Semilir dedaunan menyapa lembut rambut seorang gadis cantik yang sedang bernyanyi sendu. Parasnya itu sungguh meneduhkan hati. Meski cantik dan bersinar, perempuan berambut pendek itu menyimpan ribuan kesedihan dalam hatinya.
Kali ini, ia menyanyikan lagu yang diberi judul "Senja dan Luka". Itu lagu favoritenya sejak dua tahun lalu. Lagu yang ia buat sendiri, dan hanya ia dengar sendiri. Begitulah ia bertahan selama ini. Melumat habis waktu kesepian dengan sebuah lirik dan melodi. Musik-musik itu ibarat saudara bagi Rayinka yang menjadi anak tunggal di keluarga Aditama.
Sebenarnya Rayinka sama sekali tak kekurangan harta. Orang tuanya pun menganggap bahwa selama kebutuhan ekonomi Rayinka dipenuhi, maka ia akan terus bahagia. Padahal Rayinka lebih membutuhkan kedua orang tuanya. Ia butuh sebuah pelukan Ibu saat hatinya gundah. Ia butuh nasihan seorang ayah ketika ada yang menyakitnya. Tapi apa? Dia sama sekali tak mendapat semua itu. Matanya yang sering berlinang kini tak lagi begitu. Ia sudah muak menjadi lemah atas takdir yang ia terima. Semua kesedihan itu membuatnya membenci kelemahan dan berubah drastis menjadi seseorang yang dingin. Begitulah perempuan penyuka musik itu. Tangannya masih terus memetik senar gitar. Dari balik jendela kamarnya itu, ia telah menyanyikan ribuan melodi sembari meletakkan perasaannya di sana.
"Non Rere, bibi boleh masuk? Mau mengantar makanan," sapa seorang perempuan yang telah bertahun-tahun melayani keluarga Aditama.
"Ya, Bi. Masuk saja," jawab Rayinka.
Sejak kecil, Rayinka lebih sering diasuh oleh Bi Inah, pelayan keluarga Aditama. Hubungan mereka terasa lebih dekat daripada hubungan Rayinka dengan ibunya. Meski usianya sudah memasuki delapan belas tahun saat ini, tapi ia masih merasa begitu jauh dari orang tuanya.
"Nona buat lagu apa lagi sekarang nih?" tanya Bi Inah sumringah.
Rayinka tersenyum, "Aku hanya bernyanyi, Bi. Sambil melihat senja di sana," jawabnya sembari menunjuk semburat senja yang bergelantung indah.
"Nona, kalau Nona butuh tempat bercerita, silakan ceritakan saja pada saya. Jangan malah ngomong sendiri sama awan loh, ya!"
Rayinka tertawa, ia kenal betul betapa polos dan kocaknya Bi Inah. Meski begitu, tak pernah sekali pun Rayinka merendahkan karakter Bi Inah. Ia sudah menganggap pembantunya itu sebagai ibu untuknya.
"Bi, menurut bibi... apakah di luar sana ada orang yang juga sama sepertiku, Bi? Seseorang yang kesepian dan menyukai senja."
"Ah, Nona. Lebih baik Nona segera makan. Nanti malam Tuan dan Nyonya akan membawa Nona ke sebuah acara penting. Tadi beliau menelpon dan meminta saya memberitahu Nona.agar bisa bersiap.
"Mereka bilang acaranya apa enggak, Bi?"
"Tidak, Non. Tapi mereka bilang, Nona harus berpenampilan elegan karena akan bertemu orang-orang penting."
Mendengar itu, Rayinka menghela napas kesal. Ini pasti pertemuan antar orang-orang ternama di kota ini. Pertemuan yang lebih cocok disebut Ajang Biro Jodoh. Karena anak-anak yang hadir ke pertemuan itu akan saling mencari pasangan yang cocok untuk kemudian dinikahkan. Tahun lalu Rayinka juga datang ke acara semacam itu, tapi dia memilih kabur di tengah-tengah acara. Itu membuatnya tak mendapat uang saku selama sebulan.
Tapi kali ini, Rayinka telah menjadi perempuan yang berbeda. Dia tidak akan kabur lagi. Namun bukan berarti dia tidak akan membuat onar di pesta pertemuan itu.
