NovelToon NovelToon

Hubungan Rahasia

Cincin pernikahan yang dirampas paksa

"Tara, buka pintu !"

Teriakan Roy dari luar rumah terdengar serak dan berat.

Perlahan Tara bangkit dari ranjang tidur. Sesaat ia menatap wajah polos Sania. Anak Perempuannya yang baru berumur 3 tahun itu sedang tertidur dengan lelap. Dengan langkah gontai, Tara melangkah keluar kamar menuju pintu rumah.

Braak...!!!

Suara pintu terdengar didorong keras oleh tubuh Roy yang terlihat jatuh sempoyongan. Tara berlari mencoba membantunya untuk berdiri. Tapi Roy menepis tangan Tara dengan kasar.

"Sana, ambilkan aku air putih !"

Perintahnya.

Tara bergegas ke dapur mengambil segelas air untuk Roy. Namun belum sempat ia memberikannya, Roy sudah berdiri di belakang punggung Tara sambil memeluk pinggang nya.

"Tara, aku butuh bantuan mu. aku kalah lagi. aku pinjam cincin yang dulu ku belikan ya ?"

Ucap Roy mendekatkan bibirnya di belakang telinga Tara.

Ia merasa risih dengan sikap Roy, apalagi bau alkohol yang keluar dari mulutnya tercium jelas di hidung Tara.

"Tapi mas, itu cincin pernikahan kita !"

Jawab Tara pelan.

Ia coba melepaskan jemari Roy yang memeluk pinggangnya dengan hati-hati. Roy malah menyentakkan pinggang Tara hingga menekan tubuhnya. Tara tersentak kaget, nyaris saja air di tangannya tumpah.

"Tara, kalau aku bilang pinjam ya pinjam, nanti kalau aku menang, aku akan belikan kamu perhiasan yang lebih mahal"

Bujuk rayu Roy membuat Tara ingin menangis.

Tara tau, semua itu bohong. Karna semua perhiasan dan uang tabungannya nyaris ludes tak bersisa, setiap kali Roy minta paksa untuk berjudi.

"Ayo lah Tara, mana cincin itu ?"

Jemari Roy bergerak liar, meraba jemarinya.

Tara mencoba menyembunyikan jari manis ditangan kirinya ke balik daster yang ia pakai, tapi Roy sudah tidak waras lagi. Dengan kasar ia menyentak tangan Tara, hingga pergelangan tangan mungil itu terasa sakit.

"Aduuh,,,!!"

Tara meringis kesakitan.

Gelas air yang ia pegang ditangan kanan, akhirnya jatuh ke lantai dan pecah. Kacanya mengenai ujung jari kaki Tara. Tapi Roy seakan tak peduli dengan semua itu. Roy tetap menarik pergelangan tangan Tara, dan memaksa cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya agar terlepas.

"Jangan mas Roy, kita sudah tidak punya apa-apa lagi !"

Tara mencoba memohon pada Roy, tapi Roy seolah sudah kemasukan setan.

"Jangan banyak cincong. Kalau kaya, kita bisa beli lagi !"

Jawab Roy seenaknya.

"Tapi mas,, ku mohon !"

Airmata tak sanggup lagi ia bendung.

Tara memegang kaki Roy kuat. Roy menatap marah dan mendorong tubuh Tara kasar.

"Sekali lagi kamu bicara, ku tampar kamu !"

Roy mengancam.

Tara kian menangis sesenggukan. Roy tersenyum puas saat mendapatkan cincin itu di tangannya seraya tersenyum sinis, kemudian berlalu pergi meninggalkan Tara yang hanya menangis tersedu, diantara serpihan gelas kaca yang pecah.

"Braak,,,!!"

Lagi-lagi suara pintu dibanting terdengar keras di telinga Tara.

Pertanda Roy sudah keluar rumah untuk pergi berjudi. Seperti biasa, Roy takkan tidur dirumah untuk malam ini. Tinggallah Tara dengan airmata yang tak henti mengalir di pipi. Meratapi buruk nasib nya.

Disela tangis airmata kesedihannya yang tumpah, jemari Tara terlihat gemetar memilih serpihan kaca di lantai. Otaknya terus berpikir membayangkan sikap Roy padanya. Bagaimanapun juga, Roy tak kan mau mendengar perkataan Tara. Roy yang ia kenal waktu pacaran dulu, hanyalah kamuflase. Inilah Roy yang sebenarnya.

Roy yang dulu datang melamar Tara dengan segala kelebihan, terlihat sopan, baik, mapan dan royal pada keluarganya ternyata seorang penjudi dan pemabuk berat. Egois, kasar, dan posesif adalah sifat buruk Roy yang terlihat dalam kesehariannya. Roy tak pernah tulus mencintai Tara.

"Mengapa nasibku begini ? Apakah kecantikan yang diberikan tuhan adalah anugrah ? Ataukah suatu kesialan bagi hidupku ? Aku menyesali semuanya."

Rintih Tara dalam hati.

Ia seakan menyesali keputusannya yang terlalu cepat untuk bersedia menjadi istri Roy tanpa mengenali kepribadiannya.

