NovelToon NovelToon

Bencana Sihir

kapal layar pilihan Tumang

Pertama-tama kita sampaikan pada dunia, bahwa isi hati ini sedang tidak baik-baik saja. Duduk bersila di bawah pohon rindang, mendongak menghadap langit biru. Siang ini gambaran guratan bias langit tidak terlalu terukir indah gumpalan, melintang dan berbagai bentuk awan. Pasalnya, seorang pelaut dapat mengetahui arus ombak di lautan hanya dengan melihat lukisan di langit siang hari.

Cita-cita Tumang sangat berharap bisa meneruskan angan-angan sebagai seorang pelaut. Dia sangat ingat Sejarah ingatan bahwa asal nenek moyang tanah pusaka dari seorang pelaut. Bisa jadi dengan demikian dia dapat menemukan Wanita yang dia idam-idaman selama ini.

Hari ini lamunannya di buyarkan oleh panggilan Dartok. Dia menepuk jidat melihat Tumang yang memalingkan wajah sambil menggelengkan kepala.

Harapan dan Impian anak muda zaman sekarang terbilang seluas angkasa, angan melambung tinggi tanpa usaha, ikhtiar dan do’a. Hal yang terkait dalam kata sabar juga pangkalan titik terbesar guna menunggu hari pencapaian yang di nanti.

...----------------...

Meneruskan Langkah kecil sebagai salah satu santri biasanya tinggal di pondok (asrama) serta mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan nilai-nilai moral, iman dan takwa. Akan tetapi tidak ada yang mengetahui rahasia misterius di balik keheningan yang ternyata bersuara keras menggelegar belum terkuat di khalayak umum.

Satu Minggu yang lalu.

Tumang menaiki anak tangga mencari ibunya yang sedang merangkai bunga-bunga segar yang baru saja di petik di halaman kebun belakang. Bu majnun selalu mendukung semua keinginan anaknya, dia juga tidak pernah melewatkan pertanyaan keinginan dan kebutuhan apa yang teruntuk putra tunggalnya.

Tidak dengan hari ini, dia mengernyitkan dahi sampai mengerut kencang di sela meregangkan otot-otot lehernya.

“Apa kata mu tadi Tum?” ucapnya meninggikan nada.

Glek__

Tumang pun mengulangi ucapannya, dia teguh atas keputusannya. Berdiri di depan pintu dengan memasang wajah yang memelas tidak memungkinkan keinginannya tetap kali ini dapat terpenuhi. Majnun menggelengkan kepala, meremas surat lalu mendorong Tumang agar segera berangkat ke sekolah.

“Memangnya kamu bisa jauh dari ayah dan ibu? Ayo cepat nanti keburu terlambat__”

Majnun terhentak melihat Dartok, dia tersenyum sembari mengulurkan tangan hendak mencium punggung tangannya. Kesempatan di ambil Tumang dengan mengguncang pelan lengan ibunya. Bagaimana ini? Di benak Majnun hanyalah menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dia meminta Dartok menunggu lalu menarik Tumang ke sisi anak tangga.

“Nak, ayah dan ibu sudah mendaftarkan kamu di sekolah favorit. Semua biaya sudah di bayar sampai satu tahun, hari ini hari pertama kamu dan tiba-tiba mau pindah sekolah?”

“Bu, tapi kan Tumang belum jalani sekolah di sana. Lagian Tumang sama si dartok, huuhh! Tumang kan pengen jadi akhi-akhi berpeci.”

“Kalau Cuma jadi kakek-kakek pake peci ya biar ibu belikan!”

“Sssttt! Bu, pela-pelan. Maksudnya Tumang, itu anu bu pengen jadi pak ustadz. Heheh!”

Berdebat Panjang tidak menyelesaikan apapun, masalah semakin besar sebesar keinginan Tumang yang tidak memperdulikan semua nasehat ibunya. Menghela nafas Panjang dalam keterpaksaan menyetujuinya. Dalam waktu singkat, persiapan tiba-tiba di layangkan. Tumang sudah terbiasa hidup berkecukupan, dia tidak memikirkan beban hidup bahkan gambaran kesederhanaan atau hal-hal pahit kehidupan pun tidak terlintas di benaknya.

