Sebelumnya author pengen ucapin terimakasih bagi semuanya yang masih dukung author sampai saat ini. Nah, di novel baru ini author bisa bikin karya yang lebih baik dari karya-karya sebelumnya setelah satu tahun lebih author hiatus.
Maka dari itu, author mohon dukungan dan support semuanya. Semoga author juga bisa lanjutin cerita-cerita sebelumnya yang masih gantung.
So, happy reading guys🥰
__________
Drettt...Dretttt!
"Ya, Halo,"
"Halo, Arana....."
Tut...Tut!
Ara segera melatakkan kembali ponselnya usai mendapat telepon tersebut. Kertas kertas yang ia pegang segera dirapikan nya dan menyimpannya ditempat yang aman.
Mendengar berita kakak sepupunya akan segera menikah dua hari lagi ia langsung berkemas untuk pulang ke rumah sang paman. Pamannya cukup baik, dan ia cukup dekat dengan keluarga kakak ayahnya itu.
Setelah semua selesai, dirinya langsung bergegas berangkat. Ia mengunci pintu dan meninggalkan kunci itu, memang kebiasaan Arana mengingat dirinya yang pelupa.
Disisi lain, dikediaman paman Arana. Nampak sang paman baru saja menyelesaikan ijab qobul yang disaksikan beberapa orang. Wajahnya nampak sumringah bahagia begitupun istri dan anak-anaknya.
"Dia sudah menjadi istriku, jangan sampai kau lupa janji mu," Seorang pria bertubuh kekar dengan tatapan nyalang menatap sang paman.
"Tentu, Tuan. Tuan bisa datang kembali dua hari lagi," dengan tubuh yang bergetar dan menunduk paman membalas ucapan pria tersebut.
Buk'
"Tulis," dirinya melemparkan secarik kertas dan pulpen, dimana itu adalah cek yang bisa ditulis dengan angka berapa saja.
Melihat itu, tanpa ragu-ragu sang paman langsung menuliskan angka sebesar-besarnya. Setelah selesai ia kembali menyerahkan kertas itu. Pria angkuh didepannya tersenyum miring, dan langsung bangun dari duduknya.
"Kau akan mendapatkannga, jika kau sudah memberikan wanita itu padaku," langsung berlalu pergi diikuti para pengawalnya tanpa menunggu jawaban paman.
Sore yang cerah itu segera berganti dengan malam. Karena perjalanan yang cukup jauh, kini Arana baru tiba di terminal terakhir. Setelah terminal ini dirinya tinggal menaiki satu bus lagi dan akan sampai dirumah sang paman, walaupun masih tiga jam perjalanan.
Ditengah-tengah dirinya yang sedang mencari dompet tiba-tiba ia menabrak seseorang. Alhasil dirinya jatuh, ia langsung bangun dan meminta maaf karena tidak memperhatikan jalan.
"Gunakan mata anda, Nona," pria yang ia tabrak berlalu begitu saja.
"Cih, sombong sekali. Hanya karena menggunakan kacamata hitam dan jas apa itu membuat mu seperti orang kaya! Aku juga bisa membeli itu, lagipula jalan menggunakan kaki, bukan mata!" ia menggerutu dan sedikit mengeraskan suaranya walaupun pria disana entah mendengar atau tidak.
"Yakk! Astaga," ia terlonjak kaget saat wajah seorang pria berada didepan nya.
Melihat Arana yang terkejut, ia justru terkekeh melihatnya.
"Maaf, Nona. Yang tadi adalah bos saya, mohon maaf atas ketidak sopanannya" ia menunduk sopan pada Arana.
"Ah, sudahlah. Manusia tidak akan merasa bersalah jika punya bawahan yang bisa mewakili permohonan maaf nya," Arana tak peduli dan langsung meninggalkan pria aneh itu.
Ia merogoh sakunya dan membeli sebotol minuman bersoda sebelum menaiki bus dan beberapa camilan untuk menemani perjalanannya. Baru ia duduk di kursi penumpang, dirinya kembali dikejutkan dengan pria tadi.
"Biaya bus sudah saya bayarkan, Nona. Jadi anda tidak perlu membayar lagi sampai tujuan. Dan mohon maafkan ketidak sopanan bos saya," pria itu menunduk dan langsung turun meninggalkan Arana.
Arana terbelalak, ia baru pertama kalinya melihat bawahan seperti itu. Sadar dari keterkejutan nya ia langsung turun dari bus untuk mengejar pria itu.
