kedatanganku ini mengganggu diskusi kalian. Permisi, Aku harus segera menemui pamanku.” Leo menundukkan setengah badannya lalu berbalik dan meninggalkan ruangan itu.

“Leo, tunggu!” panggil Hugo, tapi laki-laki itu sudah pergi.

“Apa tidak sebaiknya kita menunda dulu pertemuan hari ini.” Salah satu dari tamu Hugo angkat bicara. “Saya lihat Tuan Hugo sedang sibuk dan harus segera mengurus sesuatu terlebih dahulu.”

“Maafkan Saya atas kejadian barusan.” Hugo meminta maaf dan berjanji akan segera menyelesaikan masalahnya dan bertemu mereka lagi. Ia mengantar tamunya sampai ke lobi kantornya, lalu kembali ke ruang kerjanya lagi.

“Tuan, ada telepon dari rumah sakit.” Mitha masih menggenggam gagang telepon saat Hugo tiba, wajahnya terlihat panik.

Selang beberapa menit kemudian, Hugo berjalan keluar dengan ponsel masih menempel di telinga dan sebelah tangan memegang secarik kertas. Wajahnya tampak gusar, “Baik, Saya segera ke sana.”

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Bab 3. Cerita sebenarnya

Hugo berlari cepat menuju ruang rawat inap papanya, dilihatnya sudah banyak orang berkumpul di luar menunggunya. Begitu melihat kedatangannya, wajah-wajah itu tampak lega.

“Kau harus tetap kuat dan bersabar menghadapinya,” kata seorang kerabatnya yang langsung memeluk bahunya dan menepuknya pelan. “Hanya Kau satu-satunya harapan papamu.”

Hugo mengangguk sopan, “Aku akan selalu mengingat ucapan Paman,” sahutnya kemudian, tersenyum sebelum melangkah masuk.

Untuk menjaga ketenangan pasien, pihak rumah sakit hanya mengizinkan satu orang saja yang boleh masuk ke dalam ruang inap pasien. Ketika dokter menghubungi Hugo tadi dan menyampaikan padanya kalau jantung papa sempat berhenti berdenyut, ia langsung bergegas pergi dan meninggalkan semua urusan di kantor pada asistennya Yuda. Beruntung nyawa papa masih tertolong, berkat kesigapan dokter yang merawatnya.

Hugo menarik kursi di dekat papanya dan duduk perlahan, ditatapnya lekat wajah teduh di hadapannya itu yang kini lelap tertidur. Di genggamnya tangan papanya dan ditempelkannya di dahinya. “Aku belum menghubunginya bukan berarti Aku tak peduli pada keinginan Papa. Aku sayang Papa, tapi Aku belum bisa memaafkan semua yang telah dilakukannya padaku.”

Mata papa mengerjap, gerakan tangan Hugo barusan mengusik tidurnya. Perlahan-lahan mata itu terbuka sempurna. Papa menggerakkan tubuhnya, mencoba bangun. Tapi Hugo menahannya.

“Mana Ana? Leo katakan, dia bertemu dengannya kemarin.” Mata papa liar menatap sekitarnya, mencari-cari sosok Ana.

Hugo menahan diri dan berusaha tetap bersikap tenang, ia sudah menyuruh orang untuk mencari Leo yang entah pergi ke mana setelah bertemu dengan papanya. Ia harus bicara dengan sepupunya itu. Menurut keterangan pamannya, papa langsung merasakan sesak setelah bicara dengan Leo.

“Ana tidak ada, Pa. Dia tidak datang kemari.” Hugo membantu papanya berbaring kembali, dirapikannya selimut yang menutupi tubuh papanya hingga batas dada. “Kalau memang Ana merasa pernah berhutang budi pada Papa, dia pasti akan datang menemui Papa.”

Nama itu meluncur dengan mudahnya keluar dari bibirnya, setelah sekian lama ingin dilupakannya. Wajahnya kembali kaku, rasa bencinya pada wanita itu masih bercokol kuat dalam hatinya.

“Dia benar-benar tidak ingin bertemu denganku lagi,” ucap papa dengan mata berkabut. “Papa bersalah padanya. Harusnya Papa tidak melakukan itu pada kalian berdua.”

“Apa yang ingin Papa katakan?” Tanya Hugo mengernyit bingung saat tangan papa mencekal kuat pergelangan tangannya. Berulang kali papa mengatakan kalau ia yang bersalah, dan Hugo hanya mendengarkan tanpa bertanya apa maksud ucapan papanya itu.

Papa lalu meminta Hugo untuk membantunya duduk. Hugo menuruti permintaan papanya itu, meski merasa khawatir mendengar bunyi napas papa yang mulai tersengal.

“Kau ingat kejadian malam itu, saat Kau pulang dalam keadaan mabuk? Ana yang membantumu ke kamar.”

“Aku ingat.” Hugo mengangguk, ia ingat dengan jelas. Hidupnya berubah sejak malam itu, ia naik ke ranjang yang salah dan terbangun keesokan harinya dalam keadaan kacau. Dan yang memalukan lagi, pintu kamar di depannya terbuka dan papanya berdiri marah di sana.

Melihatnya tampilan dirinya yang seperti bayi baru lahir, sementara Ana meringkuk di dekatnya menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Dengan suara menggelar, papa langsung memintanya untuk bertanggung jawab.

