...Warning⚠️...
Sebelum baca novel ini, ada baiknya beli buku "Love Scandal" dulu, biar nggak bingung dengan silsilah keluarga Alana. Soalnya novel versi online nggak selengkap versi buku👍
Link ada di bio Ig @tantye005
...****************...
Suasana salah satu sekolah menegah ke atas, kurang terkendali karena adanya perkelahian antar siswa di tengah lapangan. Sampai saat ini tidak ada yang tahu apa yang menjadi penyebabnya. Tak ada satu pun yang datang menengahi dua perempuan yang saling menjambak. Hingga akhirnya ketua osis datang menyela kerumunan yang terbentuk sejak tadi.
Lelaki tampan dengan wajah datarnya, tengah berdiri sambil menatap dua perempuan yang seakan tidak lelah saling memaki. Dia adalah Angkara Afrizal Wijaya, anak pemilik sekolah, sekaligus ketua osis yang paling disegani karena ketertibannya pada peraturan sekolah.
Iris mata yang gelap, di padukan lesung pipi jika tersenyum, membuat pria itu sangat manis nan tampan.
"Kalian nggak akan berhenti?" tanya Angkara dengan suara beratnya.
Hanya sekali, tetapi kedua perempuan itu langsung menghentikan kegiatan mereka dan menunduk di hadapan Angkara.
"Dia duluan Kak!" lirih Alana. Sudut bibir gadis itu telah terluka karena cakaran dari lawannya.
"Alana yang mulai Kara," jawab Tiara, teman sekelas Angkara dan juga merupakan anggota osis.
"Ikut aku ke ruang osis!" perintah Angkara dan berlalu pergi.
Dua perempuan yang berkelahi tadi lantas mengikuti dari belakang hingga sampai di ruang osis. Berdiri di hadapan Angkara yang sedang duduk layaknya seorang guru menghakimi siswa nakal.
"Kamu, harusnya sebagai adik kelas tahu aturan dan nggak banyak bertingkah. Ini bukan pertama kalinya kamu membuat onar di sekolah!" bentak Angkara pada Alana.
"Maaf kak, aku ke pancing emosi tadi. Aku nggak suka jika ada orang yang mempertanyakan didikan orang tuaku."
Angkara menghela napas panjang, lelaki itu beralih pada Tiara. "Kamu Tiara, harusnya sebagai anggota osis, kamu memberikan contoh yang baik untuk teman-teman yang lain, terutama adik kelas!"
"Maaf Kara, tapi tingkahnya benar-benar membuat emosi. Dia tidak pernah mendengarkan siapa pun selain kamu. Tadi aku hanya menegurnya agar tidak membuat kegaduhan di parkiran saat jam pelajaran," lirih Tiara.
"Minta maaf!"
"Nggak mau!" ucap keduanya serempak.
"Berpelukan!"
"Ogah!"
"Lari 20 putaran di lapangan sepak bola!"
Lantas saja dua perempuan keras kepala itu saling berpelukan di depan Angkara dan menggumamkan kata maaf.
"Sekali lagi aku melihat kalian bermasalah, aku akan melaporkan ke ruang BK dan orang tua kalian akan di panggil!" ancam Angkara. Lelaki itu berdiri dan merapikan seragamnya yang memang selalu rapi setiap menitnya. "Kembali ke kelas!"
"Siap Kak!" Alana pun berlari keluar dari ruang osis dan menuju kelasnya sendiri. Dia yang menjadi ketua geng motor, memang selalu bermasalah dengan osis, tapi baru kali ini bertengkar hebat dengan Tiara. Gadis arogan yang sok berkuasa mentang-mentang anggota osis.
"Apa hebatnya anggota osis? Cuma pembantu sekolah kok bangga," gerutu Alana langsung duduk di bangkunya.
"Bu ketua hebat banget tadi, tapi malah kena cakar," celetuk Gio meletakkan lenggangnya di pundak Alana.
"Iyalah gue gitu loh." Alana menyibak rambut panjangnya ke belakang. Tidak lupa menaikkan kaki di meja. Kebetulan belum ada guru yang masuk.
"Senang dong bisa masuk ke ruang osis? Menatap wajah tampan ketua osis." Gio menaik turunkan alisnya menggoda.
"Nggak sempat anjir, tadi kak Kara galak benar. Masa bentak-bentak gue."
Gio tertawa, menertawakan nasib ketuanya yang mengagumi ketua osis, padahal kelakuannya malah sebaliknya dan selalu bermasalah dengan sekolah.
...
Jika Alana sibuk menggerutu di dalam kelas, maka berbeda dengan Angkara dan Tiara yang berjalan beriringan di koridor sekolah menuju kelasnya. Keduanya tampak serasi untuk bersanding bersama, terlebih Angkara dan Tiara adalah siswa berprestasi di sekolah.
