Sesuatu yang mewah belum tentu membahagiakan. Mewah hanyalah sebuah kata, bukan perasaan.
Terlihat indah di luar, belum tentu indah di dalam. Dunia ini penuh tipu muslihat. Tidak ada yang bisa di percaya dengan sungguh-sungguh.
Alisha Thaleeta. Gadis yang dianggap sebuah petaka di keluarganya. Alisha memiliki saudara kembar yang lebih cantik dan pintar darinya. Alasan Alisha di kucilkan oleh keluarga sendiri adalah; Karena Alisha tidak pernah mendapatkan juara di kelas. Padahal, Alisha tak pernah keluar dari sepuluh besar.
Keturunan keluarganya selalu membanggakan. Hanya Alisha yang sangat mengecewakan. Ditambah lagi Alisha adalah gadis yang terlihat sangat tidak menawan. Pakaian Alisha tidak pernah terlihat mewah, dan itu sangat merusak pemandangan. Karena keluarganya selalu memakai pakaian mewah, jadi, Alisha terlihat berbeda jika berada di tengah-tengah mereka.
Tentu saja terlihat merusak pemandangan, orangtuanya saja tidak pernah membelikan Alisha pakaian mewah. Bahkan pakaian pelayan lebih terlihat mahal dibandingkan pakaian Alisha.
Selain itu, perlakuan keluarganya juga membuat Alisha sakit hati. Terlalu lelah menangis sampai Alisha tidak pernah mengeluarkan air mata lagi. Menurutnya, air matanya terlalu berharga untuk menangisi perilaku buruk keluarganya.
Alisha hanya ingin disayangi layaknya seorang anak. Bukan malah di perlakukan seperti binatang.
"Harusnya aku tidak pernah melahirkan dirimu! Anak tidak berguna sepertimu, tidak pantas dikasihi!" teriakan sang Ibu menggelegar di dalam rumah.
Mona (Ibu Alisha) tega berkata seperti itu hanya karena Alisha tak sengaja mendorong Raisha (Kembaran Alisha) hingga terguling di tangga sampai lantai dasar. Hal itu menyebabkan Raisha koma karena pendarahan di kepalanya.
Padahal awalnya Raisha lah yang menghampiri lalu mencaci maki Alisha. Karena merasa sakit hati akan ucapan sang kembaran, Alisha hendak pergi meninggalkan Raisha yang saat itu memang berdiri di dekat tangga. Tapi, Alisha tak sengaja menyenggol bahu Raisha hingga Raisha jatuh terguling dari tangga yang panjangnya sekitar empat meter.
Alisha langsung di caci maki sampai di pukul oleh keluarganya sendiri. Ya, karena mansion itu berisi keluarga besar, Kakek dan Neneknya juga tinggal di sana. Paman, bibi serta sepupu Alisha juga tinggal di mansion itu. Tak heran jika semua orang berpihak pada Raisha.
Alisha memejamkan matanya kala merasakan tendangan di perutnya. Itu ulah Mamanya. Diantara keluarganya yang lain, Mona adalah orang yang paling tidak suka akan kehadiran Alisha. Mona pula yang paling sering menyiksa Alisha dengan kejam. Karena menurut wanita paruh baya itu, Alisha hanya akan menjadi aib keluarga.
"Lebih baik kau pergi dari sini! Jangan pernah kembali dan jangan pernah membawa uang suamiku sepeserpun!" ucap Mona dengan sadisnya.
"Seorang gadis idiot, tidak cocok berada di keluarga ini," sahut Neneknya sambil menatapnya dengan sinis.
Alisha yang kini sudah babak belur hanya patuh saja. Seharusnya sejak dulu ia keluar dari mansion bak neraka itu.
Alisha berdiri dari duduknya sambil memegang perutnya yang sakit. Langkahnya tertatih-tatih, tapi Alisha tetap teguh dan tidak jatuh kembali. Ia memungut tas yang berisi pakaian lusuhnya. Mereka bahkan repot-repot mengemas pakaiannya. Mereka rela melakukannya supaya Alisha cepat-cepat meninggalkan mansion itu.
