Bagaikan pantai yang tenang, namun gemuruh ombak terdengar. Hembusan angin yang menerpa wajah, membuat seluruh tubuh terasa dingin. Semua kehangatan dalam hidupnya hilang. Menjadikan dia hanya seperti pantai yang kesepian.
Inilah kisah seorang wanita yang berjuang dalam hidupnya dan hanya menyembunyikan lukanya. Anara Malika, biasa di panggil Nara. Wanita berusia 25 tahun ini, harus gagal dalam segala hal.
Berada dalam keluarga yang kacau, Ibunya meninggal saat melahirkan adiknya. Hal yang membuat Ayahnya sendiri menyalahkan adiknya dan membencinya. Dia yang terpaksa berpura-pura untuk tidak menyayangi adiknya, hanya karena tidak mau dia terus terkena siksaan dari Ibu tirinya. Wanita yang dinikahi Ayahnya sejak satu tahun Ibunya meninggal. Karena Ayah yang tidak suka dengan adiknya, maka wanita yang menjadi istri Ayah pun ikut tidak suka dengannya.
Nara pernah ingin membantu adiknya, tapi apa yang dia lakukan malah semakin membuat Ibu tirinya menyiksa adiknya. Hal ini yang membuat Nara untuk bersikap dingin dan cuek pada adiknya sendiri. Seolah dia tidak peduli padanya dan malah mendukung perlakuan Ibu tirinya.
Sejujurnya, Nara selalu merasa sedih saat melihat adiknya seorang diri dan kesepian. Ingin sekali dia memeluknya dan membawa dia pergi dari rumah itu. Namun, semuanya tidak bisa dia lakukan karena melihat bagaimana Ayahnya saja tidak pernah peduli padanya.
Ketika mendengar adiknya pergi dari rumah dan memutuskan untuk bekerja. Nara senang, setidaknya dia juga sudah membuat adiknya tidak pernah merasa betah di dalam rumah hingga memutuskan untuk pergi. Setidaknya dia akan lebih bahagia diluar sana. Namun semuanya masih belum selesai bagi Nara. Ujian dalam hidup seolah tak bisa berhenti.
Saat itu, hujan deras mengguyur Ibu kota. Nara terdiam di depan sebuah mobil yang terparkir di depan sebuah Villa. Ketika dia sedang ada perjalanan bisnis dengan Atasannya. Kaca jendela yang terbuka, memperlihatkan jelas apa yang sedang dilakukan suaminya. Berciuman dengan wanita lain yang ternyata adalah sahabatnya sendiri.
Pernikahan yang baru berjalan beberapa bulan ini, ternyata memang harus kandas secepat ini. Kehidupan Nara benar-benar hancur sejak saat itu. Bukan hanya dari keadaan keluarga yang kacau, namun juga dari pernikahannya yang hancur.
Baiklah, setelah perceraian selesai. Nara hanya bisa melanjutkan pekerjaan. Dia fokus pada kariernya. Menjadi seorang Sekretaris CEO dalam sebuah perusahaan besar. Dia menjalani pekerjaannya dengan baik.
"Apa aku akan percaya dengan sebuah pernikahan lagi?"
Pertanyaan entah pada siapa, yang jelas hanya terdengar gemuruh ombak dan hembusan angin. Semuanya membuat dia trauma, hingga sangat sulit untuk bisa percaya lagi pada setiap laki-laki dan juga pernikahan.
"Hanya sendirian?"
Nara langsung menoleh pada seorang pria yang tiba-tiba datang dan berdiri di sampingnya. Nara tidak mengenal pria itu, membuat dia juga tidak menjawab pertanyaannya yang terkesan hanya sebuah basa-basi saja.
"Mau bersenang-senang denganku? Sepertinya kau juga sedang banyak masalah"
Nara langsung mengerutkan keningnya dengan tajam. Menatap pria itu dengan tidak percaya atas ucapannya barusan. "Maaf, aku ada urusan lain. Kalau mau bersenang-senang, carilah orang yang tepat"
Saat Nara sudah ingin pergi, namun tangannya di cekal oleh pria itu. Membuat Nara menatapnya dengan bingung. Dia mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman pria itu, namun tidak bisa karena cengkramannya terlalu kuat.
