NovelToon NovelToon

Istri Untuk Alan

Mengawali

🌹VOTE🌹

AUTHOR POV

"Saya kan sudah bilang, kamu itu ga usah masak kalau saya gak nyuruh. Lihat sekarang, gosong kan semua. Masak aja ga becuh, Dasar Bodoh."

Seketika air mata Inanti jatuh, menunduk menatap jemari tangan yang bergetar. 

"Ingat, area kamu itu hanya kamar itu saja, jangan sok sok-an masak atau bersih-bersih. Kerjaan kamu gak kepake sama saya."

Inanti memberanikan diri mengangkat wajah menatap manik hitam suaminya yang indah. "Maaf, Kak."

"Maaf, maaf, kamu kira maaf bisa ganti kerugian saya? Gimana kalau kebakaran?"

Tangisan Inanti semakin menjadi jadi, satu satunya cara menghentikannya dengan cara menggigit bibir bawah. 

"Saya mau berangkat, kamu diem di kamar. Jangan nyentuh barang barang saya."

Dan ketika Inanti mengulurkan tangan hendak mencium tangannya, Alan mengabaikan. Kemudian disusul oleh suara pintu terbanting.

Pagi ini, Alan sang suami kembali pergi dengan penuh amarah. Suami? Entah Inanti pantas menyebutnya seperti itu atau tidak, karena kenyataannya Inanti tidak pernah diperlakukan sebagai istrinya.

Alan Praja Diwangsa, pria yang kini menjadi suaminya, suami yang tidak menginginkannya. Pernikahan ini hanyalah kesialan bagi Alan. Padahal, seharusnya Inanti yang merasa dirugikan. Inanti diperkosa oleh kakak seniornya sendiri, hamil, lalu dinikahi oleh Alan secara terpaksa. 

Setelah menikah, Inanti diperlakukan layaknya sampah. Dibuang di kamar bekas pembantunya, seringkali tidak diperhatikan. Bahkan, kehamilannya yang sudah menginjak usia dua bulan ini tidak pernah dia pertanyakan. Uang saja tidak pernah dia berikan, yang mana membuat Inanti  harus segera bersiap untuk bekerja.

Pagi ini Alan marah karena Inanti memasak nasi goreng gosong. Bukan kesengajaan, tapi rasa mual ini membuatnya harus berlama lama di kamar mandi. Dan jika Alan sudah memperingatkan, Inanti tidak berani menyentuh dapur lagi. 

Jika Alan menyuruh istrinya masak, maka Inanti akan masak dan memakan sisa makanannya. Sayangnya, pagi ini Inanti harus sarapan dengan nasi goreng gosong.

"Berangkat, Bu?"

Kepala Inanti menengok, Mang Asep supir Alan belum berangkat. Membuat Inanti bertanya tanya.

"Kok Mang belum pergi?"

"Tuan bawa mobil sendiri, dia bilang ada acara."

"Oh iya." Inanti mengangguk angguk mengerti sambil melangkah mendekati sepeda yang tersimpan di pekarangan belakang.

"Ibu mau pergi? Mari saya antar."

"Ga usah, Mang, cuma mau ke depan kok."

"Ibu kan lagi hamil, jangan kecapean, naik sepeda nguras tenaga. Saya antar naik mobil, Bu, lagian inikan mobil ibu juga."

Sebenarnya Inanti mau, tapi Inanti yakin kalau Alan tahu dia akan marah besar. "Ga papa, Mang, sekalian olahraga."

"Baik kalau begitu, Bu, kalau ada apa apa telpon saja saya."

"Iya, Mang, siap. Jangan 'Ibu-Ibu.' mulu, Mang, panggil aja Inanti, serasa ibu-ibu saya."

Mang Asep tertawa. "Bukan begitu, Bu, Ibu kan majikan saya."

"Haha, iya deh, Mang. Saya berangkat, Assalamualikum."

"Waalaikum salam."

Kakinya mengayuh sepeda sekitar lima belas menit sebelum akhirnya sampai di tempatku bekerja. Sebagai pelayan warung makan kecil, gajinya cukup memenuhi perut Inanti sehari-hari.

🌹🌹🌹

"Inanti, hari ini kamu kerja sampai sore ya, soalnya Mba Marni sakit."