Tak sekalipun Alisha menoleh ke belakang untuk melihat keluarga yang seperti bukan keluarga baginya. Langkah tertatih juga badan yang sedang tidak baik-baik saja, sudah biasa baginya. Alisha tidak akan mengeluh lagi, sebab ia sudah keluar dari neraka dunia itu.
****
Tiba-tiba hujan mengguyur kota. Sekarang sudah larut malam, tapi Alisha tidak menghentikan langkahnya barang sedetik pun. Alisha merasa ia tidak punya arah. Tidak punya tujuan. Tidak ada yang bisa ia percaya. Sejak dulu, Alisha selalu sendirian, tidak pernah bergantung pada seseorang.
Langkahnya terhenti saat lampu mobil menyorotnya. Mata sayunya melihat siapa gerangan yang berada di dalam mobil itu.
Dua orang pria berbaju hitam keluar dari mobil tersebut sambil memegang payung. Salah satu dari mereka memayungi Alisha.
"Mari ikut kami, Nona," ucap salah satunya.
Alisha semakin bingung. "Kalian siapa?" tanyanya dengan nada lirih.
"Tuan kami ada di dalam mobil. Anda bisa melihatnya nanti. Sekarang mari ikut kami." Mereka menuntun Alisha menuju mobil.
"Tenang, kami bukan penjahat," ucap pria itu saat melihat Alisha hendak memberontak.
"Bagaimana bisa aku mempercayai kalian? Kita bahkan tidak pernah bertemu," kata Alisha. Ia takut jika orang-orang itu adalah penculik.
"Kami adalah orang-orang milik keluarga Xander. Saya rasa, Anda tidak asing dengan marga itu," ucapnya.
Barulah Alisha percaya bahwa mereka bukan penculik. Meski agak ragu, ia tetap masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang yang ternyata sudah ada seorang pria yang duduk di sana.
Alisha terdiam sambil menunduk. Bahkan ia tidak berani mendekat dan duduk mepet ke pintu mobil sampai mobil kembali berjalan.
Pria yang biasa disapa Ansel itu menatap Alisha, "Mendekatlah," titahnya.
Alisha tersentak, namun, ia menuruti perintah Ansel. Alisha memang tau siapa Ansel ini. Seorang pria yang terkenal dengan ketegasannya dalam memimpin perusahaan miliknya sendiri. Ansel adalah pria yang sering bersikap dingin pada perempuan. Makanya Alisha agak kaget saat Ansel menyuruhnya mendekat.
"Pakai ini." Ansel memberikan mantelnya pada Alisha.
Alisha menerimanya dengan tangan gemetar karena kedinginan. "T-terimakasih, Tuan..."
Ansel tersenyum simpul nyaris tak terlihat. "Aku bukan Tuan mu. Kau akan menjadi istriku nanti. Jadi, biasakan memanggilku tanpa embel-embel Tuan," katanya.
Perkataan itu sukses membuat Alisha menatap sang lawan bicara. Matanya yang agak memerah, wajahnya terdapat beberapa lebam, sudut bibir sedikit luka, lalu beberapa anak rambut yang sedikit mengganggu, membuat Ansel menghela nafas saat melihatnya.
"Maksud Anda?" tanya Alisha dengan ekspresi bingung.
"Aku tidak akan mengulangi lagi," ujar Ansel. Mata tajamnya kembali menatap ke depan, tak ingin menatap Alisha.
"Jadi, itu adalah tujuan Anda membawa Saya?" tanya Alisha. Dan Ansel hanya diam memasang wajah datar.
Alisha mengusap wajahnya frustasi. Menjadi istri seorang CEO macam Ansel? Jika benar-benar terjadi, Alisha bahkan tak berharap pernikahannya akan penuh rasa damai nantinya.
Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di sebuah mansion yang terlihat mewah namun ada kesan sederhananya juga.