"Heyyyyy!" ia meneriaki pria itu yang justru berlari menjauh sambil melambaikan tangan.
"Aih, apa pekerjaan nya mewakili maaf bos nya. Ada-ada saja,"
Bus pun melaju, membelah jalanan ditengah sunyinya malam. Jalanan yang sepi dengan bertabur bintang menemani perjalanan Arana malam ini. Ia menatap keluar jendela dengan sesekali menghela napas berat.
Entah mengapa, perasaan nya begitu gundah untuk pulang kerumah pamannya kali ini. Firasatnya mengatakan ini bukan hal baik, apakah ia harus kembali ke rumah nya.
Perjalanan tiga jam berlalu begitu saja. Ia turun dari bus tanpa harus membayar biayanya perjalanannya. Kini hanya perlu berjalan tiga puluh menit menuju rumah pamannya.
Suasana malam dengan lampu remang-remang membuatnya teringat akan kepulangannya dulu. Sebelumnya, ia pulang ke daerah ini bersama ayahnya untuk menemui sang kakek.
Namun kini, Kakek dan ayahnya telah pergi menyusul neneknya untuk selamanya. Ia usap air mata yang tak terasa menetes dari pelupuk matanya.
"Arana!" suara seseorang dari belakang mengejutkan Arana.
"kak Amara," ia terkejut melihat Amara kakak sepupunya yang akan menikah dua hari lagi itu masih berjalan-jalan dimalam hari dengan sepeda motor.
"akhirnya datang juga, ayo pulang," Arana langsung duduk dibelakang Amara tanpa banyak bertanya.
Sesampainya di area rumah sang paman yang sederhana Arana dibuat sedikit heran. Mengapa tak ada persiapan apapun untuk pernikahan padahal pernikahan itu akan berlangsung dalam waktu dekat.
Entah lah tak terlalu ia pikirkan sekarang, akan ia tanyakan esok hari. Setelah bersalaman dengan paman dan bibinya ia dipersilahkan untuk beristirahat, karena tubuh yang lelah Arana memilih istirahat terlebih dahulu.
Dua hari berlalu, pagi-pagi Arana dikejutkan dengan pernyataan tak terduga dari sang paman.
"Arana, sejak ayah mu pergi. Dia menitipkan mu pada paman, walaupun satu tahun ini kau tidak paman biayai tapi sebelumnya kamu paman sekolah kan, bukan?" Sang Paman nampak berhati-hati saat berbicara.
"Iya, aku juga sangat berterimakasih pada paman. Ada apa, apa ada masalah?" balik, Arana bertanya dengan kening berkerut.
"Kamu sudah Paman berikan pada seorang bos besar. Anggap saja sebagai balas budi mu pada Paman," dengan jelas Paman ucapkan pada Arana.
"Balas budi?" Arana masih mencerna semua perkataan Paman nya.
"Iya, selama beberapa tahun ini kamu paman biayai bukan?" kembali dengan entengnya sang Paman berbicara.
"Aku tidak Sudi!" bentak Arana sambil bangun dari duduknya.
"Arana!"
"Arana!" Sang Paman ikut bangun dari duduknya dan membentak Aran.
Tanpa rasa takut Aran melayangkan tatapan tajam pada sang Paman yang sudah ia anggap pengganti ayahnya itu.
"Paman bilang balas budi? Apa aku tidak salah mendengar? Memang paman yang membiayai ku sekolah untuk menamatkan SMU. Tapi, asal paman ingat, itu semua uang ayahku yang ia titipkan pada paman!" Dengan napas yang memburu ia berbicara hal yang sebenarnya.
"Asal paman ingat, semua pendidikan Kak Amara, ayahku yang membayar nya. Gaya hidup kalian, semuanya bersumber dari peninggalan ayahku yang aku relakan untuk paman, dan? Ini? Ini balasan paman!!" Aran lanjutkan semua perkataannya tanpa menghiraukan perasaan pamannya lagi.
"Lancang!! Arana!!!" Tangan Paman terangkat dan bersiap melayangkan pukulan untuk Aran.
Aran menutup matanya, bersiap untuk menerima pukulan dari Paman nya itu. Akan tetapi, pukulan itu tak kunjung mengenai tubuhnya. Perlahan-lahan ia membuka mata, dan mendapati seorang pria dengan mata elang menatap nyalang pada sang Paman dan menahan pukulan itu.