Ia kacau, tak bisa menjelaskan apa yang sudah dilakukannya pada Ana. Ia terlalu mabuk dan lupa segalanya. Tak bisa berbuat apa-apa, apalagi dilihatnya Ana menangis dan tampak ketakutan. Ia pasrah saat itu dan tak mampu menolak keinginan papanya. Hingga berselang seminggu setelah malam kejadian, ia dan Ana menikah. Acaranya sangat sederhana dan terkesan tertutup, hanya dihadiri oleh kerabat dekat saja.

Hari itu juga ia memboyong Ana ke rumah baru mereka, papa terlihat sangat senang dengan pernikahan mereka dan menghadiahi sebuah rumah lengkap dengan segala perabotnya. Tiga bulan usia pernikahan mereka, tak sekalipun Hugo mau menyentuh Ana lagi. Meski serumah, Hugo selalu pulang malam dan sibuk dengan pekerjaannya.

Lalu semua terungkap ketika Hugo pulang ke rumah sore hari dan tidak mendapati Ana di sana. Wanita itu sedang keluar bersama temannya dan kembali saat malam hari dengan diantar seorang pria muda. Entah apa yang merasuki pikiran Hugo saat itu, ia marah melihat Ana bersama pria lain. Mereka bertengkar dan berakhir di ranjang.

“Tidak terjadi apa-apa malam itu,” gumam Hugo dengan tatapan nanar dan suara teramat pelan. Ia mengetahui kebenaran kalau Ana masih suci dan ia merasa tertipu. Ia merasa dijebak seolah mereka telah melakukan perbuatan terlarang hingga harus menikahi Ana.

“Papa hanya ingin melihatmu menikah, dan wanita itu adalah Ana.” Papa terdiam sejenak, menghela napas dalam. “Papa yang mengatur semuanya. Papa yang meminta Ana untuk mau melakukannya, Membuat kalian seolah sedang bersama. Ana sempat menolak, tapi Papa berusaha meyakinkan dirinya karena Papa tahu Ana mencintaimu sejak lama.”

“Papa?” Hugo terkejut bukan main mendengar pernyataan papanya, ia mengira Ana yang sudah menipunya selama ini.

“Dengarkan Papa, Papa akan ceritakan semuanya. Dan setelah Kau mengetahui semuanya, tolong berhenti membenci Ana. Dia tidak bersalah, Papa yang salah. Papa hanya ingin melihatmu menikah lagi dan itu dengannya.”

Hugo tak bisa berkata-kata lagi, ia mengesah pelan dan kembali bergumam menyebut nama papanya yang perlahan menarik napas dan dari bibirnya mengalir sebuah cerita kejadian sebenarnya sebelum ia terjaga dan membuka mata di pagi hari itu.

“Papa jangan salah paham, tidak terjadi apa-apa pada kami berdua,” kata Ana dengan suara bergetar, ia terkejut melihat kemunculan papa di dalam kamarnya saat Hugo bertingkah seperti orang lupa diri dan terus berusaha memeluk dan mencium Ana. Pakaian yang melekat di tubuhnya sudah lepas semua berserakan di lantai kamar. Lalu tak lama kemudian laki-laki itu jatuh tertidur di ranjang dengan tubuh menin dih Ana.

Bukannya marah dan menarik Hugo keluar, papa malah tersenyum senang. “Memang tidak terjadi apa-apa, dia hanya berusaha memelukmu. Dan Kau tidak akan mengatakan hal ini padanya. Cukup hanya kita saja yang tahu.”

“Apa maksud Papa?”

“Sekarang Kau dengarkan Aku!” Papa mengangkat tangannya saat Ana mencoba menginterupsi, lalu bicara dengan nada lembut. “Lelaki di dekatmu itu pernah gagal berumah tangga dan ia lebih memilih mati dalam kesendirian dari pada melakukannya lagi. Hanya Kau satu-satunya yang bisa menyelamatkannya dari keinginannya untuk terus menyendiri seumur hidupnya. Dia tak akan pernah menikah lagi dan memberikanku penerus jika itu tergantung pada keinginannya sendiri. Hanya ini satu-satunya cara agar ia menikah lagi.”

“Aku tidak mau melakukannya, Pa.” Ana menggeleng kuat. “Aku tidak ingin menipunya. Tidak seharusnya kami menikah karena sesuatu hal yang tidak dilakukannya.”

“Aku tak memintamu untuk menipunya, yang perlu Kau lakukan hanya mengikuti apa yang Aku katakan.”

“Aku tak akan melakukannya,” sahut Ana keras kepala.

“Kau akan tetap melakukannya!” tegas papa tak beranjak dari sana, menatap tajam ke arah Ana. “Anggap saja itu balasan atas sikap baikku selama ini padamu. Menikahlah dengan Hugo dan berikan Aku cucu.”

Aargkh! Hugo mere mas kasar rambutnya mengingat semua cerita papa. Ia terus duduk menemani papanya hingga malam. Menjelang tengah malam napas papa kembali sesak, dokter segera melakukan tindakan namun sayang nyawa papa tidak tertolong lagi. Hugo langsung menelepon nomor Ana dan mengabarkan perihal papanya yang sudah tiada. Entah wanita itu akan datang melihat papa untuk terakhir kalinya atau tidak, Hugo tak pernah berharap.

▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎ ▪︎

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!