NovelToon NovelToon

Secret Love

Chapter 1

Tari menarik salah satu sticky note yang ia tempel di komputernya. "Astaga, konten tentang Bitcoin dari kacamata filosofi belum gue kerjain!" serunya, gadis itu hampir saja melupakan konten penting yang satu itu.

Sebagai content writer di salah satu perusahaan bursa aset kripto terbesar di Indonesia tentu Tari untuk membuat konten yang menarik dan berkualitas, agar engagement perusahaan meningkat.

Tanpa membuang waktu Teri mulai mengumpulkan bahan materi yang yang ia butuhkan, namun di tengah kesibukannya tiba-tiba saja handphonenya bergetar, ada satu pesan masuk dari ibundanya yang kini tinggal di Bali.

Tari mengerutkan keningnya ketika membaca pesan tersebut.

Ibu:

Minggu ini Ibu akan menikah dengan Om Damar, Ibu harap kau bisa datang ke pesta pernikahan kami karena jika kau tidak datang, Ibu akan mengutukmu menjadi BATU!!

Pesan berikutnya ibunda Tari mengirimkan alamat tempat pesta pernikahannya di gelar. Tari hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Apa yang di pikiran Ibu?" gerutunya, ia tak habis pikir mengapa ibunya hobby sekali kawin cerai. Jika pernikahan ini benar-benar terjadi, maka ini akan menjadi pernikahan ke enam ibundanya.

Tari bahkan tak hapal siapa saja nama-nama mantan suami ibundanya, yang ia ingat hanyalah nama ayah kandungnya saja karena tertera pada akte kelahirannya, namun untuk wajahnya Tari sendiri tak pernah melihatnya sama sekali. Sebab ibu dan bapaknya bercerai saat ia masih dalam kandungan.

"Tidakkah ibu memikirkan perasaanku?" Tari menghela napas beratnya, seharusnya di usianya yang telah menginjak 25 tahun, dirinyalah yang menikah, bukan ibundanya yang usianya sudah hampir paruh baya.

Namun meski demikian Tari bersyukur karena ibundanya tidak memberinya adik, Tari tak bisa membayangkan jika memiliki saudara beda bapak dari berbagai laki-laki.

Tari menaruh kembali handphonenya di dalam tasnya, dan kemudian melanjutkan pekerjaannya. Ia tak membalas maupun menghubungi ibundanya sebab biasanya jika ia membicarakan hal itu, akan terjadi perdebatan sengit, Tari tak ingin konsentrasi menyelesaikan pekerjaannya jadi terganggu, lagi pula mau bagaimana pun ia menentangnya, ibunya tidak akan membatalkan pernikahan itu

...****************...

"Seharusnya kau bahagia melihat ibumu bahagia," ucap Elok, ibunda Tari. Wanita paruh baya itu terlihat begitu senang bercampur tegang mendekati detik-detik pernikahannya bersama pria yang usianya sepuluh tahun di bawahnya.

Tari memaksakan seulas senyuman, sembari memasangkan bonnet di kepala ibundanya. Kemudian ia menggandeng tangan ibundanya menuju venue karena tim WO sudah memberi aba-aba bahwa acara pemberkatan akan segera di laksanakan.

Sejujurnya pemandangan di pulau dewata ini sangat indah, perpaduan antara senja yang merekah dan air laut yang berkilauan, ini adalah venue terbaik sepanjang pernikahan ibundanya.

Pagi tadi saat Tari tiba di hotel tempat berlangsungnya acara pernikahan ibundanya, Tari mendapatkan informasi bahwa pria yang akan menjadi ayah tirinya merupakan salah satu konglomerat di pulau Dewata ini, sehingga tak heran jika pesta ini di gelar dengan mewah.

Namun, meski suasananya berlangsung meriah. Tari sama sekali tak menikmati acara tersebut, sepanjang acara Tari hanya terdiam menyaksikan kebahagiaan ibundanya dengan pasangan barunya yang menurut Tari begitu menggelikan.

Malam harinya acara di lanjutkan dengan resepsi pernikahan, Tari semakin tidak nyaman berada di tengah-tengah keramaian. Saat ibunya tengah asik bercengkrama dengan suami barunya dan rekan-rekannya, Tari menyelinap keluar dari venue.