Sekarang nasi sudah jadi bubur, semua sudah terlambat. Hidupnya hancur sudah. Apalagi ada Sania, anak perempuan Tara satu satunya.

"Haruskah aku pasrah dan menjalani penderitaan hidup seperti ini sepanjang hidupku ?"

Batin Tara terus berkata.

"Mama ?"

Sebuah jeritan kecil menyadarkan Tara dari kesedihan panjang. Suara lembut Sania terdengar memanggil nya. Ia pun segera bangkit dengan tertatih menuju tempat sampah, membuang serpihan kaca yang terkumpul diatas sebuah kain lap.

Tubuh mungil Sania terlihat samar keluar dari pintu kamar berlari menyongsong kehadiran Tara.

"Mama, pipis,, !"

Ucapnya manja.

Tara memeluk tubuh mungil Sania dengan penuh kasih. Ia pun membelai rambut Sania yang ikal panjang dengan lembut. Tak lupa ia menghadiahkan paras cantik Sania dengan ciuman bertubi-tubi.

"Si cantik mama mau pipis ya ? yuk, mama temani ke kamar mandi ?"

Ucap Tara lembut.

Sania mengangguk sambil tersenyum senang dan gembira. Sejenak ia lupa dengan kejadian barusan. Senyuman Sania mampu mengobati luka hatinya.

Tak terasa malam cepat berlalu.

Tara terperanjat saat melihat jam di ponsel jadul miliknya. Pukul 7.00 pagi. Ia hampir terlambat untuk masuk kerja. Tara buru-buru mandi dan sedikit berdandan. Ia melihat sejenak ke arah Sania yang sudah ia rapikan sedari tadi. Sania terlihat asyik di ruang tamu sambil bermain dengan boneka kesayangannya.

"Sania, ayo kita ke rumah Tante Maya. Mama udah telat kerja !"

Ucap Tara buru-buru, sambil memasukan beberapa perlengkapan dan keperluan Sania ke dalam sebuah tas.

Sania anak yang patuh. Apalagi Maya adalah sahabat baik Tara dan juga tetangga sebelah rumahnya. Maya sangat menyayangi Sania. Dan Sania juga dekat dengan Maya. Sehingga ia tidak pernah merengek kalau ditinggal bersama Maya.

"Aku berangkat dulu ya May !"

Teriak Tara, saat Sania sudah berada di pelukan Maya. Maya mengangguk dan melambaikan tangan nya sambil menggendong Sania dengan wajah senang.

"iya,, hati hati ya !"

Ucap Maya. Tara tersenyum membalas ucapan Maya. Setengah berlari, ia menuju halte bus menanti bus menuju tempat kerjanya.

Pukul 7.45 Tara telat 15 menit.

Tara menarik nafas panjang, sebelum memasuki resto tempat ia bekerja. Darahnya nyaris terhenti, tatkala Pak Iwan pemilik resto sudah berdiri menanti di depan pintu resto.

"Kamu telat lagi Tara ! dan ini bukan yang pertama kali, tapi sudah ke 8 kali dalam satu bulan ini !"

Kata Pak Iwan padanya.

Tara hanya tertunduk diam, tak bisa menjawab apapun.

"Kamu masih niat bekerja disini tidak ?"

Bentak Pak Iwan.

Wajah Tara langsung pucat pasi mendengar bentakannya. Jantungnya seakan ingin copot.

"Masih Pak. Maaf, saya tadi bangun kesiangan !"

Jawab Tara gugup.

Pak Iwan menaruh tangan kiri di pinggang dengan tangan kanan yang memegangi kepalanya.

"Tara, Tara, saya tau hidup kamu susah. Kalau bukan karna kasihan, dari dulu kamu sudah saya pecat !"

Ujar Pak Iwan kesal.

Tatapannya perlahan mulai melunak. Tara tertunduk diam berusaha menahan airmatanya saat mendengar perkataan Pak Iwan. Sekali lagi kebaikan hati bosnya itu tak kan bisa ia lupakan. Beliau selalu mencoba memahami segala keadaan Tara.

"Sudahlah, sana kerja !"

Perintah Pak Iwan pada Tara.

Tara mengangguk patuh dan cepat-cepat masuk resto menuju ke arah dapur, bekerja sebagai pelayan di resto yang cukup bagus milik Pak Iwan.

Pelayan restoran adalah profesi yang ia jalani hampir setahun lebih, setelah Roy jarang memberi Tara nafkah dan tidak mempedulikan kebutuhan istri serta anak kandungnya karna asyik bermain judi dengan teman-temannya.

Menjelang sore.

Satu persatu pelanggan mulai meninggalkan resto tempat Tara bekerja. Ia terlihat sibuk membereskan piring-piring kotor sisa-sisa makanan di meja para pelanggan resto. Hingga sampai di salah satu meja yang agak berada di pojokan, sebuah suara pria terdengar berat menyapa Tara.

"Tumben, kamu gak pake cincin nikah !"

Katanya mengejutkan Tara.

Sejenak Tara melirik jemarinya yang terlihat kosong tanpa cincin. Ia pun segera mengangkat wajahnya memandang pelanggan pria yang duduk di meja pojokan itu dengan seksama. Mata nya menyipit heran, sepertinya ia tidak mengenal pria itu.

