Langit kehidupan makin gelap, sementara jalan yang harus ditempuh berupa jalan setapak. Beberapa burung gagak berterbangan di atas sana. Yang mana sepanjang perjalanan, ibu Unarti juga diserbu banyak nyamuk. Wanita paruh baya itu jadi sibuk garuk-garuk. Kendati demikian, tak sedikit pun ibu Unarti goyah apalagi takut. Tekad wanita berusia empat puluh dua tahun itu sungguh sudah bulat. Yaitu mendatangi seorang dukun sakti. Dukun sakti yang konon bisa membangkitkan orang yang sudah mati.
Hamparan semak-semak akhirnya ibu Unarti jumpai setelah dirinya melewati hamparan sawah baru tanam. Jika keadaannya sudah seperti itu, harusnya rumah dukun sakti yang akan ibu Unarti datangi, sudah dekat.
Meski pak Asnawi selaku dukun sakti yang akan ibu Unarti datangi memang terbukti bisa membangkitkan orang mati, nyaris semuanya tidak menyarankan ibu Unarti meminta bantuannya. Sebab andai orang mati itu bisa kembali hidup, pasti ada saja keanehan atau malah sederet teror tak kasatmata yang akan ditimbulkan.
“Kamu yakin dengan keputusanmu?” ucap pak Asnawi, ketika akhirnya, ibu Unarti yang tubuhnya kuyup, gemetaran duduk di hadapannya.
Ibu Unarti sudah sampai tujuan. Pak Asnawi yang akan ia minta bantuan juga sudah langsung menangani.
“Saya sangat yakin, Mbah! Apa pun risiko maupun syaratnya, akan saya usahakan!” ucap ibu Unarti.
Kegelapan di rumah gubuk keberadaan ibu Unarti menjadi saksi kerja sama antara ibu Unarti dan pak Asnawi. Sederet syarat pak Asnawi sebutkan. Kini, pria baya berjenggot lebat warna putih itu menari-narikan jemari kedua tangannya di atas coet tanah liat penuh kemenyan maupun dupa yang dibakar. Asap dari pembakarannya dan memang banyak sekaligus menyengat, sampai membuat ibu Unarti batuk-batuk.
Alasan ibu Unarti meminta bantuan pak Asnawi murni karena sakit hati sekaligus dendam. Sebab Echa sang putri meninggal secara tra.gis bahkan dalam keadaan hamil.
Ibu Unarti berniat membuat Echa balas dendam kepada Rain yang justru menikah sekaligus bahagia dengan wanita lain. Wanita itu bernama Hasna, dan baru ibu Unarti ketahui sedang berbadan dua, hasil buah cintanya dengan Rain.
Padahal, alasan Rain ada dalam hidup Echa, murni karena Rain ingin menolong Echa yang saat itu nyaris diperko.sa. Malahan karena keputusan Rain menolong Echa, Rain nyaris meregang nya.wa sekaligus berurusan dengan hukum. Sementara mengenai kehamilan Echa yang terjadi di luar pernikahan, murni dilakukan oleh dukun yang selama ini ibu Unarti sekeluarga minta bantuan. Dukun yang melakukannya pun sudah ditangani secara hukum.
Setelah ibu Unarti menunggu lama penuh keseriusan sekaligus ketegangan, pak Asnawi justru pergi ke ruangan di balik gorden merah. Sebuah kain kafan kot.or bahkan bau, pria itu bawa dari sana. “Pakaikan kain kafan ini ke putrimu. Namun pastikan, putrimu yang sudah mati jangan sampai dimandikan apalagi dikuburkan dengan semestinya.”
“Memakaikan kain kafan itu ke putrimu juga akan membuat orang-orang tidak bisa melihatnya. Itu juga yang akan mempermudah kamu membawa putrimu ke sini.”
“Malam Selasa kliwon besok, kita akan membangkitkan putrimu. Jadi, malam ini juga kamu harus membawa tubuh putrimu ke sini.”
Sepanjang menyimak penjelasan pak Asnawi, ibu Unarti jadi kerap mengangguk paham. Anggukan paham yang juga menjadi bagian dari kesanggupan ibu Unarti sendiri.
