Luna Noire berdiri membersihkan meja terakhir di "Cafe moon" tempat ia bekerja, kafe ini cocok bagi jiwa yang lelah untuk sekedar menikmati coffe espresso atau memakan kue kue yang lezat.
"Luna, waktunya tutup," panggil Mia temannya sembari membawa tumpukan cangkir. Mendengar suara itu menyadarkan Luna untuk kembali ke realita.
Luna melirik gadis itu, memberikan senyum lelah pada Mia. "Aku hampir selesai," jawabnya, suaranya terdengar kelelahan.
Mia mengangguk, mata mereka mencerminkan kelelahan selama bekerja. Dentingan piring, desis mesin espresso, suara musik yang mengayun menyatu menambah latar belakang mereka. Saat Luna menyapu lantai, pikirannya kembali melayang ke kehidupan yang ia dambakan di luar batas kafe kecil ini. Impian tentang negeri jauh dan mimpi yang indah berbisik padanya. Dia membayangkan dirinya menjelajahi dunia, mengejar apapun yang tak tercapai akan kebebasan.
Tapi ternyata realitas telah menahannya.Beban tanggung jawab menekan bahunya, ia mau tak mau harus bertahan hidup di dunia yang tidak menawarkan jalan pintas.Luna mendesah menyelesaikan pekerjaannya lalu bergabung dengan Mia di balik meja kasir. Kedua teman itu saling bertukar senyum lelah dan tertawa bersama. Rasanya jika ada seseorang semelelahkan apapun terasa tak berat.
"Luna, Tunggu.."
Ketika Luna bersiap pulang dari kafe setelah hari yang melelahkan ini, sebuah suara yang akrab memanggilnya Orang itu adalah Arthur.
Gadis itu berbalik."Ada apa Arthur?"Tanyanya. Cowok berperawakan yang cukup tinggi dan berkacamata itu selalu perhatian padanya. Ia adalah rekan kerja yang baik bagi Luna.
"Luna, biarkan aku mengantarmu pulang. Sudah larut, jalanan bisa sangat berbahaya, aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendirian." desak Arthur, kekhawatirannya terpancar diwajahnya.
Diam sejenak Luna ragu, pandangannya melayang pada tawaran Arthur. Namun, rasa mandirinya meluap dan ia tidak ingin terlalu bergantung pada siapapun.Dia tidak bisa membiarkan dirinya untuk menerima kebaikan cowok itu.
"Terima kasih, Arthur, tapi aku akan baik-baik saja sendiri, jangan khawatir."jawab Luna, suaranya lembut namun penuh keteguhan. Dia tidak tega membayangkan untuk merepotkan Arthur.
Arthur mengangguk, namun dapat dilihat ekspresinya menampilkan kekecewaan dan kekhawatiran. Dia cukup mengenal Luna yang mempunyai tekad yang membara di dalam dirinya dan tidak bisa di ganggu gugat.
"Baiklah. Hati-hati ya." ucap Arthur dengan penuh dengan kekhawatiran yang tak terucap.
"Aku pulang dulu, Bye."
Dengan anggukan rasa syukur, Luna berpamitan pada Arthur dan melangkah keluar dari Café Moon, langkah Luna membawanya melintasi jalan-jalan yang sepi menuju toko makanan cepat saji favorit adiknya. Dibalik kegelapan malam yang semakin mendalam, sinar lampu jalan itu menciptakan bayangan-bayangan misterius di setiap sudutnya.Sejujurnya Pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuan dengan Arthur dan dirinya yang menolak tawaran pria itu untuk mengantarnya pulang. Ia tahu mungkin Arthur mempunyai perasaan terhadapnya, dan melihat kehidupan dirinya yang rumit Luna merasa tidak pantas untuk siapapun.
"Hmm, aku harus melupakannya."Gumamnya meyakinkan diri sendiri.
Luna merenung tentang adiknya, keceriaan yang selalu terpancar dari wajah mungil gadis itu, dan sebagai kakak ia akan memastikan kebutuhan adiknya terpenuhi termasuk bahwa dia memiliki makanan yang cukup. Fried chicken adalah makanan favorit adiknya.
