"Tara, buka pintu!" teriakan Roy dari luar rumah terdengar serak dan berat.
Perlahan Tara bangkit dari ranjang tidur. Sesaat ia menatap wajah polos Sania, anak perempuannya yang baru berumur 3 tahun yang sedang tertidur lelap. Dengan langkah gontai, Tara melangkah keluar kamar menuju pintu rumahnya yang terkunci rapat.
Klik...!
Tara memutar kunci pintu rumahnya tak bersemangat.
Brak...! Bruk...!
Suara pintu didorong keras disertai tubuh Roy yang jatuh sempoyongan di dekat kaki Tara, membuat wanita cantik itu terkejut.
Tara merunduk menjulurkan tangannya hendak membantu Roy agar berdiri, tapi Roy menepisnya dengan kasar.
Roy berusaha bangkit sendiri dan memandang wajah Tara dengan kesal.
"Sana, ambilkan aku air putih!" perintahnya teramat jengkel.
Tara bergegas setengah berlari ke dapur mengambilkan segelas air untuk suaminya itu. Namun, belum sempat ia memberikan, Roy sudah muncul berdiri di belakang punggung Tara sambil memeluk pinggangnya erat.
"Tara sayang, aku butuh bantuanmu. Aku kalah lagi, aku pinjam cincin yang dulu ku belikan ya," bujuk Roy berbisik mendekatkan bibirnya di belakang telinga Tara.
Tara bergidik geli, Ia risih dengan sikap Roy. Apalagi bau alkohol yang keluar dari mulutnya tercium jelas di hidung Tara.
"Tapi mas, itu cincin pernikahan kita," jawab Tara sedih.
Ia melepaskan jemari Roy yang memeluk pinggangnya dengan hati-hati.
Roy seakan tak mau melepas pelukannya, ia malah menyentakkan pinggang Tara hingga perut Tara tertekan merapat ke tubuhnya.
Tara tersentak kaget, nyaris saja air dalam gelas yang ada di tangannya tumpah.
"Tara, kalau aku bilang pinjam, ya pinjam. Nanti kalau aku menang, aku akan belikan kamu perhiasan yang lebih mahal. Malah lebih mahal dari cincin itu, oke...,!" ucap Roy memaksa.
Bujuk rayu Roy yang penuh paksaan membuat Tara ingin menangis.
Tara sadar, semua itu bohong. Semua perhiasan dan uang tabungannya hampir ludes tak bersisa, setiap kali Roy minta paksa untuk berjudi.
"Ayo lah Tara..., Mana cincin itu...?" desak Roy tak sabar.
Jemari Roy bergerak liar, meraba tangan Tara yang gemetar.
Tara menyembunyikan jari manis ditangan kirinya ke balik daster yang ia pakai. Tapi Roy sudah tidak waras lagi. Dengan kasar, ia menyentak tangan Tara, hingga pergelangan tangan mungil itu terasa sakit.
"Aduh...!" jerit Tara meringis kesakitan.
Gelas air yang ia pegang ditangan kanan, akhirnya jatuh ke lantai dan pecah. Serpihan kacanya mengenai ujung jari kaki Tara. Tapi Roy seakan tak peduli dengan semua itu. Roy tetap menarik pergelangan tangan Tara, dan memaksa cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya agar terlepas.
"Jangan mas Roy, kita sudah tidak punya apa-apa lagi!" jerit Tara memelas memutar tubuhnya.
Tara memandang suaminya penuh harapan. Percuma saja, Roy seolah sudah kemasukan setan.
"Jangan banyak bicara! Kalau kaya, kita bisa beli lagi." Jawab Roy seenaknya.
"Tapi mas...,Ku mohon!" ujar Tara mulai terisak.
Derai airmata tak sanggup lagi ia bendung. Tara menangis, memohon pada suaminya yang sudah gila judi itu.
Tara memegang kaki Roy kuat. Ia berharap Roy akan merasa tersentuh dan kasihan pada istrinya.
Sayangnya, itu hanya harapan kosong belaka. Roy justru marah dan mendorong tubuh Tara sekuat tenaga.
"Sekali lagi kamu bicara, aku tampar kamu!" gertak Roy beringas.
Tara kian menangis terisak-isak. Ia menggenggam tangannya yang sudah polos tanpa cincin melingkar di jari manisnya dengan hati teramat sakit.
Roy tersenyum puas saat cincin pernikahan itu telah berada di tangannya. Seraya melemparkan senyuman sinis, Roy pun pergi meninggalkan Tara yang sedang menangis tersedu tanpa perasaan iba.
Brak...!
Lagi-lagi suara pintu dibanting terdengar keras oleh telinga Tara. Roy sudah keluar rumah lagi untuk pergi berjudi.
Seperti biasa, Roy tak'kan tidur dirumah untuk malam ini. Roy hanya akan pulang jika uangnya sudah habis.
Saat ini, tinggallah Tara dengan air mata yang tak henti mengalir di pipinya. Ia meratapi buruk nasibnya yang telah salah memilih suami.
Disela tangis dan air mata kesedihannya yang tumpah, jemari Tara tampak gemetar memilih serpihan kaca yang berserakan di lantai.
Otaknya terus berpikir membayangkan sikap Roy yang telah jauh berubah padanya.
Roy yang ia kenal waktu pacaran dulu adalah pria mapan yang lembut dan romantis. Roy yang punya segala kelebihan, selalu terlihat sopan, baik,dan royal pada keluarga Tara.
Tapi setelah mereka menikah, sikap Roy berubah drastis. Roy ternyata cuma pria pengangguran yang suka berjudi dan mabuk-mabukan. Sifatnya yang egois, kasar dan posesif seringkali menyakiti hati Tara. Pernikahan mereka tak pernah harmonis dan bahagia.