Berbekal apa yang sudah ia dapatkan dari pak Asnawi, ibu Unarti pulang. Perjalanan setapak penuh lumpur dan sampai membuatnya tak memakai alas kaki, kembali ibu Unarti lalui. Gerimis mengiringi sepanjang perjalanannya. Sampai di jalan umum, ibu Unarti mencari-cari ojek. Namun, gerimis yang makin besar membuat tukang ojek tak ada di pangkalan. Barulah setelah agak lama menunggu di pangkalan ojek biasa, ibu Unarti mendapatkan apa yang ia cari.
Setelah menggunakan jasa ojek hampir satu jam lamanya, akhirnya ibu Unarti sampai di rumahnya. Rumah semi permanen miliknya masih dalam keadaan sepi sekaligus gelap. Namun lagi-lagi, kenyataan tersebut tak mengurungkan niatnya.
“Putri kita sudah mati, Bu. Dari kemarin subuh. Jadi tolong, ... tolong berhenti. Jangan bikin ulah yang hanya memberatkan dosa-dosanya lagi,” ucap pak Handoyo sambil menunduk berat.
Ucapan sang suami barusan juga tidak menggoyahkan niat ibu Unarti. Apa pun cara sekaligus langkah yang telah ibu Unarti ambil, bukan batu penghalang lagi karena ibu Unarti bahkan sudah tidak peduli pada apa itu dosa.
Tanpa memedulikan sang suami, ibu Unarti sengaja mengunci pintu depan maupun pintu belakang rumahnya. Semua jendela termasuk gorden juga buru-buru ibu Unarti tutup. Ibu Unarti akan segera membungkus tubuh Echa menggunakan kain mori pemberian pak Asnawi.
Dengan keadaannya yang masih setengah basah, ibu Unarti mengakhiri kesibukannya. Ia melangkah cepat masuk ke dalam kamar Echa. Kamar yang sengaja dibiarkan gelap, dan aromanya makin tidak sedap. Terdengar nguingan suara lalat. Lalat hijau berukuran besar terbilang banyak, memang sibuk berterbangan di sana. Kenyataan tersebut terjadi karena tubuh Echa yang sepertinya mulai membus.uk.
“Pokoknya, bagaimanapun caranya. Ibu akan membuat Echa kembali hidup. Echa harus tetap hidup. Karena Echa harus membalaskan dendamnya kepada Rain dan istrinya!” tegas ibu Unarti kepada sang suami.
Ibu Unarti menaruh tas bahunya di pinggir amben Echa terkapar. Pak Handoyo yang mendengar itu menjadi tersedu-sedu.
“Ibu sudah tahu, ada dukun sakti yang bisa membangkitkan orang mati. Ayo kita bawa Echa ke sana, malam ini juga. Apalagi sampai detik ini, belum ada yang tahu bahwa Echa sudah tidak ada.” Berderai air mata, ibu Unarti mengatakannya sambil meraih tubuh Echa.
Seperti keadaan terakhir Echa sebelum berakhir stroke, lidah Echa masih terjulur. Sementara kedua mata Echa juga masih melotot. Keadaan yang tetap tidak berubah, bahkan meski ibu Unarti sudah membungkusnya menggunakan kain kafan pemberian pak Asnawi.
“Ayo kita bawa tubuh Echa ke rumah dukun itu, Pak!” sergah ibu Unarti.
“Bu, ... istighfar! Ini bahkan kamu bungkus tubuh Echa pakai apa?” balas pak Handoyo.
“Perset.an dengan istighfar bahkan Allah, Pak. Sejak apa yang terjadi kepada Echa, aku jadi tidak percaya jika Allah memang ada!” sinis ibu Unarti yang langsung mengusir sang suami. Sebab pria itu terus berusaha menghentikan niatnya.
Namun karena takut sang suami berulah, ibu Unarti sengaja menye.kap sang suami di kamar.
“Bu, buka pintunya, Bu!” teriak pak Handoyo sambil menggedor pintu kamar dirinya dikurung.
Tanpa peduli pada suaminya lagi, ibu Unarti sengaja menggendong tubuh Echa. Tubuh yang harusnya terasa berat itu, sama sekali tidak membuat ibu Unarti terbebani. Termasuk juga ketika ibu Unarti menggunakan jasa ojek. Tukang ojenknya sama sekali tidak mempermasalahkan apa yang ibu Unarti gendong. Seolah tukang ojenknya memang tidak melihat Echa seperti apa yang pak Asnawi katakan.