Tak lama, Luna sudah sampai di toko makanan cepat saji. Aroma rempah-rempah yang menggugah selera segera menyambutnya. Dia berjalan kedalam toko kecil itu,Luna berdiri di depan kasir, menghabiskan waktu sejenak untuk memastikan dia mendapat porsi ayam goreng terbaik yang bisa ia beli. Dia ingin adiknya senang,itu sudah cukup.
"Terima kasih banyak."
Sesudah membayar, Luna melangkah keluar dari toko dengan kantong berisi fried chicken yang tergantung di tangannya. Sebuah senyum tipis melintas di wajahnya saat dirinya membayangkan reaksi bahagia adiknya ketika dia memberikan makanan kesukaannya.
Udara malam ini terasa sangat segar, Luna akhirnya melanjutkan perjalanannya pulang dengan hati yang Riang gembira. Rumah kecil mereka terletak di sudut jalan yang sepi, tersembunyi di antara beberapa pepohonan yang menjulang tinggi.
"Aku pulang..."Sahutnya.
ketika Luna membuka pintu rumah dengan penuh antusias, dia disambut oleh keheningan yang tak terduga.tidak ada suara tawa ceria adiknya, tidak ada langkah-langkah kecil yang menyambut kedatangannya. Suasana hening yang menyelimuti rumah itu memenuhi hati Luna dengan kegelisahan dan tumbuh lebih besar detik demi detik.
"Freya? Di mana kamu?" Luna memanggil dengan suara lembut, Namun, hanya keheningan yang menjawab panggilannya.
"Freyaaa.."
Setiap detik yang berlalu, kegelisahan Luna semakin mendalam. Ia mulai merasakan rasa panik yang merayap ke dalam dirinya, memenuhi pikirannya dengan kemungkinan-kemungkinan yang tak terucapkan. Apakah adiknya pergi ke mana-mana tanpa memberitahunya? Apakah ada sesuatu yang terjadi padanya?
"Freya jangan main-main, keluarlah.."Ucapnya lagi dengan suara bergetar.
Ia melangkah tergesa-gesa melintasi setiap ruangan rumah, ia mencari jejak-jejak kehadiran adiknya. Namun, di mana pun ia mencari, tidak ada tanda-tanda keberadaannya.
Hatinya mulai berdegup lebih kencang, dikepung oleh ketidakpastian yang terus tumbuh. Bagaimana mungkin rumah yang biasanya dipenuhi dengan keceriaan dan canda tawa bisa menjadi begitu sunyi dan kosong?
BRAKKK
Luna mendengar suara bantingan pintu, dan bergegas kesana, namun ia melihat pamannya yang terkulai di sofa.
Hatinya dipenuhi kecemasan dan kegelisahan . Di depannya, pamannya yang datang dengan kondisi mabuk terbaring dengan tidak teratur di sofa, memancarkan bau alkohol yang menusuk hidung.
Luna, dengan rasa cemas yang membebani, menghampiri pamannya dengan langkah hati-hati ia sangat mengenali pamannya. "Paman, apa paman melihat Freya? Di mana dia? Aku tidak dapat menemukannya" tanyanya dengan suara gemetar, mata coklatnya mencari kebenaran di mata pamannya yang berkabut.
Pamannya mengangkat kepalanya dengan lambat, mata merahnya menatap Luna dengan tak peduli. "Oh, Freya? Aku sudah menjualnya," ucapnya dengan suara serak, senyum nakal melintas di bibirnya yang kering.
"APA?!!"
Luna terdiam, terpaku oleh kejutan yang tak terduga. Pikirannya terputus sejenak, mencoba memahami makna dari kata-kata yang baru saja didengarnya. "Apa paman? Aku tidak mengerti, apa maksudmu?" desak Luna dengan suara gemetar, tatapan tajamnya menusuk.
Paman Luna hanya tertawa kasar, "Luna Luna,kamu terlalu naif. Freya adalah cara paling mudah bagiku untuk mendapatkan uang. Dan kamu, seharusnya bersyukur padaku karena sudah memberimu kesempatan untuk tidak terbebani olehnya," jawabnya dengan nada sinis, tatapannya yang penuh keangkuhan menyiratkan kegembiraan atas keputusannya.
Kemarahan membara di dalam dada Luna, bahkan memuncak menjadi api yang meluap-luap. Dengan langkah pasti, dia mendekati pamannya, tatapannya menyala dengan keberanian yang tak tergoyahkan. "Kamu tidak memiliki hak untuk melakukan ini! Freya bukanlah barang daganganmu! Dia adalah adikku, keluargamu juga!" ucapnya dengan suara gemetar, untuk kebenaran yang terlontar dari bibirnya dengan keras.
