Happy reading
Semoga terhibur😊😊😊
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
"Kapan Mas Aldo akan melamarku ya?" gumam Tami menatap foto seorang pria dalam layar ponselnya. Sang kekasih yang sudah menjalin hubungan selama 5 tahun dengannya.
Selama 5 tahun ini, Aldo belum pernah sekalipun mengajak Tami ke rumahnya. Bertemu dengan orang tua kekasihnya itu.
Tami ingin mempertanyakan bagaimana kelanjutan hubungan mereka ke depannya. Tapi, ia sangat takut dianggap ngebet menikah. Makanya memilih menunggu sampai pria itu melamarnya saja.
Tapi, sudah 5 tahun hubungan itu berjalan. Aldo belum pernah mengatakan atau membahas pernikahan dengannya.
Selama menjalin kasih Aldo itu pria yang sangat baik, perhatian dan yang paling penting sangat mencintainya. Tami dapat merasakan perasaan Aldo yang begitu mendalam padanya. Perasaan Aldo itulah yang membuat Tami yakin dan percaya bahwa hubungan mereka pasti akan ke jenjang pernikahan.
'Semoga Mas Aldo segera melamarku!' Harap Tami yang segera mengaminkan. Ia ingin segera menikah dengan Aldo. Pria tercintanya.
Jujur saja, Tami ingin menikah dan merasakan memiliki sebuah keluarga. Punya suami dan anak-anak yang lucu nantinya. Hidupnya pasti akan lebih berwarna dan tidak kesepian seperti sekarang.
Sejak kecil Tami tinggal di panti asuhan bersama anak-anak panti lainnya. Setelah tamat SMA, ia pun memutuskan keluar dari tempat itu. Menjalani kehidupannya sendiri.
Tami tidak mau mencari tahu di mana keberadaan orang tuanya. Kata pengurus panti saat masih bayi ia ditemukan di tempat sampah depan panti. Ditemukan dalam bungkusan plastik kresek. Seperti memang sengaja ditinggalkan begitu saja.
Sadar telah dibuang dan ditinggalkan, Tami pun memilih untuk menganggap kedua orang tuanya sudah meninggal saja. Meninggal dunia saat ia masih bayi. Dengan anggapan seperti itu, ia tidak perlu marah atau pun dendam kepada orang tuanya. Kan tidak mungkin marah dan dendam pada orang yang sudah meninggal.
Karena anggapan itu ia bisa menjalani hidup sebagaimana semestinya. Hidup seperti orang-orang pada umumnya.
Keluar dari panti, Tami yang saat itu telah berusia 18 tahun mulai menjalani kehidupannya sebatang kara. Ia memulai dengan bekerja serabutan. Apapun dikerjakannya yang penting halal dan memiliki penghasilan.
Tami harus bisa menghidupi dirinya sendiri. Harus bekerja dengan giat untuk membayar kost-an dan makan sehari-hari.
Saat sudah berusia 20 tahun, Tami mulai menjalin kasih dengan lawan jenis. Menjalin hubungan dan berharap memiliki keluarga dan masa depan nantinya.
Setelah seminggu berpacaran, Tami mulai mempertanyakan kelanjutan hubungan mereka. Kapan pria itu akan melamarnya. Dan mereka pun menjawab,
"Kita masih terlalu muda untuk membahas pernikahan..."
"Kerjaanku saja belum menetap. Kalau menikah, apa kamu mau makan cinta?"
"Kita jalani saja dulu, jika kita berjodoh pasti akan menikah juga..."
"Kamu ngebet banget pengen segera dinikahi, apa begitu tidak sabar ingin ditiduri?"
Begitulah jawaban para mantannya Tami. Ya, wanita itu sempat menjalin kasih dengan beberapa pria. Dan setelah ia bertanya begitu, hubungan mereka pun mulai merenggang. Lalu tidak lama putus.
