Aku harus berjuang demi kebahagiaanku.
"Talak aku mas!" Pintaku pada mas Reza yang tengah berjuang sembuh dari penyakit mematikannya.
"Kamu jahat sekali ingin meninggalkan suamimu dalam keadaan sekarat seperti ini Lya." Mas Reza mulai lagi mendramatisir keadaan.
"Aku minta ditalak mas aku udah nggak sanggup lagi." Desakku terus pada mas Reza yang enggan menjatuhkan talak padaku.
"Bertahanlah Lya! Kita bisa melewati ini bersama di sisa umurku ini bersama anak kita." Mas Reza berusaha memohon padaku yang kini telah mati rasa.
"Kalau mas masih nggak mau menjatuhkan talak. Biar kita ketemu di Pengadilan saja mas." Aku menantang mas Reza setelah mengumpulkan niat sekian lama.
"Aku sedang sekarat Lya." Wajah Pucat mas Reza dengan kepala beluntusnya yang tanpa rambut lagi setelah berkali-kali melakukan kemoterapy membuatku tersenyum kecut.
"Hhh. Sudah tahu mau sekarat mas, masi aja. Hhh." Aku menggantung ucapakanku. Rasanya sudah teramat kesal pada lelaki ini.
"Mungkin aku tidak akan pulang. Mas bisa memberitahukan umi atau Lula untuk menjaga mas sementara di sini." Ucapku tanpa belas kasihan pada lelaki yang sudah menikahiku enam tahun ini.
"Aku tidak akan pernah menalakmu Lya. Sekalipun kamu telah check-in dengan lelaki itu. Aku tidak akan pernah melakukannya." Mas Reza masih memperlihatkan keegosiannya saat ini. Rasanya harga diriku seperti tercabik-cabik.
"Aku tidak butuh hotel untuk bermalam berdua. Kami bisa berbulan madu dimanapun kami mau." Balasku yang mengundang kemurkaan lelaki yang masih berstatus suamiku ini.
"Aku tidak akan pernah mau menalakmu sekalipun kamu sudah memiliki anak bersama lelaki itu. Aku tidak akan pernah membiarkan kalian bersama." Mas Reza semakin menunjukkan dendamnya pada kami.
"Mas, kamu akan tetap hidup sekalipun aku pergi. Kamu akan tampan kembali. Rambutmu akan tumbuh lagi. Tenang aja. Masih banyak wanita yang akan maju mendekatimu setelah ini. Jangan takut. Talak saja aku!" Pintaku pada laki-laki yang sudahku temani menjalani kemoterapy hingga hari Sabtu kemarin.
"Kamu sudah diberikan kenikmatan seperti apa oleh lelaki itu?" Pertanyaan mas Reza benar-benar melukai harga diriku kembali.
"Jauh lebih dari kamu mas." Jawabku dengan senyum mengejek. "Jadi talak aku mas!" Pintaku kembali.
Ternyata hal tersebut tidak mampu menggoyahkan pertahanan mas Reza.
"Dasar wanita mu*ahan. Kamu" Dengan mata menyalaknya Mas Reza refleks melayangkan tangannya, namun tersadar bahwa itu akan benar-benar membuat kami berpisah.
"Kenapa kamu tidak jadi pukul mas? Ini bisa jadi hal baik untuk aku tunjukkan di pengadilan." Ucapku dengan kedua tangan tergulung di depan perut, masih berusaha menantangnya. Aku berharap kali ini mas Reza akan terpancing.
"Mas sudahlah. Talak saja aku, maka semuanya selesai." Ku lembutkan nada bicaraku, berharap kali ini hatinya tergerak untuk menceraikanku.
"Langkahi dulu mayatku. Kamu tidak akamendengar kata itu dari mulutku." Jawab mas Reza tanpa tawar.
"Baiklah. Aku tidak akan pulang hari ini." Ucapku dengan santai sembari meninggalkan suamiku yang masih mengepalkan kedua tangannya.
Mas Reza tidak berusaha mengejarku. Sebab mungkin ia berpikir aku hanya menggeretaknya saja.
Kenapa aku masih bertahan. Padahal cinta kami sepertinya tak pernah ada sejak awal.