Namun, sebelum Luna bisa melanjutkan kata-katanya, pamannya dengan cepat mengayunkan tangannya dalam gerakan yang tiba-tiba. Sebelum Luna menyadarinya, telapak tangan kasar itu menampar pipinya dengan kekuatan yang membuatnya terhuyung ke belakang. Ia menggigit bibirnya, pipinya terasa panas.Rasa sakit fisik itu memang tak sebanding dengan kepedihan yang terpancar dari hatinya. Luna merasa seperti dihantam oleh kehancuran terus menerus, kepercayaannya pada dunia hancur seketika.
berdiri dengan mata berkaca-kaca, Luna merasa terluka."Kenapa kau tega melakukan itu?"tanyanya terbata bata."Dimana Freya? Katakan padaku paman James, aku mohon dimana Freya?,"
Paman James melirik Luna dengan tatapan yang penuh kemarahan, wajahnya menjadi kemerahan karena terbakar oleh api kemarahan. "Kamu itu tidak tahu betapa sulitnya hidup! Selama ini aku yang mengurusmu dan Freya setelah kematian ibumu yang bunuh diri itu! Melunasi hutang hutang ibumu! Kau sama sekali tidak memiliki hak untuk menentangku!" bentaknya dengan suara yang gemuruh, setiap kata yang terucap dari bibirnya dipenuhi oleh amarah yang membara.
Luna mencoba menarik napas dalam-dalam, menahan dirinya untuk tidak membiarkan emosinya meluap. Dia memang ingat hari-hari sulit yang telah mereka lalui, bagaimana terombang-ambing di lautan kesulitan setelah kematian tragis ibunya, dan ia bahkan tidak mengetahui identitas ayahnya.
"Kamu hanya anak dari pelacur! Dan kenapa aku yang harus menanggungnya? Cari ayahmu sana. Aku yakin 100% kau tidak akan menemukannya."Raung paman james dengan suara berat, serak oleh efek alkohol yang merajalela di dalam dirinya.
Semua kata kata pahit yang keluar dari mulut pamannya seperti pisau menusuk hatinya. Keadaan dirinya yang seperti inilah yang membuat ia merasa tidak berharga. Luna merasakan luka-luka lama terbuka kembali, dan ia harus menghadapi kenyataan pahit dari masa lalunya yang menyakitkan.
"Paman, dengarkan aku, Freya adalah saudara kita. Kita harus melindunginya," ujar Luna dengan suara yang gemetar oleh emosi yang bergejolak di dalam dirinya.
Paman James tertawa pahit, tatapannya penuh dengan kebencian yang tak terbendung. "Melindunginya? Haha Bagaimana kau bisa berbicara tentang melindungi saat kau sendiri tidak bisa mengurus dirimu sendiri?" serunya dengan nada merendahkan.
Pastinya paman james menganggap Luna tidak tahu diri, dan tidak menghargai segala pengorbanan dan bantuan yang dia berikan padanya dan adiknya selama ini. Baginya, mereka adalah beban yang harus ditanggung, dan sama sekali tidak layak mendapat kebaikan yang telah dia berikan.
"Keluar dari rumah ini,! Aku tidak ingin melihatmu lagi di sini!" Paman James melontarkan kata-kata dengan suara yang gemetar oleh kemarahan, wajahnya terbakar oleh api kemarahan yang meluap-luap.
Luna sangat terguncang, hatinya hancur dan terluka karena pengusiran tak terduga ini. Dia diusir dari rumah yang pernah menjadi tempat perlindungannya dan sekarang menjadi benteng menolaknya.
Dengan langkah yang mantap, Luna mengerahkan keberanian yang tersisa dan melangkah keluar rumah. Dia merasa seolah-olah dunia di sekitarnya hancur seketika di bawah langit yang gelap.
.
.
.
.
"Paman, kenapa kau melakukan ini?"
Selama ini memang dirinya merasa tak enak sudah menumpang hidup disini, dan ia berusaha keras melunasi apa yang telah dilakukan oleh pamannya, walaupun mungkin belum cukup. Namun dengan apa yang ia lakukan pada Freya, Luna tidak bisa memaafkannya.