"Anda berani menyentuh milik saya?" Suara bariton itu terasa menusuk ke telinga Paman maupun Aran.
"Tu-tuan, maaf bukan begitu," Paman berbicara dengan terbata-bata.
Aran membuang pandangannya, ia melihat bibi dan kakaknya itu menunduk takut pada pria yang baru tiba itu.
"Cih, ingat dia sudah menjadi milik ku. Ini pertemuan terakhir kalian, ada yang ingin disampaikan?" pria itu berbicara tenang namun menekankan tiap katanya.
Pria itu melirik Aran, sedangkan Aran menatap Paman, bibi dan kakaknya dengan tatapan benci dan membunuh.
"Aku harap mereka hidup bahagia setelah menjual ku," perkataan Aran terdengar begitu dingin dan menusuk. Tapi, bagi keluarga pamannya itu sebanding dengan uang yang mereka dapatkan.
Pria itu tersenyum miring mendengar perkataan Aran. Dengan isyarat matanya, semua pengawal yang ia bawa keluar. Disusul oleh dirinya dan Aran.
Aran berbalik dan mengambil tas kecilnya yang ada dimeja, tak berniat untuk menoleh sedikitpun pada keluarganya.
Pamannya sudah menjual nya, maka dengan ini ia pun memutuskan hubungan antara ia dan mereka semua. Aran pergi tanpa mengemasi barang miliknya, ia hanya membawa beberapa lembar uang yang ada di dompetnya serta beberapa kartu identitas dan sebuah ponsel.
Bagaikan angin yang berhembus, semua itu terjadi begitu saja. Di mobil, Aran terdiam tanpa berbicara sepatah kata pun. Dirinya larut dalam keterkejutan yang masih tak ia bayangkan sebelumnya, ingin rasanya berteriak dan menangis sekeras-kerasnya namun siapa yang mau mendengar tangisnya.
Perjalanan yang begitu panjang dan lama Aran rasakan hingga tak terasa dirinya mulai memejamkan mata seder melepas semua beban nya untuk sejenak saja.
"Arana Kasturi," pria yang kini menjadi suami Aran itu bergumam.
"Saya hanya mengingatkan, Tuan. Jangan terlena dengan parasnya," asistennya yang mengemudi tiba-tiba berbicara.
"Heh, kau sudah mengenal ku lama, David. Aku Arthur Sanjaya Maheswara, bukan sembarang orang," Dengan sombong ia menyahuti ucapan David asistennya.
"Anda pria normal, saya tidak yakin itu," tersenyum skeptis sambil melirik Arthur dari pantulan kaca.
"Yaa, aku memang normal. Tapi, gadis ini tak kan cukup membuatku puas. Kau tahu alasan ku memilih nya? Jika aku melihat fisiknya mungkin aku akan memilih anak pak tua itu," Arthur berbicara sambil meraih Surai hitam Aran dan mengelusnya.
"Mungkin jika anda memilih Putri kandung nya, anda akan dalam masalah," dengan tenang David menjawab ucapan Arthur.
"Dia gadis malang. Seharusnya dia berterima kasih pada ku karena mengeluarkan nya dari lingkaran api," masih sambil mengelus rambut Aran.
Siang hari yang terik itu tak menjadikan halangan bagi mereka untuk melakukan perjalanan. Tak berniat menepi, ataupun istirahat sebentar.
"Saya tidak bisa menebak apa rencana anda sekarang, Tuan. Saya hanya bisa mengingatkan anda agar jangan tergoda oleh Nona Aran," kembali David mengucapkan kata terakhirnya di percakapan itu.
"Kau orang yang akan melihat pembuktian ku, bahwa aku takkan terpikat oleh nya," tersenyum miring dan beralih menatap keluar jendela.
Akhirnya setelah perjalanan panjang itu mereka sampai juga dikediaman Maheswara. Aran terpukau lagi tertegun melihat betapa mewahnya kediaman Maheswara itu.
Di depannya kini banyak pelayan yang berjejer sambil menunduk menyambut kedatangan keduanya. Aran melihat semua pelayan itu, melihat pakaian mereka saja begitu rapi. Aran merasa harga pakaian nya tak sebanding dengan yang mereka pakai.