Jika mengingat saat pertama kali kami memutuskan menikah. Aku tidak tahu mengapa aku bisa berakhir dengan lelaki ini saat itu hingga kini.
Saat itu:
“Lya, kamu mau kan jadi istriku?” Aku yang jauh dari keluarga dan mendapat perhatian lebih dari mas Reza di kota ini, merasa memiliki pegangan baru.
“Iya mas aku mau. Ucapku kala itu tanpa ragu.” Aku memang baru dekat dengan mas Reza dalam tiga bulan, tapi entah mengapa rasanya aku yakin saat itu untuk menerimanya sebagai suamiku.
“Kita dipanggil sama umi dan mamiq dek.” Ucapnya padaku dengan ekspresi senang dan santai, tangan hangatnya menggenggam erat tanganku yang dingin.
“Memang kenapa kak?” Tanyaku penasaran.
“Paling mau bahas masalah pernikahan kita.” Jawab mas Reza dengan senyum sumringah.
Kamipun akhirnya bertemu calon mertuaku saat itu.
Ku langkahkan kakiku dengan pasti. Tak tak tak.
Aku berusaha duduk dengan nyaman. Ku letakkan tanganku menyilang tepat di atas paha.
Umi yang tadinya menyenderkan punggung pada kursi kayu panjang yang begitu klasik lengkap dengan ornamen berwana kecokelatannya mulai mrnyondongkan badannya padaku yang duduk tepat di depannya. Jemarinya yang masih terlihat lentik dengan setengah kerutan mulai memainkan gagang kacamata plus yang dipakainya. Kaki sebelahnya pun diletakkan diatas kaki sebelahnya lagi dengan posisi ujung kaki menyilang sehingga rok sempit yang beliau gunakan terlihat seperti tegak lurus.
Beliau mencoba untuk mulai berbicara. Dengan lipstik berwarna gelap di bibirnya, rasanya apapun yang akam beliau katakan terdengar sedikit galak di telingaku.
“Ananda, bisa tidak ya beritahu orang tuanya. Kok mintanya banyak sekali sih. Sebenarnya kalian mau beneran nikah atau tidak? Kok kayak orang nggak berpendidikan aja sih tahan-tahan harga.” Meski terdengar begitu manis, namun tentu saja ia saat ini sangat marah. Aku terdiam. Ku gigit bibir bawahku dengan gigi taringku yang tajam.
“Jangan dipersulit dong kalau memang mau nikah. Kalau memang mau ya." Kini kedua tangan beliau telah terlipat di depan dada. Beliau berusaha memicingkan kacamatanya dengan tatapan tajam padaku.
Ayah mertuaku yang sedari tadi hanya diam, kini ikut menambahkan. Beliau mengangguk-nganggukkan kepala sambil membuang nafas panjang.
“Maksudnya umi, supaya kita sama-sama enak saja nanda.” Tatapan beliau lebih teduh dari ibu mertuaku.
Ku lirik suamiku yang sedari tadi hanya asyik dengan ponselnya. Entah ia menyimak percakapan kami atau tidak. Jarinya masih asyik menekan tombol-tombol pada layar ponselnya.
Sambil menundukkan kepala ku coba untuk menjawab mereka kala itu.
“Baik, umi, mamiq. Nanti saya coba sampaikan.” Sambil terus memainkan kedua jari telunjukku, rasanya tidak nyaman sekali saat itu. Berkali-kali ku lirik mas Reza, namun tak ada reaksi. Mas Reza hanya terpaku dengan ponselnya. Sesekaliia tersenyum-senyum sendiri.
Kamipun berpamitan.
Seketika tangisku pecah saat dalam kesendirian. Rasanya sedih sekali jauh dari keluarga mendekati acara pernikahan kami.
Aku masih saja teringat wajah calon ibu mertuaku yang menatapku dari sudut kiri matanya. Beliau memperhatikan dari ujun kepala hingga ujung kakiku dengan senyum sinis yang nyata.
Saat ini:
Permintaan talak ini tidak hanya kali ini aku mintakan, bahkan tepat di hari saat kami menikahpun aku telah meminta suamiku untuk menalakku.
Awal mulanya adalah karena wanita itu.