Dengan langkah yang gemetar dan hati yang dipenuhi dengan kebingungan, Luna Noire berdiri di ambang pintu rumah yang pernah ia panggil sebagai tempat berlindung. Pikirannya masih terpenuhi oleh kejutan dan kekecewaan. Dia merasa seakan-akan melayang di antara dunia yang dulu dikenalnya dan kegelapan yang tak terduga.
Namun, di tengah kekacauan emosionalnya, satu hal tetap teguh dalam pikirannya: dia harus menemukan adiknya. Freya adalah satu-satunya keluarga yang dia miliki, satu-satunya orang yang selalu ada di sampingnya dalam kesulitan maupun kegembiraan.
Akhirnya Luna memutuskan untuk mencari bantuan dari kepolisian. Dia berharap bahwa di sana dia bisa menemukan bantuan yang dia butuhkan untuk menemukan keberadaan adiknya yang hilang.
Gadis itu dengan langkah mantap pergi kesana. sekitar dua puluh menit perjalanan ia tiba. dari kejauhan ia melihat kantor itu penuh dengan kesibukan masing-masing.
"Permisi.."ucapnya sambil melangkah masuk.
"Iya, ada yang bisa kami bantu?"
ketika dia tiba di kantor polisi, harapannya segera redup. Dia disambut oleh sikap acuh tak acuh dari petugas polisi yang duduk di balik meja resepsionis. Tatapan mereka dingin dan tak berperasaan, seolah-olah Luna hanya satu dari sekian banyak orang yang meminta bantuan mereka.
"Freya, adik saya, dia hilang. Saya tidak tahu di mana dia berada," Luna berkata dengan suara gemetar, mencoba menahan air mata yang siap untuk menetes.
"Silakan laporkan kehilangan Anda menggunakan formulir ini dan hubungi nomor darurat jika Anda memiliki informasi tambahan."Jawab sang Petugas.
"Tapi aku harus segera menemukannya, Tolong aku.."
"Kami akan berusaha menemukannya secepat mungkin, Silahkan isi Formulirnya."
Respons dari petugas polisi itu tidak sesuai dengan harapannya. Mereka menanggapi keluhannya dengan cepat, tanpa sepatah kata simpati atau kepedulian.
Luna merasa terpukul. Dia berharap bahwa kepolisian akan membantu menemukan adiknya, bahwa mereka akan memperlakukannya dengan serius. Namun, kenyataannya adalah bahwa dia harus berjuang sendiri, di tengah kegelapan dan ketidakpastian.
Dengan hati yang berat, Luna meninggalkan kantor polisi, membawa beban kekecewaan dan keputusasaan di pundaknya. Seolah laporan Luna adalah candaan, walaupun ia melaporkan pamannya, mereka meminta bukti. Namun sayangnya ia tidak bisa membuktikan apapun dan ia sendiri yang harus menyelesaikannya perselisihan keluarganya.
"Bagaimana caranya agar mereka percaya? Bagaimana aku harus membuktikannya?" Gumamnya dalam hati.
Langit malam yang gelap menyelimuti Luna saat dia melangkah di sepanjang jalanan yang sunyi. Langkah-langkahnya terdengar gemetar di antara keheningan malam, seakan mencari jalan keluar dari labirin kegelapan yang mengitari hatinya.
Dengan setiap langkah yang dia ambil, Luna menggenggam erat ponsel yang memperlihatkan foto adiknya, Freya, dalam genggaman gemetarnya. Wajah manis Freya tersenyum padanya dari dalam potret, tetapi senyuman itu terasa jauh, terpisah oleh jarak yang tak terjangkau di antara mereka.
"Maaf mengganggu, apa anda pernah melihat gadis ini?"
Luna memperlihatkan foto Freya kepada setiap orang yang dia temui di jalanan, berharap bahwa seseorang akan mengenalinya, bahwa seseorang akan memberikan petunjuk yang akan membawanya kembali kepada adiknya yang hilang. Namun, setiap kali, jawaban yang dia dapatkan tetap nihil, seperti suara yang hilang di tengah kebisingan malam.
"Maaf aku tidak melihatnya." Jawab orang orang itu.
"Terima kasih.."lirihnya sembari menghembuskan nafas putus asa.