"Pulang sekolah mau temani aku ke gramedia nggak?" tanya Tiara menatap wajah tampan, tanpa senyuman Angkara.
"Boleh, nanti aku jemput."
"Makasih Kara." Tiara tersenyum lebar. Segera duduk di bangkunya yang berada tepat di depan ketua osis. Karena sudah kelas tiga, mereka harus fokus belajar agar bisa lulus dengan nilai sempurna.
Sejak beberapa bulan yang lalu pun, mereka telah resmi mundur dari semua lomba atas kebijakan kepala sekolah.
Angkara melirik ponselnya yang bergetar, tersenyum melihat pesan dari sang mama.
📩Mama: Sayang, pulang sekolah langsung ke rumah ya. Jangan mampir ke mana-mana dulu. Mama masak masakan kesukaan kamu soalnya.
📩Kara: Siap Ma
📩Kara: Papa sudah pulang?
📩Mama: Iya Sayang
📩Kara: Pantas saja senang dan antusias memasak.
Angkara memasukkan ponselnya ke saku celana ketika menyadari guru datang. Ia mengeluarkan buku catatan dan memperhatikan guru di depan.
Sesekali lirikannya tertuju pada jendela kelas di bagian koridor, karena menemukan bayangan seseorang. Ia menggelengkan kepalanya melihat Alana menyembulkan kepala di kaca jendela sambil menjulurkan lidah.
"Dadar bocah," gumam Angkara.
"Kak Angkasa, love you!" teriak Alana di depan pintu, kemudian berlari.
...****************...
Selamat datang kembali readers kesayangan. Siapa nih yang menunggu kisah Angkara di publis? Hayo loh semangat bacanya.
Jangan lupa selalu beri dukungan untuk author agar selalu semangat berkarya ya. Salam manis untuk kalian semua.
Semua siswa pun berhamburan keluar kelas, layaknya ayam yang baru saja di buka kandangnya, saat jam istirahat tiba. Begitupun dengan Angkara dan Tiara yang berencana menuju kantin untuk makan siang. Mereka yang selalu bersama, sering kali mendapatkan rumor pacaran, dan anehnya tidak ada bantahan dari pihak mana pun.
Seperti saat ini, makan di kantin hanya berdua saja, menimbulkan asumsi dari penikmat kapal Angkara dan Tiara.
"Sejak tadi aku perhatikan kamu celingak-celinguk mulu Kara, cari apa sih?" tanya Tiara karena Angkara tak kunjung menyantap makan siangnya.
"Nggak ada, kamu makan saja. Aku ke kelas sebentar." Angkara pun meninggalkan kantin dengan membawa roti juga susu di tangannya.
Langkah lelaki itu membawanya ke kelas sebelas Ipa 2, di mana gadis gila yang sering mengejarnya berada. Ia menghela napas panjang melihat gadis itu ternyata tidur dengan menelungkupkan kepalanya di atas meja. Padahal tadi lari-larian di koridor hanya untuk menggodanya.
Angkara meletakkan roti juga susu di atas meja. "Makan jangan tidur!" celetuknya.
Pemilik bangku pun membuka mata, mengusap wajahnya cepat demi mencegahnya terjadi pulau. Tersenyum lebar sehingga matanya hampir menghilang.
"Terima kasih kak Angkasa untuk makan siangnya."
"Nama aku Angkara!"
"Tetap saja aku akan memanggil Angkasa, Angkara sayang." Alana menyengir. Di balik popularitas mereka yang bertolak belakang di sekolah. Mereka adalah dua remaja yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan bersama. Semuanya di mulai saat di bangku kanak-kanak. Terlebih orang tua mereka sahabat yang tak terpisahkan.
"Terserah!"
"Bibir aku sakit, tidak bisa makan. Lihat, tadi ditampar sangat keras sama kak Tiara."
"Salah kamu karena bandel!"
"Ish, menyebalkan. Aku nggak mau makan!" Alana beranjak dari duduknya. Ia berharap di kejar, tetapi Angkara malah diam saja dengan alis terangkat.
Gadis itu menghembuskan napas kesal, berbalik dan langsung memeluk Angkara. "Kak Angkasa jangan galak-galak kenapa? Aku tuh sayang banget sama kakak. Serius," gumamnya dalam dekapan.
"Nggak usah manja, ketua kok letoy!" Angkara mendorong kepala Alana agar menjauh dari dadanya. "Makan siang sana!" Berlalu pergi.
"Oh Angkasaku, kamu adalah duniaku!" teriak Alana sambil memegangi dadanya.
"Lebay lo ah, kalau anak-anak melihat, lo akan dipecat sebagai ketua," celetuk Gio.