“Wah Iin, kamu di sini?” Bi Eli yang merupakan adik ipar dari suamiku menyapa seseorang yang datang menghampiri kami. Wajah bi Eli begitu sumringah, namun terlihat seperti ada sesuatu yang membuatnya harus mengernyitkan hidungnya.
“Wah kita pikir kalian yang akan bersama setelah kalian bertunangan, tapi ternyata nggak ya.” Lanjut beliau kembali dengan samar. Terlihat beliau berbisik pada wanita yang dipanggil Iin itu. Namun bisikan itu masih bisa terdengar olehku.
Mas Reza menatap wanita itu dari ujung rambut hingga ujung kaki sedari tadi.
“Sepertinya aku yang bodoh menyia-nyiakan wanita sempurna seperti Iin.” Celetuk mas Reza tanpa sadar. Terdengar sekali nada bersalahnya yang menimbulkan kobaran api di hatiku. Mataku spontan melotot menyaksikan mereka berdua yang saling tatap dengan penuh cinta.
Bi Eli menyikut lengan suamiku yang tengah asyik saling pandangan dengan wanita yang dipanggil Iin itu, namun aku masih saja mematung dengan wajah merah padam. Bi Eli melirik mas Reza dan melirikku bergantian. Memberikan isyarat pada lelaki yang telah sah menjadi suamiku itu.
“Eh iya Lya, perkenalkan ini Iin. Sepupu aku.” Ucap mas Reza segera memperkenalkan wanita tinggi, cantik nan anggun di depannya.
Perempuan itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis padaku. Akupun demikian.
Mas Reza berusaha mengajakku masuk ke dalam kamar. Aku menepis tangan mas Reza ketika sampai di dalam kamar. Mas Reza terlihat kesal, namun menahannya.
“Jadi dia tunangan kamu mas?” Tanyaku dengan dada bergemuruh. Kini rasanya kakiku telah mati rasa. Sulit untukku gerakkan.
“Iya, tapi kan aku nikahnya sama kamu Ly.” Jawab mas Reza dengan senyum nakalnya.
“Jadi kamu menyesal kehilangan wanita sempurna itu mas?” Tambahku lagi dengan air mata berlinang yang ku usap berkali-kali.
“Kamu kenapa sih? Baru aja kita nikah udah begini. Apalagi besok." Bentak mas Reza dengan mata melotot.
“Tidak akan ada hari esok mas. Ayo ceraikan aku sekarang saja! Talak aku mas!" Sudah gelap rasanya aku melihat dunia ini saat itu.
“Apa? Kamu gila? Nggak bisa. Kita bahkan belum melangsungkan acara resepsi. Apa kata orang? Umi sama mamiq pasti malu sekali kalau kita bercerai sekarang. Ayolah kamu jangan begini! Kita baru saja akad lho. Kamu jangan gila. Semua sudah dipersiapkan. Jangan begini ya.” Ucapnya setengah memelas.
******
Saat ini:
"Mas aku lelah. Talak aku!" Aku sungguh sangat ingin di talak saat ini lebih dari sesaat setelah akad kami.
“Tidak Lya. Aku tidak akan pernah mau. Lalu siapa yang akan mengurusku?” Mas Reza dengan wajah memelasnya yang pucat berusaha menahanku lagi.
Seperti saat itu mas Rezapun saat ini tak mau menjatuhkan talak karena memikirkan dirinya dan keluarganya, tidak pernah memikirkan aku dan kebahagiaanku.
Jika teringat lagi yang dilakukan oleh mertuaku. Rasanya keputusanku sudah bulat kali ini.
"Dek, umi dan mamiq memanggil kita." Mas Reza dengan senyum dibibirnya menemuiku yang tengah terdiam diri di dalam kamar kala itu. "Ada apalagi kali ini?" Perasaanku mulai tak enak.
"Iya mas." Akupun mengikuti suamiku dari belakang.
"Eh ananda. Ini umi sama mami cuma mau ngomong nak. Kalian kan masih muda ya. Ada baiknya ananda pakai KB dulu supaya aman. Kalian nikmati dulu masa muda kalian. Jangan terlalu terburu-buru punya momongan. Ya nak ya." Ucap ibu mertuaku tetap dengan kata-kata halusnya yang menyakitkan. Kami bahkan belum melaksanakan resepsi pernikahan kala itu. Aku hanya tertunduk lesu dan menatap mas Reza nanar.