Dia bertanya kepada pedagang kaki lima yang sedang merapikan barang dagangannya, kepada pengendara motor yang melintas dengan cepat, kepada para pejalan kaki yang tergesa-gesa menuju tujuan mereka. Tetapi, semua yang dia dapatkan hanyalah tatapan bingung dan gelengan kepala yang membingungkannya semakin dalam.
"Apa yang harus aku lakukan? Apa Freya baik baik saja?".
Dalam kegelapan yang semakin mencekam, Luna merasa seperti terperangkap dalam pusaran kebingungan dan keputusasaan. Dia merasa sendirian di dunia yang terasa begitu asing baginya, tanpa petunjuk atau bantuan untuk menuntunnya kembali kepada adiknya yang tersesat.
Dengan langkah yang tegar, Luna melanjutkan pencariannya, memasuki setiap gang kecil dan lorong gelap, berharap untuk menemukan jejak yang hilang yang akan membawanya kembali kepada adiknya. Meskipun gelap, meskipun sepi, dia tidak pernah kehilangan harapan bahwa suatu hari, dia akan dipertemukan kembali dengan cahaya yang telah hilang dari hidupnya.
Luna akhirnya berlabuh dan terhenti di depan sebuah warung kopi kecil yang masih terang benderang di tengah malam yang gelap.
"Permisii.."
Dia memutuskan untuk masuk, berharap bahwa mungkin seseorang di sana akan memiliki informasi tentang adiknya yang hilang. Saat dia membuka pintu warung kopi, aroma kopi yang harum memenuhi udara, menciptakan suasana yang hangat dan mengundang di dalam.
Seorang pria tua dengan rambut abu-abu dan senyuman hangat menyambutnya saat Luna memasuki warung. Dia duduk di meja kecil di pojokan, menyuguhkan secangkir kopi hangat di depannya.
"Selamat malam, ada yang bisa saya bantu? sepertinya kamu kelelahan" tanya pria tua itu dengan nada ramah.
Luna menyapa pria tua itu dengan sopan, mencoba menahan gemetar di suaranya. "Selamat malam, Pak. Saya sedang mencari adik saya yang hilang. Apakah bapak mungkin pernah melihatnya?"
Pria tua itu mengangguk, matanya dipenuhi dengan rasa simpati yang dalam. "Saya mungkin tidak bisa membantumu, tapi duduklah, nikmatilah secangkir kopi."
"Terima kasih."Luna bersyukur atas kebaikan hati pria tua itu. Dia duduk di kursi di seberang meja, menyeruput kopi hangat yang menenangkan dan menghangatkan tenggorokannya.
"Ini foto dia," Luna menunjukkan foto Freya kepada pria tua itu.
Pria tua itu memandang foto dengan penuh perhatian. Sejenak, terdengar hening di antara mereka, hanya teriakan jarak jauh dari jalanan yang memecah keheningan malam.
Akhirnya, pria tua itu mengangguk perlahan. "Maaf, nak. Saya belum pernah melihatnya sebelumnya. Tapi jangan menyerah. Kadang-kadang, jawaban datang dari tempat yang paling tidak terduga."
Luna tersenyum lemah, terima kasih atas kata-kata pria tua itu. Meskipun pertemuan mereka tidak memberinya jawaban yang dia cari, tetapi ada kehangatan dalam percakapan mereka yang membuatnya merasa sedikit lebih baik."Terima kasih..saya harus mencarinya kembali.."
"Saya berdoa semoga kamu bisa segera menemukan adikmu.."
Luna keluar dari sana, ia menghembuskan nafas berat, entah harus kemana lagi ia mencari. Satu satunya cara adalah memohon agar pamannya memberitahunya.
Clak, Clak Clak
Saat langit terasa semakin gelap dan berat, tetes-tetes hujan mulai turun dengan derasnya, menambah tragedi dalam hidup Luna.Dengan langkah yang gemetar dan hati yang dipenuhi keputusasaan, Luna merasakan tetes-tetes hujan yang dingin membasahi punggung tangannya saat dia berdiri di pinggir jalan yang sepi.
"Ahh..Aku benar benar sial."
Hujan itu seperti simbol dari kesedihan yang melandanya, mengguyurinya dengan rasa sakit dan kehilangan yang tak terbendung. Setiap tetes hujan seperti pukulan yang menyakitkan, mengingatkannya pada kehilangan adiknya dan ketidakpastian masa depan yang mengintainya.