Asal tubuh Echa dibungkus menggunakan kain kafan pemberian pak Asnawi, perjalanan ibu Unarti dalam membawa Echa, akan terasa mudah. Dan kini, ibu Unarti tengah membuktikannya.
“Heran, yang aku bonceng hanya satu orang. Tapi kok rasanya berat banget?” batin tukang ojek yang sedang membonceng ibu Unarti. Ia memang kewalahan dan kerap melirik ibu Unarti melalui kaca spion. Namun sekali lagi, tidak ada tanda-tanda ada orang lain di belakang ibu Unarti.
Makin lama, rasa penasaran tukang ojek yang membawa ibu Unarti, makin membuncah. Ditambah lagi, gelagat ibu Unarti yang memang mencurigakan. Ibu Unarti yang kerap membenarkan gendongan kosong di punggungnya, benar-benar tak berbicara. Bahkan meski tukang ojek bernama pak Riswan itu melayangkan pertanyaan.
“Bu, kalau boleh tahu, apa yang ibu gendong? Kelihatannya berat banget?” tanya pak Riswan, dengan nada sangat hati-hati. Ia juga masih bersikap sangat sopan.
Detik itu juga, ibu Unarti yang mendapatkan pertanyaan langsung kebingungan. Namun, ibu Unarti langsung ingat pesan pak Asnawi.
“Saat perjalanan membawa putrimu ke sini, pastikan kamu tidak banyak bicara. Apalagi jika ada yang sampai menanyakan apa yang kamu gendong dan itu putrimu yang sudah kamu kafani!” Itulah pesan dari pak Asnawi yang juga menjadi alasan ibu Unarti memilih diam.
Akan tetapi, pak Riswan yang telanjur penasaran, sengaja mengarahkan kaca spion sebelah kanannya, ke belakang. Selain itu, pak Riswan juga sengaja melafalkan ta'awudz, tapi ulahnya itu malah membuatnya syok. Ia refleks mengerem motornya hingga ibu Unarti berikut yang digendong dan itu pocong, nyaris jatuh.
Di kaca spion motor, sosok Echa yang dibungkus kain kafan layaknya pocong, sungguh terlihat. Namun, ketika pak Riswan melihatnya secara langsung, Echa yang sudah ibu Unarti pocong, sama sekali tidak terlihat.
“Gimana sih, Pak? Kenapa Bapak asal berhenti?!” marah ibu Unarti pada pak Riswan yang menatapnya dengan tatapan syok.
Antara takut tapi juga tak habis pikir, itulah yang ibu Unarti tangkap dari sikap terbaru tukang ojeknya.
“Ini gimana ceritanya, kok malah jadi begini?” batin pak Riswan yang memang langsung kena mental.
Pak Riswan merasa serba salah. Ingin tidak melanjutkan perjalanan dan meninggalkan ibu Unarti, takut salah karena memang sama saja tidak sopan. Mau dilanjut pun, bagaimana? Selain, pak Riswan yang juga takut, alasan ibu Unarti berbuat layaknya sekarang, justru untuk maksi.at.
“Ya Allah, hamba benar-benar berlindung kepada Engkau! Hamba takut salah!” batin pak Riswan.
Kini, alasan pak Riswan makin kuyup, tak semata karena gerimis agak deras yang masih berlangsung. Melainkan keringat ketakutan karena ulah ibu Unarti.
Penuh drama, pak Riswan tetap melanjutkan perjalanan. Perjalanan yang menang sangat berat. Bukan hanya beban yang ia angkut, tapi juga kenyataan sosok Echa yang terus terlihat di kaca spion sebelah kanan. Parahnya, yang pak Riswan lihat sungguh wajah Echa. Wajah yang kedua matanya tetap melotot, sementara lidahnya terjulur.
“Pantas dari tadi juga bau bang.ke. Mungkin efek apa yang ibunya gendong,” pikir pak Riswan sampai detik ini masih sibuk berdoa dalam hati.