Arthur langsung berjalan begitu saja tanpa mengajak Aran untuk berjalan bersamanya, tanpa perintah ia langsung berjalan dibelakang Arthur. Ketika kakinya melangkah kedalam kediaman tersebut ia semakin terpukau dengan kemewahan itu, tapi ia tetap berusaha menstabilkan perasaan nya.
Keduanya berjalan menaiki tangga dan masuk kamar masih dengan saling mendiamkan diri. Pintu tertutup tanpa suara, dengan keheningan yang masih menemani.
Arthur membuka jas yang dipakai nya dan langsung melemparkan nya pada Aran yang masih berdiri mematung di belakang pintu. Ia menggulung lengan kemeja nya hingga sebatas sikut, melonggarkan dasi dan membuka satu kancing kemeja.
Berjalan mendekat ke arah Aran tanpa mengalihkan pandangan, sedangkan Aran hanya bisa menatap kesamping agar tidak bertatapan dengan pria di depannya.
"Tatap aku," menyimpan tangan kiri di atas kepala Aran dengan tangan kanan yang memegang dagu gadis itu.
Aran menoleh, dengan polosnya ia menatap wajah Arthur yang ada di atasnya. Arthur terdiam, melihat wajah polos Aran.
"Cepat ganti baju, kita akan menemui Nenek," ia langsung mengalihkan pandangan nya dan langsung pergi terlebih dulu ke ruang ganti.
Aran hanya mengangguk mengiyakan perintah pria itu walaupun tidak tahu pakaiannya dimana.
...
Kaki Aran melangkah ke ruang ganti, dimana pakaian Arthur tertata rapi sesuai urutan warna. Ia berdiri sambil melihat sekeliling ruangan tersebut, hingga mata nya tertuju pada figur pria itu yang terpampang besar di salah satu dinding.
"Orang macam apa yang memasang figur diri sebesar ini," bergumam heran dengan gambar besar didepannya.
Setelah puas melihat semua interior ruang itu, Aran beralih pada dress yang telah disiapkan. Dress kuning summer dengan pita di pinggangnya begitu mewah dan menawan dikenakan nya.
Ia sedikit membubuhkan riasan di wajah nya serta merapikan rambut yang cukup berantakan. Aran tidak kesulitan, karena semua itu sudah tertata dan tersedia di meja rias.
Aran tersenyum manis didepan cermin, sejenak ia melupakan apa yang kini terjadi pada nya. Hingga lamunan nya buyar kala suara Arthur terdengar di telinga nya.
"Sampai kapan kau akan mengagumi wajah jelek mu," dengan nada sombong dan meledek Arthur berbicara tanpa perasaan.
Sontak, Aran langsung menoleh ke arah pria itu yang kini berdiri di depan pintu. Wajah Aran mendelik saat menatap Arthur, ia melipat kedua tangannya di dada.
Berjalan tanpa rasa takut menghampiri Arthur. Dan kini, justru pria itu yang malah tiba-tiba terdiam tanpa sepatah kata.
"Saya merasa kasihan pada anda yang membeli gadis buruk rupa, Tuan. Ternyata selera anda rakyat jelata seperti saya," itulah Aran, kini ia mulai menunjukkan sikap beraninya.
"Jadi kau menghina cara pandang ku?" menarik pergelangan tangan Aran dengan menekankan ucapan nya.
"Bukan saya, tapi anda sendiri yang mengaku," masih menjawab tanpa merasa takut sedikitpun.
"Kau harus jaga batasan. Dirimu sudah ku beli dengan harga mahal, jangan berani berbuat macam-macam," menegaskan kembali status Aran dimatanya.
Keduanya pun turun dari kamar setelah adu mulut dengan kemenangan Arthur. Arthur memberi instruksi agar Aran mau menggandeng tangannya.
"Di dalam rumah, untuk apa bergandengan," ia menatap sinis pria disampingnya yang sampai saat ini belum ia kenal namanya.
"Menurut saja, dan katakan 'iya setiap Nenek bertanya," berbisik dengan penuh penegasan di telinga Aran.
"Hm," tak berniat menjawab ucapan Arthur.
Saat keduanya tiba di ruang bersantai. Nampak seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik duduk di sofa. Ia tersenyum kala melihat Arthur dan Aran.
"Halo Nenek," Aran langsung menyapa Nenek didepannya dan melepaskan genggaman tangan Arthur.
"Istri Cucuku," Nenek nampak bahagia dan menyambut hangat Aran.