"Iya, Mbo," ucapnya pada sang pemilik warung nasi.

Sambil duduk menunggu pelanggan, mata Inanti melihat gedung kampus yang ada di sebrang jalan. Di sanalah dulu Inanti menimba ilmu, dengan percaya diri mengingat Inanti masuk ke perguruan tinggi dengan beasiswa. 

Namun, entah mengapa Inanti merasa Allah belum mengizinkannya bahagia. Tiga bulan Inanti masuk kuliah, harus dikeluarkan karena membuat kesalahan. Sebenarnya yang salah di sini adalah Alan, Inanti korban yang dia perkosa, Inanti yang mendapat kerugian olehnya. 

Dan berita menyebar dengan cepat, bahwa Inanti menggoda seorang senior S-2 tingkat akhir hingga Inanti hamil. Kenyataan yang benar benar terbalik, padahal mereka tahu Inanti diperkosa, tapi mereka terus saja mengatai Inanti ******. Apalagi teman temannya Alan, sindiran mereka mampu membuatnya menangis berjam jam di setiap sujud sholatku.

"Mba, ada goreng jengkol?"

"Ada, Mas."

"Bungkus ya, Mba, pake sambel sama nasi."

"Lauknya ada yang lain, Mas?"

Pria yang memakai helm itu mengangguk, menunjuk sesuatu yang ada di depan Inanti. "Tahu goreng sama tumis kangkung, Mba. Tapi saya ga mau pake tempenya, bisa?"

"Bisa, Mas, tunggu sebentar, silahkan duduk."

"Sip."

"Pake nasi, Mas?"

"Iya, Mba, yang banyak ya, porsi dua orang."

"Iya siap."

Warung nasi ini memang tidak terlalu ramai, mengingat di samping sana sini adalah caffe dan rumah makan bergengsi. Dan Mbo Maemunah mempertahankan lahannya, menolak semua tawaran pembeli tanah.

"Ini, Mas, jadi 15 ribu. Makasih."

Tidak banyak yang Inanti lakukan, kembali duduk menunggu pelanggan, bersih bersih dan melakukan apa yang disuruh Mbo Maemunah. "Inan, tolong bawa rempah rempah di rumah Ibu Lanti, ya, Mbo sudah pesan kemarin."

"Iya, Mbo, mau sekalian beli tahu tempe?"

"Masih ada, ambil aja rempahnya."

"Baik, Mbo."

Bergegas Inanti pergi kesana. Panas terik, sambil jalan kaki sungguh sempurna bagi ibu hamil sepertinya. Rumahnya tidak terlalu jauh. 

Dan satu kesialan, pulang dari perumahan Bu Lanti, Inanti melihat Alan bersama teman temannya sedang makan siang di Caffe pinggir jalan. Inanti panik, hanya itu jalan Inanti kembali, sialnya lagi Alan dan teman temannya makan di bagian luar caffe. 

"Ya Allah, aku harus bagaimana?" 

Alan tidak tahu Inanti bekerja. Entah dia akan peduli atau tidak, tapi Inanti pasti membuatnya marah karena mempermalukannya di depan teman temannya.

"Eh, ya engga lah, emangnya gue si Alan, cewe hotel dipake."

Ketakutan Inanti berhenti saat sadar mereka membicarakannya. Di sana ada Alan, Rizki, Andria dan Delisa. Satu geng yang selalu menjadi idaman para mahasiswa lain. Delisa, wanita bermulut cabai yang selalu membuat Inanti menangis.

"Hahaha, iya, gue juga engga. Senakal nakalnya gue, gue ga pernah tuh mainin cewe hotel." Rizki menambahkan. "Lagian lo ga jijik pas nyoblos, Lan? Ternyata…. Tipe lo yang kaya gitu."

Andria tertawa. "Engga kali, Alan kan abis ditolak sama Vanesa, jadi buta ga bisa liat mana yang berkualitas."

"Udah si jangan goda dia mulu," ucap Delisa ikut menggoda. "Lo pada mau bisnis bisnis lo kandas? Udah diam, jangan goda boss kita, lagian dia emang suka sama itu cewe, cewe yang doyan keluar malam."

"Mulut lu mau pada gue bogem?"

"Wooohooo, boss kita marah. Setelah sekian lama akhirnya berkicau juga." Rizki tertawa keras. "Tapi, Lan, emang lu yakin mau punya istri kaya gitu selamanya?"

