NovelToon NovelToon

Gimme Your Love

Eps 01 : Surat Wasiat

Halo, selamat datang di kisah Alina (Sahabatnya Anindya, ingat?) Mari kita menjelajah ke kehidupannya.

...----------------...

Alina terbangun di pagi hari sebab dering alarm dengan volume yang berangsur menaik semakin menusuk gendang telinga. Tangannya lantas merambat dan menjamah ke sekitar nakas mencari dimana benda berisik itu berada.

Matanya masih terkantuk-kantuk. Namun, dilihatnya layar ponsel itu terdapat sebuah alarm pengingat.

Senyumnya terbit setelah melihat notifikasi yang ada di layar ponselnya.

Alarm : Saturday, 25 Juny.

Event Today : Happy Birthday, Alina Pinastika! Wish You Have a Great Day 'till Forever! Sweet 22th, Baby!🥳.

Benda itu yang dia atur sendiri sejak beberapa tahun silam supaya menjadi yang pertama mengucapkan selamat ulang tahun dan berlaku di setiap pergantian usianya.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, tidak ada perayaan apapun, memang tidak pernah ada pesta di setiap pertambahan usianya setelah kedua orang tuanya tiada.

Kini, Alina hidup bersama keluarga sang paman. Dan, merayakan hari ulang tahun bukanlah tradisi keluarga itu.

Yang ada kini mereka dikumpulkan di ruang keluarga untuk membahas sesuatu yang penting. Di sana sudah duduk paman, bibi, kakak, dan adik sepupunya.

Gadis itu memasang wajah ceria. Walaupun anggota keluarga itu tidak pernah sehangat itu dengan dirinya, tetapi pembawaan Alina memanglah lincah, ceria, dan penuh senyuman. Tidak lain untuk menghibur diri sendiri yang seringnya merasa sepi.

“Ekhem! Alina, sekarang hari ulang tahunmu, benar? Berapa usiamu sekarang, Nak?” tanya Harun–pria yang mengaku sebagai paman Alina.

“Hem, iya, Paman. Tahun ini 22. Kenapa, Paman?” gadis itu menjawab dengan nada kebingungan.

Tidak biasanya mereka peduli dengan umurku.

“Tepat, Nak. Pada hari ini, paman akan menyampaikan amanah yang dititipkan oleh papa mamamu sebelum mereka wafat,” ujar Harun pada keponakannnya.

Alina sedikit mengernyit, “Amanah apa itu, Paman?” tanya Alina.

“Kamu bisa buka sendiri apa yang ada di kotak itu,” ujar Harun menyerahkan sebuah kotak ke hadapan Alina.

Alina membuka kotak berbahan besi dengan ukiran yang otentik sehingga menunjukkan jika barang itu cukup tua alias antik.

Setelah membaca sepucuk surat bertuliskan ucapan selamat ulang tahun, Alina dibuat tersedu-sedu saat melihat kumpulan potret diri dari bayi hingga terakhir kali saat berlibur di Jepang sebelum peristiwa nahas menimpa keluarganya.

Di foto-foto itu Alina kecil terlihat sangat bahagia dengan kedua orang tuanya yang masih hidup.

Aku sangat merindukan kalian.

Di balik setiap foto tersebut terdapat catatan pendek tanggal dan peristiwa.

"Alina dan Mama Papa di Dufan, 20xx"

"Alina usia 8 bulan. Anakku yang lucu sudah tumbuh gigi."

"Alina, Mama, dan Papa di Tokyo 20xx. Anak cantiknya papa pakai baju kimono!"

Tulisan-tulisan tangan yang khas milik ayahnya. Sosok yang sekian lama dia rindukan ternyata masih ada jejak-jejak peninggalannya yang Alina pikir semua telah musnah sejak kematian mereka.

Lantas, tangisnya terhenti kala ia menemukan secarik kertas terlipat yang berada paling bawah di antara tumpukan foto masa kecilnya.

“Alina, putriku. Menikahlah dengan Ryan putra Paman Harun, Nak. Papa percaya dia bisa menjagamu, hartamu, dan masa depanmu akan terjamin saat bersamanya.”

