NovelToon NovelToon

Budak Cinta

Hadiah Istimewa

Aku masih berusaha fokus memilih hadiah yang aku inginkan. Mendengar Ameera yang terus mengomel, sedikit mengusik konsentrasiku.

Ini adalah hadiah istimewa. Aku tidak ingin ada kekurangan saat memilih hadiah spesialku itu.

"Cepat sedikit, Ra! Ramon sudah berulang kali meneleponku. Kami ada janji temu." Ameera sudah terlihat tidak lagi punya kesabaran untuk menemaniku.

"Hey, kalian bertemu saja di sini. Aku akan sibuk dengan urusanku. Dan, aku akan membiarkan kalian sibuk dengan urusan kalian," kataku memberi saran yang sedari tadi tidak digubris oleh Ameera.

Ameera justru mengentakkan kakinya ke lantai. "Kau tahu, kan, bagaimana Ramon? Kami harus bertemu di villa pribadinya. Dia tidak mau bertemu di sini."

Ameera memalaingkan wajah. Dia tampak meneliti sekeliling kami. Ya, suasana di sini memang cukup ramai. Akan sangat tidak asyik jika mereka berdua bertemu di sini. Akan banyak penggemar Ramon yang menyadari kehadirannya dan itu sangat tidak baik untuk mereka berdua.

"Yang ... ada, kami tidak jadi berpacaran." Ameera mengedikkan bahu. Wajahnya tampak lesu.

"Baiklah. Aku janji akan selesai kurang dari tiga puluh menit. Setelah dari sini, kamu juga punya janji padaku untuk langsung memberikan hadiahnya, kan?" Aku menatap lekat sahabatku itu.

Ameera mengangguk antusias. "Sesuai kesepakatan. Kau akan melindungiku lagi malam ini," ujarnya dengan senyum penuh syarat makna.

"Tapi kau harus janji untuk melakukan yang macam-macam, lho, Ameera. Kita masih sangat mudah untuk melepaskan sesuatu yang berharga." Aku memperingatkan dengan sungguh-sungguh.

"Oh, ayolah! Kau yang telah menghabiskan waktumu untuk mencintai secara diam-diam, Ra. Aku tidak."

Dia sengaja menyindirku agar tidak lagi membalas ucapannya.

"Ini cocok, kan, untuknya?" tanyaku sungguh-sunggu. Aku menunjukkan sebuah dasi yang aku pilihkan.

"Kenapa harus pilih dua? Dia sudah banyak punya dasi di dalam lemarinya. Ini terlalu berlebihan," protes Ameera yang tidak aku tanggapi.

"Untuk ganti-ganti," kataku cuek. Lantas, aku segera melangkah ke area kasir meninggalkan Ameera yang memasang wajah protesnya.

Setelah pembayaran selesai. Aku langsung memberikan hadiahku itu ke Ameera. Saat gadis itu hendak mengeluarkan kata-kata, aku sudah lebih dulu berbicara, "Aku tahu hadiahku tidak seberapa nilainya dibanding yang dia dapatkan dari pacarnya. Tapi, kita sudah punya kesepakatan bahwa kau yang aku mengakuinya. Ingat dengan kesepakatan itu, Ameera."

Bibir Ameera seketika mengatup rapat. "Mas Ias pasti akan sangat beruntung jika benar-benar berjodoh dengan kamu, Ayra," katanya yang langsung aku aminkan di dalam hati.

Ya, aku rasa bukan Mas Ias yang akan beruntung mendapatkan aku. Melainkan akulah yang akan sangat beruntung mendapatkannya.

Kemudian, satu pertanyaan terbesit di kepalaku. Apakah Mas Ias akan bahagia jika ditakdirkan berjodoh denganku?

Aku mendesah gelisah. Mungkin, kalaupun kami tidak berjodoh, aku akan cukup bahagia dengan hanya melihat lelaki itu bahagia.

Satu tepukan di pundak cukup mengagetkanku. Aku menoleh dan seketika terbelalak kaget menyadari siapa yang kini berdiri di sampingku.

"Mas ... Mas Ias," kataku terbata.