Langkah-langkahnya terasa berat dan gemetar di bawah beban emosional yang menindasnya. Dia merasa seperti terjebak dalam pusaran kegelapan yang tak terduga, tanpa jalan keluar, tanpa cahaya yang memandunya.
Sebuah siluet hitam mengalihkan pandangan yang buram oleh air mata.
"Luna?"Sahut seseorang.
.
.
"Luna? Apa itu kau?"
Sosok itu mendekat dan perlahan terlihat siapa orang itu.
Di tengah hujan yang deras dan kegelapan yang menyelimuti, Luna Noire bertemu dengan Arthur secara tak terduga. Langkah-langkahnya terhenti saat dia melihat siluet Arthur muncul dari balik hujan, langkah pria itu ragu-ragu di bawah sorotan lampu jalan yang redup.
Arthur, dengan ekspresi khawatir yang terpancar di wajahnya, mendekati Luna dengan cepat. Dia melihat keadaan Luna yang basah kuyup dan gemetar ditambah mata yang sembab.
"Luna, apa yang terjadi? Kau basah kuyup!" Arthur berseru, suaranya terdengar di tengah gemuruh hujan yang tak kenal ampun.
Luna menatap Arthur dengan sendu. Tak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa dia akan bertemu dengan Arthur di tengah malam yang gelap seperti ini, di saat dia merasa tersesat dan terombang-ambing di antara badai yang melanda.
Dia mengangguk gemetar. "Aku... aku harus bagaimana, Arthur. Aku tidak tahu harus pulang ke mana," ucapnya dengan suara yang hampir tercekik oleh tangis dan rintihan hujan.
Arthur merasa hatinya terenyuh melihat kondisi Luna yang lemah dan putus asa. Tanpa ragu, dia mengulurkan tangannya, menawarkan bantuan dan dukungan.
"Kita cari tempat yang hangat untukmu. Kamu tidak boleh tetap di sini dalam kondisi seperti ini," ujarnya dengan suara lembut, mengajak Luna untuk pergi bersamanya.
"Terima kasih.." Lirih Gadis itu yang mulai melemah.
Luna tersenyum lemah, merasa bersyukur akan kehadiran Arthur di saat-saat genting ini. Meskipun keadaannya hancur dan terombang-ambing, setidaknya dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Dia memiliki seseorang yang peduli dan siap membantunya melewati badai ini.
Dengan langkah yang hati-hati, Arthur membawa Luna ke kontrakan miliknya yang terletak di pinggiran kota. Hujan masih turun dengan lebatnya, menciptakan nada monoton dari tetes-tetes air yang jatuh di atap dan jendela.
Ketika mereka tiba di depan pintu kontrakan, Arthur membuka pintunya dengan hati-hati, mempersilakan Luna masuk terlebih dahulu. Lampu temaram menerangi ruangan yang sederhana namun hangat, menciptakan suasana yang nyaman di tengah hujan yang terus turun di luar.
"Silahkan masuk.."
Luna mengangguk kecil.
Luna memasuki rumah itu dengan rasa syukur yang dalam, merasakan kehangatan dan kedamaian yang ditawarkan oleh tempat ini. Setelah melepas sepatu dan jaketnya, dia duduk di sofa yang nyaman, merasakan kenyamanan dari kursi yang mendukung tubuhnya.
Arthur menyediakan segelas teh hangat untuk Luna, ia sadar bahwa mungkin gadis itu membutuhkan sesuatu untuk menghangatkan tubuhnya yang basah kuyup. Mereka duduk di seberang meja kecil, saling bertatapan di antara cahaya lampu yang lembut.
"Terima kasih, Arthur. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana tanpa bantuanmu," kata Luna dengan suara lembut, rasa terima kasihnya mengalir dalam setiap katanya.
Arthur tersenyum lembut, menggelengkan kepalanya dengan penuh pengertian. "Tidak perlu berterima kasih, Kita memang harus saling membantukan?"
Luna duduk di sofa dengan ekspresi yang sedikit lebih tenang. Dia menatap ke luar jendela, membiarkan pikirannya melayang ke peristiwa yang baru saja terjadi.
Arthur, duduk di seberangnya, memperhatikan Luna dengan penuh perhatian. Dia melihat keraguan yang masih terpancar dari matanya, dan rasa ingin tahunya semakin bertambah.