Manjun yang masih terlalu berat melepaskan anaknya mengutus salah satu pekerja di rumahnya untuk mengikuti.

Suasana halte bus yang ramai, keadaan pasar yang berdesakan dengan para penjual dan pembeli kali di ini di tambah ramai jeritan sorak riang gembira pelepasan kepergian para calon santriwan dan santriwati.

Di pikiran angan-angan Tumang adalah penggambaran suasana yang ada di film-film atau sinetron yang bertema nuansa cinta di dalam pesantren. Tidur yang nyenyak, bangun sesuka hati dan menggunakan fasilitas seperti yang di inginkan.

Di luar dari semua prediksi yang berlebihan, setelah perjalanan dua jam mereka turun dari bus berlanjut menyambung ke sebuah kapal kecil menuju ke sebuah pulau terpencil. Sepanjang perjalanan Tumang memikirkan ucapan ibunya. Tidak biasanya Majnun menangis melepasnya, ibunya juga berpesan agar dia segera Kembali pulang jika tidak kuat menjalani kehidupan jauh darinya.

Semangat dalam tekad yang di tanam Tumang kali ini di isyaratkan dalam selipan foto Wanita yang memakai kerudung warna merah jambu. Dia mengingat lagi bagaimana Wanita itu membalas senyumannya dari kejauhan. Surtinik yang tinggal di dekat rumahnya dan kini menghilang dari pandangan setelah perpindahan tahun semalam.

Bulan ini bukan waktunya musim dingin menghembus kuat menusuk tulang dan mengubah aliran darah yang terasa tidak lagi hangat. Tepat pada penyebrangan kapal menuju dermaga, sejauh mata memandang Tumang tidak lagi menemukan kata nyaman.

“Ughh! Duh! Haduh tulang ku sakit semua” keluhnya sambil bertolak pinggang.

Berbeda dari Dartok yang tertawa sendiri mendongakkan kepala ke atas langit. Dia yang bercita-cita ingin belajar hidup mandiri seolah terkabul dengan pemandangan langka yang dia idamkan. Tidak dengan gambaran pesantren Impian, menuju ke wilayah itu mereka juga harus melewati beberapa padang rumput yang luas, Perkebunan dan tanah yang tandus.

Hembusan angin lebih kencang dan seperti sedang berbisik di daun telinga.

Rombongan para santriwan dan santriwati tiba di depan sebuah bangunan tua. Pemisah bagian bangunan letak pondok-pondok yang berjejer di belakang dengan ciri khas bambu dan berbagai peralatan klasik.

“Yah! Ternyata jarak anak laki-laki dan anak Perempuan sangat jauh! Gimana aku bisa tebar pesona!” batin Tumang mengusap bagian belakang kepalanya.

......................

Seorang pria yang memakai sorban hitam memberii petunjuk mengomando para santriwan baru. Mereka juga tidak bisa membawa semua barang-barang yang di bawa untuk di gunakan di dalamnya. Pria berjanggut yang di belakang pintu memilah benda lalu memberikan nama-nama setiap penghuni kamar untuk di tempati.

“Kita terpisah Tum, semoga kamu sukses!” tepuk Dartok meninggalkannya.

Di dalam kamar yang di beri penerangan sebuah lampu pijar. Hal yang membuat dia tidak tenang adalah melepaskan kebiasaannya bermain hand phone. Dunianya seakan terbalik seratus delapan puluh derajat dengan berbagai kebiasaan bergelimang harta.

Memulai dengan kata bersahaja, membiasakan diri dan mencoba tetap tenang. Tetap saja batin Tumang semakin berkecamuk.

Di pandangan Tumang, bagian dinding bambu menggambarkan usia yang telah melapuk. Cahaya dalam lampu yang remang-remang menyoroti anyaman yang tampak usang. Udara lembap beraroma tradisional menyelimuti ruangan dalam aura berselubung misteri.

Suara desiran angin dan riuh rendah sayup-sayup menyulut kesan yang menggetarkan di dalam kamar bambu. Dalam kegelapan yang hanya di terangi oleh Cahaya yang redup dalam lampu minyak. Bayangan-bayangan aneh terlihat bergentayangan di sudut kamar. Suasana hening terputus sesekali terisak oleh suara gemeretak bambu yang terbawa angin malam.