“Paman, Bibi, apa maksud semua ini?” tanya Alina seraya menatap paman dan bibinya.

“Kamu harus menikah dengan Ryan, Nak. Itu yang diwasiatkan ayahmu, mereka mempercayakanmu pada putra kami,” ujar Nuri–bibi Alina.

Alina mengernyit. “Tapi, aku dan kak Ryan sudah seperti saudara. Dan kami tidak saling cin–” Alina hendak menolak.

“Nak, itu sebuah wasiat dan kami berkewajiban memastikan wasiat itu harus terlaksana bagaimana pun juga. Kami pikir, kamu sudah cukup usia untuk mengerti ini semua,” ucap Bibi Nuri.

“Iya, Nak. Jika kamu sayang pada mereka dan kami, maka lakukanlah apa yang diamanahkan orang tuamu supaya mereka tenang di alam sana,” paman Harun menambahkan.

Kini Alina menatap sosok pria yang berada di sebelahnya. “Bagaimana menurutmu, Kak? Kamu setuju jika kita menikah?” tanya Alina pada kakak sepupunya.

Pria itu menatap tajam lurus ke depan pada ayah dan ibunya, lalu menoleh menatap Alina.

“Ck!” pria itu hanya berdecak. Lalu, menghentakkan kakinya dan pergi dari ruang keluarga itu dengan ekspresi kesal di wajahnya.

Sore hari di caffe shop remaja, tempat kegemaran mereka saat bersama. Jika biasanya mereka datang sekadar untuk refreshing and chill, tetapi kali ini berbeda. Mereka akan membahas hal serius yakni terkait perjodohan karena wasiat.

“Kak, aku tidak tahu apakah wasiat ini bisa dilanggar atau tidak. Tapi, aku begitu sayang dengan orang tuaku. Aku takut mereka belum bisa tenang sebab keinginannya belum terpenuhi,” ujar Alina mengawali.

Gluk. Kakak sepupunya itu meneguk iced americano. Dia menghempaskan punggungnya di sandaran kursi, tangannya ia lipat di depan dada.

“Hufh, … aku tentu tidak bisa sebab aku tidak cinta, kau sudah seperti adikku sendiri, Lin. Tapi, kalau ini terpaksa …,” jawabnya terjeda

“Wasiat itu hanya perlu dilakukan, bukan? Tidak harus dikhidmati dengan sepenuhnya?” ujar Alina.

“Maksudmu?” tanya pria itu dengan kedua alis yang nyaris menyatu.

“Kita menikah saja sebagai syarat jika wasiat ini terlaksana, tidak sungguhan. Bisa berpisah kapan saja jika memang tidak ada kecocokan,” ujar Alina.

“Lalu, apa maumu?”

“Menikahlah denganku, Kak. Bantu aku tunaikan wasiat ini hanya untuk beberapa waktu,” ungkap Alina.

“Berapa lama yang kau mau? Setahun?” usul pria itu.

Alina menganguk atas usulan itu.

“Tapi, aku tidak akan menyentuhmu, Lin, karena kamu sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Dan di antara kita tidak ada cin ... ah, kau pasti paham maksudku,” ungkapnya.

Gadis itu mengangguk. “Aku paham. Dan itu akan mempermudah kita saat berpisah nanti, Kak.”

"Baiklah, tanda tangani ini." Ryan menyodorkan selembar berkas bermeterai.

"Apa?"

"Perjanjian keterikatan selama satu tahun. Tidak afdal rasanya kalau tidak ada hitam di atas putih. Ini hanya untuk memastikan kita akan bersama selama waktu itu tidak kurang atau lebih. Jadi, tidak ada rasa keberatan atau drama-drama lainnya," jelas pria itu.

Rasanya tidak perlu sampai begitu karena bukan hanya dia yang merasa keberatan atas perjodohan wasiat itu. Namun, Alina pun begitu.