Wajah pria itu terlihat tampan dengan sorot mata yang tajam dan alis mata yang tebal. Hidungnya terlihat mancung dihiasi bibir tipis yang tersenyum manis dengan lesung pipi yang menggoda. Dilihat dari penampilannya yang bergaya modis dan high class, Tara yakin pria itu bukan orang biasa.

"Maaf, Anda tadi bicara dengan siapa ?"

Tanya Tara sopan.

Pria itu mengerling sembari tersenyum manis kearah Tara.

"Aku bicara dengan mu, Tara Anjani !"

Tuturnya lagi dengan lembut.

Tara terkesiap mendengar pria itu menyebut namanya dengan lengkap.

"Kamu siapa ? kok bisa tau namaku ?"

Rasa penasaran timbul di hati Tara.

Pria itu hanya tertawa lirih melihat sikap Tara.

"Kamu memang tidak sopan, pertanyaan ku dari awal belum kamu jawab, tapi kamu malah balik nanya aku dengan banyak pertanyaan !"

Jawabnya tenang.

Tara makin penasaran dengan perkataan pria itu.

"Aku rasa kamu yang aneh dan mencurigakan. Tiba tiba kamu nanya masalah cincin pernikahan ku. Apalagi Kamu bisa tahu nama lengkap ku, padahal aku tidak kenal dengan mu sama sekali !"

Tara menatap pria itu dengan tatapan menyelidik.

Raut wajah pria itu sedikit berubah saat mendengar perkataan Tara. Sejenak ia menarik nafas berat, dan berdiri dari duduknya. Pria itupun melangkah menghampiri tempat Tara berdiri dan berhenti sejenak di sampingnya.

"Jika arti dari cincin nikahmu yang terlepas adalah tanda perpisahan dengan suamimu. Maka bersiaplah menanti kehadiranku !"

Ujar pria itu pelan setengah berbisik ke telinga Tara.

Tara tertegun mendengar perkataan pria itu.

Sebelum ia sadar, pria itu telah berlalu pergi meninggalkan Tara sambil menuju meja kasir.

Tara membalikan tubuhnya berniat memanggil pria itu kembali. Tara penasaran dengan apa yang pria itu ucapkan ke telinganya tadi. Namun, Pria itu telah jauh pergi menuju pintu keluar tanpa menoleh sama sekali ke belakang.

Dengan penuh tanda tanya, Tara kembali meneruskan pekerjaan sambil memikirkan pria yang barusan bicara dengannya tadi.

Apa mau pria itu, bagaimana dia bisa tau ? Jika Tara sering memakai cincin nikah ?

Apakah ia berniat mencuri cincin nikah yang Tara miliki ? Apakah penjahat zaman sekarang sudah berubah rupa menjadi tampan dan perlente ? Siapa sebenarnya pria itu ?

Pria misterius

Halte Bus terlihat sepi.

Tara berangkat kerja sedikit pagi dari biasanya. Tak enak sama Pak Iwan pemilik resto, kalau terus-terusan terlambat masuk kerja.

Belum lima menit berdiri. Sebuah mobil sedan silver berhenti tiba-tiba tak jauh dari tempat ia berdiri.

Tara pikir, ada penumpang yang ingin naik ataupun turun dari mobil itu. Tapi sekian lama memperhatikan, tak satu pun orang yang ia lihat mendekati ataupun turun dari mobil tersebut.

Agak mencurigakan, karna sopirnya tak terlihat oleh kaca hitam yang menutupi kaca mobil itu. Lama mobil itu berhenti, tanpa bergerak sedikitpun. Hingga bus yang biasa Tara tumpangi berhenti di halte tempat ia biasa menunggu.

Tanpa memperdulikan si pemilik mobil silver, Tara pun segera naik ke atas bus menuju resto tempat ia bekerja.

"Tara, tumben datangnya pagi !"

Sambut Vonny, rekan sekerja nya dengan senyum sumringah.

Tara hanya tersenyum manis membalas senyumannya. Tanpa banyak bicara ia segera berlalu menuju dapur.

"Tara, tolong antar pesanan ke meja pojokan kanan y ?"

Ucap Vonny sambil menyodorkan baki yang sedang ia bawa.

Tara mengangguk cepat dan mengambil alih baki yang di bawa Vonny. Langkah nya nyaris terhenti, saat melihat pelanggan yang duduk di meja pojok itu.

Dia lagi, pria misterius kemarin sore. Pria itu terlihat makin tampan dengan kemeja kotak-kotak hitam bergaris putih. Ia terlihat mempesona dengan senyuman tipis yang menghias di bibirnya.

Tanpa banyak bicara, Tara langsung menaruh makanan pesanannya di atas meja.

"Seperti nya suasana hatimu sedang bagus hari ini. Biasanya jam segini kamu belum datang !"

Lagi lagi pria itu bicara seolah-olah ia tau segalanya tentang Tara.

Tara menatap wajah si pria tajam. Pria itu balas menatap hingga sesaat mata mereka saling bertemu. Tiba-tiba dada Tara bergetar hebat, senyumannya membuat Tara salah tingkah.