Setiap suara Langkah yang melintas menciptakan ketegangan dan udara yang terasa padat dengan kehadiran makhluk tidak kasat mata. Bulu kuduk semakin merinding seolah ada sesuatu yang hadir di belakangnya.

Duerrr!

Pria yang menepuk Pundak mengagetkannya. Tumang baru menyadari ada anak laki-laki seumurannya yang memperhatikannya dari atas Kasur. Di dalam kamar ada dua Kasur bertingkat sehingga dia mengitung empat orang yang akan menjadi teman sekamarnya.

“Huuhh! Mengagetkan ku saja! Hampir aja mulut ku ini terucap nama-nama yang ada di dalam kebun Binatang!”

“Heh! Jangan sampai antum ucapkan itu atau antum kena hukum ustad Poni.”

“Apa? Poni?” tanya Tumang kebingungan.

“Ya kami menyebutnya begitu karena terlihat poni saat pecinya terlepas tadi pagi"

“Sudah-sudah kalian ngomong jangan ngawur gitu. Semuanya berdiri sebentar lagi ustadz Kliwon datang”

Sebelum semua benar-benar berdiri di depan pintu, mereka saling memperkenalkan diri dengan ciri khas masing-masing. Pria gemuk Bernama Boy, pria yang menyebutnya antum Bernama janggut dan satu lagi di pria bertubuh tegap dengan pandangan tatapan mata tajam Bernama Wali.

Ustadz Kliwon adalah menantu dari kiyai Sunan yang kabarnya mengambil alih urusan pesantren. Kabar Kiyai yang menghilang di samping itu terlihat gelagatnya yang sedikit mencurigakan. Dia berdiri di antara Lorong-lorong Panjang penghubung kamar-kamar para santri.

Tumang menunduk lalu melirik menahan rasa keringat dingin mengguyur tubuhnya.

“Saya harap kalian tetap menjaga kebersihan kamar, jangan lupa sebentar lagi kita akan melaksanakan hafalan surah di surau. Setiap bilik yang tidak dapat melunasi setoran hafalan maka akan di pindahkan ke bilik perasingan. Guna mempertajam ilmu dan mendapat kesungguhan.”

Ucapan pria itu di tolak tegas oleh Maryam, istrinya yang memperhatikan semua tingkah laku suaminya yang berubah dan semakin aneh. Balasan yang di dapat adalah cengkraman tangan sekuat-kuatnya. Maryam menahan jeritan karena tidak mau ada yang mendengar.

“Kamu nggak usah ikut campur, tinggalkan ruangan saya”

“Tapi Bi, ini masih ruangan milik Abah. Saya sebagai anaknya juga tidak perlu menutup rapat tentang apa yang terjadi tentang ayah saya.”

“Cepat pulang atau kamu akan menyesal..”

Urat mata Kliwon merah menyala, ruangan terasa sangat lembab tak kala dia tersenyum menyeringai. Tangisan Maryam yang tidak bisa lagi di bendung telah tumpah ruah.

“Apa yang terjadi pada suami ku?” gumamnya di dalam tangisan.

Raga

Hanya saja embun pagi yang menetes di terpa angin menyirat kata tabu dalam angan menggapai dedaunan hijau yang baru saja tumbuh.

Orang-orang yang masih menyesuaikan diri seringkali merasakan dalam satu putaran seperti sedang melewati waktu berhari-hari. Seorang santri yang terbangun menatap sekitar, kamar asrama yang sepi dalam jarum jam yang menunjukkan angka pukul empat pagi.

Glek__

“Mati aku, pastilah aku nanti kena marah ustadz Kliwon” batin Joko lalu menepuk jidat.

Bagian arena celananya basah, dia mengompol karena sangking takutnya mengalami mimpi yang mengerikan. Dia bergegas mengambil ember peralatan mandi, menggantungkan handuk di Pundak berlanjut berlari ke kamar mandi. Melupakan lampu teplok kecil, sehingga suasana di dalam kamar mandi yang gelap menghalangi Pandangannya. Joko berlari lari mengambil teplok, tepat memasuki kamar mandi terdengar suara aneh di dalamnya.