Senja masih bersemburat indah di sana. Tangannya kembali memetik senar gitar dengan seulas senyum. Ia sungguh tidak sabar untuk nanti malam.
***
Senja lagi-lagi melambaikan perpisahan di hari ini. Rayinka kini menatap dirinya di depan cermin. Sudah pukul tujuh malam, sebentar lagi ia harus-terpaksa-ikut orang tuanya ke sebuah pertemuan penting. Pesta yang digelar para pengusaha kelas kakap untuk menjodohkan putra-putri mereka.
Tok Tok Tok
"Nona, Tuan dan Nyonya sudah menunggu. Ini sudah waktunya berangkat," suara pelayan itu selalu terdengar hangat di telinga Rayinka. Ia bahkan pernah tak mau mendengarkan orang tuanya tapi mau menuruti perkataan Bi Inah. Baginya, Bi Inah ada seseorang yang bersedia hadir saat ia bahgia atau pun terluka. Jangan pernah menyalahkan sikapnya ini, kedua orang tuanya bahkan jarang sekali mengajak ngobrol Rayinka. Memanggil ke kamarnya saja masih memerintahkan orang lain.
Hfffttttt....
Rayinka menghela napas kesal. Hatinya terasa cukup sembilu. Ia bahkan tak akan munafik jika harus mengakui bahwa setiap hari ia selalu merindukan kedua orangtuanya. Tapi apa? Dia bahkan hanya bisa mengharapkan tanpa pernah terkabul.
"Aku keluar lima menit lagi, Bi," jawab Rayinka. Sekali lagi dilihatnya pantulan cantik di cermin itu. Dandanan elegan menyatu indah di wajah Rayinka. Matanya yang tajam, hidung mancung, dan paling unik.. matanya yang berwarna biru itu membuatnya semakin memesona. Malam ini, ia menggunakan dress selutut dengan warna senada biru laut. Di lehernya melekat kalung permata yang juga berwarna biru.
Malam ini Rayinka tidak akan kabur. Tapi biarkan ia menunjukkan sikapnya yang benci dengan kata cinta. Bulshit! Ia tidak akan pernah percaya dengan cinta karena orang tuanya pun bahkan tak pernah mengajarinya cinta. Meski dulu ia sering mendapat kata cinta dari mereka, tapi nyatanya itu hanya sebuah ucapan saja.
"Mari kita lihat... Akan sefrustasi apa mereka berusaha menjodohkan aku demi sebuah kerjasama perusahaan. Aku bukan anak tak berdaya seperti tahun lalu. So... Let's play, Mami, Papi!"
***
Malam tampak begitu meriah dengan lampu-lampu mewah di sebuah gedung terbesar Kota Lavender. Karpet merah digelar unuk menemani tapak kaki para pengusaha beruang. Tawa-tawa begitu sumringah penuh maksud. Ini bukan pesta biasa. Pencarian jodoh untuk kerjasama politik adalah topik utama di gedung ini. Selebihnya, hanya basa-bas terkait investasi. Menggaet hati para pengusaha terkaya urutan 1-5 di negeri Rosendria.
"Lihat itu... itu keluarga Aditama, kan?" bisik seorang perempuan dengan gaun merah menyala.
"Ah benar, dari mobilnya saja sudah pasti ketahuan kalau itu milik Aditama. Siapa lagi yang punya mobil Boat Tail selain orang terkaya kedua di negeri ini?" sahut perempuan di sebelahnya lagi.
"Benar sekali! Bahkan isunya nih, keluarga Aditama bakal menduduki urutan pertama. Kau tahu sendiri kan bagaimana merosotnya usaha perusahaan Mateo karena putranya yang tidak berguna itu?" jawab perempuan bergaun merah itu lagi.
Para tamu pada akhirnya saling berbisik dengan kedatangan keluarga Aditama. Lebih-lebih pesona Rayinka yang memikat hati semua orang ketika turun dari mobil yang dikata paling mahal di dunia itu. Bahkan para putri dari pengusaha di sana hanya bisa ikut terpesona. Meski sesungguhnya dalam hati mereka penuh kedengkian dengan semua hal yang dimiliki Rayinka.