Karena keseringan direspon begitu setiap membahas pernikahan. Saat mulai berpacaran dengan Aldo, Tami jadi tidak membahas hal itu. Ia tidak mau hubungannya berakhir begitu lagi.
Kenapa respon para mantannya begitu? Mungkin memang tidak seharusnya wanita yang memulai bicara tentang pernikahan. Biarkan pria yang membahasnya terlebih dahulu.
Jika pria membahasnya, berarti pria itu yakin memilihnya untuk menjadi istri. Menjadi istri dan ibu dari anak-anaknya kelak.
Tapi sampai sekarang, tidak kunjung juga Aldo membahas hubungan mereka.
'Apa aku harus memancingnya?' Batin Tami mulai bingung sendiri.
Usianya kini sudah tidak muda lagi. Saat berpacaran dengan Aldo, ia masih berusia 25 tahun. Waktu berjalan tidak terasa kini sudah 30 tahun. Usianya sudah matang untuk menikah.
Jika Aldo tidak membahas pernikahan juga. Kapan mereka akan menikah?
Setahun lagi?
Dua tahun lagi?
Lima tahun lagi?
Atau 10 tahun lagi?
Tami benar-benar bingung mau dibawa ke mana hubungan mereka itu.
"Aku sangat mencintaimu dan kita akan bersama selamanya."
Ucapan Aldo mulai terngiang-giang di telinganya. Bersama selamanya, berarti itu kode jika pria itu ingin menua bersamanya kan?
Yang juga berarti, Aldo akan menikahinya suatu hari nanti.
Mungkin saja pria itu belum siap dan masih menunggu saat yang tepat.
Tami hanya bisa menunggu dan bersabar, serta tetap percaya dan yakin dengan cinta mereka. Itu harus.
Lamunan Tami tersadar saat ponselnya berdering. Panggilan masuk dari sang kekasih.
"Ha-halo, Mas Aldo." Jawab Tami dengan sedikit gugup.
"Tam, nanti sore mari bertemu. Aku akan share lokasinya." ucap pria itu dari seberang sana suara yang datar.
"Ada apa, Mas?" Tanya Tami menanggapi ucapan Aldo. Nada bicara kekasihnya sedikit aneh, terasa dingin.
"Nanti kamu juga tahu."
"Mas tidak menjemputku?" Tanya Tami lagi. Biasanya setiap jalan bersama, Aldo akan menjemputnya di kost-an. Tumben ia disuruh datang sendiri.
"Aku sedikit sibuk, Tam. Kita ketemu di lokasi saja ya."
"Baiklah, Mas." Jawab Tami menurut dan tidak mau bertanya lagi.
"Sampai jumpa di sana." ucap pria itu lalu mengakhiri panggilan.
Tami menghembuskan nafasnya berkali-kali. Aldo tidak seperti biasanya. Meneleponnya sebentar saja, semenit pun tidak sampai. Biasanya cukup lama.
Wanita itu tampak bingung berpikir. Lalu tidak lama senyum mengembang di wajahnya.
'Apa dia akan melamarku?' Terka Tami. Sepertinya Aldo akan memberi kejutan padanya.
Aldo sedang merencanakan sesuatu. Pria itu pasti sekarang sedang sibuk. Ya, sibuk mempersiapkan acara lamaran yang romantis.
Makan malam bersama di sebuah tempat yang sudah didekor romantis. Makan malam diiringi suara musik. Setelah makan, Aldo pun berlutut dan menunjukkan cincin.
"Apa kamu mau menikah denganku?" ucap Aldo dengan tatapan berbinar. Menatap Tami dengan tatapan mendalam. Dalam sekali.
"Aku mau! Aku mau menikah denganmu." jawab Tami semangat dan segera menutup mulutnya. Bicaranya cukup kuat, bisa didengar anak kost sebelah.
