...Welcome, pembaca ku, karya ini dibuat untuk hiburan semata... Dan eklusif, tidak plagiat......
...PROLOG....
Sebuah langkah buru- buru datang menghampiri ketiga orang yang sedang berdebat panas. Ada Rayyan, Tyas dan Ervan sementara yang mendatangi mereka Dimas.
"Mbak Tyas, Mas Rayyan, Bapak Mbak!"
Tyas mendadak cemas, sebab tiba- tiba saja wajah Dimas sekalut itu. "Kenapa?!"
"Bapak Mbak!" Rayyan, Tyas bahkan Ervan langsung menggeruduk kamar pasien yang ditempati oleh Ridwan sang ayah.
Harapan besarnya Ridwan tidak apa- apa tapi kenyataannya, Tyas harus mendapati sang ayah sudah tidak lagi bernapas. "Pak, Bapak!"
"Bapak!" Pemuda itu berteriak, bagaimana ini bisa terjadi, dia mengharapkan Mbak Tyas segera memenuhi keinginan Bapak dengan harapan Bapak bisa sembuh dari penyakitnya tapi justru memberikan kesan seolah wasiat Ridwan ini sebuah firasat sebelum pergi.
Yah, tugas menjadi saksi bagi pernikahan putri kesayangannya. Juga menitipkan Tyas pada pemuda yang sudah Ridwan yakini akan membahagiakan putrinya.
Ridwan tenang karena Tyas sudah dinikahi oleh Rayyan. Rayyan tidak menangis, tapi dalam tegarnya dia berdiri. Dia berjanji, akan menjadi suami yang baik bagi wanita pertama yang berhasil membuatnya jatuh cinta.
...°^\=~•∆•∆•~\=^°...
°^\=~•∆•∆•~\=^°
^^^°^\=~•∆•∆•~\=^°^^^
...BAB SATU...
^^^Jogjakarta, pukul 13.40 wib.^^^
Pangesti Ning Tyas nama gadis itu, gadis berkhimar hitam dengan baju terusan berwarna senada yang membawa kue ulang tahun untuk tunangannya.
Ada yang berubah darinya. Senyuman yang sedari rumah dia kembangkan, kini meredup layu tiada indah kembali.
Jauh jauh ia datang dari Semarang ke Jogja, tapi meja yang dia datangi telah diisi lima detik lebih awal oleh gadis cantik selain dirinya, mirisnya lagi adalah gadis itu sangat amat dia kenal.
"Mbak Tyas nggak tahu kan kita di sini?"
"Nggak, tenang aja."
Pria itu melakukan cipika cipiki di depan khalayak ramai bahkan di depan mata kepala Tyas sendiri. Padahal baru saja, Ervan menghubungi dirinya untuk menanyakan sudah makan atau belum.
Tyas sengaja membalas dengan chat karena dia tak mau kedatangannya ke sini diketahui Ervan yang sengaja ingin dia berikan kejutan.
Lima tahun menjalani hubungan, Tyas di Semarang dan Ervan di Jogja tapi mereka sudah bertukar cincin serius.
Seharusnya besok Tyas membawa calon suaminya pulang ke Semarang untuk melamar dirinya secara resmi. Tapi lihat, Allah beri unjuk hal yang menyakitkan hati.
"Buat siapa, Mbak?!" Pertanyaan yang membuat Tyas akhirnya mengalihkan pandangan ke sekelilingnya, di mana semua orang seakan menunggu pada siapa dia akan memberikan kejutan kue ulang tahunnya.
Tyas tergagu bisu dengan mata yang kemudian meluapkan kaca-kaca, Tyas bukanlah wanita yang berani membuat malu tunangannya.
Tyas bahkan masih memikirkan perasaan Ervan disaat pria itu justru menorehkan luka di hati lembutnya. Sekali lagi Tyas tak berani mendatangi Ervan, Tyas lebih baik mundur dari pada harus mempermalukan Ervan.