Tak hanya sampai di sana, belum puas menyakiti hatiku ibu dan suamiku kembali melakukan hal yang tak terduga pada resepsi pernikahanku.
Rasanya perasaan tak enak menyelimutiku ketika seseorang yang ku kenal mendekati kami ke atas pelaminan.
"Wah Iin sayang. Kamu datang nak" Ibu mertuaku begitu antusias melihat kedatangan mantan calon menantunya itu.
"Ayo kita berfoto bersama." Pinta beliau lagi sembali memeluk pinggang Iin dan mas Reza.
"Silahkan dilanjutkan ya, saya turun dulu." Ucapku dengan senyum lebar sambil mempersilakan mereka berfoto bertiga.
"Kamu kenapa nak?" Tanya ibu yang melihatku ingin turun dari panggung.
Tindakanku menarik perhatian para tamu dan keluarga yang hadir saat itu terutama mereka yang ingin memberikan selamat pada kami.
"Memalukan" ujar ibu mertuaku lirih dengan rahang mengeras. Ia terus melirikku dengan tatapan sinis.
"Iin pamit dulu ya umi." Wanita itu mencium telapak tangan ibu mertuaku dan bercipika cipiki dengan tatapan sedih.
"Semoga bahagia ya kak." Ucapnya pada suamiku. Kali ini tangannya menyentuk punggung tangan mas Reza lembut.
"Hati-hati ya nak. Semoga kamu bahagia." Ibu mertuaku tak hentinya menatap wajah cantik Iin yang berlalu.
"Kamu kenapa sih harus begitu?" Ucap mas Reza dengan mata menyalak padaku.
"Apa kali ini kamu mau menalakku mas?" Bisikku pada mas Reza dengan senyum kecut. Terlihat urat lengannya yang kekar terkepal menahan amarah.
"Nak, kamu kenapa?" Tatapan Ibu yang sayu membuatku sedih.
"Nggak apa-apa bu. Maaf ya" ucapku merasa bersalah pada ibu.
"Nggak apa-apa sayang. Kamu harus bahagia nak. Anak ibu harus bahagia." Ucap ibu meyakinkan diri. Bapak hanya menatap kami tanpa mengucapkan sepatah katapun.
"Kalau masih cinta susul aja sana. Kenapa masih di sini sih. Tadi kan udah aku kasih kesempatan." bisikku pada mas Reza.
Mas Reza hanya menatapku dengan wajah merah padam.
"Cukup ya kamu. Jangan pancing-pancing masalah." Jawabnya tertahan. Mas Reza sepertinya tak ingin ibu sampai mendengar.
"Aku sudah rela mas kamu kembali sama dia." Bisikku lagi tepat di telinga suamiku.
"Sial." Jawabnya kesal. Kali ini matanya semakin menyalak tajam.
Hal seperti itu ternyata sudah terjadi sejak lama. Mengapa mas Reza masih mau mempertahankanku?
"Kamu harus tahu aku sudah pertaruhkan Iin demi kamu. Wanita tidak tahu terima kasih." Mas Reza kehilangan kesabarannya.
"Kenapa mas? Kenapa harus mengorbankan wanita lain demi aku. Kenapa mas tidak bersama wanita yang sempurna itu saja? Mas sejak dulu selalu menemui dia kan. Aku ikhlas mas. Silahkan! Biarkan dia yang merawat mas." Lega rasnya sudahku katakan meski dengan gemuruh hebat di dadaku.
"Coba saja dulu kamu tidak mau saat aku mau nikahi ini tidak akan terjadi." Mas Reza menunjuk tepat di depan mukaku dengan jari telunjuknya yang besar.
"Bilang saja kamu tidak mau merawat suamimu yang sekarat." Mas Reza masih saja berusaha bertahan dengan ego dan pikirannya. Ia mondar mandir tak karuan.
"Ceraikan saja mas aku!" Aku masih bertahan dengan keinginan itu. Meski di balas dengan kemurkaan suamiku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!