"Ameera mana? Mas Ias menunggunya di kantor, tetapi dia tidak juga datang." Suara berat nan lembut itu, mengalun indah di dalam hatiku.

"Oh ... oh. Kami tadi berpisah, dia akan membeli sesuatu sebentar. Mungkin sebentar lagi akan ke sini." Semoga saja, kebohonganku ini tidak akan terbongkar dengan cepat.

Aku sungguh kebingungan dalam mencari alasan, sebab begitu Ameera mendapatkan titipan hadiahku, dia langsung pergi begitu saja. Sedangkan aku memilih untuk bertahan di sini, aku ingin mencari buku bacaan baru.

"Ya, dia hanya menitipkan hadiah ulang tahun Mas Ias di resepsionis. Benar-benar gadis itu."

Demi apa pun, nada yang seharunya terdengar sebagai gerutuan atau aksi protes itu, justru terdengar sangat lembut. Selama aku mengenal Mas Ias, aku belum pernah mendengar lelaki itu marah.

Aku masih menatap lelaki yang kini berdiri di hadapanku itu dengan lekat. Lantas, senyumnya terangkat begitu lebar. Dia tampak bercahaya, seperti mentari pagi yang menghangatkan pagiku.

"Hai, Sayang." Sapaan itu bagai sebuah belati yang menusuk tepat di jantungku. Namun, aku harus sadar diri di mana aku berpijak sekarang ini.

Senyum Mas Ias semakin terlihat cerah. Tatapan matanya begitu lekat dan penuh cinta.

"Lho, ada Ayra. Kalian berdua datang ke sini?" Pertanyaan wanita itu terdengar sinis dan cemburu.

Entah mengapa, aku senang mendengarnya. Belati yang tadi menusuk jantungku seakan berganti menjadi bunga yang bermekaran. Aku senang jika menjadi kandidat wanita yang dicemburui. Aku merasa memiliki potensi untuk dilihat oleh Mas Ias sebagai wanita.

"Enggak. Aku kebetulan lihat dia. Ayra datang sama Ameera, tapi Ameera belum juga kembali." Mas Ias menjelaskan dengan hati-hati, seoalah dia sangat takut jika kekasihnya itu akan salah paham pada kami berdua.

Aku seketika memasang senyum lebar, juga memasang wajah seramah mungkin.

"Halo, Kak Evelyn!" Aku melambaikan tangan, menyapa wanita itu dengan ceria.

"Kalau gitu, aku pamit dulu ya, Mas ... Kak. Soalnya, ada buku yang harus dibeli," kataku bersiap untuk pergi.

"Oh iya, Ayra. Kalau kamu butuh pekerjaan. Kamu bisa pergi ke kantor Kakak ya. Ada pekerjaan yang Kakak kira cocok untuk kamu," kata Kak Evelyn. Namun, aku merasa jika dia tidak tulus menawarkan pekerjaan itu untukku.

Ada sesuatu yang ganjal di indera pendengaranku pada suaranya. Entahlah.

"Terima kasih atas tawarannya, Kak. Akan aku pikirkan. Untuk sementara, aku memang masih menikmati masa jadi pengangguran." Aku tersenyum kemudian mengangguk sopan. Saat hendak berbalik pergi, lagi-lagi suara Kak Evelyn mengurungkan niatku untuk segera enyah dari sini.

"Entar kalau jadi pengangguran terus, enggak ada cowok yang bakalan lirik kamu, lho, Ra. Cowok zaman sekarang itu suka sama cewek yang pekerja keras dan mandiri. Ya, kan, Sayang?" Kak Evelyn merapatkan diri pada tubuh tinggi Mas Ias yang berdiri di sampingnya. Tangan wanita itu melingkar erat di lengan kokoh itu, lalu merebahkan kepala di lengan tersebut.

"Hehe. Entar kalau jodoh pasti akan ada jalan untuk dipertemukan. Aku memang belum mikir ke arah sana, Kak. Masih menikmati kesendirian. Bebas dan merdeka." Aku membalas dengan penuh penekanan.