"Yey, gini-gini gue bucin nya sama satu orang saja," cibir Alana. Gadis itu kembali duduk di bangkunya, kemudian menyantap cemilan pemberian Angkara.
Perhatian tapi menyebalkan, itulah kata untuk Angkara yang terlalu baik pada orang terdekatnya.
....
"Jadi kan?" tanya Tiara memastikan setelah mereka telah berada di pagar sekolah.
"Hm, nanti aku jemput." Angkara menganggukkan kepalanya. Mulai melajukan motor ducati hitam miliknya meninggalkan pekarangan sekolah.
Lelaki itu sempat menghentikannya di depan pagar sekolah ketika melihat segerombolan motor besar baru saja meninggalkan lingkungan SMA Angkasa. Di barisan paling depan, yang memimpin tidak lain adalah Alana. Gadis cantik yang mempunyai dua kepribadian bagi Angkara. Kadang manja kadang pula seperti setan. Tetapi siapa yang peduli.
Angkara melanjutkan laju motornya hingga sampai di rumah, dan disambut hangat oleh mama tercinta.
"Langsung ke meja makan saja, Sayang," sambut sang Mama bernama Salsa.
Angkara mengangguk dan langsung bertemu sang ayah juga adik perempuannya yang berusia 10 tahun.
"Kak Kara!" sapa Sheila, si kecil cerewet.
"Makan dulu, sekalian papa ingin membicarakan sesuatu."
"Bicara apa Pa?" tanya Angkara sambil menyendok nasi ke piring.
"Tentang masa depanmu. Kamu nggak seperti papa saat muda dulu. Pergaulan kamu kalau bukan di kamar, ya gramedia atau pun sekolah."
"Terus?" Kening Angkara mengerut.
"Kamu punya pacar?" Azka, sang papa menatap Angkara lekat, seolah mangsa yang tidak boleh lolos dari jangkauannya.
"Angkara nggak memikirkan hal seperti itu."
"Kenapa?"
"Bukannya Papa harus bersyukur Kara tidak terpengaruh pengaulan bebas?"
"Tau papa kamu, Kara. Malah aneh-aneh," celetuk Salsa.
"Papa berencana untuk menjodohkan kamu dengan seseorang."
Pergerakan tangan Angkara berhenti, begitupun dengan Salsa yang tampak terkejut mendengar penuturan sang suami. Suami yang baru saja datang setelah perjalanan bisnis hampir seminggu, malah membicarakan perjodohan di meja makan.
"Azka, kamu bicara apa? Jangan mengulang hal bodoh. Cukup kita yang diuji dulu, tidak untuk anak-anak," tegur Salsa tak setuju.
"Angkara nggak ada niatan untuk mengenal lebih dalam apa itu perempuan dan harus mencintainya." Angkara beranjak. Dekat dengan perempuan, bukan berarti Angkara mudah membuka hati.
"Duduk Angkara!" perintah Azka.
"Kara kenyang, mau mandi dan ada urusan dengan Tiara," jawab Angkara dan berlalu pergi. Moodnya tiba-tiba buruk mendengar perjodohan keluar dari mulut papanya.
Apa itu perjodohan? Memangnya di usianya yang baru memasuki 17 tahun, harus banget mengenal cinta? Angkara ingin bebas melakukan apapun tanpa terikat hubungan.
"Bu ketua, dari tadi ponselnya bunyi mulu noh!" tunjuk Gio pada benda pipih di atas meja.
Alana yang baru saja keluar dari dapur, sehabis membuat kopi, segera mengambil ponselnya dan menjawab panggilan dari daddy tercinta. Ia duduk dengan kaki bertumpu di kursi rotan bagian luar markas Avegas.
"Siang Daddy ku Sayang," sapa Alana sambil menyeruput kopi hitamnya.
"Pulang! Jangan keluyuran mulu kamu. Anak gadis kok pergaulannya bebas banget!" Omel lelaki tampan di seberang telepon.
"Maaf Dad, Alana lupa jalan pulang ke rumah. Sharelock, Alana otw sekarang."
"Alana!"
"Ayolah Dad, Alana cuma di markas ini. Lagian kan Daddy salah satu inti Avegas angkatan 1."
"Beda Alana sayang. Kamu itu perempuan, harusnya tinggal di rumah, main boneka dan ...."
"Perempuan dan laki-laki sama saja Daddy, bahkan perempuan bisa melakukan apapun yang dilakukan seorang lelaki, tapi kaum adam tidak akan bisa melalukan hal sebaliknya!"
"Contohnya?"
"Melahirkan, benar nggak?" Alana mengulum senyum mendengar helaan napas di seberang telepon. Sudah pasti ia menang berdebat jika berhadapan dengan daddynya, beda cerita jika bersama Angkara.