Gadis itu berjalan menyusuri pantai untuk menghilangkan penatnya, ia berpikir ada sebagian orang yang di berikan kemudahan untuk berganti-ganti pasangan, namun sebagian lagi hanya untuk menemukan satu pun tidak dapat-dapat, seperti dirinya.

Ya, setelah kandasnya hubungan percintaannya dua tahun yang lalu, Tari belum lagi bisa menemukan sosok pengganti Bara. Jangankan untuk menjalin kasih, yang dekat dengannya saja tidak ada, Tari jadi berpikir apakah dirinya tidak cukup menarik di banding wanita yang usianya hampir menyentuh angka 50 tahun, yaitu ibundanya.

Tari yang terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri tak menyadari jika ia sudah berjalan jauh meninggalkan hotel, ia di kejutkan dengan suara seorang pria yang memanggil dirinya.

"Hei," teriak pria itu hingga membuat Tari tersadar dari lamunannya.

Tari menoleh ke belakang, ia melihat seorang pria tengah duduk di atas kap mobilnya.

"Hei, kau mau kemana? Diujung sana terdapat batu karang yang curam, dan ombaknya sangat kencang. Aku tidak ingin di repotkan menjadi saksi orang hilang yang tergulung ombak, jadi sebaiknya kau jangan ke sana."

"Benarkah?" Tari baru menyadari jika dirinya sudah terlalu jauh.

Pria itu mengangguk. "Kau terlihat menyedihkan sekali, seperti orang yang kebingungan membayar tagihan pinjol," ucap pria itu dengan nada mengejek. "Duduklah di sini denganku." Pria itu menepuk kap mobilnya.

Tari mendengus kasar, ia menghampiri pria itu lebih dekat. "Enak saja kau ini, justru kau yang terlihat menyedihkan." Ia menunjuk ke arah kaleng-kaleng alkohol yang berada di sebelah pria itu. "Duduk termenung di pinggir pantai di temani dengan alkohol sudah pasti kau yang sedang terjerat tagihan pinjol." Tari tertawa puas.

Pria itu menatap Tari dingin. "Aku hanya sedang memastikan bahwa cinta itu hanyalah ilusi," ia meneguk, tegukan terakhir alkohol dalam kaleng yang berada di genggamannya.

"Ilusi?" tanya Tari bingung.

"When we watch romance unfold in the movies, people seem to know quickly they just met 'the one' or they overcome obstacles in the span of an hour or two and live happily ever after. That is often an illusion, karena kenyataannya tidak semudah itu."

Tari mengangguk setuju, itu pula yang saat ini tengah di rasakan olehnya. "Ya, aku setuju," ia melompat naik ke kap mobil dan duduk di sebelah pria itu. "Apa kau sedang patah hati?"

"Mungkin," Pria itu menatap deburan ombak yang bergulung-gulung di hadapannya. "Dulu aku sempat percaya adanya cinta, tapi setelah pengkhianatan mantanku dan juga perceraian orang tuaku, sekarang aku jadi yakin jika cinta itu hanya ilusi." Pria itu membuka kaleng alkoholnya dan kemudian memberikannya pada Tari.

Tari tersenyum menerimanya. "Orang tuaku juga bercerai, bahkan mereka berpisah saat aku masih berada dalam kandungan." ia meneguk alkohol itu.

Membicarakan hal pribadi dengan orang asing yang tak di kenalnya, menurut Tari tidak seburuk dugaannya, terlebih pria asing itu memiliki latar belakang kisah cinta yang cukup mengenaskan seperti dirinya, sehingga mereka pun larut dalam obrolan tersebut.

Tari semakin gamblang dan tanpa beban menceritakan tentang perasaannya yang kacau karena pernikahan ibundanya, ia tidak akan bertemu dengan pria itu lagi jadi untuk apa malu bercerita padanya.

Malam semakin larut, Tari dan pria itu sudah lelah untuk bercerita, dan semua minuman yang di miliki pria itu pun sudah habis. "Aku harus kembali ke hotel, sebelum ibuku mencariku," Tari memijit keningnya untuk mengurangi rasa pusing akibat alkohol yang di minumnya, ia baru saja teringat jika dirinya tak membawa handphone. "Sial," gerutunya.

"Ibumu sedang malam pertama dengan suami barunya, mana mungkin dia mencarimu." Pria itu tertawa terbahak-bahak. "Ini sudah larut malam, aku akan mengantarmu. Dimana hotelmu?" sambungnya sebelum Tari menyemprot karena ledekan yang diucapkannya.