Tami terkekeh geli membayangkan adegan lamaran romantis itu. Membayangkan Aldo akan melamar seperti itu saja sudah membuat hatinya jadi berdebar-debar.
Dag dug... Dag dug... Debaran hati Tami bertalu-talu.
"Aku harus perawatan wajah dulu!" Tami pun berlari ke kamar mandi. Ia harus tampil cantik di depan pria yang dicintainya.
Setelah mencuci muka, ia pun melumuri masker wajah. Selama melakukan itu senyum di wajahnya tidak pernah luntur.
Tami akan dilamar. Ia akan menikah. Menikah dengan pria yang sangat dicintai dan juga mencintainya.
Mulai membayangkan bagaimana kehidupan berumah tangga nantinya. Bagaimana menjadi seorang istri yang baik dan penurut.
"Aku mencintaimu, istriku." ucap Aldo dalam bayangannya.
"Aku mencintaimu, suamiku." Jawab Tami dengan nada lembut.
"Haha, Aduh-duh maskerku!"
.
.
.
Tampak seorang pria menatap wanita cantik di hadapannya. Menatap dengan tatapan yang mendalam. Begitu pun sebaliknya, tatapan wanita itu pun begitu dalam.
"Siapa namamu?" tanya pria itu masih dengan tatapannya.
Wanita itu hanya menjawab dengan senyuman. Senyuman yang begitu manis, membuat hatinya terasa menghangat.
"Hmm," pria itu mengdehem tatkala wanita itu mengedipkan sebelah matanya. Wanita cantik itu menggodanya.
Perlahan pria itu mulai memajukan tubuhnya dan wanita itu malah mundur. Pria itu makin maju dan wanita itu makin mundur, bahkan sempat menjulurkan lidah meledeknya.
Pria yang jadi gemas sendiri itu pun menangkap dan memeluk wanita itu. Dan,
Gubrak,
"Aduh!" rintihnya memegangi keningnya yang terantuk lantai.
Pria itu membuka mata dan melihat sekitarnya. Mencari wanita cantik itu. Tapi di kamar itu hanya ada dia seorang.
'Apa aku bermimpi?' batinnya melihat jam dinding. Sudah pukul 1 malam ternyata.
Pria itu pun bangkit dan berjalan ke dapur. Ia mengambil segelas air dan menenggaknya hingga habis. Lalu memikirkan wanita dalam mimpinya.
Tidak pernah merasa mengenal wanita itu, tapi kenapa bisa masuk dalam mimpinya. Siapa dia?
Setelah minum, pria itu kembali ke kamarnya. Hari masih gelap, ia akan melanjutkan tidurnya kembali.
Tak lama,
"Kamu?" ucap pria itu melihat wanita cantik itu. Senang bisa melihatnya lagi.
Pria itu tampak berpikir, ia mimpi atau apa. Lalu mencubit pipi kanannya untuk memastikannya.
Deg,
Pipi kirinya malah dicubit wanita itu. Tidak ada terasa sakit, karena wanita itu mencubitnya dengan penuh senyuman.
"Siapa namamu?" tanya pria itu kembali. Sungguh ia ingin mengenal wanita itu. Mungkin ia sedang bermimpi lagi. Mimpinya yang tadi bersambung kembali. Harus menanyakan siapa nama wanita itu, alamat bahkan nomor ponselnya.
Wanita itu kembali tersenyum dan melambaikan tangan. Kini melangkah pergi meninggalkannya.
"Hei, kenapa kamu malah pergi?" tanya pria itu bingung. Masih mau kenalan ditinggal begitu saja.
"Hei, Cantik!" panggilnya lagi, tapi wanita itu terus melangkah.
"Tunggu!"
Pria itu pun mengejarnya. Ia tidak mau kehilangan wanita itu. Mencoba berlari dan terus berlari, meski langkahnya terasa sangat berat seperti ada beban di kakinya. Terus berusaha mengejar wanita itu. Dan,
Bruak!!!