"Saya pikir, Anda mungkin paranormal !"

Sindir Tara halus.

Pria itu tertawa lirih. Memperlihatkan giginya yang putih bersih.

"Aku bukan paranormal !"

Jawab pria itu santai.

Ia pun memegang sendok dan garpu yang tertata di dalam piringnya.

"Aku cuma pemujamu !"

Lanjutnya lagi, sambil mulai menyuapi mulutnya dengan makanan yang Tara hidangkan.

Tara memandang nya heran. Sepertinya ia tidak datang sendiri, karna ada 2 porsi nasi dan dua mangkuk sup yang ia pesan. Ataukah ia sangat kelaparan, hingga porsinya dobel dari manusia biasa.

"Setidaknya, Anda janganlah menjadi lelaki murahan yang suka menggoda istri orang !"

Nada bicara Tara terdengar agak keras dan tegas.

Namun Pria itu seolah tak peduli dengan ucapan Tara. Ia terus menikmati makanannya dengan lahap.

"Jika Anda datang hanya sebagai pelanggan, saya akan melayani dengan sepenuh hati. Jika tidak ,,?"

"Jika tidak, lebih baik kamu duduk menemani aku makan. Karna dengan adanya kamu, selera makan ku jadi enak !"

Pria itu memotong kalimat perkataan Tara dengan cepat.

Tara terpaku, nyaris tak bisa bersuara. Lidahnya terasa kelu, dan tenggorokannya terasa kering.

Pria itu bicara seenaknya. Seakan tak peduli bagaimana ekspresi Tara menanggapi setiap perkataannya yang penuh rayuan.

Andai Tara belum bersuami, mungkin saja ia akan cepat jatuh dalam pelukannya. Sikapnya seperti playboy kelas kakap.

"Duduklah, temani aku makan. Bos mu tak akan marah. Aku yang tanggung jawab bila ia ingin memecatmu. Aku tahu, kamu belum makan sedari pagi. Makanan ini, semuanya ku pesan bukan hanya untukku. Tapi untuk kita berdua !"

Ucapnya lagi memaksa Tara untuk duduk.

Tara termangu di tempatnya berdiri. Otaknya di penuhi tanda tanya. Ada apa dengan orang ini ? Rasa ragu, bimbang, was was, curiga bercampur aduk menjadi satu memenuhi dada Tara.

"Duduk lah Tara !"

Satu kalimat perintah dari bibirnya, membuat Tara tak bisa untuk menolak.

Perlahan Tara duduk di hadapannya. Pria itu segera menyodorkan sepiring nasi dan semangkuk sup yang terhidang kan di meja ke padanya.

"Ini sup daging, makanan kesukaanmu kan ?"

Ujarnya lagi, sambil menaruh sendok dan garpu ke piring Tara.

Dia bersikap seperti melayani Tara. Bukankah dia adalah pelanggan sebenarnya ? dan Tara pelayan nya ? Tara jadi bingung.

"Lho, kok bengong ? Ayo makan ! Apa perlu di suapi ?"

Gurau pria itu.

Membuat wajah Tara seketika berubah merah padam. Jujur, ia ingin pergi secepatnya meninggalkan pria itu sendiri. Tapi sikapnya yang terlalu baik membuat hati Tara penasaran dan penuh tanda tanya.

Siapa dia, bagaimana dia bisa mengenal setiap detil tentang Tara. Dengan terpaksa, Tara menelan sedikit demi sedikit nasi dan sup yang pria itu berikan.

Wajahnya terlihat senang menatap Tara yang duduk tepat berada di hadapannya. Selesai makan, ia terus menatap Tara tanpa henti, membuat Tara jadi risih.

"Kalau saya boleh tau, sebenarnya anda siapa ? bagaimana anda bisa mengenal saya ?"

Tara bertanya dengan nada sedikit lembut dari awal bicara padanya.

Pria itu mengerling sejenak dan tersenyum simpul.

"Nanti kamu pasti akan tau siapa aku !"

Jawab pria itu dengan lembut.

"Yang pasti, aku bukan pria jahat yang berniat untuk menyakitimu. Aku bukan lelaki murahan penggoda istri orang. Kamulah yang menggodaku sejak dulu. Hingga Aku tak bisa melupakan mu hingga detik ini !"

Ucap pria itu sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Tara menarik bibirnya kesal.

"Apa Anda pikir, itu lucu ?"

Ucap Tara ketus.

Bukannya ikut kesal melihat reaksi Tara, pria itu justru makin tertawa lebar.

"Semakin kamu ketus, kamu malah makin cantik. Tara !"

Seketika raut wajah Tara berubah.

Pria itu membuatnya mati kutu.

"Tara !"

Suara Pak Iwan pemilik resto terdengar memanggil namanya dari arah belakang Tara duduk.

"Dari tadi saya mencari mu. Saya pikir kamu telat lagi. Kata Vonny hari ini kamu datang lebih cepat dari biasa ?"

Wajah Pak Iwan terlihat senang.

Tara berbalik memberi hormat pada pak Iwan.

"Hai, Om !"