Suara keras yang mirip dengan plastic di usap di lantai menambah ketakutannya. Joko bergidik dengan tubuh bergetar menahan takut. Dia menggantungkan teplok dekat paku kecil yang berada di sudut kamar mandi, bawa yang sangat dingin seolah ada makhluk yang berdiri di depannya.

“Duh! Jangan ganggu ya! Aku mau membersihkan diri dulu. Hiii!” ucapkan bernada kecil.

Semakin menahan takut, dia di kejutkan dalam lengkingan suara Wanita yang tidak henti. Joko menekan kedua telinganya. Tubuhnya yang masih bersabun di tendang hawa beku, dari atas terlihat sosok Wanita yang memakai pakaian lusuh berlendir menyeringai menindih tubuhnya.

“Arghh! Tolong!”

Ketika Joko kesurupan, suasananya kacau balau. Teriakan histeris dan ketakutan dalam kecemasan. Dartok yang terlebih dahulu menemukannya segera berlari meminta pertolongan. Namun tanpa dia duga, Santriwan itu malah di bawa beberapa pria berbaju hitam menuju ke wilayah asrama belakang. Dia yang mau mengejar di tahan teman-temannya. Tidak ada hal lebih atau pertolongan yang bisa dia lakukan.

“Anak-anak, kalian semuanya Kembali ke asrama” perintah Kliwon.

“Mohon maaf sebelumnya ustadz, sebentar lagi sudah waktunya subuh. Apa tidak sebaiknya anak-anak di suruh ke surau saja?”

“Terserah ustadz Isra saja, saya permisi dulu”

Mengerikan sekali, pria itu bahkan tidak memberitahu mau di bawa kemana santri yang kesurupan tadi. Isra yang membalas dengan senyuman segera berbalik berjalan di ikuti santri lainnya. Bisikan Tumang dengan Bahasa tubuh yang mengisyaratkan keinginan tauannya membalikkan Langkah. Boy menarik kerah bajunya.

“Mau cari perkara baru? Kamu memangnya mau jadi preman disini?”

“Eitz kok malah berantem sih? Antum kalau mau menambahkan dosa sebaiknya tidak perlu repot-repot belajar disini.”

“Diem lu brewok!”

“Stopp!” Wali melerai, meminta mereka segera menuju ke surau.

......................

Boy mengasingkan diri, dia duduk di salah satu pohon di belakang asrama. Di dekatnya dan gerbang kawat berduri yang memisahkan dua asrama putra dan putri. Pandangan melotot melihat seorang santriwati tertawa terbahak-bahak berdiri di bawahnya.

Gerakan tubuhnya yang aneh, Perempuan yang memakai mukenah melihatnya seakan mau memangsa.

“Haii Boy! Tidakkah kamu tergolong manusia yang munafik? Kau pernah bersekutu dengan setan, tapi kau malah memilih ajaran Nya. Hahahah!”

“Kurang ajar! lu pikir karena lu Wanita maka aku nggak sanggup memukul lu? Hiya!”

Boy terjun dari atas pohon menindihnya. Pukulan kuat di sertai suara retakan tulang, wajah Wanita itu babak belur akan tetapi dia masih saja tertawa lepas. Boy kalap mata, dia tidak puas menghajar lalu mengambil pisau lipat yang ada di dalam sakunya.

Mengayunkan tangan menusuk perut santriwati yang berubah menjadi santriwan Jenggot. Dia sangat terkejut, segera menarik pisau berlari menerobos kawat berduri.

Bola mata tertusuk kawat, begitupun wajahnya yang hancur dan tubuhnya penuh kawat melilitnya. Kematian Boy yang tragis menjadi awal kisah mengerikan mematikan lainnya. Mayatnya di kebumikan secepatnya. Di samping guyuran hujan yang tiba-tiba melanda seakan pada malam itu badai menerpa.

“Tidak mungkin pula ada Tsunami, kalau aku meninggal malam ini kemungkinan besar aku akan tersemat sebagai anak yang durhaka!” Tumang menggelengkan kepala.