Alisha berjalan mengikuti langkah Ansel. Hingga mereka sudah sampai di sebuah kamar bernuansa monokrom. Alisha yakin, itu adalah kamar Ansel. Mengapa pria itu membawanya ke sana?
"Tuan, Anda benar-benar akan menikahi Saya?" tanya Alisha. Ia berdiri di depan pintu yang sudah tertutup.
"Menurutmu, apakah aku bercanda?" Ansel balik bertanya. Pria itu melepas jam tangan mahalnya, lalu ia letakkan di laci.
"Bersihkanlah badanmu terlebih dahulu. Aku tidak ingin calon istriku terlihat menyedihkan," ucap Ansel. Setelah mengatakan itu, ia langsung pergi menuju ruangan yang ada di kamar itu. Alisha yakini, itu adalah ruang kerja.
Alisha tidak yakin, jika pria yang memakai kemeja hitam itu adalah Ansel Valentino yang terkenal dingin pada semua wanita. Tapi, jika dengannya, kenapa Ansel terlihat berbeda dengan yang dibicarakan oleh orang-orang?
Alisha segera masuk kamar mandi dan membersihkan badannya.
***
"Rias dia secantik mungkin. Dan berikan salep yang bisa menghilangkan memarnya," ucap Michael (Asisten Ansel).
Alisha hanya diam sambil menatap cermin di depannya. Ansel memanggil perias terbaik yang ada di kota itu untuk merias Alisha agar enak dipandang.
"Baik, Tuan..." jawab Clara (Si perias).
Michael keluar dari kamar tamu yang menjadi tempat untuk merias Alisha.
Beberapa menit kemudian...
Alisha menatap wajahnya sendiri di cermin. Ia tak menyangka bahwa dirinya bisa menjadi gadis cantik seperti ini. Tak henti-hentinya ia tersenyum saat menatap wajahnya sendiri. Alisha memang tak pernah di dandani. Jangankan berdandan, punya alatnya saja tidak. Bahkan lipstik sekalipun.
"Mari, Nona. Tuan sudah menunggu," ucap Michael yang berdiri di belakang Alisha.
Alisha mengikuti langkah Michael dalam diam.
Menurut Alisha, Ansel bukanlah pria dingin ataupun cuek. Memang benar, Ansel adalah pria yang begitu mempesona, namun, jika ada yang bilang Ansel adalah pria yang cuek, Alisha akan menentangnya.
Tapi, jika berada di dalam mobil sambil duduk bersandingan seperti sekarang, Alisha tak berkutik ketika Ansel terus menatapnya tanpa mengatakan apapun. Ia bahkan berpikir kalau riasannya terlalu menor. Alisha mendadak khawatir. Setelah mengumpulkan keberanian, Alisha berusaha mencari topik pembicaraan.
"Umm... Tuan, kita akan ke mana?" tanyanya.
Ansel mendengus, ia menatap ke depan, "Setelah hampir 15 menit kita berada di dalam mobil, kau baru bertanya kita akan ke mana? Konyol!"
Alisha menunduk, "M-maaf... A-aku..."
"Jangan berbicara padaku kalau cara bicaramu gagap seperti itu. Aku tidak ingin memiliki istri gagap," ketus Ansel.
Ia merasa risih saat mendengarkan Alisha berbicara seperti gagap. Meskipun ia tau bahwa gadis itu sedang gugup, tetap saja ia risih. Ahh, Ansel juga baru menyadari, jika bersama Alisha, ia akan banyak bicara seperti ini. Kalau bukan karena hendak dijodohkan, Ansel tidak ingin repot-repot seperti sekarang ini.
"Kita akan menuju ke kediaman keluargaku. Bersikaplah yang sopan. Jangan berbicara jika tidak ditanya. Dan mulai sekarang, jangan tundukkan kepalamu seperti itu. Paham? " ucap Ansel ketika mereka sudah hampir sampai.