"Ya engga lah, ***, kan Alan bilang dia mau cerain tuh cewe kalau udah lahiran," ucap Delisa.

"Serius? Kapan dia bilang gitu?" Tanya Andria.

"Waktu party di klab, mau tau ga dia bilang apa?" Delisa menggoda. "Dia bilang dia tuh jijik sama Inanti, udah miskin, bau, kumal banyak kumannya lagi."

"Tapi cantik, Del, mukanya mulus bersih, kinclong." Andria membayangkan.

Delisa berdecak. "Ya mulus, soalnya digosok mulu sama om om."

Dan setiap tawa mereka, membuat air mata Inanti menetes semakin deras. 

"Hahahahaha, jijik gue, emang sih buah jatuh ga jauh dari pohonnya. Gue denger bokapnya masuk penjara lagi ya? Dia maling kan?"

"Iya, gue liat di berita. Najis, Lan, ternyata mertuamu seorang penjahat. Pantas aja saham lu turun, hahahahaha…."

"Bisa pada diem ga sih lu?"

"Udah sil, Lan, jangan baper." Delisa mengerucutkan bibir. "Tapi, Lan, jawab gue yang jujur. Lu lebih benci atau jijik sama dia?"

Dan keheningan tiba tiba melanda, Inanti terdiam, napasnya terasa tercekat. 

Sampai Alan menjawab, "Gue jijik sama dia, gue nyesel pernah perkosa dia."

'Ya Allah, dosa apa yang telah hamba aku ini buat sampai kau memberikan cobaan yang begitu berat? Kapan aku akan bahagia? Bagaimana nasib anaku nanti?' Batin Inanti.

Dan seseorang tanpa sengaja menyenggol bahunya, membuat Inanti berteriak dan terjatuh. Dan itu menarik perhatian teman teman Alan. Delisa berdiri dan melihat Inanti, dia tertawa, "Oow, Lan, bini lu nyusul nih!"

🌹🌹🌹

TBC...

Berharap

🌹VOTE🌹

AUTHOR POV

Tidak pernah Inanti setakut ini, bagaimana jika Alan memarahinya? Membuatnya menangis kembali dan melemparkan kata kata menyakitkan?

Suara pintu terbuka tidak pernah membuat Inanti setakut ini, jam sudah menunjukan pukul 10 malam. Dan suaminya baru kembali. Mencoba mengatur napas, Inanti keluar kamar untuk menyambutnya. Dia masih di depan pintu melepas sepatunya yang berkilau. 

Inanti mendekat, seperti malam malam sebelumnya. Mencoba menggapai tangannya untuk Inanti cium, sayangnya Alan kembali menghindar. "Kakak sudah makan? Mau Inanti buatkan makan malam?"

"Tidak usah."

"Mau Inanti siapkan air hangat?"

"Tidak."

"Inanti bantu bawa tasnya ya. Kakak istirahat saja, mau minum air dingin?"

"Tidak." Tangannya mengangkat tas tidak ingin Inanti sentuh, saat itu Inanti mendapatkan tatapan tajam dari Alan. "Bisakah kau urusi urusanmu sendiri? Jangan ganggu saya, pergi sana."

"Tentang siang tadi, Kak… sebenarnya Inanti…."

"Terserah." Alan memotong ucapannya, Inanti kembali menunduk enggan menatapnya yang berdiri di depan. "Saya engga peduli kamu mau ngapain, tapi jangan buat saya malu. Kalau mau kerja, kerja yang jauh sekalian, jangan di sekitaran kampus. Liat kamu di sini tiap hari aja udah bikin saya muak, apalagi nambah di kampus."

"Maaf, Kak, tapi Inanti butuh uang untuk makan sehari hari," ucapnya sambil menggigit bibir bawah menahan tangis. 

"Kamu kemanakan mas kawin yang saya kasih? 150 gram, itu mampu menghidupi kamu 'kan? Belum lagi uang yang Papa saya berikan. Kamu kemanakan uang itu?"

"Inanti pake buat biaya rumah sakit Ibu saya."