"Astaga!!!" pria itu tergeletak di lantai kamarnya. Ia terjatuh lagi dari tempat tidur. Dua kali terjatuh karena bermimpi wanita itu.
'Kenapa aku bisa bermimpi seperti itu?' pria itu mengusap wajahnya, lalu perlahan bangkit.
Hari sudah terang, waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Ia membuka jendela, membiarkan cahaya menerangi kamarnya.
Berdiri di depan jendela, menatap pemandangan dari apartemen lantai 30 itu.
Pria itu menoleh saat ponsel berdering. Ia meraih dan menjawab panggilan tersebut.
"Dewa, kamu ke rumah ya." ucap seorang wanita dari seberang sana.
"Kenapa, Kak?" tanyanya sambil menguap. Ia masih mengantuk, seperti tidak tidur tadi malam. Mungkin karena mimpi itu.
"Pakaian seragammu sudah siap. Ambil kemari!"
"Kirim sa-"
"Dewa!!!" teriak wanita yang membuat Dewa menjauhkan ponsel dari telinganya.
"Iya. Aku ke rumahmu, Kak."
Setelah mengakhiri panggilan, Dewa melempar ponsel ke tempat tidurnya. Lalu ia pun berjalan ke kamar mandi. Membersihkan diri sejenak.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
Dengan bersiul-siul Dewa berjalan menuju mobilnya yang terparkir. Ia pun naik dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang membela jalanan.
Tak lama sampai ia di sebuah rumah. Di ruang makan itu tampak berisik sekali.
"Minggu depan pernikahanmu. Ingat itu, Aldo! Mama tidak mau terjadi sesuatu dengan pernikahan kalian!" ucap seorang wanita paruh baya mengingatkan putranya.
"Minggu depan Aldo nikahnya, Kak?" tanya Dewa pada Rona, sang kakak. Ia memang tahu ponakannya akan menikah. Ia mengira bulan depan ternyata minggu depan pernikahan itu.
Rona mendengus melihat sang adik. Dewa sibuk dengan dunianya sendiri.
"Maklum, Kak. Aku ini pria tampan yang sangat sibuk." ucapnya tanpa beban.
Rona dan Aldo menggeleng melihat ke arah Dewa. Pedenya kelewatan.
"Ponakanmu akan menikah. Kamu kapan akan menikah, Wa?" tanya Rona. Putranya akan melangkahi adiknya itu.
"Nantilah itu!" jawab Dewa tidak mau ambil pusing.
"Ma, Om Dewa saja belum menikah. Kenapa aku harus menikah duluan? padahal dia kan yang tua!" ucap Aldo dengan nada lemah. Ia menolak pernikahan itu tapi karena desakan, minggu depan ia harus menikahi wanita yang tidak ingin ia nikahi.
"Tu-tua? Kita sebaya ya, cuma beda bulan saja!" jelas Dewa tidak terima dibilang tua. Usianya dengan ponakannya sama saja. Ia hanya sebulan lebih tua.
Dewa dan Rona saudara kandung satu bapak lain mamak. Setelah mamanya Rona meninggal, suaminya menikah lagi dengan istri kedua dan lahirlah Dewa.
"Om Dewa," panggil Aldo melihat ke arah pria yang lebih tua sebulan darinya itu. Ia memanggil om karena kedudukan Dewa lebih tinggi dalam silsilah keluarga mereka.
"Om saja yang menikah dengan Kitty ya!" ucap Aldo. Kitty, wanita yang dijodohkan dan akan dinikahinya minggu depan.
"Aldo!!! Apa maksudmu?" bentak Rona tidak senang. Putranya akan menikah dengan Kitty minggu depan, kenapa malah menyuruh adiknya pula.
"Ma, aku tidak mencintai Kitty. Aku tidak yakin dengan pernikahan itu!" ucap Aldo menatap Mamanya, lalu ia menundukkan kepala. Mata Mamanya memelototi tajam, tidak menerima bantahan.