"Kalau gitu, aku pamit ya, Kak ... Mas. Selamat bersenang-senang." Aku mengangguk sekilas dan secepat kilat membalikkan badan, melangkah lebar meninggalkan area yang terasa menyesakkan itu.

Di jarak segini, aku masih bisa mendengar suara Mas Ias yang berkata pelan, "Aku sudah menawarinya bekerja di kantorku. Dia pun menolak. Biarkan saja dulu. Kita enggak usah terlalu ikut campur."

"Aku enggak terlalu ikut campur, kok, Qias. Hanya menawarkan dan justru kamu yang sudah lebih dulu ikut campur dalam hidup Ayra, bukan?"

Aku semakin mempercepat langkah. Tidak nyaman rasanya mendengar pertengkaran sepasang kekasih itu, terlebih akulah yang menjadi sumber pertengkaran mereka.

Teringat akan sesuatu, aku pun segera mengambil ponsel dari dalam tas. Aku menghubungi Ameera yang tentu saja tidak mendapatkan jawaban. Benar-benar gadis itu. Hadiah istimewaku untuk Mas Ias hanya dititipkannya di resepsionis.

Awas kau, Ameera.

Hari Mengejutkan

Aku tahu, hari ini pasti akan tiba. Di mana, aku harus

menemani  Ameera ikut sibuk dalam

mempersiapkan pernikahan Mas Ias dan Evelyn.

Aku tahu, aku harus mempersiapkan hatiku di saat aku juga

akan ikutan sibuk. Entah sibuk dalam hal apa. Namun, yang jelas aku pasti akan

ikut andil dalam persiapan pernikahan ini.

Setiap hari, setiap mataku terbuka di waktu pagi, aku akan

mengatur napasku agar hatiku siap menerima kemungkinan terburuk akan patah

hati.

Cinta di dalam hati ini bukan hanya hitungan bulan. Bahkan,

aku telah memandam perasaan cinta sepihak ini bertahun-tahun lamanya.

Aku ingat saat pertama kali bertemu dengan Mas Ias. Kala itu,

aku masih mengenakan seragam putih dan biru. Tepatnya, saat aku berusia tiga

belas tahun. Untuk pertama kali, aku menginjakkan kaki di rumah besar keluarga

Jarvas.

Benarlah adanya gosip yang beredar itu ... bahwa keluarga

Jarvas adalah keluarga yang sangat kaya raya. Dan, brnar pula adanya bahwa

mereka adalah orang yang ramah lagi baik.  Dulu, aku tidak pernah menyangka jika bisa berteman akrab d engan Ameera

Jarvas, putri bungsu keluarga tersebut.

Memang, kala itu aku sempat menduga jika Ameera adalah anak

keturunan orang kaya. Dia selalu diantar jemput menggunakan mobil yang terlihat

keren nan mewah. Dan, untuk pertama kalinya aku bertemu dengan kakaknya. Pada pandangan

pertama aku telah merasakan hal yang berbeda.

Adya Qias Jarvas telah berhasil mengenalkan kepadaku untuk

pertama kalinya perasaan berdesir halus dari dalam dadaku sampai mengalir ke

seluruh tubuh.  Aku ingat, kala itu aku

bahkan memegangi dada sebelah kiri saking debaran jantungku yang terus-terusan

menggila. Rasanya, aku terkena serangan jantung. Terlebih saat Mas Ias menyapa

dengan senyum ramah dan suara yang berat nan lembut.

Ya Tuhan! Saat mengingat peristiwa itu lagi pun, setelah

sekian tahun lamanya, jantung ini masih saja berdebar kencang.

Untuk pertama kalinya, aku mengenal cinta pertama. Untuk

pertama kalinya seorang Ayra menatap dengan wajah memanas, dan Mas Ias pula

yang mengenalkan aku semua rasa. Baik itu rasa cemburu, rasa kesal, rasa marah

dan rasa merelakan. S ampai pada akhirnya, aku menyadari bahwa mencintai adalah

di saat aku pun bahagia melia orang yang dicintai bahagia.