"Astaga, lihat Nona itu. Keluarga Aditama sungguh beruntung memiliki putri yang cantik seperti itu! Betapa beruntungnya lelaki yang bisa mendapatkannya," ujar seorang tamu di gedung itu. Rayinka mendengar semua ocehan tak berguna itu. Tapi dia tidak mau peduli. Orang-orang di tempatnya berada hanya akan memikirkan harta. Uang adalah cinta sejati bagi mereka.
"Pak Adi! Astaga, kalian tampak serasi sekali!" sambut Pak Mateo, orang yang digadang-gadang sebagai pengusaha terkaya nomor satu di negeri Rosendria.
"Hahaha, Bapak bisa saja. Oh ya, perkenalkan. Ini anak saya, Rayinka," sahut Aditama sembari menunjuk putri semata wayangnya.
"Wah, senang berkenalan denganmu, anak manis. Keluarga Aditama memang sesuai dengan yang rumor katakan, sempurna!" puji Mateo sembari tertawa.
Aditama, istrinya, dan Rayinka hanya membalas dengan ikut tertawa. Basa-basi itu sungguh sangat biasa. Rayinka yang mendengar pujian palsu itu hanya bisa ikut membalas dengan kepalsuan. Tahun lalu, keluarganya yang memuji sana-sani. Urutan ke 30 di tahun lalu membuat Aditama dan istrinya menggunakan segala cara untuk bisa menggaet hati para pengusaha kelas kakap. Itu sebabnya ia muak berada di antara kerumunan di saat itu. Selain secara tak langsung digunakan sebagai jembatan untuk memperluas saham perusahaan, ia juga muak melihat orang tuanya tampak memohon-mohon tak berdaya. Ckck.
"Wow, ini Rayinka?" sapa seorang lelaki muda dengan setelan menawan. Rayinka hanya tersenyum melihat kehadiran lelaki itu. Rendy Mateo, anak sulung keluarga Mateo. Laki-laki yang dikenal sebagai pembuat onar itu bahkan masih percaya diri menunjukkan wajahnya di hadapan teman-teman ayahnya.
"Re, Mami dan Papi mau ngobrol sama beberapa tamu dulu, ya. Kamu bisa santai aja menyapa teman-temanmu yang lain di sini, oke?"
"Tenang aja, Om. Nanti saya yang temani Rayinka," celetuk Rendy.
Aditama hanya tersenyum dan berlalu pergi bersama istrinya untuk mengobrol dengan para pengusaha yang lain. Sementara Rayinka, sudah tak sabar bermain-main malam ini. Terlebih dengan lelaki yang pernah mencelanya setahun lalu ini.
"Mau ke taman belakang? Teman-teman kita pada ngumpul di sana," ajaknya. Rata-rata, anak-anak yang saat ini menghadiri pesta berada di sekolah yang sama. Rayinka dengan Rendy pun juga satu sekolah. Tapi mereka tidak pernah akrab karena Rayinka selalu menjauhi mereka dan memilih menyendiri di atap sekolah sembari bernyanyi.
"Aku tidak keberatan," ujarnya sembari melangkah mendahului Rendy.
"Kau sangat berbeda malam ini, Rayinka. Apa kau mulai menunjukkan kesombongan karena peringkat ayahmu yang masih di bawah peringkat ayahku?" ujar Mateo sinis.
Mendengar itu, Rayinka tersenyum, "Ternyata yang dikata rumor itu benar. Lelaki dari pengusaha terkaya di dunia tak pandai menilai orang," sarkasnya.
"Hahaha, menarik. Bukankah aku bebas berbuat onar sebagai anak orang terkaya, baby? Toh dunia ini milikku. Bahkan kamu pun milikku" bisik Rendy di daun telinga Rayinka.
"Ck, sayangnya lelaki sepertimu hanya tampak seperti sampah di hadapanku," jawab Rayinka sembari menatap remeh Rendy.
"Apa maksudmu?!"