Jika saja ini bukan wasiat mendiang orang tua terkasihnya, maka dia pun enggan menikah dengan pria yang selama ini menjadi sosok kakak baginya dan jelas-jelas tidak saling cinta.

Namun, tiada yang tahu apa rencana Tuhan dan apa yang akan terjadi di masa depan?

Eps 02 : Setelah Akad

Seminggu berlalu.

“Jadi, bagaimana? Papah harap kalian sudah mengambil keputusan, maksudnya memantapkan hati untuk menikah,” ujar Harun di depan anak dan keponakannya itu.

Ryan mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan, dia menatap Alina yang sudah mengangguk tanda jika dia pun sudah bersiap.

“Pah, Mah, aku dan Alina bersedia untuk menikah karena wasiat itu,” ujar Ryan di hadapan orang tuanya.

Kedua orang tua itu tersenyum bahagia mendengar sesuatu yang diharapkan oleh kedua anak muda di hadapannya.

“Dengan syarat, ini hanya akan berlangsung selama setahun,” ujar Ryan selanjutnya.

“Iya, tidak papa. Mamah setuju, yang penting menikah saja dulu,” ujar bibi Nuri.

Alina pikir ada keanehan di sini. Dalam benaknya timbul curiga, bagaimana bisa sebagai orang tua tidak bertanya ‘mengapa’ jika pernikahan itu hanya akan berlangsung selama setahun?

Walau sebenarnya Alina pun tidak menginginkan pernikahan itu, tetapi sikap paman dan bibinya tampak lain dari orang tua pada umumnya yang mengharapkan pernikahan anak-anaknya berlangsung langgeng, sekali seumur hidup, dan sejahtera. Bukan untuk main-main semata.

Entah mengapa, kini Alina merasa jika mereka hanya menginginkan pernikahan ini harus terlaksana dengan tujuan terselubung, bukan karena tujuan pernikahan yang sebenarnya.

Hari pernikahan itu tiba.

“Saya terima nikah dan kawinnya Alina Pinastika Rusdi binti Almarhum Ahmad Rusdi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Lantang Ryan mengikrarkan kabul dengan satu kali tarikan napas.

“Bagaimana para saksi?” tanya penghulu pada para saksi.

“Sah!” Semua menggemakan kata sah dengan lantang.

Acara akad yang sederhana dan hanya disaksikan oleh anggota keluarga, saudara, dan para pembantu. Tidak ada acara makan malam apalagi pesta resepsi yang meriah. Sungguh, ini benar-benar seperti pernikahan setting-an.

Tentu tidak ada acara malam pengantin, yang ada hanya perkumpulan keluarga untuk membahas hal penting–lagi. Kali ini hanya ada paman bibi dan dirinya saja.

“Ada apa, Paman, Bibi? Kenapa memanggil Alina kemari?” tanya Alina yang bahkan tubuhnya masih berbalut kebaya.

“Tanda tangani ini, Nak,” ujar sang paman menyodorkan setumpuk berkas.

“Dokumen pemindah kuasaan kepemilikan aset dan properti? Apa maksudnya, Paman?” tanya Alina membuka halaman pertama berkas tersebut.

“Sudah tidak perlu bertanya banyak, ini menjadi wasiat ayahmu juga dimana setelah menikah maka aset dan kepemilikanmu akan berubah nama atas nama suami untuk dikelola,” ujar Harun.

“Kenapa begitu, Paman?”

“Ini soal perusahaan, Lin. Biar nanti dapat diteruskan oleh Ryan hingga ke anak-anak kalian. Memangnya kamu bisa mengelola perusahaan? Biar paman dan bibi yang urus, kamu tinggal menikmati hasilnya saja. Selama ini kan juga begitu, bukan?” ujar Bibi Nuri.

“Tapi, masalahnya, mengapa perlu dipindah namakan? Kenapa tidak atas nama Alina saja?” tanya gadis itu yang baru tahu aset peninggalan orang tuanya.

Pamannya manggut-manggut, dia menyalakan cerutu kesayangannya. Mengembuskan asap pekat dari mulutnya. “Oh ... jadi, kamu takut kami menguasai dan membawa pergi harta peninggalan orang tuamu, begitu, Lin?”