Pasti setelah ini, video dia melabrak Ervan akan menjadi konsumsi publik yang tertawa di atas penderitaannya. Tidak, Tyas bukan gadis yang mau dijadikan tontonan netizen.
"Mana cowok mu Mbak?"
Satu ibu ibu kembali bertanya, manik polos Tyas kembali menyisir seisi ruangan, hingga ia kemudian stuck pada pria muda yang duduk seorang diri di sudut tempat.
Pria tampan berpakaian sedikit nakal, tapi tak apa, Tyas mendatangi pemuda itu, dia rasa, ini tindakan yang paling aman. Di mana orang orang akan mengira bahwa pemuda itulah kekasihnya, bukan Ervan.
"Assalamualaikum." Tyas tergagap saat mengucap itu. Jujur, tatapan mata pemuda itu membuatnya takut untuk duduk di depannya.
"Waalaikumusalam, Sayang!" Tyas mendelik karena tiba-tiba saja pemuda itu berdiri dan menyambut baik kue ulang tahunnya.
"Terima kasih kuenya." Tyas ternganga, matanya fokus pada senyum manis pria itu.
Sumpah, sebenarnya dia datang ke meja ini asal saja. Tapi kenapa pria ini seperti sudah mengenal dirinya?
Orang-orang memberikan sorakan, juga kata ciye dan bahkan ada yang ikut mengabadikan momen tersebut sekedar untuk dijadikan sweet konten di media sosialnya.
Tyas pura-pura cengengesan, lalu berusaha membelakangi Ervan yang agaknya mulai penasaran dengan sorakan pengunjung.
Tyas juga terpaksa memakan kue suapan dari pemuda kurang ajar yang entah siapa ini. Dia bahkan tak pernah suap suapan dengan Ervan sebelumnya tapi pemuda ini?!
"Enak, Sayang?"
Tyas cengar- cengir, sebagai tanda dia menyukai kuenya. Tapi, tidak dengan pemuda yang semakin lama semakin terlihat tidak waras.
"Mbak!" Dari pada terus dibuat risih, Tyas memanggil waitress yang segera datang, dia menanyakan berapa tagihan minum pemuda yang sudah membantu dirinya berakting.
"Seratus lima puluh ribu," ucap wanita itu.
Angka yang cukup banyak bagi pekerja serabutan seperti dirinya. "Mmh, maaf Mbak, memang Mas ini pesan berapa kopi?" tanyanya.
Pemuda itu tampak menahan tawanya, Tyas jadi semakin keki. Ingin segera pulang ke Semarang sekarang juga.
"Masnya pesan satu amercano ice."
Tyas ternganga, jadi seratus lima puluh ribu hanya untuk secangkir kopi saja? Jiwa miskin seorang Tyas tak menerimanya.
Dia bahkan bisa membuat es kopi yang lebih enak dengan kopi sachet saja. Hanya dua ribu per bungkusnya, kenapa secangkir kopi di sini bisa semahal itu?
"Nggak usah bayarin Mbak." Rayyan Asgar Miller nama pria itu. Mahasiswa semester dua yang baru delapan bulan tinggal di kota ini.
"Enggak, saya berhutang budi. Jadi harus bayar minuman kamu. Makasih ya, mau akting di depan orang."
Tyas merogoh kantong gamisnya, ada lima puluh ribu rupiah yang terlipat di sana, dan dia juga membuka tas selempang miliknya untuk meraih seratus ribuan di sana.
Rela tidak rela Tyas harus menyodorkan uang miliknya pada waitress itu. "Ini Mbak, pas ya."
Tyas lalu mengemasi tasnya, dia bangkit dari duduk, dan ngeluyur pergi tanpa menoleh kembali ke arah Rayyan. Justru, Tyas rajin melirik ke arah di mana Ervan tampak tertawa tawa dengan keponakannya.