"Mengapa nasibku begini? Apakah kecantikan yang diberikan tuhan adalah anugrah? Ataukah suatu kesialan bagi hidupku? Aku menyesali semuanya." Rintih Tara dalam hati.
Ia seakan menyesali keputusannya yang terlalu cepat untuk bersedia menjadi istri Roy tanpa mengenali kepribadiannya.
Sekarang nasi sudah jadi bubur, semua sudah terlambat. Hidupnya hancur sudah. Apalagi ada Sania, anak perempuan mereka satu-satunya.
"Haruskah aku pasrah dan menjalani penderitaan hidup seperti ini sepanjang hidupku?" batin Tara terus berkata.
"Mama...,!" teriak Sania dari dalam kamar.
Sebuah jeritan kecil menyadarkan Tara dari kesedihan panjang. Suara lembut Sania terdengar memanggilnya. Ia pun segera bangkit dengan tertatih menuju tempat sampah, membuang serpihan kaca yang terkumpul diatas sebuah kain lap.
Tubuh mungil Sania terlihat samar keluar dari pintu kamar berlari menyongsong kehadiran Tara.
"Mama, pipis...,!" ucapnya manja.
Tara memeluk tubuh mungil Sania dengan penuh kasih. Ia pun membelai rambut Sania yang ikal panjang dengan lembut. Tak lupa ia menghadiahkan pipi gembul Sania dengan ciuman bertubi-tubi.
"Si cantik mama mau pipis ya? Ayo, mama temani ke kamar mandi," ucap Tara lembut.
Sania mengangguk tersenyum riang. Sejenak Tara lupa dengan kejadian barusan. Senyuman Sania mampu mengobati luka hatinya.
Tak terasa malam cepat berlalu.
Tara terperanjat saat melihat jam di ponsel jadul miliknya. Pukul 7.00 pagi. Ia hampir terlambat masuk kerja. Tara buru-buru mandi dan berdandan. Ia melirik sejenak ke arah Sania yang sudah ia rapikan sedari tadi. Sania kecil tampak asyik bermain boneka kesayangannya di ruang tamu.
"Sania, ayo, ke rumah Tante Maya yuk, Mama udah telat kerja nih," ucap Tara buru-buru.
Tangannya bergerak cepat memasukan beberapa perlengkapan dan keperluan Sania ke dalam sebuah tas besar.
Maya adalah sahabat baik Tara dan juga tetangga sebelah rumahnya. Maya sangat menyayangi Sania.
Sania anak yang patuh dan juga akrab dengan Maya, ia tidak pernah merengek kalau ditinggal bersama Maya.
"Aku berangkat dulu ya May,!" teriak Tara, saat Sania sudah berada di pelukan Maya.
Maya mengangguk dan melambaikan tangannya sambil menggendong Sania dengan wajah senang.
"Iya, hati hati ya,!" ucap Maya.
Dari balik pagar rumah Maya, Tara tersenyum membalas ucapan Maya. Setengah berlari, ia menuju halte bus menanti bus menuju tempat kerjanya.
Pukul 7.45, Tara telat 15 menit.
Tara menarik nafas panjang, sebelum memasuki resto tempat ia bekerja. Darahnya nyaris terhenti, tatkala Pak Iwan pemilik resto sudah berdiri menanti di depan pintu resto.
"Kamu telat lagi Tara! Dan ini bukan yang pertama kali, tapi sudah ke 8 kali dalam satu bulan ini." Tegur Pak Iwan dongkol.
Tara hanya tertunduk diam, tak bisa menjawab apapun.
"Kamu masih niat kerja disini tidak?!" bentak Pak Iwan lagi dengan nada lebih tinggi.
Wajah Tara langsung pucat pasi mendengar bentakannya. Jantungnya seakan ingin copot.
"Masih Pak, maaf, saya tadi bangun kesiangan." Sahut Tara gugup.
Pak Iwan menaruh tangan kirinya di pinggang sedangkan tangan kanannya ke atas memegangi jidatnya.
"Tara, Tara, saya tahu hidup kamu susah, kalau bukan karena kasihan, sudah dari dulu kamu saya pecat!" ujar Pak Iwan kesal.
Tatapannya perlahan mulai melunak. Tara tertunduk diam berusaha menahan air matanya. Sekali lagi kebaikan hati bosnya itu tak kan bisa ia lupakan. Beliau selalu sabar memahami segala keadaan Tara.
"Sudahlah, sana kerja!" perintah Pak Iwan pada Tara.
Tara mengangguk patuh dan bergegas menuju dapur untuk bekerja sebagai pelayan resto milik Pak Iwan.
Pelayan restoran adalah profesi yang ia jalani hampir dua tahun lebih, setelah Roy berhenti memberi Tara nafkah dan tidak mempedulikan kebutuhan istri serta anak kandungnya.
Menjelang sore.
Satu persatu pelanggan mulai meninggalkan resto tempat Tara bekerja. Ia terlihat sibuk membereskan piring-piring kotor sisa-sisa makanan di meja para pelanggan resto.
Hingga sampai di salah satu meja yang agak berada di pojokan, sebuah suara pria terdengar berat menyapa Tara.
"Tumben, kamu tidak pakai cincin nikah?" katanya mengejutkan Tara.
Sejenak Tara melirik jemarinya yang terlihat kosong tanpa cincin. Ia pun segera mengangkat wajahnya memandang pelanggan pria yang duduk di meja pojokan itu dengan seksama. Matanya menyipit heran, sepertinya ia tidak mengenal pria itu.