Hari ini semakin aneh, Tumang mengikuti pria yang membaca cangkul hingga menghiraukan tubuhnya yang basah kuyup. Berjalan sampai pada perumahan warga, alangkah terkejutnya dia mendapati Kliwon yang menggunakan pakaian serba hitam berjalan memasuki salah satu rumah warga di ikuti beberapa pria yang berbaju hitam di belakangnya.

Dari belakang Wali menariknya, Tumang di giring untuk bersembunyi. Air hujan dan angin kencang menyulitkan pandangan. Wali yang tidak mau mengambil resiko mempercepat Langkah melanjutkan tarikannya membawa Tumang Kembali ke asrama.

“Tunggu Wa, ada yang aneh disana”

“Terus kamu mau membuktikannya sendiri? Kamu nggak lihat ada banyak pria bertubuh besar membawa parang di setiap ikat pinggangnya?”

Nafas mereka masih tersengal-sengal. Baju basah dan kotor, bercak lumpur kaki yang membasahi lantai. Udin bertolak pinggang Ketika berhenti di depan kamar saung tiga. Boy memberi kode agar tidak satupun penghuni kamar yang mengeluarkan wajahnya dari dalam selimut. Ketika Udin menyentuh gagang pintu dan mendorongnya, dia menyinari setiap Kasur dengan Cahaya senter.

Setelah itu dia menutup pintu sangat keras. Bantingan yang mengejutkan menambah kesan menakut-nakuti.

Di pagi hari kegiatan proses belajar mengajar terlihat tidak ada pergerakan yang mencurigakan. Para santri yang melihat kejadian itu mengaitkan kehadiran sosok lain atau ajaran yang menyimpang.

Tumang menoleh ke arah santri yang berada di sampingnya yang tampak bertingkah aneh. Dia seperti kesurupan, menggurat suara menggesek pensil di atas permukaan meja. Tangan bergerak sangat cepat, dia bahkan mengabaikan panggilan ustadz Suryo.

Suasana kelas yang sangat rebut, sambung menyambung kesurupan lainnya terjadi. Terlebih lagi kematian Boy yang tidak wajar seolah di tutupi . Tidak mengerti, tempat menimba ilmu akhirat semakin di ganggu oleh iblis, jin kafir dan setan yang terkutuk. Tumang membaca ayat kursi di dalam hati. Dia membantu santri yang kesurupan akan tetapi tenaganya seolah tidak ada apa-apanya untuk menahan sampai salah satu santri yang kesurupan itu membantingnya ke lantai.

Brugghh__

“Aduh! Sakitnya!”

“Aghh! Sakit! Lepas!” teriak santri yang tangannya di gigit sampai mengucurkan darah menetes ke lantai.

Seperti api yang seketika padam di siram air. Kedatangan Kliwon yang meletakkan tangannya di atas setiap kepala santri yang kesurupan dalam sekejap menenangkan mereka. Tersadar, melihat sekitar, pandangan yang kosong dan wajah yang pucat para santri di beri air putih lalu di bawa ke asrama.

Kegiatan hari ini di tutup dalam ceramah singkat ustadz Isra, para santri tidak henti di ingatkan agar jangan suka melamun dan takut menghadapi gangguan iblis, jin dan setan yang mencoba menggoyahkan hati manusia.

Namanya pondok, terlebih lagi asrama yang tidak terlepas dari segala aturan yang berlaku. Batas santriwan dan santriwati yang di beri hukuman jika ada yang melanggar tidak menggoyahkan para santriwan yang penasaran melihat santriwati yang berwajah ayu membuat mereka penasaran.

Terlintas di benak Tumang

Kata Sebagian orang melihat para santri itu adalah sebuah rangkuman dari kata keren versi tanda iman di hati. Belajar ilmu akhirat di pondok pesantren yang termasuk dalam golongan panutan di dalam kehidupan sosial maupun Masyarakat.

Punya suami santri itu ibarat memiliki sebuah bangunan bagus nan kokoh yang siap di jadikan tempat berteduh saat musim panas maupun hujan.