Alan terkekeh, membuat hatinya terasa tercubit. Dia menertawakan hidup Inanti, nasib yang rusak oleh Alan. "Dengar ya, keluarga saya itu udah dibikin malu sama kamu, sama Bapak kamu yang nyuri mobil Papa saya. Sekarang apa? Kamu mau minta uang buat biaya rumah sakit ibumu?"

"Engak," ucapnya cepat, mata Inanti yang berkaca kaca hanyalah angin belaka bagi Alan. "Inan gak minta itu, Inan cuma mau Kakak memperlakukan Inan dengan baik."

"Memperlakukan kamu dengan baik? Nama kamu aja sudah mencoreng keluarga Praja Diwangsa, sekarang mau diperlakukan dengan baik? Ga waras kamu," ucap Alan melangkah menjauh.

Inanti terdiam, menatap lantai dengan telinga terpasang mendengar Alan menaiki tangga. Beginilah Inanti, setiap harinya mendapat perlakuan buruk. Bukan secara fisik, tapi rasa sakitnya melebihi tamparan. 

Harapannya, Alan menginginkan makan malam, dengan begitu Inanti juga bisa ikut makan. "Maaf, Sayang, malam ini kita makan roti lagi, ya," ucapnya pada perut yang masih datar.

Alan mana peduli dengan bayi dalam kandungannya, menganggap Inanti sebagai istrinya saja membuatnya mual.

Inanti kembali ke dalam kamar, tempat itu sama sempitnya seperti kamarnya yang dulu. Dua bulan lalu Inanti merasa hidupnya berada di puncak, mendapat pekerjaan dengan gaji yang besar dan kuliah di universitas Negri. Sayang, pekerjaannya sebagai tukang bersih bersih di hotel membuatnya hancur.

Malam yang mengerikan. Saat itu, Alan menjadi tamu hotel. Mengingatnya saja membuat Inanti merinding ketakutan. Apalagi Inanti ingat bagian Alan melemparinya uang, menyuruhnya tutup mulut. 

Sayangnya, dua minggu kemudian Inanti hamil dan Ibunya mengetahui. Dia marah dan mendatangi rumah keluarga Praja Diwangsa, saat itulah Alan mengakui kesalahannya.

Dan Bapak Inanti memanfaatkan keadaan itu untuk mencuri. Di hari pernikahan Inanti yang dilakukan secara diam diam, Bapaknya mencuri mobil milik Papa nya Alan, yang mana mengiringnya ke penjara. 

'Ya Allah, mengapa hidupku begini?'

Setiap potong roti yang masuk ke mulut, bersamaan dengan air mata yang menetes. 

Menyekanya berulang kali, Inanti keluar kamar untuk mengisi botol besar dengan air minum. Ketika keluar, Inanti sadar Alan sedang menonton televisi di ruangan tengah. Inanti melewatinya dengan pelan, mengingat dia terlihat sibuk dengan laptopnya.

Sambil mengisi botol aqua bekas, Inanti menatap suaminya diam diam. Rahangnya tegas, alisnya tebal, mata hitamnya menatap tajam kertas kertas di meja, juga bibirnya yang agak tebal. Inanti tidak bisa membencinya, karena kenyataanya, Inanti jatuh cinta pada Alan saat hari pertama ospek, dengan dia yang menjadi tamu kehormatan fakultas ekonomi manajemen.

Hatinya kembali diisi dengan penuh harapan, berbisik pada dirinya sendiri, 'Jangan khawatir, Inanti, sekeras kerasnya batu akan kalah oleh tetesan air. Suamimu akan menyadari betapa beruntungnya dia memilikimu, teruslah berharap dan berdo'a, dan yakinlah Allah ada bersamamu.'

🌹🌹🌹

"Hallo, Assalamualaikum?"

'Waalaikumsalam, apakah benar ini dengan Nona Inanti Faradiya?'

"Iya, saya sendiri."

'Saya dokter Imam.'

"Astaga, dokter, maaf, kemarin Inan tidak datang soalnya Inan masih bekerja."

'Iya, tidak apa, Nan, tapi kamu tahu kan apa yang akan saya bicarakan?'

Inanti menelan ludah kasar, mengangguk sendirian. "Operasi Ibu?"

'Iya, saya mencoba membantu, tapi kamu tahu ini rumah sakit swasta, dan ju--'

"Iya, dok, Inan mengerti. Pagi ini isyaallah Inan ke sana, membayar semuanya."