Setelah perjalanan panjang dan hampir memakan waktu satu jam lamanya. Karena pak Riswan sengaja membawa motornya dengan kecepatan pelan, akhirnya ibu Unarti minta berhenti. Di sebuah desa terpencil, dan pak Riswan ketahui kerap dikunjungi oleh orang yang memiliki kebutuhan khusus. Kebutuhan khusus yang berkaitan dengan dukun sakti sekaligus hal-hal mistis.
“Enggak usah bayar, Bu. Enggak usah. Saya ikhlas!” ucap pak Riswan menolak pembayaran ibu Unarti dengan santun.
Ibu Unarti yang memang masih dalam keadaan kalut, berangsur mengangguk kaku sambil berterima kasih.
“Pantas, ternyata ... astaghfirullah. Ya Allah, ampun ya Allah. Pantas juga dari tadi aku disuruh jalan terus,” batin pak Riswan langsung makin ketakutan. Sebab setelah ibu Unarti meninggalkannya, ia jadi bisa melihat apa yang ibu Unarti gendong secara langsung. Ia sungguh tak harus memastikannya lewat kaca spion motornya lagi.
“Innalilahi ... innalilahi ....” Pak Riswan buru-buru pergi dari sana. Ia nekat menuntun sepedanya yang apesnya mendadak mogok.
Hujan gerimis agak deras masih menyertai malam ini. Ibu Unarti juga tetap menggendong tubuh Echa yang dipocong. Medan yang harus ibu Unarti tempuh tak sedikit pun menggoyahkan ibu Unarti. Bahkan meski di sepanjang perjalanan, ibu Unarti jadi bisa melihat makhluk tak kasatmata.
Makhluk-makhluk tak kasatmata yang ibu Unarti jumpai, beraneka ragam. Rupa mereka nyaris sulit dijelaskan. Bukan sekadar pocong, kuntilanak, tuyul, ganderowo, dan hantu pada kebanyakan yang orang awam kenal. Sebab wujud-wujud mereka sungguh baru ibu Unarti ketahui.
Ada yang hanya berwujud kepala. Ada yang berupa hanya tubuh tanpa kepala. Ada juga yang berukuran kerdil, atau malah berukuran sangat besar. Ada juga yang tidak memakai paka.ian. Ada yang diam dan hanya mengawasi Echa yang ibu Unarti gendong. Banyak juga yang cekikikan dan tawanya terdengar sangat menakutkan.
Di tempat berbeda, Hasna istri Rain tengah berada di dapur. Hasna tengah menyiapkan makan malam, tapi wanita cantik berhijab itu merasa ada yang janggal. Hasna yang tengah memotong wortel menjadi potongan layaknya korek api, merasa ada yang sibuk berlarian di sekitarnya. Semi memastikannya, Hasna sengaja menghentikan kesibukannya.
“Semuanya baik-baik saja,” pikir Hasna sambil mengawasi sekitar yang memang tidak ada siapa-siapa. Apalagi, di rumahnya memang hanya ada dirinya dan Rain.
Hasna terus meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja. Sesekali, ia juga berdoa karena apa yang terjadi memang membuatnya takut.
“Sayang, ... kamu sudah beres teleponnya belum? Teleponnya di sini saja dong. Aku takut!” rengek Hasna.
Sekitar sepuluh menit lalu, Rain memang pamit untuk menjawab telepon. Sang suami terpaksa meninggalkannya sendiri di dapur lantaran ponsel Rain kehabisan baterai.
“Sayang,” panggil Hasna lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.
“Iya, bentar!” balas Rain terdengar tak kalah berseru. Selain suara lain, suara langkah kaki juga terdengar mendekat.
Semenjak Rain menolong Echa dan malah Echa fitnah. Hingga Rain nyaris mereg.ang nyawa karena dihaki.mi masa, sampai detik ini, kehidupan Rain memang belum baik-baik saja. Keadaan yang juga sampai berdampak kepada Hasna sebagai istri Rain. Sebab kasu.s fitnah, penghaki.man, dan semuanya yang masih gara-gara Echa, masih bergulir.
Terakhir, hampir semua pelaku yang terlibat sudah mendapat ganj.aran hukuman. Karena kebetulan, pelaku yang terlibat dan menjadikan Rain korban memang banyak—baca novel : Pembalasan Tuan Muda yang Dianggap Sampa.h.