Ingatan Maryam melalang buana mengingat kejadian yang telah lewat. Hidupnya yang telah di ubah Bagai menyelami mimpi buruk setelah di persunting Kliwon. Dahulu sebelum mendapatkan Maryam, dia berbudi pekerti baik dan berakhlak mulia. Tidak setelah di pagi hari yang mendung setelah melewati malam pertama di hari Bahagia mereka. Perangainya seratus persen berubah, dia kasar, tidak pernah pula Maryam mendengar lagi suara lantunan ayat-ayat suci Al’Quran atau pula membentangkan sajadah Ketika panggilan Allah agar menegakkan sholat.

Di samping itu pula keberadaan ayahnya yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Hidup Maryam semakin berat.

🪽

Beberapa tahun yang lalu.

“Siapa santriwan bermata coklat melirik mu sedari tadi Maryam?” Erde berbisik sembari memperhatikan keduanya.

“Jangan hiraukan mereka, kita segerakan pergi ke Pondok. Ustadzah telah menunggu”

“Ehem, jutek amat sih? Memangnya kamu nggak bakal berkembangbiak? Upss!”

“Erde mulut mu jeberan nambah bisah ular kadut mematikan! Jangan ganggu si Maryam gitu dong!” ucap Jasimah bernada sedikit membentak.

Hampir saja kegaduhan terjadi, Maryam menengahi kedua dengan menarik tangan mereka mempercepat Langkah sampai memasuki pintu. Pondok bambu yang tetap berciri khas kesederhanaan tidak pernah terlepas dari sayup-sayup suara orang mengaji.

Ada saja para Santri yang membacakan ayat suci Al’Quran sebagai hafalan. Maryam, anak pemilik Yayasan Pondok Pesantren yang menjadi incaran semua kau adam. Dari semua santriwan, Kliwon yang tidak pernah gencar nan goyah berjuang keras sebisa upaya mendapatkannya.

Kepada Maryam

Hati ku yang terisi segala macam buai-buai terlarut di pelupuk mata memikirkan sosok diri mu yang berparas bak putri Zulaika. Cinta.. yaitu Ketika kamu yakin bahwa diri mu telah melupakannya, namun kamu masih menemukan dirimu perduli padanya. Walaupun jarak jauh menghadang membelah bumi tidak pula menambah rasa cinta mu, berarti engkau belum mencintainya. Aku akan tetap menunggu Maryam..

Petikan kalimat-kalimat Syahdu itu, tertulis di pucuk Lembah kertas coklat yang di bakut dengan tasbih kecil berwarna hitam.

Maryam menerima surat dan benda yang tidak di sangka membuat detak jantungnya berdetak kencang.

“Astagfirullah, Maafkan hamba Ya Allah ampunilah hamba yang telah merasakan getaran yang tidak sepatutnya hamba mempunyai perasaan seperti ini.

Di ujung waktu ini, masih terasa mimpi dia menjadi istri Kliwon. Selepas kelulusan, pria itu langsung meminangnya. Banyak Pemuda yang patah hati, tidak terhitung desak menanyakan perbuatan yang syirik yang mendapatkan Maryam dengan cara halus.

“Hei Kliwon, aku pasti datang merebut Maryam. Kau merampas perjodohan Kyai dengan abah, semua warga tau siapa yang seharusnya menjadi suaminya!” kata Cakra berpaling menghentakkan kaki.

“Siapa santriwati yang lewat di tadi? Sepertinya tidak terlalu asing” gumam Tumang melingak-linguk mendekati garis pembatas.

“Aku harus melihat lebih jelas semua gangguan di pesantren ini. Siapa bilang kalau anak Perempuan itu lemah, katanya kalau Perempuan itu terbuat dari bagian tulang rusuk laki-laki yang bengkok. Aku adalah Wanita yang kuat! Akan aku hajar jika ada yang terlihat bau-bau mencurigakan!”

Butet menggulung lengan bajunya, dia memakai kerudung merah berdiri di dekat pembatas wilayah asrama. Tumang yang tersenyum mengamatinya sampai mendekati pembatas hendak memanggil.

“Assalamu’alaikum!”ucap Tumang ke arahnya.