"Ada apa sebenarnya?" tanya Arthur dengan suara lembut, namun penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi? Aku tidak bisa membayangkan kau berada di jalanan di tengah badai seperti ini."
Luna menarik napas dalam-dalam, merasa berterima kasih atas kepedulian Arthur, namun juga merasa terbebani oleh beratnya beban yang harus dia bagikan.
"Adikku, Freya, dia hilang," Luna mulai dengan suara yang gemetar. "Dia menghilang tanpa jejak, dan aku tidak tahu harus bagaimana."
Arthur menatap Luna dengan terbelalak, terkejut mendengar berita itu. Wajahnya mencerminkan kebingungan dan kekhawatiran.
"Hilang?" ucap Arthur dengan suara yang hampir tercekik oleh rasa kaget. "Sejak kapan?"
Luna menjelaskan dengan hati-hati detail dari kejadian hari itu, bagaimana dia pulang dan tidak menemukan adiknya di rumah, bagaimana pamannya mengaku telah menjual Freya, dan bagaimana dia berjuang mencari jejak adiknya di tengah hujan yang turun dengan lebatnya.
Arthur mendengarkan dengan penuh perhatian, wajahnya penuh dengan ekspresi campuran dari kaget, kebencian, dan kekhawatiran. Baginya, berita ini adalah pukulan yang tak terduga, mengguncang fondasi keyakinannya tentang keadilan dan kebaikan.
Setelah Luna selesai bercerita, sebuah keheningan tegang melingkupi ruangan, diisi hanya dengan suara hujan yang terus turun di luar. Arthur merenung sejenak, mencerna informasi yang baru saja dia terima, sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dan menatap Luna dengan mata yang penuh dengan tekad.
"Kita akan menemukannya, Luna," ucap Arthur dengan suara yang mantap. "Kita akan mencari Freya, tidak peduli apa yang terjadi. Dia adalah keluargamu, dan kau tidak akan sendirian,aku akan membantumu."
"Dan sejujurnya aku tidak menyangka pamanmu sejahat itu,dia harus dihukum atas apa yang telah ia perbuat, ini ilegal Luna, manusia tidak dapat diperjual belikan!"Lanjut Arthur dengan berapi api.
"Aku tahu Arthur, namun aku tidak punya bukti apapun."Jawab Luna.
"Kamu bisa tinggal disini untuk sementara! Kita bisa mencari bukti bukti itu."
Luna menggeleng dengan cepat."Tidak, besok aku akan mencari tempat tinggal! Aku tidak bisa merepotkan mu.Makasih, Arthur," ucap Luna dengan suara lembut. "Aku benar-benar berterima kasih atas segalanya."
"Tidak perlu berterima kasih. Kau tahu di mana aku jika kau membutuhkanku, untuk sekarang kau bisa tidur di ranjangku."Ucap lelaki itu.
"Tidak Arthur, itu tidak adil untukmu," kata Luna dengan nada prihatin. "Aku bisa tidur di sofa, kamu bisa tidur di ranjang."
Arthur menggeleng dengan tegas. "Tidak, Luna. Aku baik-baik saja di sofa. Kamu butuh tempat tidur yang nyaman untuk istirahat,aku bisa tidur di mana saja."
Luna terdiam sejenak, terharu dengan pengorbanan Arthur. Dia tahu bahwa Arthur tidak mungkin merubah pikirannya. Pada akhirnya Luna menerima tawaran itu, ia sadar bahwa Arthur hanya ingin yang terbaik baginya.
...****************...
Di tengah kegelapan kamar yang sunyi, derit ranjang itu terus berbunyi.Luna hanya berguling guling di atas tempat tidur, matanya memandang kosong ke langit-langit yang tidak terlihat di dalam kegelapan. Meskipun tubuh dan pikirannya terbawa oleh kelelahan, tidur tampaknya menjadi suatu yang jauh dari jangkauannya.
Pikirannya dipenuhi oleh bayangan-bayangan gelap tentang keadaan adiknya, Freya, yang masih hilang entah ke mana. Setiap kali dia mencoba untuk menutup mata, bayangan wajah manis adiknya terpampang jelas di benaknya, menyelubungi pikirannya dengan kekhawatiran dan kegelisahan yang tak terbendung.