Wajah pria itu terlihat tampan dengan sorot mata yang tajam dan alis mata yang tebal. Hidungnya terlihat mancung dihiasi bibir tipis yang tersenyum manis dengan lesung pipi yang menggoda. Dilihat dari penampilannya yang bergaya modis dan high class, Tara yakin pria itu bukan orang biasa.
"Maaf, Anda tadi bicara dengan siapa?" tanya Tara sopan.
Pria itu mengerling sembari tersenyum manis kearah Tara.
"Aku bicara padamu, Tara Anjani." Tuturnya lagi dengan lembut.
Tara terkesiap mendengar pria itu menyebut namanya dengan lengkap.
"Anda siapa? kenapa bisa tahu nama saya?" tanya Tara heran bercampur kaget.
Rasa penasaran timbul di hati Tara.
Pria itu hanya tertawa lirih melihat sikap Tara.
"Kamu memang tidak sopan, pertanyaanku dari awal belum kamu jawab, tapi kamu malah balik bertanya dengan banyak pertanyaan." Ujarnya tenang.
Tara makin penasaran dengan perkataan pria itu.
"Saya rasa, Anda lebih aneh dan mencurigakan. Tiba-tiba Anda bertanya masalah cincin pernikahan saya. Apalagi Anda bisa tahu nama lengkap saya. Padahal, saya tidak kenal dengan Anda sama sekali," ujar Tara bingung.
Tara menatap pria itu dengan tatapan menyelidik.
Raut wajah pria itu sedikit berubah saat mendengar perkataan Tara. Sejenak ia menarik nafas berat, dan berdiri dari duduknya. Pria itupun melangkah menghampiri tempat Tara berdiri dan berhenti sejenak di sampingnya.
"Jika arti dari cincin nikahmu yang terlepas adalah tanda perpisahan dengan suamimu, maka bersiaplah menanti kehadiranku." Ucap pria itu pelan setengah berbisik ke telinga Tara.
Tara tertegun mendengar ucapan pria itu.
Sebelum ia sadar, pria itu telah berlalu pergi meninggalkan Tara sambil menuju meja kasir.
Tara membalikan tubuhnya berniat memanggil pria itu kembali. Tara penasaran dengan apa yang pria itu ucapkan ke telinganya tadi. Namun, Pria itu telah jauh pergi menuju pintu keluar tanpa menoleh sama sekali ke belakang.
Apa mau pria itu? Bagaimana dia bisa tahu, jika Tara punya cincin nikah? Apakah dia berniat mencuri cincin nikah yang Tara miliki? Apakah penjahat zaman sekarang sudah berubah rupa menjadi tampan dan perlente? Siapa sebenarnya pria itu?
.
.
.
Bab selanjutnya 👉
Jangan lupa LIKE kalau kamu ❤️ 👌
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
HAI HAI HAI,,, PARA READERS KU TERSAYANG.
Welcome di KARYA PERDANA KU yaaa...🤗
Sebagai author pemula, aku sangat butuh dukungan mu semua Lhoo...
Tolong bantu kasih kritik dan saran nya ya.
Dukung karya ku dengan LIKE Per BAB yang kamu baca. Jangan lompat baca nya y,, 🙏
Tinggalkan jejak mu dengan KOMENTAR,,
VOTE dan GIFT serta kasih penilaian ⭐⭐⭐⭐⭐ agar karya ku ada nilai nya 🥰
Jangan lupa ya,, 🤗
Makasih untuk semuanya ❤️❤️❤️❤️❤️😘
Halte Bus masih terlihat sepi.
Tara berangkat kerja sedikit pagi dari biasanya. Dia merasa segan sama Pak Iwan pemilik resto, kalau terus-terusan terlambat masuk kerja.
Belum lima menit menunggu bus. Sebuah mobil sedan silver berhenti tiba-tiba tak jauh dari tempat ia berdiri.
Tara pikir, ada penumpang yang ingin naik ataupun turun dari mobil itu. Tapi sekian lama memperhatikan, tak satu pun orang yang ia lihat mendekati ataupun turun dari mobil tersebut.
Agak mencurigakan, sebab sopirnya tak terlihat oleh kaca hitam yang menutupi kaca mobil. Lama mobil itu berhenti, tanpa bergerak sedikitpun. Hingga bus yang biasa Tara tumpangi berhenti di halte biasa tempat ia menunggu.
Tanpa memperdulikan si pemilik mobil silver, Tara pun segera naik, masuk kedalam bus menuju resto tempat ia bekerja.
.
.
"Tara... Tumben datangnya pagi?" Sambut Vonny, rekan sekerjanya dengan senyum sumringah.
Tara hanya tersenyum manis membalas sambutan Vonny yang penuh senyuman. Tanpa bicara apapun, ia segera berlalu menuju dapur.
"Tara, tolong antar pesanan ke meja pojokan kanan ya," ucap Vonny sambil menyodorkan baki yang sedang ia bawa ke tangan Tara.
Tara mengangguk cepat dan mengambil alih baki yang di bawa Vonny.
Langkah kakinya nyaris terhenti, saat melihat pelanggan yang duduk di meja pojok itu.
Dia lagi, pria misterius kemarin sore.
Pria itu terlihat makin tampan dengan kemeja kotak-kotak hitam bergaris putih. Ia terlihat mempesona dengan senyuman tipis yang menghias bibirnya.
Tanpa bicara sedikit pun, Tara langsung menaruh makanan pesanannya di atas meja.
"Sepertinya, suasana hatimu sedang bagus hari ini, biasanya jam segini kamu belum datang."