"Jangan bertingkahlah, Do! Kitty itu wanita baik dan sangat sesuai dengan kamu. Perasaan bisa muncul seiring berjalannya waktu, kamu sekarang hanya perlu menerimanya saja!" ucap Mama Rona memperjelas. Kitty, wanita pilihannya. Menantu yang sangat sesuai dan sempurna dengan segala kelebihan yang dimiliki.
Huft, Aldo membuang nafasnya dengan kasar. Selalu itu saja yang dikatakan mamanya. Padahal sudah sering ia menolak, tapi penolakannya seolah tiada berarti.
"Aldo!" panggil Rona saat melihat putranya berjalan menuju kamarnya, meninggalkan makan siang mereka.
"Aldo! awas kalau minggu depan ada masalah dengan pernikahanmu!" ancam Rona. "Mama tidak akan mau hidup lagi!"
"Kak Ron, tenanglah!" Dewa mengelus pundak sang kakak.
"Kakak terlalu memaksanya. Seharusnya biarkan saja Aldo memilih wanita yang akan-" ucapan Dewa terhenti saat sorot mata tajam Rona kini mengarah ke arahnya.
"Wanita seperti apa? Wanita miskin yang tidak berpendidikan! Aku tidak setuju!" ucap Rona sambil memijat pelipisnya.
Aldo dulu pernah mengatakan sedang dekat dengan seorang wanita. Wanita miskin yang tidak berpendidikan tinggi. Tidak memiliki keluarga, katanya orang tuanya sudah meninggal. Jelas Rona segera menolak dan memarahi putranya. Wanita seperti itu tidak layak jadi menantunya. Pasti hanya ingin memporoti anaknya saja.
Saat itu Aldo ingin membawa wanita itu dan memperkenalkan padanya. Dan saat itu juga Rona menolak mentah-mentah. Bahkan sempat mengancam. Jika berani membawa wanita itu, ia akan mempermalukan dan menyakiti wanita itu.
"Kak, jangan begitu-"
"Aku tidak setuju! Aku tidak akan setuju!" Rona menyela ucapan Dewa.
"Aku harus memperingatkan Aldo!" ucap Rona merapatkan giginya. Ia pun bangkit dan berjalan menuju kamar sang putra.
"Kak Rona!"
.
.
.
"Sampai jumpa di sana." ucap Aldo lalu mengakhiri panggilan. Ia berkali-kali membuang nafas dengan kasar.
Aldo dipaksa menikahi Kitty, wanita pilihan Mamanya. Padahal dia punya wanita lain yang sangat dicintainya.
Dia dihadapkan pada dua pilihan. Mamanya atau wanita yang dicintainya? Sungguh, mereka berdua bukan pilihan. Ia ingin keduanya.
Tok... Tok... Tok... Pintu diketuk dengan kuat.
"Aldo! Buka pintunya! Mama mau bicara sama kamu!" teriak Mamanya sambil menggedori pintu kamar.
"Minggu depan kamu menikah, Aldo! Jangan buat masalah!" masih merepet sambil mengetuk.
"Aldo, segera kamu tinggalkan wanita itu! Jika tidak, lebih baik Mama mati saja!" ancamnya.
"Kak Ron, tenanglah!" Dewa berusaha menenangkan kakaknya yang marah-marah.
Aldo pun membuka pintu kamar, ia melihat keduanya sejenak. Lalu berlalu pergi.
"Mau ke mana kamu, Do?" tanya Rona dengan suara yang meninggi.
"Cari angin, Ma." jawab Aldo sekenanya.
"Aldo!" Rona memegang kepalanya yang mendadak sakit. Pusing mengatur putra semata wayangnya itu yang mulai bertingkah.
\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=\=
'Aduh, cantiknya aku ini!' batin Tami melihat dirinya dalam pantulan cermin.