Rayyan tersenyum kecil, pria muda itu ikut bangkit dan berjalan mengikuti langkah kaki Tyas keluar dari Cafe. Tyas yang sadar diikuti, gadis itu menoleh sigap dengan lirikan tajam.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
"Kamu ini penjahat ya?!"
Tyas melampiaskan amarahnya pada dada bidang Rayyan yang pasrah menerima. Tak ayal, perempuan itu baru saja mendapatkan pengkhianatan dan tiba-tiba saja pemuda asing meminta kiss padanya.
"Kenapa semua cowok sama ajah?! Sudah aku bilang aku nggak mau ciuman sebelum halal, aku mau jadi istri dulu baru mau!" racau Tyas sambil menangis.
Kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi Ervan terus meminta bukti cintanya. Menginginkan keperawanannya, bahkan sebelum menikah.
Sekarang, Ervan selingkuh, mungkin alasannya tidak jauh dari itu. Karena Tyas tak mau memberikan tubuh sebagai baktinya.
Ternyata di mana mana cowok sama saja, hanya kiss dan seputar itu yang mereka mau, termasuk pemilik wajah tampan ini.
"Kalian pikir cewek itu budak napsu kalian para cowok apa hah?!" teriak Tyas histeris.
Hal yang membuat Rayyan akhirnya memeluk gadis itu. Tidak, itu terjadi sebentar sebelum dua anak lelaki, kira kira masih SMP kelas tiga menghampiri keduanya dengan gugup.
"Mbak?!"
"Mbak Tyas!"
Tyas menatap kaget dua pemuda itu, salah satu dari mereka ada Dimas, adik kandung Tyas dari Semarang, tapi kenapa bocah ini bisa ada di kota ini?
"Loh, kalian kok di sini?" tanyanya.
"Kita disuruh nyusul Mbak, di rumah Bapak manggil manggil Mbak terus, makanya Dimas disuruh ngikutin Mbak pagi tadi, tapi Mbak malah nggak denger panggilan Dimas!"
Tyas menyesalinya, bagaimana jika terjadi apa apa dengan dua bocah ini? Tyas dengan lembut memeluk adiknya. "Maafin Mbak."
Dimas menatap Rayyan yang kelihatannya kenal dekat dengan kakaknya. "Ini pacar Mbak Tyas ya?"
"B-buk..." Belum selesai bicara Tyas, Rayyan sudah lebih dulu menimpalinya. "Saya memang pacar Mbak kalian, kenapa?"
Tyas mendelik, apa apaan ini? Kenal saja tidak, tiba-tiba mengaku pacarnya. Jelas Tyas terus menggeleng menepisnya.
"Wah, Bapak pasti seneng banget ee punya mantu ganteng begini!" Dimas tampak sumringah melihat calon iparnya setampan aktor terkenal di Jakarta.
"Buk..." Tyas ingin mengatakan tidak, tapi lagi lagi Dimas menyerobot cepat. "Ya udah Mbak, cepetan pulang, biar Bapak sembuh bisa liat pacar Mbak sekarang!"
Karena tujuan Tyas ke sini untuk membujuk Ervan agar mau melamarnya, dia perlu menikah demi memenuhi keinginan terakhir sang ayah. Tapi apa, Ervan berkhianat.
"Bapak sakit apa?" Rayyan penasaran, kalau sebegitu takutnya anak lelaki itu mencari Mbak nya, mungkin penyakit ayah mereka memang lumayan parah.
"Paru kronis, Mas!" jawab Dimas. "Makanya dia merasa hidupnya sudah nggak lama lagi, sekarang, Mas ganteng mau ya dateng ke rumah kami buat lamar Mbak Tyas."
"Iya Mas. Biar Bapak temen saya seneng, kasihan," imbuh pemuda di sebelah Dimas, namanya Fakhri Ramadhan yang ikut ikutan memasang wajah memelas.
"Kalian apa-apaan sih?" Tyas ingin bicara, tapi tidak pernah memiliki kesempatan yang baik.