Tegur pria itu menyapa Pak Iwan dengan panggilan sok akrab.

"Hai,,, Arya pratama !"

Pak Iwan tertawa lebar sambil menjabat tangan pria yang di panggil Arya pratama.

"Kapan kamu pulang dari Medan ?"

Tanya Pak Iwan.

Tara yang sejak kemarin penasaran dengan identitas pria itu. Mencoba mengingat-ingat nama yang belum pernah ia dengar seumur hidupnya. Sekeras apapun ia berpikir, Tara yakin tak mengenal pria itu.

Tara tetap berdiri di dekat mereka mencoba menyimak percakapan mereka berdua. Pria itu meliriknya sekilas dan mengedipkan matanya pada Tara.

"Dasar genit !"

Ujar Tara dalam hati.

"Baru dua hari om. Kangen hampir setahun gak nyobain masakan resto om. Aku udah dua kali kesini dari kemarin, tapi gak ketemu om !"

Jawab Arya Pratama si pria misterius yang baru diketahui namanya oleh Tara.

"Tara ! kok masih bengong disini ? sana kerja !"

Perintah pak Iwan padanya.

Tara mengangguk pelan.

Sedikit kecewa, karna tak bisa menguping pembicaraan mereka sampai tuntas. Namun setidaknya, rasa penasaran Tara sudah berkurang. Baginya, Arya Pratama itu tak lebih dari kebanyakan pria playboy yang suka menggoda perempuan di waktu senggang.

Nyaris saja Tara terjebak oleh pesona Arya Pratama yang membuat perempuan manapun bisa klepek-klepek karna nya.

"Tara !"

Ia tersentak kaget saat Vonny menepuk punggungnya dari belakang.

"Cowok ganteng yang mesan makanan di meja pojok itu, suamimu ya ? Pas aku datang melayani, dia malah minta kamu untuk melayani dia !"

Tutur Vonny dengan polosnya.

Mata Tara langsung melotot, mendengar ucapannya. Vonny pasti salah paham tentang siapa pria itu.

"Kamu beruntung banget ya Tara. Punya suami ganteng, baik, sayang sama kamu. Gak kayak suami aku !"

Lanjut Vonny dengan wajah berubah cemberut, sedih.

Tara ingin menjelaskan pada Vonny siapa pria itu. Sayangnya, Vonny keburu pergi meninggalkannya. Dengan wajah yang bikin tak enak hati.

Ah, ingin rasanya Tara meluruskan semuanya. Tara tak ingin ada kesalahan pahaman.

"Untuk apa aku memusingkan masalah pria itu ? Masa bodo lah. Dia bukan siapa-siapa kok."

Desah Tara pelan.

Tanpa sengaja matanya melirik kearah arah meja pojok tempat Arya dan Pak Iwan berbincang. Mereka berdua terlihat asyik berbicara.

Sesekali Arya terlihat melayangkan mata menatap kearahnya. Tara yang kepergok menatap ke arah pria itu buru-buru pergi, menjauh dari pandangan Arya.

Kehadiran Arya hari ini cukup menyita rutinitas kerja Tara. Tara pun mencoba untuk menyibukkan diri tanpa mempedulikan Arya.

Sore menjelang magrib.

Pekerjaan Tara hari ini sudah selesai. Ia bergegas keluar dari resto menuju halte bus, tempat ia menanti bus pulang. Lagi-lagi ia melihat mobil sedan silver keluar meninggalkan resto dan berjalan pelan didepan halte tempat Tara menanti bus.

Tara tak menyadari kehadiran mobil itu sama sekali. Ia tetap cuek menunggu bus yang mengantar nya pulang ke rumah. Tara sudah tak sabar ingin cepat-cepat pulang, hatinya sangat rindu pada Sania anak perempuan nya yang imut dan lucu.

Tak lama menunggu bus pun datang dan membawa Tara yang hendak pulang kerumahnya.

Sania demam tinggi

Magrib telah berlalu.

Ketika Tara sampai di pagar rumah Maya sehabis pulang kerja.

"May, Maya !"

Teriak Tara memanggil nama Maya yang langsung keluar dari rumah dengan tergopoh-gopoh.

"Tara ! Sania ada di dalam. Badannya sedikit panas. Aku sudah memberinya obat penurun panas. Tapi demamnya belum juga reda !"

Maya terlihat sedikit panik.

Tara segera berlari ke dalam rumah Maya. Ia melihat Sania sedang terbaring lemah di atas ranjang kamar Maya. Tara meraba dahi Sania yang terasa panas.

"Mas Roy ada dirumah gak May ?"

Tanya Tara pada Maya.

Wajahnya terlihat cemas. Maya mengangguk cepat.

"Ada, dari tadi siang dia udah pulang. Sepertinya sedang tidur. Tampangnya kusut, kayaknya kalah judi lagi !"

Jelas Maya sambil menatap Tara dengan perasaan iba.

Tara menarik nafas. Mencoba untuk menenangkan hatinya.

"Tolong titip Sania sebentar ya May, aku mau ambil jaket untuk Sania ke rumah. Aku akan membawa Sania berobat !"