Wajah sudah dimake up, rambut digerai, tidak lupa juga menyemprotkan parfum agar wangi semerbak.
Tami membuang nafasnya berkali-kali, lalu berolah raga muka. Menormalkan wajahnya yang dari tadi senyam senyum tidak jelas. Menunjukkan wajah biasa, tapi sesaat kemudian senyam senyum lagi.
"Ok, perfect! Mari meluncur!" ucap Tami. Waktunya bertemu sang pujaan hati.
Dengan bersenandung kecil, Tami pun melangkah pergi. Keluar dari kost-an dan tidak lupa mengunci pintu.
"Selamat sore, Bu." sapa Tami saat berpapasan dengan sang ibu kost.
"Sore. Mau ke mana?" tanya ibu kost dengan nada lembut.
"Jalan-jalan sore, Bu." jawab Tami dengan senyuman lebarnya. Saat ini ia tidak bisa memasang wajah biasa saja, karena hatinya senang dan bahagia.
Ibu kost mengangguk mengerti. Pasti mau bertemu kekasih hati, makanya bawanya senyum terus. 'Gelora jiwa muda!'
Tami berjalan menuju depan gang. Ia melewati beberapa orang, menyapa mereka sekilas. Padahal tidak terlalu kenal, tapi disapanya saja.
Sampai di depan gang, Tami pun naik angkot yang lewat. Kebetulan tempat bertemu mereka dilalui angkot itu. Lumayan ongkosnya lebih irit.
Sampai di pintu masuk kafe, Tami mengedarkan pandangannya. Mencari kekasih tercintanya. Katanya ia sudah sampai.
"Tami," panggil seseorang dari belakangnya.
Tami menoleh ke belakang, wajahnya tersenyum melihat pria itu.
Deg, Hati Aldo berdesir. Hari ini Tami sangat cantik. Berbeda dari biasanya. Wajah bahkan senyumannya membuat terpukau.
"Mas." panggil Tami. Aldo malah melamun menatap dirinya, pasti terpesona padanya.
"Ayo!" Aldo pun tersenyum dan menggenggam tangan Tami. Membawa wanita itu ke mejanya.
"Kamu naik apa tadi?" tanya Aldo setelah mereka berdua duduk saling berhadapan.
"Naik angkot, Mas." jawab Tami.
Aldo mengangguk dan mereka pun memesan makanan.
Selama makan mereka saling diam. Aldo berkali-kali menatap Tami dan saat Tami melihatnya, ia mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Mas, pelan-pelan makannya." ucap Tami sambil mengelap sudut mulut Aldo. Ada makanan yang menempel di sana.
Aldo diam dengan perlakuan Tami. Kekasihnya itu sangat perhatian sekali.
'Kenapa Mas Aldo belum melamarku?' batin Tami mulai gelisah
Mereka sudah selesai makan, tapi Aldo masih duduk. Tidak bergeser dari kursinya. Apa dari posisi itu saja mau melamarnya?
Aldo mengdehem sejenak. Lalu ia menatap Tami.
Deg,
Jantung Tami tidak bisa dikondisikan melihat tatapan Aldo. Pasti ini waktunya. Waktunya Aldo melamarnya.
"Tami, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu." ucap Aldo dengan nada serius. Ia harus mempertegas semuanya.
Deg... Deg... duh kan, makin berdebar tidak menentu.
"Katakan saja, Mas." jawab Tami dengan mengulum senyumannya. Aldo buat gemas, mau melamar saja buat berdebar-debar dulu.
"Kita-" Aldo menghembuskan nafasnya dengan kasar. Susah sekali mengatakannya.
Tami masih menunggu perkataan Aldo selanjutnya. Suasananya sekarang sangat mendebarkan.
"Kita-, kita akhiri saja hubungan ini." ucap Aldo akhirnya. Ia harus menuruti sang Mama. Menikah dan menerima Kitty.