"Ada pesta meriah di Villaku, ayo ikut aku pergi kesana dan menikmati pesta untuk melupakan semua masalah di kehidupan yang rumit ini"
Nara kembali mengerutkan keningnya dengan tajam. Merasa heran dengan pria ini yang begitu memaksanya untuk ikut dengannya. Namun di saat situasi Nara yang sedang kalut saat ini, membuat dia mengangguk saja dan akhirnya ikut ke pesta itu.
Sebuah pesta dengan beberapa pria tampan yang terlihat kaya dan juga beberapa wanita panggilan. Nara menatap pria disampingnya, dia merasa yakin kalau pria disampingnya juga pemain wanita. Membuat penilaian Nara terhadap setiap pria sama saja.
Tidak ada pria yang benar-benar baik sepertinya.
Nara menghembuskan nafas pelan, lampu disko dan musik yang terasa memekakkan telinga membuat Nara merasa berada di dalam tempat hiburan malam saat ini. Padahal nyatanya ini hanya berada di sebuah Villa.
"Kau bisa minum?"
Nara tahu minum yang dimaksud pria itu adalah minuman beralkohol. Nara mengangguk saja, meski sebenarnya dia belum pernah meminum minuman itu. Tapi saat ini dia hanya ingin mencoba apa yang belum pernah dia coba. Nara hanya ingin melupakan semua kekalutan dalam hidupnya.
Mereka duduk di sebuah sofa, dengan jenis minuman beralkohol yang berada di atas meja. Pria itu menuangkannya untuk Nara, dan untuk pertama kalinya dia mencoba minuman ini. Rasa panas dan sedikit pahit langsung terasa membakar tenggorokannya. Hanya saja membuatnya merasa tidak bisa berhenti minum. Sampai dia menghabiskan beberapa gelas dan akhirnya dia jadi mabuk berat.
"Ternyata kau juga kuat minum ya? Ayo aku bantu kau ke kamar"
Pria itu yang sama-sama mabuk memapah tubuh Nara ke dalam kamar di Villanya. Dia tersenyum pada teman-temannya yang sedang asyik dengan wanita di pangkuannya.
Berjalan dengan sempoyongan dan sesekali terhuyung karena pengaruh mabuk yang membuat keduanya tidak bisa jelas melihat. Saat pintu kamar terbuka, Nara langsung jatuh ke atas tempat tidur. Dia membuka kancing kemeja yang di pakainya karena merasa panas.
Pria yang berdiri di dekat tempat tidur itu tersenyum melihat apa yang Nara lakukan. "Mari kita lakukan"
Pria itu berada di atas tubuh Nara, membuka bajunya dengan kasar dan membuangnya ke sembarang arah. Lalu dia membuka semua kancing kemeja yang dipakai oleh Nara. Tubuh putih bersih langsung terlihat.
"Malam ini akan menjadi malam indah untuk kita berdua" bisiknya di telinga Nara.
Sebenarnya Nara antara sadar dan tidak sadar. Padahal dia ingin sekali menolaknya, namun sepertinya karena pengaruh dari mabuk membuat dia malah menerima semua perlakuan dari pria asing yang bahkan belum dia ketahui namanya.
Kecupan demi kecupan yang diberikan pria itu, membuat Nara mende*sah tanpa sadar. Dia mulai menikmati setiap sentuhan yang diberikan pria itu. Mungkin memang karena dia yang belum lama bercerai dan akhirnya bertemu dengan pria ini. Seolah ingin melampiaskan saja, karena suaminya yang bahkan bisa berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
"Kau puas denganku?"
Nara mengangguk, dia terus mengeluarkan des*ahan saat pria itu melakukannya. Dan keduanya benar-benar tidak ingat waktu dan menghabiskan malam di dalam kamar ini.
Nara seolah tidak berpikir lagi dengan akibatnya. Dia hanya ingin menikmati saat ini dan melupakannya di keesokan hari. Begitu pun dengan pria itu, yang mempunyai tujuan yang sama.
"Lupakan aku setelah ini" ucap pria itu.
Nara mengangguk, dia meraih tengkuk leher pria itu dan mencium bibirnya dengan penuh gairah.
"Aku akan melupakanmu dan kau juga harus melupakan aku"
Malam ini keduanya hanya saling berbagi kepuasan saja. Dan berniat akan melupakan satu sama lain keesokan harinya.