"Kau tidak bisa berkendara dengan kondisi mabuk seperti ini, aku belum mau bertemu dengan Nenek dan Kakekku di akhirat."

"Kau juga tidak bisa jalan sendirian dengan kondisi mabuk seperti ini." Pria itu mengacungkan handphonenya yang juga dalam kondisi mati karena ia tidak membawa kabel charger sehingga tidak dapat membantu Tari memesankan transportasi online.

Pria itu melirik ke arah mobilnya, Tari langsung mengetahui maksud dari pria itu menawarkannya untuk bermalam di mobilnya. Pria itu terlihat ramah dan dari obrolan mereka tadi Tari menilai jika pria asing itu merupakan pria yang baik. Sehingga, walau ia sedikit ragu. Tari menerima tawaran pria asing itu untuk bermalam di mobilnya.

Udara dingin pinggir pantai, kian malam kian menusuk tulang Tari, terlebih gadis itu hanya mengenakan gaun tipis. Beberapa kali ia terlihat menggosok-gosokan tangannya agar mendapatkan kehangat.

Melihat Tari yang kedinginan, pria itu melepaskan jaketnya dan memakaikannya di tubuh Tari. Padangan mata mereka bertemu, perlahan bibir pria itu mendekat ke bibir Tari. Pengaruh alkohol yang begitu tinggi membuat keduanya hilang kendali dan perbuatan yang seharusnya tidak terjadi pun akhirnya terjadi.

Chapter 2

Pagi harinya Tari dan pria asing itu di kejutkan dengan suara ketukan kencang di kaca jendela mobil oleh beberapa orang nelayan setempat.

"Oh, astaga...!" Tari terperanjat dari dada bidang pria yang semalam minum dengannya, mereka berdua terkejut dan panik karena mendapati tubuh mereka hanya mengenakan pakaian dalam saja.

Mereka langsung berebut menarik pakaian masing-masing dan mengenakannya dengan terburu-buru. "Apa yang kau lakukan terhadapku?" teriak Tari sembari menatap tajam.

"Hei, semalam kita melakukannya atas dasar suka sama suka. Jangan menatap seolah aku memperkosamu!" bentak pria itu tak mau kalah. "Kalau kau tidak meraba selan*kanganku hal itu tidak mungkin terjadi."

Tari teringat pada ciuman memabukan yang berikan pria itu semalam, di tambah dengan pengaruh alkohol membuatnya hilang kendali. "Oh, astaga!" ia menghela napas berat, tidak ada waktu untuk menyesali kejadian semalam, desakan dari warga agar mereka segera keluar semakin besar. "Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanyanya panik.

Pria itu tampak lebih tenang di bandingkan dengan Tari. "Kita harus segera pergi dari sini," ia menyalakan mesin mobilnya dan bersiap untuk kabur, namun sayangnya setelah mesin mobil menyala sensor pada layar monitor kendaraannya menyala. "Sial, mereka mengkempeskan ban mobilku."

"Jadi bagaimana ini?" Tari menutup wajahnya dengan kedua tangannya, belum pernah ia merasa semalu ini seumur hidupnya, ia tak bisa membayangkan jika dirinya di arak dan menjadi bahan tontonan warga. "Ini semua gara-gara kau, harusnya semalam aku kembali hotel." Tari menyalahkan pria itu sembari memukul-mukul lengannya.

"Diam kau!" pria itu meraih tangan Tari dan menahannya agar Tari tak memukulnya lagi. "Sudah kukatakan kita melakukannya atas dasar suka sama suka, jadi kita tidak punya pilihan lain selain bertanggung jawab." Pria itu menghempaskan tangan Tari, kemudian mematikan mesin mobil. Ia menghela napas berat, barulah membuka kunci mobil dan bersiap turun.

Baru saja pintu mobil sedikit terbuka, warga sudah mengerubunginya dan mendesaknya untuk turun. Pria itu memang terlihat sangat bertanggung jawab, hal ini terbukti dengan perlahan dia turun dari mobilnya.

Sementara Tari mencoba mencari peluang untuk keluar tanpa mendapatkan amukan masa, ia melihat bagian pintu belakang mobil terlihat sepi karena warga mengerumuni pria itu. Tanpa pikir panjang Tari melompat ke kursi belakang dan keluar dari mobil.