Pertama, dia bingung harus bicara dari mana dahulu, karena kenyataannya Ervan sudah tidak mungkin dia bujuk datang ke Semarang untuk menikahinya.
Dua, Tyas malu karena sudah menghabiskan cukup uang yang seharusnya bisa dipakai untuk berobat Bapak hanya demi menyusul Ervan dan memberikan kejutan pada pria yang ternyata tidak pantas diperjuangkan.
"Tunggu apa lagi?" Rayyan menarik lengan Tyas, mereka lantas berjalan beriringan menuju jalan raya. "Rumah kalian di mana?"
"Semarang, Mas. Masa Mas lupa asal usul pacarnya sendiri tah?" Dimas cekikikan ala anak seumurannya.
Rayyan sempat terbengong, jadi gadis bodoh ini sudah jauh-jauh datang dari Semarang hanya untuk menemui kekasih yang sedang berkencan dengan wanita lain?
Padahal dilihat dari mukanya, wanita itu wanita baik- baik, cantik, berpakaian sopan, bicaranya lembut, juga memiliki banyak keunggulan lain yang entah kenapa bagi Rayyan begitu menarik.
Sedari sebelum Tyas mendatangi mejanya, Rayyan sudah memantapkan tatapan ke arah wanita itu. Dan dia merasa pertemuan mereka bukan hanya kebetulan saat Tyas memilih untuk berpura- pura mendatangi mejanya.
"Dimas, dia ini bukan pac..."
"Kita pake kereta mau?" pangkas Rayyan.
Geram membuat Tyas nekad menarik Rayyan untuk bicara empat mata tanpa Dimas.
Rayyan tampak menyukainya, bisa dilihat dari senyum tipis yang dia kembangkan. Senyum yang bagi Tyas mirip para tokoh di film psikopat.
"Masnya, kamu ini siapa saya nggak kenal ya Mas, jadi tolong jangan ikut campur urusan saya ya Mas, please!" Tyas menyatukan dua tangannya memohon.
"Kamu lupa, aku pacar kamu!"
"Sejak kapan!?"
"Hari ini!" putus Rayyan.
Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, sedari pertama kali melihat, Rayyan suka wanita itu, lalu apa salahnya jika dia memutuskan untuk menjadi pacarnya? Lagi pula, pacar Mbak Mbak ini juga berkhianat. Sudah tidak pantas lagi diharapkan.
"Tyas pulang, Pak!"
Setelah perjalanan kurang lebih 4 jam dengan bus yang sedikit macet, Tyas sampai di kota kelahirannya malam hari, menemui Ridwan sang ayah.
Rayyan ikut serta karena memaksa, di sepanjang perjalanan tadi, mata pemuda itu hanya tertuju pada wajah Tyas seorang.
Rayyan juga bisa cepat akrab dengan Dimas dan Fakhri yang padahal baru saja dia kenal beberapa jam yang lalu.
Sebelum shalat isya, Tyas sempatkan memeriksa ayahnya yang masih terbaring di ranjang sederhananya. "Bapak..."
"Nduk."
Lelaki tua itu terbangun dan langsung tersenyum, mata kecil keriputnya menyipit, itu yang membuat pengkhianatan Ervan semakin menyedihkan bagi Tyas.
Penyakit ayahnya memang masih bisa ditangani dokter. Tapi untuk disembuhkan banyak yang mengatakan tidak bisa sembuh.
Paru kronis termasuk penyakit yang serius, kebanyakan penderita kurus seperti Ridwan karena terlalu sering batuk. Napasnya pun berbunyi, cukup miris.
"Tyas pulang."
"Calon suami kamu mana?"
Bibir Tyas seketika mencebik sendu, Ervan tidak akan datang, Ervan sudah bahagia dengan Laras, entah sejak kapan mereka berselingkuh, yang pasti Tyas tak mungkin kembali pada Ervan lagi.