Dia bertanya-tanya di mana adiknya berada, apa yang dia alami, dan apakah dia aman. Setiap skenario yang mungkin melintas di benaknya tampaknya menghantui pikirannya dengan ketidakpastian yang menyiksanya.
Sampai akhirnya matanya terlelap dengan sendirinya.lelahnya yang tak tertahankan dan kecemasan yang melanda pikirannya terlupakan sejenak. Dalam alam mimpi yang gelap, dia menemukan kedamaian yang dia cari-cari, terlelap di bawah naungan kelelahan yang menghimpitnya.
"Freyaaaa.."Teriaknya.
Luna langsung terduduk karena mimpi buruknya, nafasnya berburu dengan cepat, namun pandangannya teralihkan karena ada secercah sinar matahari menembus jendela.
"Ah,aku tertidur rupanya."Gumam gadis itu.
Dia merasakan sedikit kaku di lehernya,aroma harum masakan menyelinap masuk ke dalam ruangan. Apakah Arthur yang sedang memasak? Meskipun hatinya masih terbebani oleh kekhawatiran untuk adiknya yang hilang, tetapi aroma harum masakan memberinya sedikit kesegaran dan semangat pagi.
Dengan langkah yang ringan, Luna keluar dari kamar tidur dan mengikuti aroma harum yang menggoda itu. Saat dia memasuki dapur, dia disambut oleh pemandangan yang menggugah selera: Arthur sibuk di dapur, memasak dengan penuh semangat, dengan senyum di wajahnya yang menggambarkan kehangatan dan kebaikannya.
"Selamat pagi, Luna. Aku sedang membuat sarapan untuk kita berdua. Aku harap kau menyukainya."
Dengan penuh kehangatan, Arthur menghadirkan sepiring pancake sederhana namun menggugah selera di depan Luna. Aroma manis dari pancake yang baru dipanggang mengisi ruangan, menciptakan suasana yang hangat di pagi yang cerah itu.
Luna memandang pancake dengan senyum yang mengembang di wajahnya. Meskipun sederhana, namun pancake itu tampak begitu menarik, dengan lapisan tipisnya yang keemasan dan siraman maple syrup yang menggoda.
"Terima kasih, Arthur. Ini terlihat sangat lezat," ucap Luna dengan suara penuh penghargaan.
Arthur tersenyum, merasa senang melihat reaksi Luna. "Sama-sama, Luna. Ayo kita makan."
Mereka duduk di meja makan, menggenggam sendok mereka masing-masing, siap untuk menikmati hidangan di depan mereka.
"Sepertinya aku tidak bisa bekerja untuk sementara waktu.."Ucap luna,setidaknya untuk sementara waktu. Keadaan pikirannya yang terganggu oleh kehilangan adiknya membuatnya sulit berkonsentrasi dan berfokus.
Arthur, dengan penuh pengertian, menatap Luna dengan ekspresi yang penuh empati. Dia merasa simpati terhadap kondisi Luna, dan dengan tulus, dia ingin membantunya melewati masa sulit ini.
"Dengar, Luna," ucap Arthur dengan suara lembut. "Kau tahu bahwa aku selalu ada di sini untukmu. Aku mengerti bahwa saat ini kau butuh waktu untuk dirimu sendiri, untuk menemukan kembali kekuatanmu. Tapi tolong, jangan ragu untuk meminta bantuan jika kau membutuhkannya. Aku di sini untukmu, tidak peduli apa yang terjadi."
Meskipun hatinya tersentuh oleh tawaran Arthur, Luna menolak dengan lembut. Dia tidak ingin membebani Arthur dengan tanggung jawabnya sendiri. "Terima kasih," ucapnya dengan suara lembut. "Tapi kau juga harus bekerja, dan aku tidak ingin mengganggumu dengan masalahku."
Arthur mengangguk, mengerti keputusan Luna. "Baiklah. Tapi janji padaku bahwa jika kau butuh bantuan, kau akan memberi tahuku. Aku di sini untukmu, selalu."
Hari ini Luna berencana untuk menemui pamannya kembali, berharap pamannya sudah sadar dan mereka bisa berbicara dari hati ke hati, Ia harap ini hanya kesalah pahaman dan mimpi buruk ini tidak nyata. Paman aku bisa mempercayaimu kan? Tanyanya dalam hati.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!