"Hei, mau kemana kau?" teriak pria itu, ia langsung menyadari Tari keluar dari pintu belakang dan berlari pergi. "Dasar kau wanita sialan..." pria itu tak bisa melanjutkan kalimatnya sebab ia harus menghadapi amukan warga.

Tari berlari sekencang-kencangnya menjauh dari mobil, ia berlari menuju jalanan besar. Ia tak mungkin kembali menyisiri pantai sebab bisa saja ia bertemu dengan nelayan lainnya, lalu kemudian menangkapnya.

Sembari berlari Tari menoleh ke belakang, ia melihat ada dua orang mengejarnya, ia pun berlari semakin kencang, ia tidak peduli kaki telanjangnya terkena batu karang dan kerikil yang terinjak olehnya.

Begitu sampai di jalan raya, ia mengakat tangannya tinggi-tinggi meminta bantuan supaya ada kendaraan yang berhenti dan memberinya tumpangan. Satu kendaranan berlalu begitu saja, Tari semakin panik karena warga yang mengejarnya semakin dekat. "Aduh bagaimana ini?"

Tari kembali mencoba menyetop sebuah mobil yang melintas, beruntung kali ini mobil tersebut berhenti. Tari menggedor-gedor kaca mobil, ketika kaca mobil itu terbuka Tari melihat seorang wanita paruh baya yang nampak anggun dan bersahaja mengendari mobil tersebut dengan di temani oleh beberapa anak-anak TK di bangku belakang mobil.

"Boleh aku menumpang sampai depan?" tanyanya dengan penuh harap.

Wanita itu tersenyum ramah. "Silahkan Nona," jawabnya sembari membuka kunci pintu mobil.

Tanpa membuang waktu, Tari masuk ke mobil dan duduk di sebelah wanita itu. "Terima kasih," ucapnya dengan penuh kelegaan.

Wanita itu kembali mengendarai kendaraannya, ia mengecilkan volume musik kendaraan saat salah seorang anak yang berada di belakangnya bertanya pada Tari. "Aunty sepertinya sedang terburu-buru?"

"Iya, aku harus kembali ke Jakarta. Tapi aku mau ke hotel dulu karena barang-barang Aunty masih ada di hotel?"

"Di mana hotelmu?"

Tari menoleh ke wanita paruh baya yang memberikan tumpangan padanya. "Hotel Harmony. Apakah satu arah dengan Anda? Jika tidak, turunkan saja aku di persimpangan depan, nanti aku akan jalan."

Wanita itu tersenyum. "Tidak apa-apa, aku dan anak-anak sedang tidak buru-buru. Bel sekolah jam setengah delapan, jadi masih ada waktu untuk mengantarmu sampai hotel."

Tari menengok ke belakang. "Apa anak-anak ini, cucu-cucu Anda?"

Wanita itu menggeleng. "Bukan. Mereka semua muridku, kebetulan kami masih satu komplek. Jadi, sekalian saja kita berangkat bersama. Lagi pula mobilku kosong, akan sangat menyenangkan jika berangkat bersama."

Dari raut wajahnya Tari bisa melihat jika wanita itu begitu menyukai anak-anak, namun jika di lihat-lihat kembali seharusnya wanita itu sudah memiliki cucu, tapi mengapa malah mengantar sekolah anak orang lain, apa beliau tidak memiliki anak? Tari menghalau pikiran itu, karena itu sama sekali bukan urusannya.

Saat mobil menepi di depan hotel Tari membuka sabuk pengamannya, kemudian menoleh ke samping. "Namaku Tari," ia mengulurkan tangannya. "Aku sangat berterima kasih karena telah mengantarku sampai depan hotel. Bolehkah aku tahu nama dan alamat rumah Anda? Aku ingin membalas kebaikan Anda jika nanti aku datang ke Bali lagi."

"Namaku Dahlia," jawabnya sembari tersenyum. "Kau tidak berhutang apa pun jadi tidak perlu ada yang di balas, tapi jika kau datang lagi ke Bali. Kau bisa menemuiku di taman kanak-kanak Bunga Matahari."

"Sekali lagi terima kasih banyak, Bu Dahlia." Tari pamit dengan wanita itu dan juga dengan murid-muridnya.