Jedder,
Tami terkejut bukan main mendengar apa yang baru saja Aldo katakan. Pria itu bukan akan mengatakan menikahlah denganku, melainkan mengakhiri hubungan. Ini tidak seperti yang dibayangkannya.
"Ka-kamu becanda ya, Mas?" tanya Tami jadi terkekeh pelan. Tidak percaya Aldo mengakhiri hubungan begitu saja. Pasti pria itu sedang mengerjainya sebelum memberikan kejutan yang sebenarnya.
"Maafkan aku, Tam. Aku tidak bisa meneruskan hubungan kita. Aku ingin mengakhiri semua ini!" Aldo memperjelas perkataannya lagi. Tami mengira ia becanda. Padahal apa yang dikatakannya sangatlah serius.
"Mas, ada apa? Selama ini kita baik-baik saja! Ke-kenapa tiba-tiba bicara seperti itu?" tanya Tami berusaha menahan air matanya. Aldo bernar-benar serius ingin mereka berakhir.
"Maafkan aku."
"Mas, kamu bilang akan mencintaiku selamanya." Tami mengatakan ucapan yang dia pegang sampai sekarang. Ucapan yang seperti janji manis itu.
"Maafkan aku, Tam. Aku sudah salah."
"Sa-salah?" tanya Tami bingung.
"Perasaanku padamu selama ini salah. Aku tidak pernah mencintaimu dan lupakanlah pria seperti aku!" ucap Aldo. Ia tidak bisa terus bersama Tami, itu hanya akan menyakiti wanita itu. Ia akan menikah minggu depan, jika tetap bertahan dalam hubungan ini. Tami bisa dicap sebagai pelakor.
"Mas Aldo," Air mata itu pun jebol juga membasahi pipi. Perasaan Aldo selama ini padanya salah.
"Tam, aku tidak pernah mencintaimu. Aku hanya iseng saja menjalani hubungan denganmu dan kamu, bukan wanita yang kuinginkan untuk menjadi istriku!" Aldo mengucapkan kata-kata itu. Ia tahu itu kejam, tapi dengan begitu Tami akan membenci lalu segera melupakannya.
"Ti-tidak!" Tami menggeleng tidak percaya. Aldo berubah, apa salah minum obat.
"Jika aku mencintaimu, pasti aku akan memperjelas hubungan kita. Tidak mungkin kubiarkan selama 5 tahun ini, hubungan kita tidak berkembang!"
Deg,
Jadi selama ini Aldo tidak pernah membahas pernikahan, karena pria itu dari awal memang tidak ingin menikahinya.
"Minggu depan aku akan menikah. Aku akan menikah dengan wanitaku."
Nyut, Nyut, terasa hati Tami berdenyut nyeri mendengar pengakuan Aldo.
"Jangan pernah mencari atau mengharapkanku lagi, Tami. Jika kita tidak sengaja bertemu, berpura-puralah tidak mengenalku!" Aldo bangkit dari duduknya. Ia merasa sudah cukup mengatakan semua.
"Aku pergi." Aldo menepuk pundak Tami pelan. Ia menatap sesaat wajah bersimbah air mata. Ia sudah menyakiti Tami.
"Mas!" panggil Tami menahan tangan Aldo. Mereka tidak bisa berakhir begitu saja.
"Mas, ki-kita bisa bicara baik-baik. Jika aku bersalah padamu, aku minta maaf. Jangan akhiri hubungan kita!" mohon Tami. Ia sangat mencintai pria itu.
"Maafkan aku, Tam. Aku tidak mencintaimu." Aldo melepas pegangan tangan Tami. Lalu melangkah pergi.
Aldo terus melangkah, tidak peduli wanita yang telah mewarnai hari-harinya 5 tahun itu memanggilnya.
"Mas,"
"Mas Aldo,"
"Mas Aldo,"
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!