“Maaf, tadi terbawa suasana obrolan sama mas Rendra,” ucap Rain yang akhirnya ada di hadapan Hasna.
“Ada apa?” Rain mengawasi sekitar karena tadi ia dengar, sang istri mengeluhkan takut.
“Enggak tahu, tapi kayak ada yang lari-lari,” balas Hasna sambil menahan ngeri.
Sempat tak bisa berkomentar, Rain meminta Hasna untuk duduk. “Biar aku yang masak. Kamu duduk saja sambil kasih arahan.”
Hasna tidak menolak dan memutuskan untuk duduk di kursi yang ada di sebelahnya. Apalagi jika sedang sekalut sekarang, yang Hasna butuhkan hanyalah bertasbih.
“Tadi sidang terakhir. Pak Dartam hanya diganja.r hukuman lima tahun kurungan, serta den.da dari pihak korban. Karena pihak korban memang banyak dan kerugian pun enggak sedikit. Bisa jadi, hukuman kurungan akan bertambah jika pak Dartam enggak bisa bayar. Belum lagi kata mas Narendra yang mengawal kasu.s ini, keadaan pak Dartam makin lama makin memprihatinkan. Kesehatan maupun fisik—” Rain yang awalnya cerewet sambil memotong apa yang ada di talenan mengikuti apa yang sudah Hasna lakukan, refleks diam.
Bunyi jatuh ringan tapi banyak, menjadi alasan Rain diam. Di hadapannya, sang istri juga ia dapati diam. Sementara di lantai sekitar Hasna hingga sekitar Rain, biji tasbih dan Rain ketahui merupakan tasbih milik Hasna, sudah tersebar.
“Sayang, ... tasbih pemberian mas Aqwa putus! Aku takut ini bertanda bu.ruk!” lirih Hasna jadi kembali kalut. Kedua matanya bahkan berembun, selain ia yang buru-buru berdiri kemudian menghampiri Rain dan memeluknya erat.
“Ya Allah, masa iya ibu Unarti dan suaminya beneran nekat main gun.a-gun.a lagi?!” batin Rain benar-benar merasa tak habis pikir. Rain merasa sangat marah, dan ia meluapkannya dengan balas memeluk Hasna. Rain yakin, sang istri sudah ketakutan. Apalagi semenjak hamil dan tahu ibu Unarti tak segan main gun.a-gun.a, Hasna makin gampang parno.
***
Novel Rain dan Hasna :
Pak Handoyo yang akhirnya menjebol jendela kaca kamar keberadaannya, merasa dilema. Sang istri entah pergi ke mana? Fatalnya, sampai membawa jasad Echa.
Sebenarnya, pak Handoyo bisa meminta tolong kepada keluarga bahkan tetangga. Agar apa yang tengah ia hadapi, bisa lebih cepat mendapat solusi. Masalahnya, apa yang ibu Unarti lakukan, terbilang tidak wajar. Ibu Unarti berdalih akan membangkitkan Echa ke dukun sakti. Dukun sakti yang alamatnya saja, tidak pak Handoyo ketahui. Sementara kini, pak Handoyo sudah tertinggal jauh.
“Ya Allah, bagaimana ini?” pasrah pak Handoyo sambil mengawasi sekitar.
Selain hujan agak deras masih mengguyur, suasana juga sudah makin larut. Pak Handoyo yang berdiri di depan jendela sampai terterpa air hujan. Karenanya, setelah kembali menutupkan jendelanya, pak Handoyo nekat jalan kaki. Niatnya, pak Handoyo akan mengabarkan apa yang ibu Unarti lakukan, ke saudaranya.
“Perse.tan dengan malu. Daripada terjadi kesalahan fatal!” pikir pak Handoyo sambil terus berjalan kaki.
Di tengah kesunyian malam karena memang sudah tidak ada aktivitas masyarakat di luar rumah. Pak Handoyo yang awalnya melangkah biasa, beranjak berlari.
Akan tetapi, hingga keesokan harinya, pak Handoyo tetap tidak bisa menemukan sang istri. Menghubungi nomor telepon sang istri juga sudah berulang kali pak Handoyo lakukan. Namun, hasilnya sia-sia. Nomor ponsel ibu Unarti, tetap tidak aktif.