Maya mengangguk dan memandang Tara yang bergegas pergi ke rumah yang ada di sebelah rumahnya.

Tara mendorong pintu rumah yang tak pernah di kunci Roy dari dalam. Suasana gelap langsung menerpa matanya. Roy pasti sedang tidur.

Ia menyalakan saklar lampu dan berjalan menuju kamar. Roy terlihat tidur pulas sambil telungkup dengan celana pendek tanpa baju di atas ranjang kamar. Baju dan celana kotor Roy, berserakan di atas lantai.

Agak kesal, Tara merapikan pakaian yang berserakan dan mengambil jaket untuk Sania. Kemudian pergi meninggalkan rumah tanpa bicara sedikitpun pada Roy.

Dimalam yang gelap.

Menjelang isya, Tara terlihat menunggu bus di halte dekat rumah sambil menggendong Sania dalam pelukannya.

Cukup lama ia berdiri di halte, namun belum ada bus yang lewat. Tubuh Sania yang terasa panas, membuat suhu malam yang dingin tak terasa di tubuh Tara.

Setelah beberapa lama waktu berlalu. Sebuah mobil sedan silver tiba tiba berhenti di depan nya. Seketika Tara ingat mobil sedan tadi pagi di halte bus. Sepertinya mobil itu mirip mobil sedan tadi pagi. Mobil sedan yang sore tadi parkir di resto, juga sepertinya mobil yang sama.

Seketika Tara menatap kearah mobil itu dengan curiga. Ia mencoba untuk waspada. Andai ada yang berniat jahat, ia bersiap-siap untuk berteriak minta tolong.

Tiba-tiba kaca mobil itu terbuka, seraut wajah yang ia kenal terlihat muncul dari balik kaca mobil.

"Arya !"

Tara menyebut nama nya seolah tak percaya. Ada rasa senang kala mengetahui si pemilik mobil itu. Namun mengingat sikap Arya yang genit, Tara menjadi agak risih.

"Kamu ngapain disini ? Udah larut malam. Apalagi bawa bawa Sania keluar rumah ?!"

Teriak Arya dari atas mobil.

Tara terkejut mendengar pertanyaannya.

"Aku mau bawa Sania berobat ke klinik, Sania badannya panas !"

Tara menjawab pertanyaan Arya dengan gugup.

Sebenarnya Tara tak mau jujur, tapi naluri keibuannya tak bisa menolak. Tara pasrah dan berharap siapapun mau membantunya untuk saat ini. Meskipun Arya orangnya. Itu tak masalah asalkan Sania bisa di obati dengan cepat.

Arya buru-buru turun dari mobilnya saat mendengar perkataan Tara.

"Ayo, ku antar ke klinik dekat sini !"

Kata Arya seraya merebut Sania yang tertidur pulas di pangkuan Tara.

Arya langsung membuka pintu belakang dan menidurkan Sania dengan pelan dan hati-hati ke atas jok mobil. Tak lupa ia memberi alas kepala Sania dengan sebuah jaket kulit yang ada di atas mobil. Arya menutup pintu mobil belakang dengan perlahan. Ia pun membukakan pintu mobil depannya untuk Tara.

"Naiklah !"

Katanya singkat.

Tanpa pikir panjang Tara pun segera naik ke atas mobil. Arya mengendarai mobilnya dengan pelan. Seolah menjaga agar Sania tidak terjaga dari tidurnya.

"Maaf, aku jadi merepotkan mu !"

Kata Tara disela keheningan yang menyelimuti perjalanan menuju klinik.

Arya tersenyum tipis.

"Sudah semestinya. Jika tak ada Roy, Aku yang harus menjaga Sania !"

Ucap Arya lirih.

Tara menatap wajahnya bingung.

"Apa maksud mu ?!"

Tara menatap Arya penasaran.

Genitnya pasti kumat lagi. Pikir Tara dalam hati. Arya tak menjawab pertanyaan Tara, ia hanya tersenyum manis.

Tuh kan, bercanda lagi. Pikir Tara menahan rasa kesal dalam hati. Tak lama kemudian, mobil Arya memasuki sebuah klinik yang cukup ternama di kota itu.

"Klinik ini mahal, mungkin kita harus mencari klinik yang lebih murah!"

Ujar Tara agak minder.

Arya seolah tak mendengar perkataan Tara. Ia pun turun dari mobil nya, dan membuka kan pintu mobil nya untuk Tara.

"Kita sudah sampai di klinik milik Paman ku. Masalah biaya jangan takut, klinik ini juga milikmu dan Sania !"

Ucap Arya enteng.

Tara benar-benar tak habis pikir dengan setiap ucapan Arya. Setiap kali ia bicara, terdengar seperti rayuan gombal dan lelucon yang tak lucu sama sekali.

Tara tak mau ambil pusing dengan perkataan Arya. Saat ini keadaan Sania lebih penting. Arya buru-buru membuka pintu mobil belakang dan menggendong Sania dengan hati hati.

"Bantu aku menutup pintu mobil dan menguncinya. Aku akan menggendong Sania ke ruang IGD !"

Perintah Arya.