Lagi-lagi pria itu bicara seolah-olah ia tau segalanya tentang Tara.
Tara menatap wajah si pria tajam.
Pria itu balas menatap hingga sesaat mata mereka saling bertemu.
Tiba-tiba dada Tara bergetar hebat, senyumannya membuat Tara salah tingkah.
"Saya pikir, Anda mungkin paranormal." Sindir Tara halus.
Pria itu tertawa lirih memperlihatkan giginya yang putih bersih.
"Aku bukan paranormal." Jawab pria itu santai.
Ia pun memegang sendok dan garpu yang tertata rapi di dalam piringnya.
"Aku cuma pemujamu." Lanjutnya lagi, sambil mulai menyuapi mulutnya dengan makanan yang Tara hidangkan.
Tara memandangnya heran. Sepertinya pria itu tidak datang sendiri, karna ada dua porsi nasi dan dua mangkuk sup yang ia pesan. Ataukah dia sangat kelaparan? Hingga porsinya dobel dari manusia biasa.
"Setidaknya, Anda janganlah menjadi lelaki murahan yang suka menggoda istri orang." Ucap Tara sedikit jengkel.
Nada bicara Tara terdengar agak keras dan tegas.
Namun pria itu seolah tak peduli dengan ucapan Tara. Ia terus menikmati makanannya dengan lahap.
"Jika Anda datang hanya sebagai pelanggan, saya akan melayani dengan sepenuh hati. Jika tidak...,?"
"Jika tidak..., lebih baik kamu duduk menemani aku makan. Karna dengan adanya kamu, selera makanku jadi tambah enak." Sahutnya cepat.
Pria itu memotong kalimat perkataan Tara tanpa memandang wajah Tara sama sekali.
Tara terpaku, nyaris tak bisa bersuara. Lidahnya terasa kelu, dan tenggorokannya terasa kering.
Pria itu bicara seenaknya saja. Ia seakan tak peduli bagaimana ekspresi Tara menanggapi setiap perkataannya yang penuh rayuan.
Andai Tara belum bersuami, mungkin saja ia akan cepat jatuh dalam pelukannya. Sikap pria itu tak ubahnya seperti playboy kelas kakap.
"Duduklah, temani aku makan. Bosmu tak akan marah. Aku yang tanggung jawab jika ia memecat mu. Lagi pula, aku tahu, kamu belum makan sedari pagi. Makanan ini, semuanya ku pesan bukan hanya untukku. Tapi untuk kita berdua." Ucapnya lagi memaksa Tara untuk duduk.
Tara termangu di tempatnya berdiri. Otaknya di penuhi tanda tanya. Ada apa dengan orang ini ? Rasa ragu, bimbang, was was, curiga bercampur aduk menjadi satu memenuhi dada Tara.
"Duduklah Tara!" ucapnya lagi memaksa.
Satu kalimat perintah dari bibirnya, membuat Tara tak bisa untuk menolak. Perlahan Tara duduk di hadapannya.
Pria itu segera menyodorkan sepiring nasi, dan semangkuk sup yang terhidang kan di atas meja kepada Tara.
"Ini sup daging, makanan kesukaanmu kan?" ujarnya lagi, sambil menaruh sendok dan garpu ke piring Tara.
Dia bersikap seperti melayani Tara. Bukankah dia adalah pelanggan? Dan Tara pelayannya. Tara jadi bingung.
"Lho..., kenapa melamun? Ayo makan! Apa perlu di suapin?" gurau pria itu.
Wajah Tara seketika berubah merah padam. Jujur, ia ingin pergi secepatnya meninggalkan pria itu sendiri. Tapi sikapnya yang terlalu baik membuat hati Tara penasaran dan penuh tanda tanya.
Siapa dia? Bagaimana dia bisa mengenal setiap detil tentang Tara? Dengan terpaksa, Tara menelan sedikit demi sedikit nasi dan sup yang pria itu berikan.
Wajah pria itu terlihat senang menatap Tara yang duduk tepat berada di hadapannya. Selesai makan, ia terus menatap Tara tanpa henti, membuat Tara jadi risih.
"Kalau saya boleh tahu, sebenarnya Anda siapa? Bagaimana Anda bisa mengenal saya?" tanya Tara penasaran.
Nada bicara Tara mulai melunak.
Pria itu mengerling sejenak dan tersenyum simpul.
"Nanti, kamu pasti akan tahu siapa aku." Jawab pria itu penuh teka teki.
"Yang pasti, aku bukan pria jahat yang berniat untuk menyakitimu. Aku juga bukan lelaki murahan penggoda istri orang. Justru, kamu lah yang selalu menggodaku dari sejak dulu. Sampai-sampai, Aku tak bisa melupakanmu hingga detik ini. Hehehe..." Ucap pria itu sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Tara menarik bibirnya kecut.
"Apa anda pikir itu lucu?" ujar Tara ketus.
Bukannya ikut kesal melihat reaksi Tara, pria itu justru makin tertawa lebar.
"Semakin kamu ketus, kamu malah semakin cantik Tara," kata nya menggoda Tara.
Seketika raut wajah Tara berubah.
Pria itu membuatnya mati kutu.
"Tara...!"
Suara Pak Iwan pemilik resto terdengar memanggil namanya dari arah belakang Tara duduk.
"Dari tadi saya mencari mu. Saya pikir kamu telat lagi. Kata Vonny hari ini kamu datang lebih cepat dari biasa." Kata Pak Iwan terdengar senang.
Tara berbalik memberi hormat pada Pak Iwan.
"Hai Om!" tegur pria itu menyapa Pak Iwan dengan panggilan sok akrab.