“Bilangnya, malam Selasa kliwon bakalan ada ritual pembangkitan. Sebenarnya, aku juga kurang paham. Tapi aku juga enggak kenal, itu dukun yang mana. Soalnya sejauh ini, yang aku kenal cuma pak Dhartam. Itu saja ternyata dukun bodong!” ucap pak Handoyo di hadapan keluarganya.
Di depan rumah pak Handoyo, mereka yang jumlahnya ada sepuluh orang dengan pak Handoyo, nyaris kehabisan akal.
“Kita tunggu saja. Malam ini malam Selasa kliwon. Masa iya, ada orang mati yang bisa dibangkitkan? Andaipun sampai kembali bangkit, biasanya justru karena dimasuki se.tan dan sebangsanya!” ucap pak Saryo selaku kakak pak Handoyo. Kemudian, ia juga menyalahkan pak Handoyo. Kenapa di era yang sudah serba canggih layaknya kini, pak Handoyo masih saja percaya kepada dukun dan hal syi.rik lainnya?
“Sumpah, Aa ... aku cuma ngikutin mamanya Echa. Kalau enggak dikawal ya takutnya kenapa-napa. Buktinya saja, ternyata Echa sampai dihami.li pak Dhartam. Itu yang baru ketahuan. Enggak tahu yang ke Unarti. Sudah enggak kurang-kurang aku arahin Unarti!” yakin pak Handoyo yang memang sudah lelah bahkan pasrah pada kebiasaan sang istri yang apa-apa serba lewat dukun.
Makin lama, hujan yang masih berlangsung dan itu dari kemarin, justru makin deras. Langit hari ini sudah benar-benar kelabu. Terlebih seharian ini tak sedikit pun matahari terlihat. Jika keadaan sudah seperti itu, biasanya hujan akan berlangsung makin awet. Belum lagi, gemuruh guntur dilengkapi kilat juga makin menyeramkan.
Di tempat berbeda, Hasna baru membuka pintu. Rain sang suami baru pulang. Layaknya di rumah orang tua Echa, di Jakarta selaku tempat tinggal Rain dan Hasna juga tengah diguyur hujan.
“Sayang pulang cepat?” tanya Hasna yang langsung dilarang keluar dari rumah oleh Rain.
Sebab hujan deras disertai angin kencang lengkap dengan guntur, membuat teras depan rumah licin.
“Kalau aku enggak pulang awal, aku malah terancam enggak pulang. Soalnya jalanan mulai banjir,” ucap Rain yang mendadak diam lantaran payung yang tengah ia pakai, terbawa angin.
“Udah sayang, biarin saja jangan diambil. Hujannya ngeri. Kita masuk saja. Aku siapin teh hangat, ya?” seru Hasna dari dalam lantaran Rain ia dapati akan mengambil payungnya yang terkapar ke tengah halaman.
Rain berangsur menatap Hasna. “Tapi kamu istirahat aja sih. Duduk di sofa, biar aku yang siapin semuanya. Soalnya yang di perut manja banget!” ucap Rain dan langsung membuat Hasna tertawa pasrah.
“Ya sudah, aku tunggu di sofa ya. Oh iya, ... tadi Mommy kamu ngabarin katanya malam ini mau nginep di rumah kita,” ucap Hasna.
Meninggalkan kebahagiaan pengantin baru Rain dan Hasna, kesibukan tampak mewarnai rumah pak Asnawi. Di gubuk yang tak memiliki tetangga tersebut, pak Asnawi sibuk mengurus tubuh Echa.
Tubuh Echa dibaringkan di atas meja yang dialasi kain mori bekas membungkus Echa. Sementara ibu Unarti tengah sibuk membantu menyiapkan sesajen di sebelahnya. Ayam cemani juga ibu Unarti keluarkan dari kurungan seperti arahan pak Asnawi. Kedua kaki ayam tersebut sudah dalam keadaan diikat menggunakan tali.
“Taruh ayam itu di kolong meja Echa berada!” ucap pak Asnawi.
“Baik, Mbah!” sanggup ibu Unarti yang sampai detik ini masih memakai pakaian kemarin.