Tara bagai kerbau yang di cocok hidungnya. Hanya patuh mengikuti kata-kata Arya dan mengikutinya dari belakang.

"Tidak apa-apa, dia hanya demam biasa. Cukup beri dia obat pereda panas yg saya tuliskan di resep ini. Mudah-mudahan dia akan sembuh dalam 3 hari."

Kata dokter yang memeriksa kondisi Sania, sambil menyerahkan resep kepada Arya.

"Sana, kamu ambil obatnya ke lobi !"

Perintah Dokter itu seenaknya pada Arya.

Arya terlihat patuh, mengikuti perintah dokter tua itu dan bergegas pergi. Sesaat setelah Arya pergi. Dokter itu menatap Tara lama. Beliau terlihat menarik nafas panjang saat memandang wajah Tara dan Sania bergantian.

Wajahnya sudah terlihat tua dengan uban yang menutupi kepalanya. Kemudian ia menaruh kacamatanya dimeja sambil berbicara pada Tara.

"Suamimu kemana ?"

Tanyanya dengan tatapan menyelidik. Tara menatap wajah tua sang dokter sambil tersenyum pahit.

"Dia tidak bisa ikut, karna lelah bekerja seharian!"

Bibirnya seakan berat untuk berbohong. Namun Tara terpaksa, karna tak perlu ada orang yang tau apa yang ia rasakan saat ini. Apalagi, dokter tua itu bukan siapa siapa. Dia belum tentu mengenal suami Tara. Tak seperti Arya yang sok tau itu. Tak mungkin, paman dan ponakan punya kelakuan sama. Pikir Tara dalam hati.

"Pak dokter, apa benar pamannya Arya ?!"

Tiba tiba rasa ingin tau Tara muncul lagi. Dokter tua itu mengangguk cepat tanpa ragu.

"Iya, aku Adrian Kesuma. Arya adalah anak angkat ku. Dari kecil Arya ku besar kan hingga dewasa. Tapi, sekarang dia tak mau lagi memanggil ku ayah. Ia malah memanggilku paman. He,he,he !"

Tutur pak dokter tua sambil tertawa hambar. Tara tercengang. Tak di sangka, Arya benar-benar membawa Tara ke klinik keluarga nya.

"Nama mu Tara bukan ? Bapak harap kamu tetap sabar dan tabah dalam menghadapi segala masalah. Bapak tau, kamu istri yang baik. Jagalah anakmu baik-baik. Cuma itu yang bisa bapak pesankan padamu !"

Pesan Dokter tua itu membuat Tara terdiam. Dia seolah bertemu keluarga psikiater. Anak dan bapak atau yang disebut Arya pamannya, seolah sangat memahami keadaan Tara. Rasanya ia tak ingin ber lama-lama di klinik ini. Tara seolah tak punya rahasia di mata mereka.

"Iya pak, makasih banyak atas sarannya. Kalau boleh, saya permisi dulu. Terimakasih karna sudah membantu mengobati Sania anak saya !"

Ucap Tara seraya berdiri memberi hormat. Dokter Adrian hanya mengangguk angguk kan kepala nya, dan ikut mengantarkan Tara keluar klinik.

"Arya, antarkan mereka pulang sampai kerumahnya !"

Perintah Dokter Adrian pada Arya saat dia keluar dari lobi sambil menenteng kantong obat di tangannya.

Arya tersenyum pada si dokter tua sambil mengangkat tangan kanannya layaknya memberi hormat.

"Siap, komandan!"

Ujarnya bercanda.

Dokter Adrian tertawa senang melihat kelakuan Arya. Tara pun sedikit geli melihat tingkah laku Arya pada Dokter Adrian. Ternyata, Arya adalah pria yang humoris dan hangat dalam keluarganya. Pantas saja ia cepat akrab dengan siapapun yang baru ia kenal. Meskipun terlihat genit, sepertinya Arya anak yang baik. Tapi dia cuma anak angkat lalu siapa kedua orang tua Arya ? Sejenak Tara tercenung.

"Hei, Kok bengong ?"

Tanya Arya saat mobilnya melaju pelan meninggalkan klinik.

"Gak, aku heran aza. Kok kamu dan paman mu kelakuannya bisa sama !"

Celetuk Tara.

Arya tersenyum tipis.

"Sama gimana !?"

Tanya nya sambil tetap fokus mengendarai mobil.

"Sok tau dengan kehidupan orang lain !"

Sindir Tara sambil mencibirkan bibirnya.

Arya tersenyum lagi.

"Oh,, itu. Emang tau kok, kamu aza yang tak pernah tau dan mau tau !"

Jawab Arya seolah ber balik menyerang Tara dengan kalimat yang mirip namun berbeda makna.

"Sudah lah, Aku malas bicara sama kamu. Jangan buat aku bingung Napa ? Sebenarnya kamu itu siapa sih ?"

Desak Tara mulai merasa tak sabaran.

Suaranya yang terdengar sedikit keras mengagetkan Arya. Arya buru-buru menghentikan mobilnya ke pinggir jalan yang terlihat tidak terlalu ramai. Ia pun menoleh kearah jok mobil belakang dimana Sania sedang tertidur dengan pulas.