"Lihat. Laki-laki yang bahkan hanya memiliki kemampuan rendah sepertimu dan masih berbuat onar memang lebih pantas disebut sampah, kan? Bukankah kamu seharusnya menetap di kelas 1 SMA dengan semua nilai "D" milikmu itu? Siapa yang tidak tahu jika kamu menginjak kelas XII SMA dengan uang ayahmu? See kan? Mau di tempat tinggi seperti apapun, kalau sampah ya tetap sampah!" sengit Rayinka. Ia bukan lagi perempuan yang sama seperti setahun lalu/
"Sial!!" Rendy tak kuasa menahan amarah. Ia mengangkat tangannya untuk menampar wajah cantik Rayinka. Namun seorang lelaki tampan dengan setelan mewah menghentikan itu. Dia putra bungsu keluarga Mateo, Dimas Putra Mateo. Dimas selalu menentang kakaknya, ia disukai banyak orang. Tapi entah mengapa, ayahnya itu selalu hanya memperhatikan Rendy. Bahkan apapun yang Rendy mau, pasti akan ia turuti.
"Pergi, atau obrolan kita tentang obat-obatan itu aku beritahukan ke ayah?" ancam Dimas.
"Heh! Jangan sok pahlawan kamu!"
Adegan pertengkaran itu menjadi pusat perhatian semua tamu undangan. Anak-anak yang tadi berkumpul di taman bergegas ke ruang utama ketika mengetahui isu putra orang terkaya di dunia kembali berbuat onar. Benar-benar memalukan, begitu pikir mereka.
"RENDY!!" teriak Mateo, wajahnya memerah. Ia sungguh ingin memarahi anak sulungnya yang tak tahu diri ini.
"Apa yang kau lakukan, hah?!" bentak Mateo.
"Perempuan ini mengataiku sampah, Ayah. Bagaimana aku hanya bisa diam?" ujarnya mencari pembelaan.
"Tapi kakak tidak perlu bermain fisik dengannya!" jawab Dimas.
"Kau apakan dia, hah?!" tanya Mateo yang tersulut amarah.
"Aku hanya ingin menampar mulutnya yang tak tahu diri itu, Ay...."
PLAK!
Satu tamparan keras mengenai pipi Rendy. Ia tak percaya jika ayah yang selama ini mendukungnya malah menyakitinya. Hatinya hancur berkeping-keping. Benih-benih kebencian itu bertumbuh di hatinya. Ia benci ayahnya yang lebih memedulikan orang lain dari pada dirinya!
"Bukankah sudah kubilang untuk tidak membuat masalah? Aku bahkan dengan panjang lebar mengatakan padamu bahwa kamu tidak boleh sedikit pun menyentuh Nona dari keluarga Aditama! Apa kau tuli, hah?" Mateo menekan Rendy habis-habisan. Ia tak habis pikir, bagaimana anaknya itu hendak mencari masalah dengan peluang bisnis yang bisa ia dapatkan untuk memperbaiki nama perusahaan?
"Dia bahkan memanggilku sampah...."
"Maka kau benar-benar sampah! Anak tidak berguna sepertimu sungguh hanya akan menjadi kehancuran bagiku!" tegas Pak Mateo. Yah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sikap tempramental yang dimiliki Rendy hadir karena ia mempelajari itu dari sang ayah. Bagaimana ayahnya memperlakukan wanita, Rendy meniru semua itu. Dan sekarang, ia malah dipojokkan?
Rendy yang tak kuat menahan malu dan kecewa langsung pergi dari tempat itu. Bisik-bisik para tamu semakin ramai. Sementara Aditama dan istrinya hanya menghela napas menahan kesal. Harusnya Rayinka lebih penurut. Meski keluarga Mateo mengalami kemunduran dalam usahanya, namun ia memiliki barang berharga yang Aditama inginkan. Sebuah barang yang bernilai ratusan miliar. Itu peninggalan nenek moyang keluarga Mateo yang disimpan begitu rapat.
"Sepertinya kita harus mendidik Rayinka dengan lebih keras, Mi. Dia sungguh tak bisa melihat peluang," bisik Aditama pada istrinya.
Sementara Rayinka hanya bersorak penuh kemenangan. Wajahnya tidak tampak terintimidasi sama sekali. Ia justru merasa rencananya telah berhasil. Rayinka bukan tidak bisa melihat peluang, tapi ia ingin menghancurkan peluang itu. Ia tahu apa yang diincar oleh Papi dan Maminya. Mereka pernah memberitahunya dulu. Tapi Rayinka tidak sudi ikut dalam rencana licik itu karena ia merasa bahwa dirinya adalah hanya milik penciptanya yang diamanahkan padanya. Maka hanya dia saja yang bisa menentukan pilihan terbaik untuknya.