Pak Asnawi menatap miris keadaan jenazah Echa. Dalam hatinya ia berdalih, hanya orang jahat bahkan jahanam yang akan meninggal trag.is seperti Echa. Kedua mata Echa melotot, lidah terjulur. Selain bau sangat busu.k yang terus dikeluarkan dari tubuh Echa. Akan tetapi dalam hatinya pak Asnawi juga berdalih, orang bahkan jasad-jasad seperti Echa juga yang disukai jin dan para makhluk halus.
Diam-diam, ibu Unarti juga merasa, hari ini waktu berputar sangat cepat. Tiba-tiba saja sudah malam dan pak Asnawi berdalih, sebentar lagi akan dilakukan ritual pembangkitan Echa.
Dari pintu belakang gubuk pak Asnawi tinggal, ibu Unarti melongok suasana luar. Hujan benar-benar reda dan bulan pun bergerak!ayaknya bulan purnama. Namun sekitar sepuluh menit yang lalu, pak Asnawi menancapkan keris di tanah depan pintu. Detik setelah itu pula hujan langsung berangsur reda. Hingga ibu Unarti makin yakin, pak Asnawi patut dipercaya.
Coet tanah liat yang sudah dipenuhi bekas pembakaran kemenyan, pak Asnawi raih. Satu genggam kemenyan pria itu ambil dari sederet sesajen yang tadi ibu Unarti siapkan. Kemudian, kemenyan benar-benar pak Asnawi bakar. Menandakan bahwa ritual pembangkitan benar-benar dimulai.
“Ingat, Unarti. Apa pun yang terjadi, kamu tidak boleh bicara apalagi sampai berteriak!” ucap pak Asnawi wanti-wanti.
Ibu Unarti berangsur mengangguk. Anggukan ragu yang makin lama makin cepat.
Beberapa saat kemudian, semuanya terjadi dengan sangat cepat. Segala sesajen, segala rupa kembang yang menjadi bagiannya. Semuanya pak Asnawi lemparkan ke tubuh Echa. Mulut pak Asnawi komat-kamit melafalkan mantra.
Selama itu juga ibu Unarti menyadari. Bahwa angin yang mendadak berembus kencang, mengiringi kedatangan para makhluk tak kasatmata dalam segala rupa.
Makhluk-makhluk tak kasatmata sungguh berdatangan mengerumuni Echa. Mata mereka mengawasi Echa dari ujung kepala hingga ujung kaki. Terakhir, para kuntilanak datang dan jumlahnya sangat banyak. Gubuk keberadaan mereka dan memang tidak begitu luas, sampai penuh oleh mereka-mereka yang berdatangan.
Sebenarnya ibu Unarti takut, bahkan sangat takut. Ibu Unarti bahkan mulai sesak napas, berkeringat parah di tengah jantungnya yang berdetak sangat kencang. Apalagi, ibu Unarti yang berdiri tak jauh dari punggung pak Asnawi, menjadi bagian dari kerumunan. Hanya saja, ibu Unarti memegang kuat wanti-wanti pak Asnawi. Ibu Unarti susah payah menahan ego, membulatkan tekad, demi keberhasilan rencananya. Tak peduli, meski keadaan kini sudah membuatnya panas dingin tak karuan. Ibu Unarti sampai kebelet pipis parah, tapi juga sengaja wanita itu tahan.
Terakhir, pak Asnawi menyembeli.h ayam cemani tepat di atas wajah Echa. Da.rah yang mengalir dari leher ayam, pak Asnawi guyurkan ke tubuh Echa dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Setelah yakin tetesan da.rah tak sebanyak tadi, pak Asnawi membuang ayam cemani-nya begitu saja. “Makan!” ucap pak Asnawi.
Detik itu juga semua makhluk tak kasatmata yang memenuhi di sana, berebut Echa. Mereka menj.ilati darah ayam cemani yang menempel di tubuh Echa. Ibu Unarti benar-benar lemas hanya karena menyaksikan itu. Ibu Unarti nyaris bersuara bahkan berteriak histeris. Namun, bergeraknya tubuh Echa membuat ibu Unarti berubah pikiran.
Iya, tubuh Echa benar-benar mulai bergerak.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!