"Hai..., Arya pratama!" seru Pak Iwan kaget.
Pak Iwan tertawa lebar sambil menjabat tangan pria yang di panggil Arya pratama.
"Kapan kamu pulang dari Medan?" tanya Pak Iwan tersenyum lebar.
Tara yang sejak kemarin penasaran dengan identitas pria itu, mencoba mengingat-ingat nama yang belum pernah ia dengar seumur hidupnya. Sekeras apapun ia berpikir, Tara sangat yakin, ia tak mengenal pria itu.
Tara tetap berdiri di dekat mereka mencoba menyimak percakapan mereka berdua.
Pria itu meliriknya sekilas dan mengedipkan matanya pada Tara.
"Dasar genit!" maki Tara dalam hati.
"Baru dua hari om. Kangen, hampir setahun gak nyobain masakan resto om. Aku udah dua kali kesini dari kemarin, tapi gak ketemu om." Ujar Arya Pratama si pria misterius yang baru diketahui namanya oleh Tara itu.
"Tara..., kenapa masih berdiri disini? Sana kerja!" perintah pak Iwan menghardik Tara.
Tara mengangguk pelan.
Sedikit kecewa, karna tak bisa menguping pembicaraan mereka sampai tuntas. Namun setidaknya, rasa penasaran Tara sudah berkurang.
Baginya, Arya Pratama itu sepertinya tak lebih dari kebanyakan pria playboy yang suka menggoda perempuan di waktu senggang.
Nyaris saja Tara terjebak oleh pesona Arya Pratama yang membuat perempuan manapun bisa klepek-klepek dengan sikapnya.
"Tara...!"
Dia tersentak kaget saat Vonny menepuk punggungnya dari belakang.
"Cowok ganteng yang pesan makanan di meja pojok itu, suamimu ya? Pas aku datang melayani, dia malah memaksa, minta kamu untuk melayani dia." Tutur Vonny dengan polosnya.
Mata Tara langsung melotot, mendengar ucapan rekan kerjanya. Vonny pasti salah paham tentang siapa pria itu.
"Kamu beruntung sekali Tara. Punya suami ganteng, baik, juga sayang sama kamu. Tidak seperti suamiku." Keluh Vonny dengan wajah berubah cemberut sedih.
Tara ingin membuka mulutnya menjelaskan pada Vonny siapa pria itu. Sayangnya, Vonny sudah keburu pergi, meninggalkannya dengan wajah yang bikin Tara tak enak hati.
Ah, ingin rasanya Tara meluruskan semuanya. Tara tak ingin ada kesalahan pahaman.
"Untuk apa aku memusingkan masalah pria itu? Masa bodoh lah. Dia bukan siapa-siapa kok." Desah Tara pelan.
Tanpa sengaja matanya melirik kembali kearah arah meja pojok tempat Arya dan Pak Iwan berbincang. Mereka berdua terlihat sangat asyik berbicara.
Sesekali Arya terlihat melayangkan mata menatap kearahnya.
Tara yang kepergok menatap ke arah pria itu, buru-buru pergi menjauh dari pandangan Arya.
Kehadiran Arya hari ini cukup menyita rutinitas kerja Tara. Ia pun mencoba untuk menyibukkan diri tanpa mempedulikan Arya yang betah duduk berlama-lama di resto milik Pak Iwan.
"Mungkin dia pengangguran, tidak punya pekerjaan." Pikir Tara dalam hati.
Tara mengabaikan Arya yang menjelang siang hari sudah tak terlihat lagi entah pergi kemana.
Sore menjelang magrib.
Pekerjaan Tara hari ini sudah selesai. Ia bergegas keluar dari resto menuju halte bus, tempat ia menanti bus pulang.
Lagi-lagi ia melihat mobil sedan silver yang mirip dengan mobil sedan di halte bus pagi tadi. Mobil sedan itu tampak keluar dari parkiran resto dan berjalan pelan melintasi halte tempat Tara menanti bus.
Tara tak mempedulikan mobil itu sama sekali. Ia tetap cuek menunggu bus yang mengantarnya pulang ke rumah.
Tara sudah tak sabar ingin cepat-cepat pulang. Hatinya sudah sangat rindu pada Sania, anak perempuannya yang imut dan lucu.
Tak lama menunggu, bus pun datang dan membawa Tara yang ingin pulang kerumahnya.
.
.
.
BERSAMBUNG
Magrib telah berlalu.
Tara sampai di pagar rumah Maya sehabis pulang kerja.
"May, Maya...,!" teriak Tara memanggil nama Maya yang langsung keluar dari rumah dengan tergopoh-gopoh.
"Tara, Sania ada di dalam. Badannya panas sekali. Aku sudah memberinya obat penurun panas, tapi demamnya belum juga reda." Tutur Maya tampak panik.
Tara segera berlari ke dalam rumah Maya.
Dia melihat Sania sedang terbaring lemah di atas ranjang kamar Maya. Ia pun meraba dahi Sania yang terasa panas.
"Mas Roy ada di rumahku tidak, May...?" tanya Tara pada Maya.
Wajahnya terlihat cemas.
Maya mengangguk cepat.
"Ada, dari tadi siang dia ku lihat sudah pulang. Mungkin sedang tidur. Tampangnya kusut, sepertinya kalah judi lagi." Jelas Maya sambil menatap Tara dengan perasaan iba.
Tara menarik nafas menenangkan hatinya.
"Tolong titip Sania sebentar ya May, aku mau ambil jaket untuk Sania ke rumah. Aku akan membawa Sania berobat." Ujar Tara kemudian.
Maya mengangguk dan memandang Tara yang bergegas pergi ke rumah yang ada di sebelah rumahnya.