Sekembalinya Tari ke hotel, gadis itu langsung mendapat amukan dari ibundanya. "Dari mana saja kau Tari? Semalaman kau tidak kembali ke hotel, kau mengacaukan malam pertama ibu dan Om Damar saja, karena harus mencarimu." Bentak Elok memarahi putri tunggalnya. "Ibu baru saja mau menghubungi polisi untuk mencarimu."

Elok mengendus bau alkohol dari tubuh putrinya. "Kau habis mabuk ya? Kau mabuk di mana? Sama siapa?" bak tengah memarahi anak kecil, Elok menjewer Tari dan menariknya masuk ke kamar hotel.

Tari hanya bisa menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Ibu, malu... Aku bisa jelasin semuanya."

"Kau ini, apa kau seperti ini juga saat di Jakarta?" Elok terus mengomeli anaknya tanpa henti dan tak peduli jika saat ini ia tengah menjadi pusat perhatian orang-orang di sekitarnya.

Chapter 3

Plakk...

Satu tamparan keras mendarat di wajah tampan Langit Di Kala Sore. "Kala, kau ini bikin malu Papa saja." Bentak Jagat yang tak lain merupakan ayah kandung Kala. "Seharusnya tadi Papa suruh pengacara Papa untuk menjebloskan kamu ke penjara, agar kamu kapok berbuat tidak senonoh di depan umum, benar-benar memalukan." Pria itu menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan apa yang di lakukan oleh putra bungsunya.

Tanpa menatap papanya, Kala berkata. "Kenapa tidak Papa lakukan saja?" ucapnya dengan santainya seolah menantang.

"Kau ini benar-benar anak yang tidak tahu di untung," Jagat kembali menaikan nada bicaranya. "Tingkahmu sama seperti Mamamu..."

"Jangan pernah bawa-bawa Mamaku!" Kala langsung mendongak menatap tajam ke arah Jagat. "Apa yang aku perbuat tadi malam tidak ada kaitannya dengan Mama, beliau adalah wanita terhormat yang selalu menjaga martabatnya. Jangan hanya karena Mama masih terus mempertahankan yayasan pendidikannya, lantas Papa mencapnya sebagai istri pembangkang. Padahal yang sebenarnya terjadi, Papa sendiri yang masih menyimpan hati kepada wanita lain, sehingga Papa mencari-cari kesalahan Mama untuk menutupi kesalahan Papa..."

Plakk...

Satu tamparan kembali mengenai pipi Kala. "Tutup mulutmu, Kala! Yayasan itu tidak menghasilkan apa pun, jadi untuk apa tetap di pertahankan. Mamamu memang wanita yang keras kepala."

Tamparan itu sama sekali tak membuat Kala gentar ataupun takut, ia justru semakin berapi-apa mendengar papanya menyebut jika mamanya seorang pembangkang. "Tidak semuanya Papa bisa ukur dengan materi."

"Tapi kau bisa sekolah dan hidup layak dengan materi yang Papa berikan," sahut Jagat. "Sampai dengan detik ini saja kau belum mampu berdiri dengan kakimu sendiri, kau masih menikmati fasilitas yang Papa berikan untukmu."

Kala beranjak dari tempat duduknya, ia mengeluarkan kunci mobil berserta dompet dari sakunya kemudian menaruh keduanya di atas meja. "Terima kasih atas semua yang telah Papa berikan, aku akan buktikan jika aku bisa sukses tanpa fasilitas dan nama besar Papa." Ia melangkah pergi meninggalkan ruang kerja papanya.

Kala mengemasi barang-barangnya dan pergi meninggalkan kediaman papanya. Jagat melihat kepergian putra bungsunya dari atas jendela ruang kerjanya. "Bisa apa anak itu? Seminggu lagi dia pasti akan pulang," gumamnya.

...****************...

"Hati-hati di jalan ya, Nak..." Dahlia tersenyum sembari melambaikan tangannya kepada murid-muridnya ketika mereka sudah di jemput oleh orang tua mereka masing-masing.

Tiba-tiba pandangannya beralih pada Kala, saat menyadari kehadiran putra bungsunya. Kala berjalan menghampiri ibundanya, kemudian mencium tangannya. "Anak-anak sudah pulang, Mah?"

"Sudah," ujar Dahlia. "Jam pelajaran mereka kan memang lebih singkat dari anak sekolah dasar. Yuk masuk!" Ajaknya, ia penasaran melihat putranya membawa tas ransel berukuran besar, namun Dahlia menahan diri untuk bertanya sebelum mereka masuk ke ruang kerjanya.