Benar kata Ameera bahwa aku adalah si budak cinta yang terus

bertahan dengan perasaan yang tidak terbalaskan. Boro-boro  akan terbalaskan, aku bahkan sangsi jika Mas

Ias tahu dengan perasaanku yang sebenarnya terhadapnya itu. Mungkin, dia bahkan

tidak pernah melihatku sebagai seorang wanita dewasa yang layak untuk

dicintai.  Aku hanya seorang gadis kecil

teman adik perempuannya. Huft!

Sejak aku menyadari perasaanku terhadap Mas Ias, saat itu

pula aku memutuskan untuk memberikannhadiah di setiap ulang tahunnya. Aku sampai

rela menabung d emi mendapatkan hadiah yang pantas untuknya.

Kata Ameera, orang akan dengan mudah membaca gelagatku yang

jatuh cinta kepada Mas Ias. Namun, dia juga bilang kalau tidak akan mungkin Mas

Ias tidak mengetahui perasaanku terhadapnya. Pasalnya, aku begitu

terang-terangan.

“Aku yakin Mas Ias tahu. Bodoh banget kalau sampai Mas Ias

enggak tahu, Ra. Cuma, Mas Ias aja yang enggak mau merusak hubungan kita. Kamu

sahabatku, d an aku adalah a diknya. Sesimpel itu. Akan sangat aneh kalau

tiba-tiba s aja, kamu jadi kakak iparku bukan?”

Itu adalah pembicaraan antara aku dan Ameera saat kami telah

berseragam putih abu-abu. Aku sering frustrasi kala itu. Terlebih saat aku

harus melihat bagaimana hubungan antara Mas Ias dan Kak Evelyn yang semakin

menjadi. Keduanya sepakat untuk berpacaran dan menjalin hubungan yang serius.

Lewat Ameera pula, aku tahu bagaimana Mas Ias sangat

mencinta Kak Evelyn. Ya, tentu saja. Siapa, sih, yang enggak bakalan tertarik

dan jatuh cinta dengan Kak Evelyn yang super cantik, menawan dan ramah itu.

Mereka adalah pasangan yang serasi. Aku yakin, saat mereka menikah nanti, anak

mereka akan menjadi anak yang sangat sempurna.

“Ra, kita jadi pakai gaun seragam, kan?” Pertanyaan Ameera

seketika membuyarkan ingatan randomku. Mata wanita itu menyipit, seperti tengah

menelisik sesuatu. “Ingat ... kamu dan aku jadi pendamping pengantin perempuan,

lho!” lanjutnya penuh penekanan.

Aku hanya mengangguk setuju. Ini sudah menjadi permintaan

spesial dari calon pengantin wanita. Seperti yang sudah aku katakan bahwa aku

akan bahagia jika Mas Ias bahagia. Dan, sepertinya perjuanganku untuk tidak

menghancurkan diriku sendiri akan lebih sulit.

Hari pernikahan yang semakin dekat, semakin meremukkan

hatiku. Aku tidak lagi nyaman memejamkan mata di malam hari. Aku juga tidak

lagi semangat membuka mata di pagi hari. Namun, aku harus sadar di mana

tempatku berada.

Seperti yang dikatakan Kak Evelyn waktu itu. Saat aku

diundang merayakan ulang tahun Mas Ias yang ke dua puluh delapan tahun. Hari ulang

tahun Mas Ias bertepatan dengan hari jadi mereka menjadi sepasang kekasih.

Aku memberikan kado untuk mereka berdua. Sebuah lukisan

senja di sore hari, dengan seorang wanita yang duduk dii pinggiran pantai.

“Ini kado yang indah,” kata Kak Evelyn. “Aku tahu, kamu akan

sangat sadar di mana posisimu berada,” bisiknya kemudian.

Ya, kado itu memang menggambarkan bagaimana diriku berada.

Aku adalah seorang wanita yang hanya bisa menatap langit sore dari kejauhan. Aku

tidak akan mampu menyebarangi pantai yang luas dengan gelombang yang tinggi.

Aku pun hanya mampu bertahan dari kejauhan menikmati pemandangan indah itu dari

tempatku berada. Langit sore dengan warna jingga itu adalah perpaduan Mas Ias

dan Kak Eveleyn.