Tara mendorong pintu rumah yang tak pernah di kunci Roy dari dalam. Suasana gelap langsung menerpa matanya. Roy pasti sedang tidur. Pikir Tara dalam hati.
Ia menyalakan saklar lampu dan berjalan menuju kamar. Roy tampak tertidur pulas sambil telungkup dengan celana pendek tanpa baju di atas ranjang kamar. Baju dan celana kotor Roy, berserakan di atas lantai.
Agak kesal, Tara merapikan pakaian yang berserakan dan mengambil jaket untuk Sania. Kemudian kembali pergi meninggalkan rumah tanpa bicara sedikitpun pada Roy.
.
.
Di malam yang gelap, menjelang isya.
Tara terlihat menunggu bus di halte dekat rumah sambil menggendong Sania dalam pelukannya.
Tubuh Sania yang terasa panas, membuat suhu malam yang dingin tak terasa di tubuh Tara.
Tara terus menunggu bus dengan raut wajah yang mulai gelisah. Sudah sekian lama, tak ada satu pun bus yang lewat.
Setelah beberapa lama waktu berlalu. Mendadak sebuah mobil sedan silver berhenti di depannya.
Seketika Tara ingat mobil sedan yang tadi pagi parkir di halte bus. Sepertinya itu mobil sedan yang sama sore tadi keluar dari parkiran resto.
Tara menatap kearah mobil itu dengan tajam. Ia mulai waspada, mobil itu tampak mencurigakan. Andai ada yang berniat jahat, ia sudah bersiap-siap untuk berteriak minta tolong.
Tiba-tiba kaca mobil itu terbuka, seraut wajah yang sudah ia kenal, terlihat muncul dari balik kaca mobil.
"Arya...?!" Tara menyebut nama pria itu seolah tak percaya.
Ada rasa senang kala mengetahui si pemilik mobil itu. Namun mengingat sikap Arya yang genit, Tara menjadi canggung.
"Kenapa kamu disini? Sudah larut malam. Apalagi bawa-bawa Sania keluar rumah?!" teriak Arya dari atas mobil.
Tara terkejut mendengar pertanyaannya.
"Aku, Aku mau bawa Sania berobat ke klinik. Sania badannya panas." Tara menjawab pertanyaan Arya dengan gugup.
Sebenarnya Tara tak mau jujur, tapi naluri keibuannya tak bisa menolak. Tara pasrah dan berharap, siapapun mau membantunya untuk saat ini. Meskipun Arya orangnya. Itu tak masalah, asalkan Sania bisa di obati secepatnya.
Arya buru-buru turun dari mobilnya saat mendengar perkataan Tara.
"Ayo, ku antar ke klinik dekat sini!" kata Arya seraya merebut Sania yang tertidur pulas di pangkuan Tara.
Arya langsung membuka pintu belakang dan menidurkan Sania dengan pelan dan hati-hati ke atas jok mobil. Tak lupa ia memberi alas kepala Sania dengan sebuah jaket kulit yang ada dalam mobil. Arya menutup pintu mobil belakang dengan perlahan. Ia pun membukakan pintu mobil depannya untuk Tara.
"Masuklah!" perintahnya singkat.
Tanpa pikir panjang, Tara pun segera masuk ke dalam mobil milik Arya.
Arya mengendarai mobilnya dengan pelan. Seolah menjaga Sania agar tidak terbangun dari tidurnya.
"Maaf, aku membuatmu repot." Ucap Tara disela keheningan yang menyelimuti perjalanan menuju klinik.
Arya tersenyum tipis.
"Sudah semestinya. Jika tak ada Roy, pasti aku yang harus menjaga Sania." Sahut Arya lirih.
Tara menatap wajah pria itu bingung.
"Apa maksudmu?" Tara merasa penasaran.
"Genitnya pasti kumat lagi." Pikir Tara sebal.
Arya tak menjawab pertanyaan Tara, ia hanya tersenyum manis.
"Tuh kan, bercanda lagi. Hhh...," Tara menahan rasa kesal dalam hati.
Tak lama kemudian, mobil Arya memasuki sebuah klinik yang cukup ternama di kota itu.
"Klinik ini mahal, mungkin kita harus mencari klinik yang lebih murah." Ujar Tara agak minder.
Arya seolah tak mendengar perkataan Tara. Ia pun turun dari mobilnya, dan membukakan pintu mobil untuk Tara.
"Kita sudah sampai di klinik milik Pamanku. Masalah biaya jangan takut, klinik ini juga milikmu dan Sania." Ujar Arya enteng.
Tara benar-benar tak habis pikir dengan setiap ucapan Arya. Setiap kali ia bicara, terdengar seperti rayuan gombal dan lelucon yang tak lucu sama sekali.
Tara tak mau ambil pusing dengan perkataan Arya. Saat ini keadaan Sania lebih penting.
Arya buru-buru membukakan pintu mobil bagian belakang dan menggendong Sania dengan hati hati.
"Bantu aku menutup pintu mobil dan menguncinya. Aku akan menggendong Sania ke ruang IGD!" perintah Arya.
Tara bagai kerbau yang di cocok hidungnya. Dia terlihat patuh mengikuti kata-kata Arya dan mengikutinya dari belakang.
.
.
"Tidak apa-apa, dia hanya demam biasa. Cukup beri dia obat pereda panas yang saya tuliskan di resep ini. Mudah-mudahan dia akan sembuh dalam tiga hari." Kata Dokter yang memeriksa kondisi Sania, menyerahkan resep kepada Arya.
"Sana, kamu ambil obatnya ke lobi, cepat!!" perintah Dokter itu seenaknya pada Arya.