'Oke baik, Nan. Assalamualikum.'

"Waalaikumsalam."

Rasanya sakit mengingat Ibu sedang berjuang dengan sakitnya. Inanti menyingkirkan selimut, duduk di atas kasur busa yang terkapar di lantai. Menyedihkan memang, di rumah sebesar ini, Inanti tidur di atas kasur busa lapuk dengan bantal dan selimut bekas pembantu Alan. 

Jakarta memang keras, tapi lebih keras lagi hati suaminya. 

Setelah sholat subuh, Inanti terbiasa tidur lagi sampai jam enam. Untuk pergi ke rumah sakit, Inanti menginkan pakaian terbaik.

Saat keluar untuk ke kamar mandi, Alan sudah rapi dengan kopi di depannya. 

"Kakak sudah rapi? Mau Inan buatkan sarapan?"

Keheningan melanda, Alan sibuk dengan koran. "Kak…"

"Tidak perlu."

Dan harapannya pupus. Tapi, Inanti harus mengatakannya. Maka dari itu Inanti duduk di kursi depannya, membuat Alan menatapnya beberapa detik. "Inanti mau ngomong, Kak."

Alan tidak menjawab.

"Inanti butuh uang untuk operasi Ibu, Kak."

Alan menurunkan korannya.

"Uang Inanti tidak cukup, masih kurang, Kak." Inanti kembali menjelaskan, "Inanti tau jumlahnya tidak sedikit, tapi Inan akan membayarnya nanti. Inanti butuh sekali, Kak."

Tanpa berkata apapun, Alan meninggalkan Inanti. Dia naik ke lantai dua, sebuah area yang belum pernah Inanti pijak. Dan air mata Inanti kembali menetes, sampai Alan kembali dan menyimpan kartu debit di atas meja. "Pakai itu."

"Makasih, Kak."

"Jangan besar kepala, itu hanya untuk operasi Ibumu, setelahnya kembalikan."

"Iya, Kak, Inan mengerti."

Alan hendak pergi, tapi Inanti menahannya dengan perkataan, "Oh iya, Kak. Kalau Kakak tidak sibuk, Kakak mau temani Inanti melihat Ibu? Ibu pasti senang melihat Ka---"

"Saya sibuk."

"Baik, Kak, Inan mengerti."

Dan Inanti tahu, seharusnya dia tidak menanyakan hal itu. 

"Saya akan pergi ke Bandung, jangan buat masalah di rumah saya."

Inanti menjawab dengan suara tercekat, "Baik, Kak."

Inati tahu Alan pergi ke Bandung untuk apa. Dia pergi untuk menemui pujaan hatinya yang bernama Vanesa. Dulu dia kuliah di tempat yang sama dengan Alan, tapi saat berita tentangnya menyebar, Vanesa keluar. Mereka berteman, tapi Alan punya perasaan lebih padanya.

Bahkan sampai saat ini, Alan masih mengejarnya. Padahal seharusnya dia sadar, Inanti ini istrinya yang sedang mengandung keturunannya.

🌹🌹🌹

Tbc

Kehilangan

🌹VOTE🌹

AUTHOR POV

Inanti menarik napas dalam, mencoba memasang senyum terbaik. "Assalamualaikum, Ibu."

"Waalaikumsalam, Inanti Sayang, kemarilah."

Senyuman di wajah tua ibunya membuatnya senang, Inanti datang dan memeluknya. "Ibu, Inan membawa buah-buahan, Ibu mau makan yang mana?"

"Alan ke mana, Nak?"

Inanti menelan ludahnya kasar. "Kak Alan ke luar kota, ada kerjaan katanya. Dia minta maaf tidak bisa datang menemui Ibu."

"Kok panggilnya Kakak? Dia kan suami kamu, panggilnya Mas, biar lebih sopan."

Inanti terkekeh. Mas? Dipanggil Kakak aja dia gak sudi. "Iya, Bu, nanti panggilannya di ubah kok."

"Gimana kandungan kamu?"

"Baik, Bu, lusa kemarin udah Inan periksa, janinnya sehat kok."

"Alhamdulilah, keadaan Alan gimana?"

"Mas Alan juga baik."

"Katanya dia sebentar lagi wisuda?"

"Iya, Bu, dapet gelas S-2 deh dia."