Nenek memeluk Aran dengan lembut, dengan senang hati pula ia membalas pelukan Nenek. Wanita paruh baya itu tampak senang melihat keberadaan Aran, Aran merasa lega karena tidak seperti novel-novel yang ia baca tentang keluarga suami yang kejam.
"Akhirnya kau mau menemui ku, Apa Arthur mengancam mu?" suara nya yang lembut membuat Aran merasa nyaman.
"Jadi nama pria itu Arthur," ia menampilkan senyum manisnya.
"Tentu saja tidak, Nek. Untuk apa dia mengancam ku," menjawab ucapan sang Nenek dengan lembut.
Lalu, mereka duduk di sofa agar merasa lebih nyaman. Arthur ikut duduk tak jauh dari keduanya.
"Aran sedikit sibuk, Nek," Arthur menyahuti percakapan dua wanita tersebut.
"Ya, ya begitulah alasan mu," Nenek hanya mengiyakan ucapan Arthur.
"Baiklah, aku harus pergi sebentar," Arthur bangun dari duduknya.
"Ekhemm," ia memberi isyarat agar Aran mengantar nya ke depan.
"Sudah, biarkan istri mu bersama Nenek," Nenek menyahuti tanpa mu melepaskan genggaman tangan nya pada Aran.
Arthur mengangguk, lantas ia berjalan ke luar dan sudah ada David yang menunggu. Siluet Arthur pun hilang dan sudah tak nampak dari pandangan kedua wanita beda usia itu.
"Apakah kau bahagia menikah dengan Arthur?" Kini pertanyaan Nenek terdengar serius.
"Tentu saja, Nek. Mengapa tidak," Aran tidak ingin membuat masalah pada Nenek didepannya.
"Aran, Nenek sudah mengenal Arthur. Pada orang lain kau boleh berbohong, tapi pada Nenek tolong katakan yang sejujurnya," Nenek mengusap lembut tangan Aran, seolah paham kegundahan yang dihadapi Aran.
"Maaf, Nek. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa," ia menunduk sopan pada Nenek.
Nenek mengangguk paham mendengar ucapan Aran. "Mantan istri Arthur sering membuat keributan, Nenek harap kau bisa menjaga Arthur," Nenek dapat melihat jelas perubahan raut wajah Aran.
Aran begitu terkejut mendengar kebenaran lain yang baru di dengar nya. Wajah nya memucat, seakan darah sudah tak mengalir pada otaknya.
Di Kantor, Arthur kini sedang menatap layar laptop didepannya. Tiba-tiba fokusnya teralihkan oleh dering ponselnya, tanpa melihat siapa penelpon ia langsung menjawab panggilan tersebut.
"Ayah?" Ia kini tahu bahwa Ayahnya lah yang menelpon.
"Aku hanya butuh waktu sebentar. Tolong, Ayah tidak boleh membawa itu kembali sebelum semuanya selesai," Ia menegaskan ucapannya ditelepon.
Setelah berbicara beberapa hal, ia memutuskan sambungan itu dan kembali beralih pada laptop nya.
'Tuk, tuk, tuk...
Tanpa menoleh Arthur sudah tahu bahwa itu langkah kaki David, dan kini pria itu sudah ada didepan nya.
"Nona Jolie baru saja tiba di bandara," Ia memberitahukan apa perlu disampaikan nya pada sang atasan.
Pragg! Arthur memukul meja dengan keras. Wajahnya seketika memerah menatap David, tangan nya langsung terkepal saat mendengar nama itu dari mulut David.
"Bisakah kau tidak memanggil nya Nona?" Menatap David dengan tajam.
"Saya hanya menghormati nya sebagai mantan istri anda, Tuan," Dengan tenang David menjawab ucapan Arthur.
Arthur yang begitu kesal hanya bisa menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Kepala nya terasa berdenyut searakan baru saja ia baru mendengar berita bencana.
"Apa lagi rencananya?" sambil memejamkan mata ia bertanya pada David.
"Dia akan mengadakan pameran seni di galeri nya, Tuan," David menjawab sopan. Arthur hanya mengangguk sebagai tanggapan.
"Sedang apa wanita itu?" bertanya tanpa menyebutkan nama.
"Saya tidak tahu pasti, Tuan. Laporan dari kepala pelayan, Nona belum makan malam dan hanya makan camilan saat bersama Nyonya besar," David paham yang dimaksud Arthur pasti Aran.
"Cih, menyusahkan,"
....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!