Bersambung
Cahaya matahari mulai masuk melalui jendela kamar, terasa menyilaukan bagi seseorang yang baru bangun dari tidurnya. Sepertinya hari sudah bukan pagi lagi, namun sudah hampir menjelang siang.
Nara memegang kepalanya yang terasa sakit dan begitu berat, mungkin karena semalam dia terlalu banyak minum. Dia perlahan terbangun dari tidurnya, duduk bersandar di atas tempat tidur. Nara masih mencoba mengingat kembali apa yang telah terjadi semalam. Dan semua potongan-potongan kejadian semalam terlintas dalam ingatannya seperti sebuah kaset rusak yang berputar di kepalanya.
"Ah sial, kenapa aku melakukan itu?"
Nara memukul kepalanya sendiri, merasa jika dirinya sangat bodoh saat ini. Bagaimana bisa dia melakukan hal sejauh itu dengan pria asing yang bahkan tidak dia kenal. Namun semuanya sudah terjadi, tidak mungkin juga jika Nara mengulang waktu.
"Kau sudah bangun?"
Suara berat itu membuat Nara langsung menoleh, dia sedikit kaget saat melihat pria semalam yang keluar dari kamar mandi dengan menggunakan handuk saja yang melilit di pinggangnya. Membuat dia langsung memalingkan wajahnya karena merasa malu sendiri, apalagi ketika wajahnya sudah terasa memanas.
Pria gagah itu hanya tersenyum melihat Nara yang seperti itu. Dia segera memakai baju, tanpa malu sedikit pun saat memakai pakaian di depan Nara.
Sementara Nara segera turun dari tempat tidur dengan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Dia memungut pakaiannya di atas lantai dan segera berlalu ke kamar mandi tanpa melirik sedikit pun pada pria semalam.
Pria itu hanya menggeleng pelan sambil mengancingkan kemejanya. "Kenapa sekarang dia terlihat malu-malu, bukannya semalam sangat liar"
Dia memilih untuk menunggu di sofa, melihat bagaimana reaksi wanita yang telah menghabiskan malam bersama dengannya. Dan ketika suara pintu terbuka, dia langsung menoleh. Dia melihat Nara yang keluar sudah menggunakan pakaiannya. Hanya memperhatikan apa yang Nara lakukan. Nara terlihat mengambil tasnya dan berjalan menghampirinya.
"Lupakan aku setelah ini, kita tidak perlu merasa saling kenal jika suatu hari bertemu lagi. Anggap saja pertemuan ini tidak pernah terjadi"
Pria itu tertegun mendengar ucapan Nara barusan. Biasanya semua wanita yang sempat dia tiduri, maka akan meminta uang atau sejenisnya sebelum pergi. Tapi Nara malah berkata seperti itu. Dia menatap punggungnya yang berjalan menuju pintu kamar.
"Sepertinya dia bukan wanita biasa"
Sementara Nara yang keluar dari dalam kamar itu, sedikit terdiam saat tidak sengaja bertemu dengan pria yang semalam juga ada di pesta itu.
"Waw, sudah selesai melakukan tugasmu? Bagaimana? Temanku itu sangat gagah ya?" ucapnya sambil terkekeh.
Nara hanya menatapnya tanpa mengatakan apapun. Dia langsung berlalu pergi meninggalkan pria itu. Membuatnya sedikit heran dengan sikapnya itu.
"Wah, cukup menarik juga"
*
Nara kembali ke hotel tempat dia tinggal selama berlibur di sini. Nara menjatuhkan tubuh di atas tempat tidur, menghembuskan nafas pelan. Bayang-bayang semalam kembali terlintas dalam ingatannya.
"Anara, kenapa kamu bodoh sekali sampai melakukan itu!" teriaknya seorang diri.
Nara memejamkan matanya, bagaimana kejadian hari ini cukup membuatnya lelah dan terkejut. Tidak sadar dengan dirinya sendiri kenapa bisa melakukan itu.
Dirinya berniat liburan untuk menghilangkan penat atas semua pekerjaan. Tapi malah terjadi seperti ini. Bagaimana bisa dia melupakan tentang kejadian semalam.
"Nara, kamu bodoh!"
Bingung harus melakukan apalagi, membuat Nara berlalu ke kamar mandi dan memilih untuk berendam di bak mandi. Memikirkan tentang kejadian semalam, membuat dia malu sendiri dengan dirinya.