"Ahh, satu lagi. Sudah ku bilang, jangan memanggilku dengan sebutan seperti itu. Aku bukan Tuan mu!" Ansel memijat pelipisnya.
Alisha mengangguk patuh, "Baik." Matanya menatap ke depan, tak lagi menunduk.
Ternyata, perjalanan dari mansion Ansel menuju mansion keluarga Xander, lumayan jauh, sekitar satu jam.
"Berjalanlah di sampingku," titah Ansel. Alisha segera berdiri di samping pria itu.
Melihat Alisha sudah berdiri di sampingnya, Ansel segera menggenggam tangan mungil Alisha, lalu berjalan memasuki mansion milik keluarganya.
Ansel memang memisahkan diri. Ia sengaja membeli mansion untuk dirinya sendiri. Sedangkan keluarga besar, tinggal satu atap di mansion utama.
Kalau tidak ingat dengan perkataan Ansel tadi, Alisha pasti sudah menganga lebar ketika melihat kemewahan mansion milik keluarganya Xander yang berkali-kali lipat lebih mewah dari mansion keluarganya sendiri.
"Maira, lihat anakmu yang nakal itu. Sudah berani menculik anak gadis orang demi menghindari perjodohan," celetuk Jacob (Kakek Ansel).
Ansel tetap berjalan dengan tenang. Ia mengajak Alisha duduk di sofa yang muat dua orang. Seluruh keluarga sudah berkumpul di sana. Ada Kakek, kedua orang tua Ansel serta paman dan bibinya. Alisha tidak tau ke mana para sepupu Ansel.
Alisha agak canggung berada di antara keluarga terpandang itu. Namun, Alisha tetap terlihat tenang, berbeda dengan jantungnya yang berdegup kencang karena gugup. Tangannya sedikit meremas tangan besar Ansel.
"Gadis mana yang kamu bawa ini, Ansel?" tanya Pieter (Ayah Ansel).
"Jangan bilang, kamu mengambilnya dari club? Yang benar saja! Keluarga kita adalah keluarga terpandang. Mana mungkin kami membiarkan kamu menikahi gadis pela'cur?" celetuk Gina (Bibi Ansel). Wanita itu sangat suka julid, apalagi dengan orang yang berada di bawah derajatnya.
Ansel hanya memasang wajah datarnya. Sedangkan Alisha sendiri sudah mulai panas dingin.
"Dia adalah gadis yang akan ku nikahi," kata Ansel.
"Kamu yakin?" tanya Maira (Ibu Ansel). "Gadis mana yang kamu bawa? Apakah asal-usulnya jelas?"
"Bukankah kalian sendiri yang menyuruhku untuk segera menikah? Kenapa harus mempermasalahkan asal-usulnya? Selagi dia adalah gadis yang ku cintai, aku tidak keberatan. Sekalipun dia punya asal-usul yang tidak jelas," ucap Ansel.
"Ini permintaan kalian. Jangan membuatku kesal," lanjutnya.
Keluarga Ansel langsung terdiam. Sadar akan kecanggungan, Kakek Jacob langsung angkat bicara.
"Baiklah kalau begitu. Aku tidak masalah. Mari bicarakan tanggal pernikahan kalian. Lebih cepat lebih baik. Aku juga tak sabar untuk menimang cicit," ucap Kakek Jacob, lalu tertawa di akhir kalimatnya.
"Tapi, Ayah–"
"Cukup, Gina. Kau dengar tadi? Jangan membuat cucuku kesal." Kakek Jacob menyela ucapan menantunya.
Kakek Jacob menatap cucunya, "Aku sempat menemui pendeta beberapa hari lalu, katanya, Minggu depan adalah hari yang bagus. Sebab itulah, aku ingin, kalian menikah pada hari itu. Aku juga sudah menghubungi pihak hotel yang akan kita sewa untuk pernikahanmu."
Pieter mengerutkan keningnya, "Ayah sudah mempersiapkannya sematang itu? Kenapa kami tidak ada yang tau?" tanyanya. Inilah sifat Ayahnya yang tidak ia sukai, beliau suka bertindak terlebih dahulu sebelum mendiskusikan.