"Pulang sekarang!" ucap Dito, Daddy Alana tidak terbantahkan.
"Siap Dad!"
Bukannya beranjak setelah sambungan terputus, ia kembali menikmati kopi hangatnya.
"Pulang lo sana!" usir Gio.
"Berani lo sama gue?" Alana memasang wajar datar dan hanya di balas cengiran oleh Gio. Lelaki itu ikut duduk di samping Alana, menyeruput kopi hangat ketuanya yang tersisa setengah.
....
"Sayang sepertinya akan turun hujan, pakai mobil saja perginya," peringatan Salsa saat melihat putra sulungnya hendak meninggalkan rumah.
"Hanya sebentar Ma, lagian perginya cuma ke gramedia." Mencium punggung tangan sang mama. Setelah pembicaraan sepulang sekolah, Angkara belum menemui papanya.
"Hati-hati kalau begitu. Setelah pulang, temui papa di ruang kerja. Minta maaf karena tadi suara kamu meninggi Sayang."
"Tapi papa yang mulai Ma."
"Papa, urusan mama. Kamu hanya perlu minta maaf untuk menurunkan ego papamu."
"Baiklah." Angkara menghela napas panjang.
Remaja tampan itu segera meninggalkan lingkungan rumah orang tuanya dengan mengendarai motor kesayangan. Menghentikan tepat di depan rumah Tiara setelah sampai. Ia tidak turun, hanya membunyikan klakson sebagai pemberitahuan.
Kening Angkara mengerut melihat penampilan Tiara yang berbeda hari ini. Gadis itu memakai rok di atas lutut padahal ia telah mengabari akan membawa motor.
"Kenapa pakai Rok? Paha kamu bisa saja terlihat."
"Kamu nggak lihat lutut aku yang terluka? Ini semua karena adek kelas menyebalkan itu," gerutu Tiara.
Lantas, tatapan Angkara tertuju pada lutut mulus teman sekelasnya, dan benar saja lutut gadis itu memerah. Ia turun dari motor, melepas jaketnya kemudian mengikat di pinggang Tiara.
"Ayo!" ajaknya.
Tiara mengangguk antusias, segera naik ke motor dan memegang pundak Angkara. Gadis itu tahu bentul jika Angkara tidak suka dipeluk sedekat apapun hubungan mereka. Hati Tiara sungguh berbunga-bunga mendapatkan perlakuan manis dari Angkara.
Andai saja hubungan mereka lebih dari seorang teman, mungkin dia adalah gadis paling beruntung di dunia. Sayangnya, sampai saat ini Tiara tidak berani jujur pada Angkara, lantaran tidak ingin lelaki itu menjauhinya seperti teman-teman yang lain.
"Kara, itu di depan bukannya Alana ya?" tunjuk Tiara pada pengendara bermotor putih yang sedang berhenti di lampu merah, seperti yang mereka lakukan.
"Hm."
"Ternyata bukan hanya nakal di sekolah, di luar pun sama saja."
"Lingkungan sekolah dan lingkungan kehidupan pribadi adalah dua hal yang berbeda, Tiara. Kamu nggak boleh mengurusi siswa SMA Angkasa saat jam pulang sekolah, karena itu bukan hakmu!"
"Kamu benar." Tiara pun mengalihkan perhatiannya di ke arah lain, bertepatan lampu merah berubah hijau.
Para pengendara pun mulai melaju secara tertib, begitu pun dengan gadis yang sejak tadi Tiara dan Angkara bicarakan. Mata gadis itu memicing melihat ketua osis pujaannya boncengan dengan perempuan lain.
"Nggak boleh dibiarkan ini, kak Angkara milik gue!" gumam Alana.
Tanpa pikir panjang, Alana memutar balik motornya dan mengikuti Angkara ke mana pun. Tak akan ia biarkan miliknya didekati oleh nenek lampir seperti Tiara.
Sesampainya di gramedia, Alana berlari dan langsung menerobos di tengah-tengah Angkara dan Tiara.
"Kebetulan kita bertemu di sini Kak." Alana menyengir sambil merangkul lengan Angkara. Hal itu membuat Tiara naik pitam.
Siapa yang tidak kesal jika momen berduanya diganggu oleh seseorang? Terlebih siswa bandel seperti Alana.
"Bukannya tadi lo berlawanan arah sama kita?" celetuk Tiara.
"Memang benar, tapi gue tiba-tiba kepikiran mau baca buku. Eh malah bertemu pujaan hati. Memang benar ya, jodoh nggak akan ke mana."
"Cari lah buku!" perintah Angkara dan melepaskan rangkulan Alana secara paksa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!