“Ck, tega sekali kau menuduh kami serakah! Bahkan selama ini kehidupanmu, makan, segala kebutuhanmu kami yang menanggungnya. Ternyata pengorbanan kita selama ini tidak ada harganya, Mah,” ujar Harun pada istrinya.

“Tidak! Bukan begitu maksud Alina, Paman,” sergah gadis itu.

Sungguh, sampai hati tidak bermaksud seperti itu.

“Terserah jika kamu ingin mengelola perusahaan itu sendiri dan minta paman bibi lepas tangan, silakan. Silakan urus semua bisnis peninggalan ayahmu itu.” Harun mendorong setumpuk berkas itu dan mengangkat tangannya. Dia seakan tersinggung berat dengan perkataan Alina yang tidak mempercayainya.

“Paman, tidak. Jangan seperti itu, baiklah akan aku tanda tangani. Tapi, Alina masih menjadi pemegang sebagian besar saham perusahaan itu, bukan?” tanya Alina untuk memastikan.

Bagaimana pun ia tetap berhak menjaga semua peninggalan kedua orangnya. Sayangnya, dia tak paham akan ilmu perbisnisan itu, masih terlalu awam.

“Tentu, Nak. Jangan kamu meragukan kami. Paman dan Bibimu ini hanya ingin membantu mengelolanya saja. Jika aset atas nama kami, itu akan mudah untuk diinvestasikan kepada para investor supaya mereka tidak mencurigai kepemilikannya. Suatu saat kamu akan menikmati hasil yang sangat besar karena kerja keras kami. Kamu percaya pada kami, kan, Nak?” jelas bibinya dengan lembut seraya membelai kepala Alina.

Gadis itu mengangguk, “Baiklah, Alina percayakan sama Paman dan Bibi,” ujar Alina.

Walau di dalam hati wanita itu dia merasa ada yang mengganjal sebab setelah bertanda tangan, berarti semua aset tersebut telah berpindah tangan. “Ya Allah, semoga apa yang aku percaya tidak akan berkhianat,” ujarnya dalam hati.

“Terima kasih sudah percaya pada kami, Nak, sekarang kami sudah menjadi orang tuamu. Panggil kami papa dan mama seperti yang Ryan lakukan. Dan sebagai hadiah pernikahan, kami sudah belikan apartemen untuk kalian tinggali bersama,” ujar bibi Nur membelai rambut Alina dengan lembut.

Pagi harinya, mereka berencana untuk pindah ke aparteman baru. Namun, sungguh aneh karena tidak ada upacara pelepasan atau apa. Alina merasa seperti dilepas begitu saja.

“Sudah, Lin?”

“Sudah, Kak,” jawab Alina yang kemudian masuk ke dalam mobil Ryan.

Di dalam mobil.

“Di sana ada dua kamar, kita tidur terpisah dan bebas melakukan apapun. Oh, ya. Sebagai pengganti uang bulanan dari mamah dan papah, aku yang akan memberikanmu uang bulanan sekaligus belanja kebutuhan. Mengerti, Lin?”

“Mengerti, Kak.”

“Jangan berharap apa-apa selama kita tinggal bersama, kita tidak boleh mencampuri urusan masing-masing. Paham?”

Alina mengangguk saja, dia pun merasa setuju karena pada dasarnya pernikahan ini hanya untuk memenuhi wasiat, tidak ada cinta apalagi keinginan untuk menikah sebelumnya. Umurnya masih muda, cita-cita masih menantang di depan sana.

Di dalam benak Alina, berharap selama setahun ini akan mudah dia lewati hingga tiba hari perpisahan nanti.

“Mama, Papa, sekarang Alina sudah menjalankan amanat kalian. Semoga papa dan mama tenang ya di sana,”  ujar Alina di dalam batinnya.

"Kak, apa kau tahu tentang perusahaan ayahku?" tanya Alina.