Kala bersimpuh di hadapan Dahlia, begitu mereka memasuki ruang kerja. "Aku yakin Mama sudah mendengar kabar itu," ucap Kala lirih. "Maafkan aku sudah mengecewakan Mama."

Dahlia mengelus kepala putranya dengan lebut, wanita itu bukan hanya mengetahui soal penggrebegan putranya di pantai, tapi juga soal pertengkaran Kala dengan mantan suaminya.

Berita itu ia dapatkan dari asisten rumah tangga yang bekerja di kediaman Jagat yang masih setia menyampaikan informasi mengenai kejadian yang menimpa Kala di rumah. "Mama mengerti sakitnya di khianati dengan orang yang kita sayangi dengan sepenuh hati, tapi jangan sampai kita mencari pelampiasan atas sakit hati tersebut."

Kala mendongak menatap ibundanya. "Wanita itu bukan pelampiasan rasa sakit hatiku karena putus dengan Celin," ia bercerita jika dirinya baru saja bertemu dengan wanita itu, ia bahkan tak mengenal dan tak tahu nama wanita itu. Kala mengatakan bahwa hubungan intimnya bersama wanita itu terjadi begitu saja, karena alkohol yang menguasai diri mereka.

"Mama percaya padamu, Nak. Mama juga percaya kau tidak akan melakukannya lagi bukan?" Dahlia merangkum wajah putranya, mau sebesar apa pun Kala, pria itu tetap bayi kecil yang sangat ia sayangi.

Kala mengangguk. "Ya, aku janji tidak akan membuat Mama malu lagi."

"Kalau begitu, mari kita pulang. Kau sekarang tinggal bersama Mama kan?" ajaknya dengan riang.

Kala beranjak dari pangkuan Dahlia, ia duduk di samping ibunya dan menatap dengan serius. "Tidak Mah," ia menggeleng. "Kala bukan mau tinggal sama Mama, tapi Kala mau pergi ke Jakarta."

"Jakarta?" Dahlia terkejut sekaligus sedih mendengar ucapan Kala.

"Mama masih ingat dengan design arena bermain yang aku buat? Uncle Tom tertarik bekerja sama denganku untuk membuat arena bermain edukasi itu," terang Kala.

"Loh bukannya kamu bilang project itu tidak jadi? Dan kau memilih membantu mengembangkan bisnis resort Papa yang di Ubud?"

Kala menggeleng kembali. "Papa lebih memilih design yang di buat Pak Dirga, ketimbang designku. Papa bilang punyaku kurang matang dan sama sekali tidak menarik," ia berusaha menutupi kesedihannya dengan senyuman.

"Ya, karena Papa tidak membutuhkan aku, lebih baik aku mencari peluang lain. Lagi pula Mama juga pasti tahu kan, soal pertengkaranku tadi pagi dengan Papa? Aku rasa sekarang sudah waktunya aku berdiri dengan kakiku sendiri."

Dahlia menatap bangga pada Kala. "Tapi jangan lupa buat kabarin Mama ya, dan jangan lupa untuk pulang. Karena kalau kau tidak mengunjungi Mama, Mama yang akan menghampirimu ke sana!" Ancamnya.

"Memangnya Mama berani naik pesawat?" ledek Kala sembari tertawa.

Dahlian mencubit pinggang putranya hingga Kala meringis kesakitan. "Haduh... Mama sakit..."

"Ngeledekin Mamanya terus sih kamu," Dahlia melepaskan tangannya dari pinggang Kala, kemudian ia berjalan menuju meja kerjanya untuk mengambil sebuah kartu ATM dari dalam tas. "Kamu pegang ini ya," ia memberikannya kepada Kala karena mengetahui Kala memberikan dompetnya kepada mantan suaminya.

Tentu saja Kala menolaknya. "Mama tidak usah khawatir, aku masih punya tabungan kok."

"Mama tidak akan izinin kamu ke Jakarta kalau kamu tidak menerimanya." Dahlia tidak menerima penolakan.

Kala yang tak ingin berdebat dengan ibunya, terpaksa menerima ATM tersebut. "Terima kasih ya, Mah. Aku pergi dulu." ia mengecup tangan dan pipi ibunya, kemudian ia pergi meninggalkan ibunya menuju Jakarta.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!