Arya terlihat patuh, mengikuti perintah si Dokter dan bergegas pergi.
Sesaat setelah Arya pergi.
Dokter itu menatap Tara lama. Beliau tampak menarik nafas panjang saat memandang wajah Tara dan Sania bergantian.
Wajahnya sudah terlihat tua dengan uban yang menutupi kepalanya. Kemudian ia menaruh kacamatanya dimeja dan berbicara pada Tara.
"Suamimu kemana?" tanyanya dengan tatapan menyelidik.
Tara menatap wajah tua sang dokter sambil tersenyum pahit.
"Dia tidak bisa ikut Dok, mungkin dia lelah karna bekerja seharian." Kesedihan meliputi wajah Tara seketika itu juga.
Bibirnya seakan berat untuk berbohong. Namun Tara terpaksa, karna tak perlu ada orang yang tau apa yang ia rasakan saat ini. Apalagi, Dokter tua itu bukan siapa-siapa.
Dia belum tentu mengenal suami Tara. Tak seperti Arya yang sok tau itu. "Tak mungkin, paman dan ponakan punya pikiran yang sama." Pikir Tara dalam hati.
"Pak Dokter, apa benar bapak ini pamannya Arya?" tanya Tara penasaran.
Tiba-tiba rasa ingin tau Tara muncul lagi.
Dokter tua itu mengangguk cepat tanpa ragu.
"Iya, Aku Adrian Kusuma. Arya adalah anak angkatku. Dari kecil ia ku besarkan hingga dewasa. Tapi lihatlah sekarang, dia tak mau lagi memanggilku ayah. Ia malah memanggilku Paman. He,he,he..." Tutur Dokter tua itu tertawa hambar.
Tara tercengang. Tak di sangka, Arya benar-benar membawa Tara ke klinik keluarganya.
"Namamu Tara bukan? Bapak harap kamu tetap sabar dan tabah dalam menghadapi segala masalah. Bapak tahu, kamu istri yang baik. Jagalah anakmu baik-baik. Cuma itu yang bisa Bapak pesankan padamu." Ujar Pak Dokter itu penuh perhatian.
Pesan Dokter tua itu membuat Tara terdiam. Dia seolah bertemu keluarga psikiater. Anak dan Bapak atau yang disebut Arya pamannya, seolah sangat memahami keadaan Tara.
Rasanya, ia tak ingin ber lama-lama di klinik ini. Tara seolah tak punya rahasia di mata mereka.
"Iya Dok, makasih banyak atas sarannya. Kalau boleh, saya permisi dulu. Terimakasih banyak karna sudah membantu mengobati Sania anak saya." Ucap Tara seraya berdiri memberi hormat.
Dokter Adrian hanya menganggukkan kepalanya dan ikut mengantarkan Tara keluar klinik.
"Arya! Antarkan mereka pulang sampai kerumahnya!" perintah Dokter Adrian pada Arya yang baru saja muncul sambil menenteng kantong obat di tangannya.
Arya tersenyum pada si Dokter tua sambil mengangkat tangan kanannya layaknya memberi hormat.
"Siap, komandan!" sahut Arya bercanda.
Dokter Adrian tertawa senang melihat kelakuan Arya.
Tara pun sedikit geli melihat tingkah laku Arya pada Dokter Adrian.
Ternyata, Arya adalah pria yang humoris dan hangat dalam keluarganya. Pantas saja ia cepat akrab dengan siapapun yang baru ia kenal.
Meskipun di mata Tara, Arya terlihat genit, sepertinya Arya anak yang baik. Kasihan, dia cuma anak angkat. Lalu Siapa, dan dimana kedua orang tua Arya? Apa Arya anak yatim piatu? Sejenak Tara tercenung.
"Hei! Kenapa melamun?" tanya Arya saat mobilnya melaju pelan meninggalkan klinik.
"Tidak, aku cuma heran. Kenapa kamu dan Pamanmu itu kelakuannya bisa sama ya?" celetuk Tara.
Arya tersenyum simpul.
"Sama bagaimana?" tanyanya sambil tetap fokus mengendarai mobil.
"Sok taju dengan kehidupan orang lain." Sindir Tara sambil mencibirkan bibirnya.
Arya tersenyum nyengir.
"Hehehe...o, itu..., memang tahu kok, kamu saja yang tak pernah tahu dan mau tahu." Jawab Arya seolah berbalik menyerang Tara dengan kalimat yang mirip namun berbeda makna.
"Sudahlah, aku malas bicara sama kamu. Jangan buat aku bingung kenapa? Sebenarnya kamu itu siapa sih?" desak Tara makin penasaran dan mulai tak sabaran.
Suaranya yang terdengar sedikit ngotot dan keras seketika mengagetkan Arya.
Arya buru-buru menghentikan mobilnya ke pinggir jalan yang terlihat tidak terlalu ramai. Ia pun menoleh sejenak kearah jok mobil belakang dimana Sania sedang tertidur dengan pulas.
"Sst... Apa kamu harus bicara sekeras itu? Sania bisa bangun, tahu!" Arya menegur Tara yang terdengar berisik.
Arya memperlakukan Sania seolah anaknya sendiri.
Tara sejenak bungkam. Sadar, bahwa ada Sania yang terbaring sakit bersama mereka berdua di dalam mobil.
"Kamu dengar aku baik-baik ya... Aku ini, Arya Pra-tama. Pria yang paling menyesali keputusanmu menikahi lelaki bernama Roylando sejak empat tahun yang lalu, ok!" kata Arya menjelaskan dengan tegas.