Kakek Jacob menatap anaknya dengan angkuh, "Memangnya kenapa? Kau meragukan ku, heh? Kalau berdiskusi dengan kalian, aku tidak yakin semuanya akan sesuai ekspektasi," ucapnya.
Memang benar. Kalau segala berdiskusi dengan anak mantunya, Kakek Jacob akan dibuat pusing dengan permintaan mereka. Pasti hasil akhirnya ada yang setuju dan tidak setuju.
Ansel mengangguk, "Baiklah. Aku setuju."
Alisha langsung menatap Ansel. Kenapa pria itu langsung menerimanya? Alisha yang sedari tadi diam menyimak pun, langsung angkat suara.
"Umm... Apakah, pernikahannya bisa diselenggarakan secara privat?" tanya Alisha hati-hati.
Ia berkata seperti itu, karena pernikahan ini pasti akan sangat ramai. Terlebih Ansel adalah pria yang populer dikalangan masyarakat. Pasti tak sedikit wartawan yang berdatangan. Dan pasti keluarganya juga menghadirinya, karena perusahaan keluarganya masih terikat kontrak dengan perusahaan keluarga Ansel.
"Tidak bisa! Kau hanya orang asing di sini. Jangan mengatur-ngatur. Mana mungkin pernikahan–"
"Cukup, Gina! Sudah ku bilang, kau diam saja!" kesal Kakek Jacob. Menantunya yang satu itu sangat keras kepala.
Gina menghela nafas. Mulutnya tak tahan ingin mencaci. Alisha adalah gadis aneh yang tak tahu asal-usulnya dari mana. Cantik sih, tapi menurutnya, ada yang lebih layak dibandingkan Alisha untuk menjadi istri Ansel.
"Maaf, nak, aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu. Kau tau sendiri bagaimana keluarga ini, kan? Jadi, ya, begitulah," ucap Kakek Jacob pada Alisha.
Alisha terdiam, ia mengangguk paham, "Maaf..." ucapnya.
"Tidak apa-apa, kau berhak berpendapat," ujar Kakek Jacob menenangkan.
Kakek Jacob beralih menatap Ansel yang sedari tadi hanya diam, "Mulai besok, pilih gaun untuk calon istrimu. Jangan menunda-nunda. Tinggalkan semua kesibukan mu itu," ucapnya dengan tegas.
Ansel hanya mengangguk. Ia melirik Alisha yang terdiam. Ia tau, Alisha pasti masih terkejut dengan apa yang terjadi. Tapi, Ansel tidak ambil pusing, lagi pula mereka sama-sama untung di sini. Alisha yang mendapatkan tempat tinggal gratis dan dia yang tidak jadi dijodohkan. Impas, bukan?
***
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Pernikahan Alisha dan Ansel benar-benar diadakan secara ramai. Banyak rekan kerja keluarga Xander yang datang. Tentunya termasuk keluarga Martiuz yang merupakan keluarga Alisha.
Setelah mengucapkan janji suci, kini Alisha dan Ansel sedang duduk di sebuah sofa yang di belakangnya sudah ada hiasan yang indah dan mewah.
Alisha hanya diam sejak tadi, bahkan saat para tamu bersalaman dan memberikan ucapan selamat, Alisha hanya menanggapi dengan senyum kakunya.
"Sudah ku bilang, jangan tundukkan kepalamu. Mahkota mu akan jatuh nanti," ujar Ansel.
Ia tau apa yang menjadi penyebab Alisha mendadak diam dan kaku, tentu saja karena keluarga wanita itu. Ansel bahkan bisa melihat jika keluarga Martiuz sedang menatap wanita itu dengan tajam.
Alisha adalah putri yang tidak dipamerkan di depan publik. Hanya Raisha yang sering muncul. Sengaja menutupi identitas Alisha, karena mereka tidak ingin rugi. Karena Alisha adalah gadis idiot yang tidak membanggakan. Jadi, sekarang mereka terlihat santai saja, karena tak ada seorang pun yang tau bahwa Alisha adalah anak dari pasangan Mona dan Johan.