"Sudahlah lupakan saja dia, lagian aku juga tidak tahu siapa namanya. Jadi tidak perlu memikirkannya. Lagian aku mana mungkin bertemu lagi dengannya"
Setelah mandi, Nara tidak pergi kemana pun. Hanya berdiam diri di dalam hotel. Dia tidak mau memikirkan tentang kejadian semalam lagi. Kalau sampai dia kembali ke Pantai, dan tiba-tiba bertemu lagi dengan pria itu. Pastinya bukan hal baik.
"Sepertinya aku harus segera pulang"
Akhirnya malam ini juga Nara memilih untuk kembali dari liburannya hari ini juga. Karena dia tidak mau kalau sampai bertemu lagi dengan pria itu. Meski sebenarnya dia malas untuk kembali ke rumahnya. Dia harus berusaha memasang wajah tersenyum saat melihat keluarganya yang bahagia, sementara adiknya terasingkan entah dimana.
"Kak Nara, sudah pulang" teriak adik bungsunya. Dia baru saja kelas tiga sekolah menengah pertama. Nara tersenyum dan langsung memeluknya.
"Kamu sekolah yang baik 'kan? Bagaimana dengan PR, bisa mengerjakannya?" tanya Nara.
Gina mengangguk, dia selalu dekat dengan Kakaknya yang ini. Karena Ibunya sejak kecil selalu melarang dirinya dekat dengan Nayra.
"Semuanya baik Kak, aku merindukan Kakak. Kenapa lama banget pulang" ucap Gina.
Nara hanya tersenyum saja, dia mengelus kepala adiknya dengan gemas. "Kan Kakak sedang berlibur agar tidak penat dengan pekerjaan di Kantor"
"Nara, akhirnya kamu pulang juga. Tapi bukannya masih ada dua hari lagi untuk jatah berlibur kamu?" tanya Ayah.
Nara tersenyum, dia menghampiri orang tuanya. Menyalami keduanya. "Aku bosan saja disana, lagian ada pekerjaan yang harus di periksa juga hari ini. Jadi pulang cepat, yang penting bisa liburan sebentar"
"Yaudah, sebaiknya sekarang kamu istirahat Nar" ucap Ibu.
Nara mengagguk, dia segera ke kamarnya dengan membawa kopernya. Saat masuk ke dalam kamar, dia menghembuskan nafas kasar. Melihat keluarganya yang begitu harmonis, malah membuatnya terasa sedih. Bagaimana adiknya yang bahkan tidak mempunyai kesempatan untuk mendapatkan perlakuan baik dari keluarganya sendiri.
Nara meraih figura foto Ibunya yang selalu berada di atas nakas. Menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Maafkan aku Bu, aku belum bisa menjaga Nayra. Ayah salah, bagaimana dia bisa membenci anaknya sendiri karena kematian Ibu. Padahal semuanya bukan salah Nayra"
Semuanya memang berubah sejak Ibunya meninggal saat melahirkan Nayra, adiknya. Ayahnya yang bahkan tidak mau merawat Nayra, sejak bayi dia hanya di rawat oleh pengasuh. Hingga kedatangan Ibu tirinya yang membuat Ayah merasa terselamatkan di saat dia sedang terpuruk karena kepergian istrinya. Dan setelah itu, Ayahnya semakin tidak peduli pada Nayra.
"Nara harus bagaimana, Bu? Nara capek jika harus terus memperlihatkan wajah bahagia di depan semuanya, tapi aku juga ingin menyayangi Nayra. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang keluarga yang sebenarnya"
Tangisan Nara pecah begitu saja, hanya di kamar ini dia bisa meluapkan semua kesedihannya. Bagaimana dia yang tidak punya kesempatan untuk menyayangi adiknya. Untuk memberikan hadiah ulang tahunnya saja, dia harus bersembunyi dari orang tuanya. Sungguh Nara merasa jika dia bukanlah seorang Kakak yang baik dan adil pada adik-adiknya.
"Aku seperti berjalan di atas serpihan kaca. Membuat aku terluka dan sakit, tapi aku tidak bisa menghindarinya, Bu"
Tangisan yang belum berhenti juga.
Bersambung
Setelah pulang liburan, hanya dua hari berada di rumah dan Nara hanya berdiam diri di rumah dengan menyelesaikan beberapa pekerjaan yang tertunda. Hari ini adalah hari pertama dia bekerja lagi setelah mengambil cuti liburannya.