Kalimat yang meluncur dari bibir Arya bagai petir yang menyambar di telinga Tara. ia seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.
Ternyata Arya mengenalnya sejak empat tahun yang lalu. Kenapa ia tak pernah tahu? Tara menatap wajah Arya lekat-lekat. Seolah mencari kejujuran di matanya. Mata itu tidak bohong. Mata itu menatapnya nanar, ada kecewa yang terpancar dalam pandangan mata Arya.
"Kenapa? bagaimana bisa, aku, aku tak pernah mengenalmu sama sekali." Ucap Tara terbata-bata.
Arya perlahan menghembuskan nafas berat dan mendekati Tara. Sejenak jemarinya yang hangat membelai wajah dan menyentuh dagu Tara lembut.
Jantung Tara seakan berhenti berdetak. Rasanya, Tara ingin menepiskan tangan pria itu dari wajahnya. Tapi kekuatan nya seolah sirna, Tara tak berdaya.
"Waktu pertama kali melihatmu, kamu begitu cantik Tara. Mereka semua berebutan, dan bertaruh untuk memilikimu. Aku tak punya keberanian untuk mendekatimu. Saat itu, aku sadar diri, aku bukan siapa-siapa. Aku bukan anak orang kaya seperti Roy, dan mereka-mereka yang memperebutkan mu. Aku hanya anak pungut. Anak yatim piatu yang di angkat menjadi anak oleh orang kaya seperti Dokter Adrian." Tutur Arya sedih.
Penjelasan Arya membuat Tara tertegun.
Apa yang menjadi pertanyaan dalam otaknya selama ini terjawab sedikit demi sedikit. Pria misterius, Arya Pratama ternyata adalah pengagum rahasianya.
Jemari Arya perlahan mengusap bibir Tara dengan lembut. Sinar mata nya yang redup, seolah menunjukan betapa ia memendam perasaan cinta yang teramat dalam untuk Tara.
Tubuh Tara seakan bergetar hebat. Sentuhan lembut tangan Arya di wajahnya serta tatapan matanya, memberikan rasa yang berbeda di bandingkan saat Roy menyentuhnya.
"Dulu, setiap kali ku coba untuk mendekatimu, Aku selalu tak bisa. Aku sudah berulang kali mencoba mencuri perhatianmu, namun, kamu tak pernah melirikku. Aku sangat berharap, waktu itu kamu tak'kan jatuh dalam pelukan Roy. Aku sangat mengenal pribadi Roy dan semua kebiasaan buruknya. Tapi sayang, dulu kamu tak ada bedanya dengan perempuan lain. Kamu menyukai pria kaya seperti Roy. Kamu tergila-gila dengan kemewahan yang selalu di suguhkan Roy kepadamu." Keluh Arya seakan menyesali sikap Tara di masa lalu.
Arya tampak menahan kesedihan hatinya dengan mengembangkan senyuman pahit di bibirnya.
Kata-kata Arya teramat menyayat hati. Ada kelukaan dan kepedihan yang Tara rasakan dalam setiap kalimat yang di ucap kan Arya padanya.
Arya benar, Tara memilih Roy karna merasa Roy berasal dari keluarga kaya dan sudah mapan. Ia pikir hidupnya akan lebih baik jika hidup bersama Roy. Tapi kenyataannya, justru hancur berantakan.
"Kamu benar, aku telah salah memilih Roy sebagai pendamping hidupku. Aku menyesali pilihanku. Aku rasa, aku juga tak perlu minta maaf padamu, hanya karna tak memperhatikan kehadiranmu selama ini. Anggap saja kita impas. Sekarang kamu bahagia kan? Hidupku tak seindah yang kamu bayangkan. Aku sudah terpuruk dan hancur berantakan karena Roy." Ujar Tara pilu.
Dadanya terasa sakit dan perih. Kalimat yang terucap di bibirnya terasa sembilu yang menorehkan luka di hatinya.
Arya merengkuh tubuh Tara dan menyandarkan kepala Tara kedalam dada bidangnya.
Ada kehangatan yang berbeda merasuki Tara saat Arya memeluk tubuhnya erat.
"Aku tidak bahagia Tara. Hatiku justru sangat terluka. Aku tak sanggup melihat kamu menangis dan menderita sepanjang hidupmu." Ucap Arya dengan nada serak.
Ucapan Arya yang terdengar tulus membuat Tara tak sanggup menahan tangis. Ia pun menangis dalam pelukan Arya.
Ya tuhan, siapa sebenarnya pria ini? Kenapa baru sekarang mereka dipertemukan? Seperti inikah pria yang pernah ia abaikan secara tak sengaja? Betapa hatinya telah di butakan oleh harta dan kemewahan.
Kenapa Tara tak pernah bisa melihat permata yang tersembunyi di balik batu hitam?Andai dulu Arya hadir memenuhi hari-harinya, seperti apakah jalan hidupnya saat ini? Batin Tara berkata dalam hati penuh kesedihan dan penyesalan.
"Lebih baik aku segera mengantarmu pulang. Aku tak ingin, Roy marah-marah karna kehilangan kamu dan Sania." Kata Arya setelah keadaan mereka berdua terlihat tenang.
Tara mengangguk mengiyakan mengikuti perkataan Arya yang ada benarnya.
Roy memang angin-anginan. Tara takut Roy akan cari masalah dengannya jika ia terlambat pulang.
Apalagi Roy pasti tak tahu kalau anaknya Sania sedang sakit.
.
.
.
BERSAMBUNG
Harap sediakan tisu kalau baca ya,,
Kalau kurang sedih, kasih kritik dan saran, biar kita bikin lebih sedih lagi. 😪😭
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!