"Sst..Apa kamu harus berteriak sekeras itu ? Sania bisa bangun ,Tara !"

Arya memarahi Tara.

Seolah Sania adalah anaknya sendiri. Tara sejenak bungkam, sadar bahwa ada Sania yang terbaring sakit bersama mereka berdua di dalam mobil.

"Kamu dengar aku baik baik ya. Aku ini, Arya Pratama ! Pria yang paling menyesali keputusanmu, menikahi lelaki bernama Roylando. Sejak empat tahun yang lalu, ok !"

Kalimat yang meluncur dari bibir Arya bagai petir yang menyambar di telinga Tara. ia seakan tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Ternyata Arya mengenalnya sejak empat tahun yang lalu. Kenapa ia tak pernah tau ? Tara menatap wajah Arya lekat-lekat. Seolah mencari kejujuran di matanya. Mata itu tidak bohong. Mata itu menatapnya nanar, ada kecewa yang tersirat kan dalam pandangan mata Arya.

"Kenapa ? bagaimana bisa aku tak pernah mengenalmu sama sekali !"

Ucap Tara terbata-bata.

Arya perlahan mendekati Tara, dan menyentuh dagu Tara lembut. Rasanya Tara ingin menepiskan tangan pria itu dari wajahnya. Tapi ia seolah tak berdaya.

"Hari itu kamu sangat cantik Tara. Mereka berebutan dan bertaruh untuk memilikimu. Tapi aku tak berani mendekatimu. Aku sadar, aku bukan siapa-siapa. Aku bukan anak orang kaya seperti mereka, yang bisanya menghabiskan harta orang tua. Aku cuma anak pungut. Anak yatim piatu yang di angkat menjadi anak oleh orang kaya seperti Dokter Adrian !"

Penjelasan Arya membuat Tara tertegun.

Apa yang menjadi pertanyaan dalam otaknya selama ini terjawab sedikit demi sedikit. Pria misterius, Arya Pratama ternyata adalah pengagum rahasianya.

Arya perlahan membelai wajah Tara dengan lembut. Tubuhnya seakan bergetar hebat. Sentuhan lembut tangan Arya di wajahnya memberikan rasa yang berbeda saat Roy menyentuhnya.

"Setiap kali ku coba untuk mendekatimu. Aku tak bisa Tara, aku sudah berulang kali mencoba mencuri perhatianmu. Namun tak pernah kau hiraukan. Aku berharap waktu itu kamu takkan jatuh dalam pelukan Roy. Karna aku tau siapa Roy dan kebiasaan buruk Roy. Tapi kamu tak ada beda nya dengan perempuan lain. Kamu menyukai pria kaya seperti Roy. Kamu tergila-gila dengan kemewahan yang selalu di suguhkan Roy kepadamu !"

Arya seolah menahan Airmatanya yang ingin jatuh dengan tersenyum pahit.

Ada kelukaan dalam setiap kalimatnya. Kata-kata Arya teramat menyayat hati. Ada kelukaan dan kepedihan yang Tara rasakan.

Arya benar, Tara memilih Roy karna merasa Roy berasal dari keluarga kaya dan sudah mapan. Ia pikir hidupnya akan lebih baik, jika hidup bersama Roy. Tapi kenyataan nya, justru hancur berantakan.

"Kamu benar, aku telah salah memilih Roy sebagai pendamping hidupku. Setidaknya untuk saat ini, aku tak perlu minta maaf padamu. Karna tak pernah memperhatikanmu. Anggap kita impas. Kamu pasti bahagia, melihat hidupku yang kini terpuruk dan hancur berantakan !"

Ucap Tara pilu.

Dadanya terasa sakit dan perih. Kalimat yang terucap di bibirnya terasa sembilu yang menorehkan luka di hatinya. Arya merengkuh tubuh Tara dan menyandarkan kepala Tara kedalam dadanya.

Ada kehangatan yang berbeda merasuki Tara saat Arya memeluk tubuhnya erat.

"Aku tidak bahagia Tara. Hatiku luka. Aku tak sanggup melihat penderitaan mu !"

Ucapan Arya yang terdengar tulus membuat Tara tak sanggup menahan tangis. Ia pun menangis dalam pelukan Arya.

Ya tuhan, inikah pria yang pernah ia abaikan selama ini ? Betapa Tara telah di butakan oleh harta dan kemewahan. Hingga ia tak pernah bisa melihat permata yang tersembunyi di balik batu hitam. Andai dulu, Arya hadir memenuhi hari-hari nya, seperti apakah jalan hidupnya saat ini ? Batin Tara berkata dalam hati.

"Lebih baik aku mengantarkan mu untuk cepat pulang. Aku tak ingin, Roy sibuk mencari kamu dan Sania. Jangan sampai ada masalah diantara kalian !"

Kata Arya setelah keadaan mereka berdua terlihat tenang.

Tara mengangguk mengiyakan. Mengikuti perkataan Arya yang ada benarnya. Roy memang angin-anginan. Tara takut Roy akan cari masalah dengannya jika ia terlambat pulang. Apalagi Roy tak di beri tahu Tara kalau Sania sedang sakit.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!