Alisha mengangguk menanggapi ucapan suaminya itu. Ia kembali menatap para tamu undangan yang sibuk menikmati hidangan yang mewah.
Tiba-tiba, Kakek Jacob dan kedua orang tua Ansel datang menghampiri.
"Jika lelah, kalian bisa ke kamar terlebih dahulu. Jangan memaksa," ucap Kakek Jacob pada cucunya.
Ansel menoleh ke arah Alisha, "Kau lelah?"
"Ansel, jangan bertanya. Cepat langsung bawa istrimu ke kamar," sahut Ibu Maira.
Ansel mengangguk dan mengajak istrinya ke kamar yang sudah di pesan di hotel itu.
"Aneh sekali, harusnya dia tau kalau istrinya lelah, kenapa harus bertanya?" kesal Kakek Jacob.
Ibu Maira terkekeh begitupun dengan Ayah Pieter.
Di sisi lain, tepatnya di kamar pengantin baru itu, Alisha sedang duduk di pinggiran ranjang. Sedangkan Ansel sedang berdiri di sampingnya sambil melepas jam tangan.
"Kenapa kau tiba-tiba menikahi ku?" tanya Alisha tiba-tiba.
Ansel menaikkan salah satu alisnya, "Setelah mengucap janji suci, kau baru bertanya?" herannya sekaligus menyindir.
Alisha menatap pria yang telah menjadi suaminya itu, "Apakah kau memberiku kesempatan untuk berbicara?" ucapnya dengan ketus.
Ansel berdiri tepat di depan Alisha sambil menunduk menatap istrinya, "Kapan aku melarang mu?"
"Sudahlah. Kita telah sah menjadi suami istri," lanjut Ansel.
"Jangan pedulikan keluargamu, karena mulai sekarang, kau tidak ada hubungan lagi dengan mereka. Fokus padaku saja. Oke?" Ansel hendak berbalik menuju kamar mandi, tapi ucapan Alisha membuatnya menghentikan langkah.
"Sebenarnya, apa tujuanmu menikahi ku?" tanya Alisha.
Ansel berbalik, "Menurut mu?" Ia balik bertanya.
Alisha mengerutkan keningnya bingung. Ansel bukannya menjawab pertanyaannya, dia malah melempar pertanyaan balik.
"Setelah ini, jangan mengungkit alasanku menikahi mu. Fokus apa yang ada di depan mu sekarang. Kau juga sudah bebas dari keluargamu, kan? Harusnya kau berterimakasih padaku, Nona Alisha," ucap Ansel. Setelah mengatakan itu, ia langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Alisha termenung. Ia merutuki dirinya yang dengan mudah dinikahi oleh Ansel. Harusnya Alisha memberontak, bukan? Dan kenapa pria itu tau tentang keluarganya? Alisha mendadak pusing memikirkan semuanya.
Ia berdiri di depan cermin, gaun indah nan mewah berwarna putih, masih melekat di tubuh rampingnya. Bahkan riasannya juga tidak luntur. Sejenak, ia memuji dirinya sendiri. Karena selama ini, Alisha tidak pernah berpenampilan cantik seperti sekarang.
"Cepat bersihkan badanmu. Kita akan makan bersama setelah ini," celetuk Ansel yang baru saja keluar dari kamar mandi sambil menggosok rambutnya yang basah.
Alisha menoleh ke arah suaminya, detik itu pula, ia langsung memejamkan matanya. Bagaimana tidak? Ansel hanya memakai celana pendek saja!
Ansel tersenyum miring melihat Alisha. Dengan jahilnya, ia melempar handuk nya lalu mendekati sang istri.
Alisha membuka sebelah matanya untuk mengintip di mana posisi Ansel. Ia makin terkejut saat melihat dada bidang Ansel tepat di depan matanya, bahkan hanya sejengkal jaraknya. Alisha sampai melangkah mundur karena saking terkejutnya.