Tidak ada balasan atau tolehan membuat semakin penasaran Tumang mendekati. Butet melemparkan sendal jepit. Tumang mengernyitkan dahi, tersenyum kecut menyodorkan sendal itu kepadanya. Seumur hidupnya baru kali ini kepalanya terkena lemparan sendal, namun hal itu tidak menyulitkan dirinya agar lebih mengenal santriwati berkerudung merah.

“Saya tidak marah kok, nih sendal kamu”

“Pergi! Jangan ganggu aku!”

“Eitz mbak galak amat. Padahal saya mau menawarkan pertemanan. Eheheh, kenalin nama saya Tumang"

“Pergi! Atau aku lempar lagi!”

......................

Rencana sebagai intel terhalang, Butet mengepalkan tangan lalu berlari mendengar panggilan teman-temannya. Dia tidak pernah membayangkan bisa bersekolah di pesantren. Mimpi-mimpi yang sebelum memasuki pondok menggambarkan gangguan berbagai makhluk berwujud mengerikan dan sikap aneh para santriwan membuat dia semakin tidak nyaman.

Hampir secara keseluruhan wajah santriwati pucat fasih. Hanya santri baru yang tidak demikian di samping Gerakan kaku mereka dan terkadang tampak jelas pupil mata memutih. Seketika suasana pekik mengerang. Bisikan Yeti membuyarkan, “Tet kamu di panggil ustadzah Delim ke ruangannya”

“Memangnya ada masalah apa?”

“Nggak tau__”

Ketika berjalan mendekati kantor guru, Butet merasakan bulu kuduknya begitu merinding. Di bagian pohon besar tepat di dekat kantor itu terlihat seperti ada sosok halus yang mengamatinya. Dia segara mengetuk pintu, dia dipersilahkannya duduk dengan tatapan melengos menggelengkan kepala.

“Sudah berapa kali saya sampaikan ke kamu? Kamu jangan cari masalah!”

“Maaf ustadzah, tapi benda ini untuk melindungi saya kalau terjadi bahaya”

“Astagfirullah bahaya apa? Disini kamu aman! Kenapa kamu selalu mencari masalah? Ibu kamu menitipkan kamu sama saya supaya berharap anaknya bisa berubah menjadi lebih baik lagi.”

......................

Semua nasehat Kalsum masih terngiang di telinga, Butet berjalan menunduk menuju ke asrama. Di dalam pikirannya, membawa pisau lipat di dalam saku bukanlah suatu hal kejahatan. Dia mengingat-ingat dari mana ustadzah Kalsum menemukan pisau miliknya. Tepat di dalam kamar mandi sewaktu pagi tadi dia meminta Rati membawakan ember kecil berisi peralatan mandi miliknya sebelum di berada di wilayah dekat pembatas asrama.

“Pastilah pisauku yang tertinggal masih ada di dalam ember itu. Tega sekali si Rati pada ku!” gumamnya meneruskan Langkah tanpa terasa telah menabrak tubuh Kliwon.

“Duh mati aku!” batin Butet melihat siapa yang berdiri di hadapannya.

“Maaf ustadz saya tidak sengaja”

“Ada apa Butet? Kenapa kamu tidak focus berjalan? Lain kali hati-hati”

“Hehe hiya ustadz maafkan saya..”

Butet juga menoleh ke arah wanita yang berdiri di samping ustadz Kliwon. Wanita itu tersenyum, dia berjalan meninggalkannya Bersama ustadz Kliwon yang berpakaian khas menggunakan sorban hitam. Butet mempercepat Langkah mencari Rati, dia tidak menemukannya di dalam kamar. Bertanya ke beberapa teman sampai berhenti melihat Rati yang berdiri di bawah pohon besar dekat kantor.

“Rat! Aku mau ngomong sama kamu!”

Ucapan Butet yang di acuhkan. Rati menunjuk ke kantor Kliwon, saat Butet menoleh lagi Rati menghilang dari pandangan.

“Tet! Hussshh! Tet! Sini!” panggil Beti.

Setelah melakukan tadarusan Bersama, Butet benar-benar kehilangan kendali melihat Rati seolah tidak melakukan kesalahan tersenyum melihatnya. Aura yang semakin angker, dia menggenggam tangan Butet sangat kuat. “Sakit Bet! Apa kau gila?"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!