Ibu tertawa mendengar ledekanku, tapi tawanya terhenti tatkala tangan keriputnya mengelus pipiku. Ibu sudah tua, mengandung Inanti adalah berkah baginya. Ibu sangat menyayangi putrinya, dia bilang kehadirannya adalah penyelamat rumah tangganya. Tapi Inanti rasa, Ibu lebih baik tanpa Bapak. Bapaknya adalah seorang yang kasar, pemain tangan dan juga bermulut kotor.

"Keluarganya suami kamu gimana? Baik?"

"Mama nya Mas Alan baik, minggu kemarin dia telpon Inan kok, nanyain kabar Inan."

Ibu kembali tersenyum, Inanti tahu senyumannya menahan rasa sedih. Keluarga besar Alan ada di Depok, berbeda dengan putra pertama Riganta Praja Diwangsa yang berada di Jakarta Selatan, yang tidak lain adalah Alan. 

"Mereka…. Masih marah sama kita?"

Inanti menggeleng. "Enggak, Bu, masa iya marah, kan Bapak juga udah dipenjara."

Wajah ibu mendung seketika.

"Ibu jangan sedih, Bapak pantas mendapatkannya. Bukan hanya membawa pergi mobil Pak Riganta, Bapak juga aniya satpam di sana. Itu hukuman untuk Bapa, Bu. Jangan dipikirkan ya."

"Engga, Sayang." Ibu memaksakan senyumannya. "Yang penting sekarang anak Ibu hidup bahagia, sehat, dengan janinnya pun begitu. Kamu akan jadi seorang Ibu, Inan. Umur kamu mungkin masih 18 tahun, tapi kamu harus siap menjadi sosok Ibu."

"Inan siap kok, Bu. Insyaallah, Inan akan menjaga anak Inan seperti Ibu memperlakukan Inan."

"Bagus." Ibu memegang tanganku, sampai senyumannya luntur. "Kenapa tanganmu kasar, Nak?"

"Ah." Inanti tertawa hambar. "Inan selalu masak untuk Mas Alan, jadi agak kasar, he he."

"Jangan kecapean, setahu Ibu, Alan punya pembantu di rumahnya."

Dan ibu tidak tahu pembantu itu telah digantikan oleh putrinya. "Inan suruh dia berhenti, Bu, Inan mau melayani Mas Alan dengan baik."

"Subhanallah, Alhamdulillah kalau Alan memperlakukanmu dengan baik sampai kamu sangat menghormatinya."

"Iya, Bu, Mas Alan baik banget sama Inan." Bohongnya.

Tangan Ibu menyentuh rambutku, dia membiarkan kepala Inanti merebah di dadanya.  "Inan?"

"Iya, Bu?"

"Bolehkah Ibu bertanya sesuatu?"

"Tentu, Bu." Inanti menegakan kepala. "Ada apa? Ibu mau makan?"

"Dokter melarang Ibu makan, kan mau operasi."

Operasi jantung, ya Inanti melupakannya. Bagian paling menyakitkan yang membuat tubuh ibunya seringkali membengkak. 

"Kenapa kamu belum mengenakan hijab?"

Inanti diam.

"Inan dulu bilang sama Ibu, kalau punya uang mau membeli hijab untuk menutupi aurat. Kenapa belum, Sayang?"

Dan inilah alasan Inanti selalu ingin memakai pakaian bagus di depan Ibu, supaya dia mengira hidupnya sangat bahagia dan bergelimang harta mengingat keluarga Praja Diwangsa adalah pemilik real estate ternama di beberapa kota besar.

"Inanti?"

"Iya, Bu, Inan belum sempat beli."

"Kenapa?"

"Inan belum ijin sama suami."

"Ga mungkin kan Alan larang kamu pakai hijab?"

"Engga, Bu."

"Istri yang sholeh itu akan menolong suaminya kelak di akhirat, bantu suamimu, Nak. Berbakti padanya."

"Iya, Bu, Inan mengerti."

🌹🌹🌹

"Saya mengatakan kemungkinan buruknya, Inan, saya tidak mau membuat kamu kecewa."

Perkataan dokter Imam terasa bagaikan angin belaka bagi Inanti. Apa ini? Dia mengatakan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada Ibu yang bahkan sampai pada kematian.