Bayangan pernikahan sederhana bersama Ervan, kini menguap. Tak lagi berbekas walau hanya secerca.
"Kamu ke Jogja buat nyusulin calon mantu Bapak kan, Nduk?" tanya Bapak.
"Jelas, Pak!" Dimas masuk kamar dengan sebaris senyum manisnya. "Calon mantu Bapak ada di luar, tenan Pak, ganteng banget!"
"Dimas!" Tyas menegur.
Rayyan bukan pacarnya apa lagi calon suaminya. Mereka hanya kebetulan bertemu dan sore tadi Tyas tak punya banyak daya untuk menolak Rayyan ikut ke sini.
Namun, bukan lantas Tyas setuju untuk memperkenalkan orang asing pada ayahnya yang sedang sakit serius ini. Ervan yang lima tahun dia kenal saja berselingkuh, apa lagi pemuda yang tidak Tyas tahu seluk beluknya.
"Namanya Mas Rayyan, orangnya baik, tadi Dimas dikasih jam tangan bagus!" Dimas masih menggebu-gebu saking bangganya.
Ridwan lalu menatap penuh harap wajah cantik putrinya. Putri yang dia dapat dari menikahi kembang desanya, tapi sayang istri cantiknya telah pergi karena tak sanggup menjalani hidup serba susah bersamanya.
Sekarang, Tyas dan Dimas dia besarkan seorang diri. Tapi semenjak sakitnya sudah tidak bisa diajak bekerja lagi, Tyas yang menggantikannya mencari nafkah dengan mengajar les di beberapa tempat.
Sementara ini Tyas tak punya pekerjaan tetap, hidupnya ke sana kemari menerima apa pun jenis pekerjaannya.
Serabutan saja, terkadang mencuci pakaian, terkadang membantu perias pengantin, asal halal dan berkah apa saja Tyas lakukan.
Untuk biaya sekolah Dimas, Tyas hanya mengandalkan bansos dan beasiswa Dimas saja. Selebihnya, Dimas menerima walau hanya diberikan sedikit uang jajan.
"Bener Nduk?" Ridwan memastikan.
"Bu..."
"Mas Rayyan, sini masuk!" Dimas yang gerak cepat karena tak sabar melihat ekspresi wajah bahagia ayahnya.
Pintu kamar itu terbuka seiring dengan masuknya Rayyan.
Manik hijau pemuda kota itu menyisir seluruh ruangan sederhana Tyas dengan segelepar rasa kagum yang terseruak di dadanya. Ternyata masih ada bidadari secantik Mbak Tyas yang tinggal di tempat sesederhana ini.
"Pak," sapa Rayyan. Pemuda itu berjongkok lalu tersenyum pada Ridwan yang seketika ikut tersenyum karena bahagia.
Setelah sekian lama menanyakan jodoh Tyas, akhirnya malam ini dia rela wafat. Ridwan hanya kasihan pada Tyas yang menjadi tulang punggung keluarga.
Setidaknya sebelum wafat, Ridwan ingin ada seseorang yang tulus dan bertanggung jawab yang mau menemani Tyas mengurus Dimas.
Tidak muluk muluk. Harta bisa dicari bersama, yang penting jodohnya Tyas baik, bisa bertanggung jawab, itu saja keinginan Ridwan untuk putrinya.
"Jadi kapan kalian nikah?" tanya Ridwan.
"Pak!" Tyas menegur.
"Lebih cepat lebih baik." Rayyan mungkin gila, tapi jika ini yang terbaik kenapa tidak? Toh mereka satu keyakinan, apa lagi?
Berbeda dengan Tyas yang tak menganggap pernikahan main-main. "Pak, Tyas harus ngomong dulu sama Mas ini ya," pamitnya.
"Bapak istirahat lagi saja." Tyas menyelimuti Ridwan, lalu menarik lengan Rayyan untuk dibawa keluar kamar.