Suara dering ponselku di nakas terus berbunyi dari tadi. Aku

baru saja keluar dari kamar mandi. Hari ini adalah hari bersejarah. Hari di

mana aku harus merelakan hatiku sepenuhnya untuk hancur dan harus aku benahi

sendiri.

“Iya ... iya, aku sebentar lagi datang,” kataku sebelum

Ameera yang mengeluarkan kata.

“Oke.” Satu kata singkat cukup membuatku mengerti bahwa aku

harus segera bersiap.

Tidak ingin membuang waktu lagi, tidak pula ingin Ameera

semakin kesal. Aku bergegas bersiap-siap. “Ma, Pa, aku berangkat duluan ya.

Ameera udah sibuk banget teleponin terus. Sampai jumpa di gedung ya,” kataku

sambil mencium pipi kekdua orang tuaku secara bergantian.

Setengah jam kemudian, aku telah sampai di gedung. Benar saja,

Ameera sudah siap menghadangku di parkiran.

“Gila banget tahu enggak?” sembur Ameera dengan wajah kesal.

“Ya, sorry. Aku juga butuh mempersiapkan diri, Meera,”

kataku sungguh-sungguh.

“Kak Evelyn enggak bisa dihubungi dari semalam. Mas Ias udah

putus asa. Aku enggak pernah lihat dia sekalut ini. Tadi pagi dia sudah mau

pergi jemput Kak Evelyn secara langsung, tapi Papa larang. Nah, pagi ini ...

nomor Kak Evelyn belum juga bisa dihubungi. Terus, ini barusan Mas Ias dapat

pesan singkat kalau Kak Evelyn mau batalin pernikahan mereka.”

Penjelasan panjang lebar Ameera membuat aku syok. Lebih syok

lagi saat Pap Rafe dan Mam Medina datang menghampiriku. Mereka mengajakku ke

ruang ganti pengantin laki-laki.

Aku sangat terpukul saat melihat Mas Ias yang tertunduk

dalam dengan kedua tangan yang mengepal erat. Sekarang hanya tinggal kami

berdua. Sampai beberapa menit berlalu, tidak ada kalimat yang keluar di antara

kami. Aku juga bingung bagaimana cara menenangkan lelaki itu.

“Ayra ....” Suara Mas Ias akhirnya terdengar, begitu berat

dan sarat akan kesedihan. “Kamu mau enggak kalau jadi pengantinnya Mas Ias hari

ini?” tanya lelaki itu dengan sorot terluka.

Dan, entah setan dari mana yang kini merasukiku. Kepalaku begitu

saja mengangguk. Namun, bukan kebahagiaan yang aku rasakan saat ini, melainkan

kehancuran hatiku ketika Mas Ias mengucapkan kata ‘maaf’ berulang kali.

Aku tahu, Mas Ias tidak menginginkan pernikahan kami.

Sosok Baru

Hari ini terasa begitu melelahkan. Aku pikir, acara pernikahan ini akan berakhir begitu saja setelah akad. Namun, rupanya resepsi tetap berlangsung sampai malam.

Setelah pagi dihiasi dengan banyak emosi. Komplit sudah tubuh ini lelah juga pikiranku. Ada perasaan tidak enak kala merayu orang tuaku tadi.

Aku bersusah payah meyakinkan mereka jika diriku ini memang menginginkan pernikahan itu. Beruntung, Mas Ias mau membantu. Lelaki itu turut memohon kiranya pernikahan ini direstui. Papa Rafe juga ikut memohon. Pada akhirnya, kedua orang tuaku pun mau merestui anak gadisnya ini menikah dengan Mas Ias. Walaupun, aku sangat paham jika mereka masih tampak keberatan.

Malam ini, aku dan Mas Ias dibiarkan menginap di hotel. Setelah acara selesai, keluarga langsung berpamitan pulang dan sengaja melarangku untuk ikut. Sementara itu, Mas Ias ada acara khusus para lelaki. Tinggallah aku sendirian di kamar ini.