"Malam ini, rencana selesai! Setelah ini... aku masih harus lebih kuat mental untuk menghadapi orang-orang penggila uang ini!" batin Rayinka bahagia.
***
Usai pertengkaran yang menggegerkan seluruh tamu, Mateo meminta maaf pada seluruh hadirin atas perlakuan putranya. Ia juga meminta maaf pada Aditama karena sudah membuat putrinya tidak nyaman.
"Ah, sudahlah Pak Mateo. Aku juga meminta maaf padamu karena sikap putriku sepertinya telah berlebihan," tutur Aditama sembari menepuk bahu Mateo.
Melihat adegan tersebut, Rayinka hanya bisa meringis. Sungguh penggila harta yang pandai berakting. Bahkan harga diri keluarganya tidak sebanding dengan pencapaian kerjasama yang sedang mereka kejar.
Tidak masalah, begitu batin perempuan berambut pendek itu. Dia tidak peduli mau segila apa orang tuanya terhadap uang, selama tidak menjadikan dirinya alat, ia tidak akan ikut campur.
Selama 18 tahun ini, orang tuanya hanya mengajarkan tentang betapa pentingnya hidup bergelimang harta. Dulu sekali Rayinka pernah melakukan sedikit kesalahan. Di usianya yang masih suka bermain lari-larian, ia tak sengaja menumpahkan kopi dan mengenai baju seorang pejabat penting. Pejabat itu tidak marah, namun orang tuanya memakinya habis-habisan karena mereka mengira, kegagalan mendapat investasi dari pejabat tersebut adalah karena perlakuan anaknya. Padahal sama sekali tidak begitu. Pejabat penting itu menolak berinvestasi karena perusahaan Aditama sungguh tidak memiliki kejelasan arah perkembangan bisnis.
Hal serupa itu tidak hanya terjadi satu hingga dia kali, melainkan berkali-kali sejak Rayinka masih mengenakan baju merah putih ke sekolah. Maka ia sungguh sudah terlatih menghadapi orang tua yang hanya memedulikan harta di kepala dan hatinya.
"Pak Aditama, bukankah anakmu sudah waktunya untuk menikah? Lihat, wajah dan tubuhnya sudah cukup matang untuk menikah," celetuk pengusaha ranking 5 terkaya di dunia. Matanya seakan hendak menerkam gadis berusia 18 tahun di hadapannya itu. Tidak hanya Rayinka, semua putri pengusaha dia perlakukan sama. Bagi mereka yang melawan, maka mereka hanya akan bernasib sial.
"Hahaha, kau benar, Pak. Aku memang berencana mencarikan pasangan untuknya," timpal Aditama sumringah.
"Bagaimana jika kau pasangkan dengan putraku saja? Dia sepertinya akan jadi suami yang disukai oleh putrimu," ujar lelaki paruh baya itu sembari melihat Rayinka begitu intens.
Merasa terganggu dengan perlakuan tua bangka itu, bahkan sebelum Aditama menjawab, Rayinka telah lebih dulu meludahi wajah tuanya sebagai jawaban atas pertanyaannya.
"Lihat tua bangka ini. Betapa nahasnya negeri ini karena memiliki lelaki berotak udang sebagai pengusaha terkaya di urutan kelima. Ck, ck. Orang seperti ini harusnya dihancurkan saja," geram Rayinka lalu menginjak kaki lelaki itu dengan heels sepatunya.
Lelaki itu berteriak kesakitan, "Dasar wanita bodoh!"
Rayinka tertawa, "Sungguh lucu! Orang bodoh itu adalah mereka yang berani bertindak bodoh pada orang yang lebih berkuasa dari mereka! Memang kamu siapa, hm?! Ayahku bahkan bisa memusnahkanmu dalam sekejap!"
Melihat sikap putrinya, Aditama bukannya marah, tapi ia merasa cukup terperangah. Dia kira selama ini putrinya hanya mengedepankan egonya saja. Menolak semua perjodohan yang pernah ia rencanakan. tapi sepertinya, dia hanya sedang memilih calon terbaik.