Keduanya saling menatap, Tyas berusaha beri pengertian, jika mereka tidak akan pernah membohongi siapa pun perihal hubungan.
"Kan udah saya bilang, kita nggak saling kenal, jadi tolong jangan main- main sama ucapan kamu, Mas!" tegur Tyas.
Rayyan menyengir, sambil menyodorkan tangannya pada Tyas. "Kalo gitu kita kenalan, saya Rayyan Asgar, saya tinggal di Jogja, kuliah semester dua di UGM," katanya.
"Baru semester dua?" Tyas tersentak mendengar informasi barusan. Setinggi ini bocah ini, tapi masih baru semester dua.
"Memang kenapa?" sela Rayyan.
"Jadi berapa umur kamu?" tukas Tyas, bila dilihat seksama, Rayyan memang masih terlihat bocah, dan sepertinya anak ini anak orang berada karena memiliki softlens yang persis aslinya.
"Masuk sembilan belas tahun," ngaku Rayyan.
"Ya Tuhan," kejut Tyas. Bocah sembilan belas tahun berdrama mau menikahinya? Yang benar saja Tuhan! "Kamu masih jadi beban orang tua, sudah berani lamar saya? Kamu pikir nikah selawak itu?"
"Setahu saya menikah itu menjauhkan kita dari perbuatan zina." Rayyan menyengir.
"Nggak pantes kamu ngomong gitu, saya tahu itu modus kalian para cowok!" sergah Tyas.
"Jadi Mbak nggak mau nikah sama saya?"
"Ini calon kamu Tyas?" Pertanyaan yang mengalihkan atensi Tyas dan Rayyan. Di ruang tamu yang kecil itu berdiri lima orang perempuan dan dua laki-laki.
Salah satu dari mereka ada Mbak sepupu Tyas, ibu dari Laras yang sekarang ini sedang ada di Jogja bersama Ervan kekasihnya.
"Jangan jangan anak ini cuma mau numpang zina di sini ya?!" tuduh pria paruh baya itu.
"Astaghfirullah, enggak," sanggah Tyas.
"Mereka mau menikah!" Ridwan yang mendengar ribut-ribut buru-buru keluar meski dengan gerakan tertatih, Tyas segera membantu ayahnya duduk di kursi kayu.
"Kalian jangan suka fitnah!" kata Ridwan.
"Emang siapa yang mau nikahin gadis miskin kayak Tyas Pakde?" Wanita itu keponakan Ridwan tapi entah punya dendam apa, tidak pernah terlihat suka pada Tyas.
"Wong pacar Tyas bukan ini! Dulu bukan ini, saya pernah lihat, pacarnya bukan ini!"
"Bener Tyas?" Ridwan memastikan dengan menatap sendu sang putri. Tyas bingung, entah harus menjawab dengan apa, yang pasti raut sedih bapak membuatnya pilu.
"Mmmh."
"Saya pacarnya, Pak, saya yang mau nikahin Tyas, bahkan kalo boleh, malam ini juga saya nikahin Tyas!" Rayyan menjawab gagah.
"Orang tua kamu mana kalo begitu?" cecar sepupu Tyas menyelidik. Dia yakin betul kalau pacar Tyas bukan orang ini, tapi Ervan.
"Orang tua saya..." Rayyan bingung harus menjawab apa, karena dia sendiri takkan mungkin melibatkan kedua orang tuanya.
Dia putra bungsu dari empat bersaudara, kedua Abang dan satu kakaknya masih belum ada satu pun yang menikah. Rayyan takkan mungkin tiba-tiba mengabarkan bahwa dia mau menikah.
Bukan pernikahan, orang tuanya justru akan mengirimnya ke luar negeri bahkan mungkin pesantren. "Mereka masih di luar negeri."
Rayyan tidak berbohong, karena Papa dan Mamanya memang sedang ada di luar negeri untuk urusan bisnis keluarga.
"Oalah, jadi kamu anaknya TKW?"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!