Ada rasa haru, tetapi banyak kesedihan yang tidak bisa aku tepis melihat ranjang kamar ini telah dihias sedemikian rupa.

Aku yakin, kalau saja yang jadi pengantin wanitanya adalah Kak Evelyn pastilah kamar ini akan menjadi kamar yang sangat berkesan dalam kebahagiaan.

Aku melihat jam dari ponsel. Sudah tengah malam. Aku juga sudah mandi, tetapi belum berganti pakaian. Pasalnya, pakaian yang ada di lemari hotel semuanya adalah pakaian kekurangan bahan. ku tidak sanggup mengenakannya.

Akhirnya, aku pun mengenakan kembali pakaian kebaya yang digunakan untuk akad nikah tadi.

Aku membersihkan ranjang, membuang kelopak mawar ke tong sampah. Tidak lupa, aku juga melipat dan menyimpan handuk yang berbentuk angsa itu. Lantas, aku pun merebahkan diri, melipat kedua tangan di atas dada dengan mata terpejam.

Ingatanku memutar ulang kejadian hari ini, dari saat aku ditelepon oleh Ameera sampai saat aku masuk di kamar hotel ini.

Aku membuka mata, menatap cincin pernikahan yang Mas Ias sematkan di jari tengahku. Awalnya, lelaki itu menyematkan di jari kelingking, tetapi terlalu longgar.

Ya, memang cincin ini bukan ukuran jariku melainkan ukuran jari Kak Evelyn. Dia adalah perempuan yang seksi, anggun dan sempurna. Berbeda denganku yang tingginya tidaklah seberapa, dengan badan kurus.

Aku terus memandangi cincin yang melingkar di jariku sampai terdengar suara pintu terbuka. Kontan aku terlonjak dan turun dari ranjang. Itu pasti Mas Ias.

Aku baru saja bernapas lega saat melihat lelaki itu, tetapi kemudian rasa sesak menghampiri saat menyadari keadaan Mas Ias yang kacau.

Bau alkohol jelas tercium dari tubuhnya. Seumur aku mengenal Mas Ias, aku belum pernah mendapatinya atau mendengar cerita tentang lelaki itu yang mabuk. Mas Ias sangat menjaga diri dari minuman yang mampu menghilangkan akal tersebut.

"Mas ... Ias." Aku memanggil pelan, berjalan cepat mendekatinya yang tengah melemparkan tuksedo yang tadi dikenakan, meninggalkan kemeja putih yang kancingnya sudah terlepas.

Aku ragu saat menahan tubuh Mas Ias yang terhuyung. "Mas ... mabuk?"

"Hai, Ayra. Eh, kamu beneran Ayra, kan, bukan Evelyn?" tanya lelaki itu, lalu terkekeh pelan.

Aku tidak menanggapi. Aku meraih satu tangan Mas Ias, merangkulkan ke pundakku. Sejujurnya, tubuh Mas Ias sangat berat dan sangat jauh perbandingannya dengan tubuh kurusku. Aku berusaha keras, menyeret lelaki itu masuk ke kamar.

Sesampainya di dekat ranjang, tenagaku terkuras habis. Alhasil, tubuhku terhuyung dan kami berdua pun jatuh ke ranjang. Mas Ias tepat di bawahku.

Jantungku berdetak kencang saat tangan Mas Ias merangkul pinggangku. Matanya mengerjap pelan, ia menatap sayu. Perlahan, tangannya naik mengelus punggungku. Desiran halus merambat ke seluruh tubuh bagai aliran listrik yang menyengat.

"E ... velyn." Lirih suara lelaki itu terucap, kemudian matanya terpejam rapat. Seketika itu juga, tangannya yang berada di atas punggungku pun terlepas.

Ada sengatan yang tidak bisa aku jabarkan dengan jelas. Sengatan tersebut membuat mataku memanas. Debaran yang tadi sempat aku rasakan, kini berubah seperti pacuan yang mengentak kesadaranku. Desiran yang mengalir ke seluruh tubuh, seketika itu juga berganti bagai ribuan jarum yang menusuk hingga ke dasar hati.