"Kau! Lihat saja nanti!" ujar Pak Tua itu dengan tatap marah. Di hatinya telah bersarang kebencian baru pada gadis berambut pendek itu. Ia memang tidak lebih berkuasa daripada Aditama, tapi dia bisa melakukan apapun bahkan tanpa Aditama tahu sekali pun.
......................
Mentari hari ini terasa lebih hangat bagi Rayinka. Semilir dedaunan pagi begitu menenangkan di hati perempuan penyuka senja itu. Semalam tidurnya nyenyak sekali. Sepulang dari pesta, tak ada obrolan apapun yang menyakiti hatinya. Ia merasa, sikap pembelaan dirinya semalam memadamkan api yang sebelumnya berkobar di hati papinya. Bagaimana pun ia telah menghina putra sulung dari anak pengusaha terkaya nomor satu di negeri ini.
"Hmm.. rasanya tidak sabar melihat senja. Aku sungguh ingin menceritakan segala hal baik ini!" ujar Rayinka penuh semangat.
Tok Tok Tok
"Re, cepat turun ke bawah. Papi menunggumu sarapan," suara lembut itu membuat perempuan yang dipanggil Rere itu terperanjat. Tumben sekali maminya mau memanggilnya sendiri? Biasanya juga menyuruh Bi Inah.
"Re? Kamu udah bangun belum?"
"Eh, iya udah, Mi." Rayinka bergegas membuka pintu kamarnya. Dilihatnya seorang wanita paruh baya yang masih cantik. Pakaiannya rapi–bersiap pergi kerja. Ini memang hari Minggu, tapi kedua orang tua Rayinka masih akan tetap bekerja.
"Astaga ini udah jam tujuh kamu masih belum mandi, Re?"
Rayinka tersenyum malu, "Kan hari libur, Mi."
"Ya meski libur kamu harusnya tidak membuang waktu untuk bermalas-malasan, loh. Kalau gini terus gimana nanti bisa jadi pewaris keluarga Aditama?!" ketus maminya.
Rayinka mengangkat bahunya, "Mami manggil Rere sendiri bukan cuma mau ngajakin ribut kan, Mi?" ujarnya. Dia paham betul maminya itu. Dulu ketika masih kecil, dia akan dimarahi dari pagi sampai malam hanya karena ia terus malas-malasan.
"Cepet bersih diri. Papi kamu nunggu di bawah untuk sarapan bareng. Sepuluh menit gak pake terlambat!"
Mendengar titah itu hanya membuat Rayinka memaksakan senyumnya. Dari pada dimarahi begini, mending Bi Inah aja yang manggil. Begitu batinnya. Maka ia bergegas mandi, lalu memakai pakaian kasual sehari-hari. Setelah itu ia bergegas turun untuk sarapan bersama.
"Hm, anak gadis kok jam segini malah baru bangun," celetuk Aditama.
"Lah kan sekarang udah rapi, Pi. Masak masih ditegur juga," bantah Rayinka.
"Harusnya udah rapi dari tadi, bawa olahraga biar tubuh sehat. Atau ngelakuin hal produktif apa gitu, belajar bisnis, atau yang bermanfaat lainnya. Bisanya malah nyanyi doang di kamar," cercah lelaki yang kini menggunakan kaos santai dan celana selutut.
"Ini kita mau sarapan loh, Pi. Rere males banget kalau Papi ngajakin sarapan bareng cuma buat menghina Rere," ujar Rayinka masih menahan rasa kesalnya.
"Ck, gitu aja baper. Papi Mami tuh ngomong gini biar kamu pinteran dikit. Kamu ahli waris keluarga Aditama, jadi gak bisa sedetik pun bermalas-malasan. Kalau kerjaanmu cuma bisa nyanyi doang mana bisa Papi Mami percayain perusahan ke kamu?"
"Lah terus prestasi yang aku dapat selama ini gak Papi anggap?"
"Halah, prestasi gitu aja udah bangga? Putri pengusaha terkaya di negeri Rovend sudah bisa menarik hati para investor untuk berinvestasi di perusahaannya. Pangeran Raja Arkash di Kerajaan Kashin sudah bisa menemani ayahnya memimpin negara. Lah kamu?! Disuruh gak malas aja ngeluh!" Aditama semakin menekan Rayinka agar mengikuti jejak orang-orang sukses di luar sana. Dia tidak tahu betapa sulitnya putrinya hidup dalam kesepian.