"Kau takut, heh?" tanya Ansel, bibirnya tersenyum miring. Wajah tampan itu terlihat sangat menyebalkan di mata Alisha.
Alisha meneguk ludahnya ketika mencium aroma mint saat pria itu bicara.
"Jangan mendekat!" ucap Alisha sambil mendorong dada bidang Ansel.
Ansel langsung menarik pinggang ramping istrinya dengan kasar. Alisha memekik kaget, tangannya ia tumpukan di bahu lebar Ansel, matanya menatap terkejut ke arah suaminya itu.
"A-apa yang kau lakukan?" tanya Alisha dengan terbata.
"Apa? Bukannya kita sudah menjadi suami istri?" Ansel balik bertanya sekaligus menggoda istrinya.
Alisha berusaha mendorong badan besar Ansel, tapi hanya sia-sia, karena tenaganya tak sekuat itu. Ekspresi wajah Alisha langsung berubah menjadi kesal.
"Apakah seperti ini perilaku seorang CEO yang disegani orang-orang?" sinis nya.
Ansel mengerutkan keningnya, "Ada apa? Bukankah ini wajar dilakukan oleh sepasang suami istri?"
"Status itu hanya di depan hukum dan agama, aku tak pernah menganggap mu sebagai suamiku. Karena ini adalah paksaan!"
Ansel melepaskan rengkuhannya pada pinggang Alisha, "Terserah. Yang penting kau sudah menjadi istriku. Dan jangan pernah membantah ku, atau kau akan merasakan akibatnya."
"Sekarang, pergilah mandi." Ansel membalikkan badan Alisha dengan cepat, lalu dengan sengaja ia membuka resleting gaun yang Alisha pakai. "Aku tau kau tidak akan bisa membukanya sendiri. Lihat, kurang baik apa lagi diriku?"
Mata Alisha melotot kaget, "Kau?! Dasar pria mesum!" teriaknya dengan kesal, lalu segera berlari menuju kamar mandi.
Ansel hanya mengendikkan bahunya acuh, ia berjalan menuju koper untuk mengambil bajunya.
Beberapa menit di dalam kamar mandi, akhirnya Alisha keluar dengan ragu-ragu. Pasalnya, ia hanya mengenakan handuk kimono saja. Kepalanya sedikit menyembul, mengintip apa yang dilakukan oleh Ansel, ternyata pria itu tidak ada di kamar. Dirasa aman, Alisha melangkah keluar dari kamar mandi lalu menutup kembali pintu itu.
"Kenapa kau mengendap-endap seperti maling?"
Alisha langsung memekik kaget, ia bahkan langsung mundur mepet ke pintu sambil mengeratkan kimono nya, mata Alisha menatap kaget ke arah Ansel yang sedang memasang wajah tengil.
Alisha sungguh tak habis pikir, inikah Ansel si pria dingin nan tegas itu? Di mana letak itu semua? Ia bahkan tak menemukannya sedikitpun. Yang ada hanya Ansel si pria menyebalkan dan mesum.
"K-kenpa k-kau bisa di situ?" tanya Alisha masih dengan wajahnya yang syok.
"Menunggumu, apalagi?" jawab Ansel santai.
Alisha terdiam. Bukankah tadi tidak ada orang di dalam kamar ini? Batinnya.
"Apa yang kau pikirkan? Cepat pakai bajumu, atau kau memang sedang menggodaku, heh?" Ansel tersenyum miring. Ia berbalik menuju sofa yang ada di sana.
Tak tau saja Alisha, kalau tadi Ansel bersembunyi di balik pintu, jika Alisha membuka pintunya, maka Ansel tidak terlihat dan saat Alisha berbalik menutup pintu, maka Ansel akan berada di belakangnya. Melihat ekspresi Alisha yang begitu menggemaskan, membuat Ansel selalu ingin menjahili.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!