"Inanti?"

"Iya?"

"Kamu dengar saya 'kan? Semua penjelasan saya?"

"Iya, Dok, saya dengar."

"Inanti." Tangan dokter Imam menyentuh tangan Inanti, Inanti tahu itu bukan sebuah godaan, tapi sebuah penguatan. Inanti mengenal dokter Imam sejak Ibu masuk ke dalam rumah sakit. "Saya lakukan yang terbaik untuk ibu kamu, tapi dengan berat hati saya harus sampaikan hal ini."

Inanti akhirnya berani membalas tatapan dokter Imam. Dan…. Subhanallah, sesaat Inanti terpana dengan ketampanannya. Dokter Imam punya darah ketimuran, sedangkan Alan memiliki darah Amerika Latin asli dari Mamanya. 

"Inan?"

"Iya, Dok, saya mengerti."

"Oke kalau begitu." Dia menatap jam tangan. "Saya akan memulainya lima menit lagi, doakan semoga operasinya berjalan lancar."

"Iya, Dok."

Dan Inanti tahu siapa yang bisa mendengar keluh kesahnya saat ini. Inanti tidak ingin menunggu sambil menangis, Inanti ingin mengeluh, mengeluarkan semua kesedihannya pada Allah.

Diam di mushola rumah sakit selama berjam jam, Inanti bersujud, meminta bantuan pada Allah. Kali ini, sholat duha nya tidak meminta rezeki materi, tapi rezeki kebahagiaan batin. Hanya penciptanya yang bisa menolongnya saat ini.

Sampai sholat dzuhur Inanti berada di sana. Dan apapun hasilnya, Inanti akan menerimanya.

"Mbak, hapenya ketinggalan."

"Oh, iya, makasih, Mas."

"Eh, Mbak yang jualan di warung nasi Mbok Maemunah ya?"

Inanti diam, dengan tangan memasukan ponsel nokia jadul ke dalam tas. 

"Hahaha, gue yang sering beli jengkol di warung nasi itu."

'Ohh, ini cowok yang suka pake helm. Tapi kenapa sekarang lo-gue? Biasanya juga sopan nih laki, mentang mentang mirip Justin Bieber. Eh, tapi kok bule doyan jengkol ya? Alan juga engga,' batin Inanti.

"Gue Judi."

'Judi? Nih laki mau buat dosa?'

"Nama gue Judi. Sebenernya pas di warung gue liatin lu, serasa pernah liat dimana gitu, eh ternyata iya pernah ketemu."

"Hah? Kapan? Bukannya di warung pertama kali?"

"Kagak, Lu dulu sekolah di SMA yang deket kantor kejaksaan 'kan? Inget ga dulu lu nyangka gue maling mobil?"

Pas Inanti SMA ada laki laki memakai helm buka pintu mobil paksa. Inanti kira maling, padahal dia pemiliknya.

"Kalem aja wajahnya, udah mau setahun juga."

"Hehehe, Maaf, Mas, waktu itu saya pikir itu bukan mobil Mas nya, lagian pake helm aneh."

"Ya kan dulu lu denger penjelasan gue, itu helm titpan temen gue. Perlu jelasin lagi?"

"Engga engga."

"Lu ngapain di sini?"

"Eh anu." Ya allah Inanti lupa sama hasil operasi. "Saya pamit dulu ya."

"Eh tunggu bentar dong, kenalan dulu. Nama lu siapa?"

"Inanti." Inanti menjabat tangannya, sayang Judi menahan. "Eh, lepasin dong, Mas."

"Jangan gebukin lagi dong, In. Kalem, gue cuma mau minta no WA." Dia menyerahkan ponselnya padaku.

"Kan tadi lihat sendiri ponsel saya mah jadul, mana bisa WA an, internetan juga engga."

"Nomornya aja deh, nanti di telpon."

Secepatnya Inanti pergi setelah memberikan nomor ponsel.

Semakin Inanti melangkah, semakin jantungnya berdetak kencang. Apalagi melihat beberapa suster yang terlihat sibuk. Sampai mata Inanti melihat dokter Imam yang berdiri menatapnya, dia mendekat saat Inanti berhenti melangkah.

"Inanti maaf, saya melakukan yang terbaik."

🌹🌹🌹

Tbc

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!