Pria itu melirik sekilas, "Ya, percayakan pada papah dan mamah saja. Kamu masih perlu belajar untuk mengelolanya sendiri," jawab Ryan yang diangguki Alina.

Eps 03 : Kekasihnya

"Kamu tahu kan, pernikahan itu hanya untuk menguasai harta kekayaannya saja? Kau boleh membuangnya sebab dia telah menyerahkan semua asetnya," ujar Harun di telepon.

"Apa? Yang benar saja, Pah? Secepat itu?"

"Iya, memang dia itu gadis bodoh. Buang saja dan kita membuat rencana lain."

Ryan melihat Alina yang sedang berkutat dengan laptopnya, mungkin gadis itu sedang mengerjakan tugas kuliahnya.

"Tunggu, Pah. Beri aku waktu setahun seperti yang sudah aku dan dia sepakati sebelumnya," kata Ryan yang memang merasa ini kabar baik sekaligus kasihan.

Yang membuatnya berat di awal adalah karena ia memang tahu rencana kedua orang tuanya, bahwa setelah menikahi Alina maka mereka akan mendapatkan harta warisannya, tetapi tidak menyangka jika Alina akan rela melakukannya secepat dan semudah itu.

"Terserahlah, hanya perlu diingat jika dia sudah tidak berguna lagi untuk keluarga kita," ujar sang ayah.

Alina yang merasa terganggu dengan suara bisak-bisik di sana, lantas menoleh.

"Kak, kau sedang bicara dengan siapa? Semut? Kenapa berbisik seperti itu?"

"Ouh, uh. Tidak, diamlah tidak usah ikut campur," jawab pria itu.

Alina hanya menaikkan kedua alis matanya.

Gadis itu berjalan ke dapur. "Lapar, kau lapar tidak?"

"Hem," gumam pria itu.

"Aku buatkan spaghetti, ya?" tawar Alina yang diangguki saja olehnya.

"Nanti kita bicara lagi, Pah," bisiknya pada telepon.

Sembari duduk menunggu spaghetti yang Alina buat matang, dia mengulir layar ponselnya melihat postingan media sosial menampilkan wajah seorang wanita muda yang cantik.

Alina sesekali mencuri pandang ke arahnya dan melirik ke dalam ponselnya. Penasaran apa yang membuat pria itu senyam-senyum sendiri mengamati layar ponselnya yang menyala.

"OMG, Anindya?" hatinya tersentak.

"Siapa, Kak?" tanya Alina. Namun, pria itu langsung mematikan layar ponselnya.

"Bukan siapa-siapa, mana spaghettinya? Sudah matang?" tanya dia mengalihkan pembicaraan.

"Ini, selamat menikmati." Alina menyodorkan sepiring spaghetti padanya.

Di tengah khidmatnya menikmati makanan, tiba-tiba ponselnya menyala menampilkan panggilan masuk bertuliskan nama Anindya di sana.

Hati Alina terbakar, jika benar itu adalah Anindya sahabatnya maka kenapa harus dia yang mengisi hati kakak sepupunya? Suaminya?

Alina menggenggam erat garpu di tangannya saat melihat pria itu tampak berseri-seri setelah bertelepon dengan seseorang bernama Anindya yang sudah dipastikan jika dia adalah seorang wanita.

Bukan siapa-siapa, hanya berstatus istri, tetapi sakit juga melihat kenyataan ini.

"Mau kemana, Kak?" tanya Alina saat melihat pria itu sibuk berkemas dan memakai wewangian lembut yang kentara baru disemprot di tubuhnya.

"Ada urusan, aku mungkin pulang malam," ujarnya. Walau Alina tahu urusan itu tidak lain akan kencan bersama Anindya karena ponsel pria itu pun masih berada di telingannya.

"Anin...." gumamnya.

Tidak pernah menyangka jika Anindya mempunyai hubungan dengan kakak sepupunya. Tapi, sejak kapan?

Esok hari.

"Hai, guys!!!" teman perempuannya itu tiba-tiba datang dan mengejutkan mereka yang sedang menikmati makan siang di kafe langganan.