"Betul kata Papimu, Re. Harusnya kamu bisa belajar dari mereka," timpal maminya.
"Rere jadi ga nafsu makan. Papi Mami makan berdua aja lah," ujar Rayinka. Ia sengaja tak banyak bicara. Sebab pasti apapun yang ia sampaikan itu hanya akan jadi kesalahan.
"Duduk, Re! Kamu boleh pergi kalau Papi sudah mengizinkan kamu pergi. Sekarang makan!" gertak Aditama.
Rayinka benar-benar dibuat kesal oleh kedua orangtuanya. Baru saja ia merasa senang beberapa menit lalu. Sekarang malah begini. Mau tidak mau, agar tidak menjadi panjang, Rayinka makan bersama kedua orang tuanya tanpa berbicara apapun. Ia menahan kesal hatinya sekuat mungkin.
Belum habis makanan di piring masing-masing, Aditama lagi-lagi memberikan kalimat ultimatum yang membuat hati Rere terasa perih.
"Semalam kamu berlagak seperti anak pengusaha kaya yang memiliki segalanya. Tapi di balik itu, kamu hanya menunjukkan rasa malasmu. Papi sampai bingung sebenarnya kamu pantas menjadi putri kami atau tidak? Atau kamu baru akan berubah setelah menikah dengan lelaki arogan seperti Putra Mateo atau bapak paruh baya itu, hm?"
"Kalau memang itu yang kamu mau, kami akan segera mengurus tanggal pernikahan untukmu, Re," timpal Ibunya.
Hati Rayinka semakin tak karuan. Dadanya bergemuruh hebat. Mengapa ia begitu rendah di pandangan kedua orang tuanya? Hanya karena perihal ia bangun tidur jam tujuh pagi bisa membuatnya terlihat tak bernilai? Aditama dan istrinya mana tahu jika setiap malam Rayinka bahkan butuh obat tidur agar matanya bisa terpejam? Sudah begitu tidurnya tak pernah nyenyak, ia selalu bermimpi ribuan tuntutan yang diberikan orang tuanya untuk ia raih. Baru semalam ia bisa lelap tertidur tanpa obat tidur meski masih menunggu jam tiga dini hari untuk bisa meraih alam mimpi. Dan sekarang.... orang tuanya dengan ringan hati mengatainya pemalas tanpa mau tahu kondisinya? Sial memang.
"Mi, Pi. Aku bahkan sudah melakukan banyak hal yang mami papi mau. Tapi aku masih bernilai sangat rendah ya sampai mami papi mau menikahkam aku dengan lelaki rendahan seperti mereka?!"
"Jaga ucapanmu, Rayinka! Papi kira kamu pandai dalam menilai seseorang. Papi kira penolakanmu atas perjodohan yang kami rancang selama ini hanya karena kamu sedang memilah dan memilih orang terbaik untuk menjadi pasanganmu. Ternyata apa ini? Kamu bahkan menyebut putra Mateo rendahan?" amarah papinya mulai berkobar.
"Kamu tahu? Putra Mateo itu sudah berhasil menarik investasi dari perusahaan besar di luar negeri untuk perusahaannya.. Kamu bahkan tidak ada apa-apanya!" jelas Aditama sembari menunjuk wajah Rayinka penuh emosi.
Perlakuan ini sungguh membuat Rayinka sakit. Luka di hatinya semakin menganga. Dia benci keluarganya. Dia benci Papi dan Maminya.
"Papi Mami selalu seperti ini. Rayinka sepertinya hanya anak pungut ya Pi? Itu sebabnya Rayinka tak bisa mewarisi kehebatan Papi dan Mami. Itu sebabnya Rayinka tak berguna. Bukankah begitu, Pi?"
Tak lagi tahan melihat kedua orangtuanya, Rayinka bergegas naik ke kamarnya. Ia mengunci pintu dan menangis sekencang-kencangnya di ruang yang kedap suara itu. Hatinya makin pilu. Ia sungguh merindukan obrolan dengan papi dan maminya. Tapi mengapa sekalinya mengobrol banyak... malah obrolan menyakitkan yang ia terima? Mengapa?
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!