Aku menyeka buliran bening yang menitik di pipi. Tidak seharusnya aku menangis, sebab aku sendirilah yang memutuskan menerima pernikahan ini.

Tanganku secara perlahan terulur membanahi rambut Mas Ias yang acak-acakan. Jika di hari biasanya, lelaki itu terlihat selalu rapi. Kejadian hari ini, sukses membuatnya rapuh.

"Semoga kerapuhanmu tidak terlalu lama, Mas," kataku lirih. Lantas, aku pun bangun dan melepaskan satu persatu sepatu yang masih ia kenakan berikut kaus kakinya.

Aku mengangkat kaki Mas Ias ke atas ranjang, lalu membuka kemeja yang ia kenakan tertinggalah kaus putih yang melekat.

Tiba-tiba saja, Mas Ias bangkit dan memuntahkan isi perutnya mengenai pakaianku. Bau tidak sedak menguar di penjuru ruangan, sangat menyiksa indera penciumanku. Aku sampai harus menahan napas dan menutup hidung saat membersihkan muntahan itu.

Setelah melepaskan kaus Mas Ias, aku segera berganti pakaian. Beruntung kemeja Mas Ias tidak kena cipratan muntahannya. Akhirnya, aku pun memutuskan untuk mengenakan kemejanya.

Ada rasa tidak nyaman saat harus menganakan pakaian yang terlalu pendek di hadapan seorang lelaki. Demi mengusir ketidaknayamanan ini, aku berganti pakaian mengenakan pakaian kurang bahan. Aku memilih gaun yang menutup sampai ke lutut, lalu melapisi dengan kemeja Mas Ias.

Setelah mengepel lantai, dan meminta pelayan hotel untuk laundry, aku pun beristirahat menyelimuti tubuh Mas Ias. Sementara, aku memilih untuk tidur di atas sofa panjang yang ada di dalam kamar.

Kurang beruntungnya diriku karena setelahnya aku justru tidak bisa terlelap. Padahal, berulang kali mulut ini menguap sampai mengeluarkan air mata.

Di atas ranjang, aku mendengar iguan Mas Ias yang memanggil nama Evelyn.

"Evelyn ...."

"Evelyn ...."

Beberapa menit kemudian, Mas Ias terbangun. Aku buru-buru mendekat.

"Mas butuh sesuatu?" tanyaku pelan berdiri di pinggir ranjang.

Mas Ias tampak tersentak kaget. "Ay ... ra. Maaf ... Mas mau minum. Haus," katanya tidak yakin dengan suara berat.

Aku bergegas memberikan segelas air putih. "Terima kasih," katanya yang aku balas dengan anggukan. "Ini jam berapa?"

"Mungkin jam 4an, Mas. Aku enggak tahu juga."

"Oh. Hmm, kamu tidur di mana?" Mas Ias menoleh ke kiri dan ke kanan.

"Oh, aku ...."

"Kamu tidur sini aja. Mas janji enggak akan apa-apain kamu, kok. Sini!" Mas Ias menepuk-nepuk sisi kosong di sampingnya.

Sejenak aku ragu. Namun, saat melihat wajah Mas Ias, aku pun mengangguk dan memutari ranjang, berbaring di samping Mas Ias.

Benar, Mas Ias tidak akan ngapa-ngapain aku. Dia sendiri yang meletakkan dua guling di antara kami sebagai pembatas. Dia juga memberikan selimut yang tadi dipakainya kepadaku.

"Mas aja yang pakai," tolakku halus.

"Mas enggak kedinginan, kok." Lantas, Mas Ias pun berbalik memunggungiku. Sementara aku tetap berbaring menghadap lelaki itu.

Saat aku melihat punggung Mas Ias yang naik turun secara teratur, aku pun bergerak menyelimuti tubuh itu. Walaupun ada pembatas di antara kami, setidaknya Mas Iaa tidak akan kedinginan malam ini.

Perlahan, mataku pun terpejam sampai lelap menghampiri.

Semoga saja, aku bisa bertemu dengan Mas Ias yang tersenyum walau hanya dalam mimpiku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!