"Ada apa, Nin?" Adnan bertanya.

"Omo-omo, aku lagi senang banget deh. Tahu, nggak? Semalam aku habis ditembak sama pacarku? Sumpah, dia dokter. Tampan banget, idaman aku banget deh!" seru gadis bernama Anindya yang sedang terlihat amat bahagia itu.

Deg.

Hati Alina terasa berdenyut nyeri. Dia tidak cinta, tapi kenapa harus Anindya yang menjadi kekasihnya?

Matanya mengerjap-ngerjap melihat gelang berwarna silver yang melilit pergelangan tangan sahabatnya.

"Itu gelang dari boyfriend-mu?" tanya Fika, salah seorang teman Alina yang lainnya.

"Heum em. Semalam aku dapat ini, lihat! Sweet banget, kan?" ujar gadis itu memamerkan gelangnya dengan bersemangat. Bahkan, dia mencium pergelangan tangannya sendiri.

"Wuish, ini bukan sembarang gelang, lho, Nin. Kece, merk ternama ini harganya bisa sampai ratusan juta! Gila, tajir banget pacarmu!" ujar Fika yang meneliti lebih dekat gelang mengkilap yang melingkar di tangan Anindya.

"Siapa namanya? Kerjanya apa, pengusaha?" tanya Fika yang paling heboh.

"Bukan, cuma seorang dokter spesialis. Sumpah, tampan banget. Kalian kan tahu seperti apa tipe incaranku?" ujar gadis bernama Anindya itu seraya menyangga dagunya dan menggigit bibir bawahnya gemas.

Dia terlihat seperti gadis muda yang sedang mabuk asmara.

"Lin, bagus, kan?" tanya Anindya memamerkan gelang itu pada Alina yang berada di depannya.

"Bagus banget, nin," puji Alina lirih. Dia hanya bisa tersenyum simpul melihat sabahatnya yang sedang bahagia menjalin hubungan asmara dengan pria yang menjadi suaminya.

"Tapi, kau tidak tahu jika pria yang mengencanimu itu adalah suamiku, Nin," kata Alina di dalam hatinya.

Hari menjelang malam, tetapi mereka masih asyik mengobrol.

"Dimana, Lin?" Alina tersenyum saat mendapat pesan singkat dari suami semunya.

"Di kafe, lagi kumpul sama sahabatku," balas Alina. Tidak ada balasan lagi selanjutnya, hanya sekadar dibaca olehnya.

"Wait, wait, wait. Pacarku menelepon, hihihi. Diam, ya, kalian semua." Anindya mengangkat telepon itu dan mengaktifkan loudspeaker ponselnya.

"Halo honey, kamu sedang di rumah?" tanya orang di seberang telepon.

Bahkan dia memanggilnya 'honey'.

"Halo, Kak. Aku sedang di luar," jawab Anindya sejujurnya. Dengan ekspresi malu-malu kucing di depan para sahabatnya.

"Sedang dimana, Sayang? Sudah hampir jam 8 malam. Saatnya istirahat, tidak baik tidur terlalu malam. Besok lagi saja, ya, Sayang."

"Heheh, iya, Kak. Ini mau pulang, kok. Kamu sedang dimana?" tanya Anindya.

"Di rumah, Sayang. Ayo pulanglah biar kita bisa sleep call," ujar pria itu membuat Anindya menutup mulutnya rapat-rapat.

"Selama ini kalian sleep call?!" pekik Alina tiba-tiba.

Anindya begitu malu saat kekasihnya itu membongkar rahasianya hingga membuat para sahabatnya tahu. Dia membekap mulut Alina.

"Suara siapa itu, Sayang?" tanya pria itu.

"Temanku. Ya, sudah. Aku mau pulang. Sudah dulu, ya, Kak! Bye...." pamit Anindya memutuskan sambungan telepon.

Saat itu juga tangan Alina mengepal di bawah meja membayangkan betapa ini sungguh menyakitkan hatinya.

"Kenapa harus Anindya yang menjadi kekasihnya? Kenapa?" batin Alina bertanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!