Nara bekerja sebagai Sekretaris pemilik Perusahaan ini. Dia termasuk orang yang bisa diandalkan untuk beberapa pekerjaan. Seperti tentang dia mengatur semua jadwalnya dan juga dia yang mengatur semua pertemuan penting untuk Bosnya ini.
"Nara, masuk ke ruangan saya sebentar"
"Baik Pak"
Nara menyimpan kembali telepon seluler di atas mejanya. Lalu segera masuk ke dalam ruangan Bosnya, dia baru datang dan belum bertemu dengan Bosnya karena sedang mengatur pertemuannya dengan beberapa klien penting. Namun, saat dia masuk ke dalam ruangan Bosnya, dia terdiam saat melihat seorang pria yang duduk di sofa.
Tuhan apa ini? Kenapa dia bisa berada disini?
Nara mengerjap pelan, takut jika penglihatannya yang salah. Namun jelas dia tidak mungkin salah melihat saat ini. Kejadian itu hanya terjadi tiga hari yang lalu. Jelas, Nara masih mengingat wajahnya.
"Anara, kenapa kamu malah bengong di sana?"
Nara langsung mengerjap kaget, dia segera berjalan ke arah meja kerja Bosnya. Sementara pria yang tadinya sedang fokus pada sebuah map di tangannya, langsung mendongak saat mendengar Ayahnya memanggil Nara. Dia menatap Nara dengan tatapan penuh arti.
"Semua jadwal Bapak hari ini adalah..."
"Aku memanggilmu bukan untuk itu, sekarang kau berikan jadwalku padanya" tunjuk Pak Edgar pada pria yang duduk di sofa.
Nara langsung mengerjap kaget, bahkan dia sengaja untuk menghindari bertatapan dengan pria itu. Tapi Bosnya ini malah sengaja membuatnya berbicara dengan pria itu.
"Maaf Pak?" ucap Nara yang masih kebingungan dan belum merasa jelas dengan ucapan Pak Edgar barusan.
"Dia adalah Putraku, sekarang dia sudah harus mulai mempelajari semua tentang Perusahaan. Karena dia akan segera menggantikanku. Jadi untuk jadwal hari ini, kamu berikan saja pada dia. Biarkan dia mengetahui semua rekan bisnis kita" jelas Pak Edgar.
Nara terdiam dengan terkejut atas ucapan Pak Edgar barusan. Dia tidak salah dengar 'kan? Jelas Pak Edgar mengatakan kalau pria yang duduk di sofa itu adalah anaknya. Sungguh rasanya Nara ingin untuk menghilang saja saat ini.
"Tapi Pak, kenapa saya? Lagian klien kita itu bekerjasama dengan Bapak, apa bisa di gantikan?" Ayo Nara, mencoba untuk mencari alasan yang tepat.
Pak Eedgar tersenyum. "Kamu tahu kalau aku begitu percaya padamu. Pastinya kamu akan bisa membimbing dia untuk memimpin Perusahaan ini dengan baik. Urusan para klien, kamu tinggal bilang kalau Zayyan ini adalah anakku"
Nara terdiam, dia menghela nafas panjang karena jelas dia tidak akan bisa menolak lagi saat ini. Sekarang bahkan dirinya saja tidak mengerti harus melakukan apa, tidak ada yang bisa dia lakukan sekarang. Bosnya saja sudah mengambil keputusan, jadi tidak mungkin juga Nara akan membantahnya.
"Sekarang kamu urus dia, saya ada liburan dengan istri saya selama satu bulan. Jadi dia yang akan menanggung jawab semua pekerjaan saya"
Ah, jika sudah seperti ini, Nara benar-benar tidak bisa menolak lagi sekarang. Sudah pasti kalau Pak Edgar memang merencanakan semuanya sejak awal. Tapi kenapa harus dia? Kenapa harus pria itu? Ah, rasanya Nara ingin berteriak kesal saat ini.
"Pak, saya tidak yakin bisa bekerja dengan baik seperti saya sama Bapak" ucap Nara dengan wajah memohon agar Bosnya membatalkan semua ini.
Pak Edgar berdiri dari duduknya, dia mengancingkan kancing jasnya lalu menghampiri Nara yang sejak tadi berdiri di depan meja kerja. Pak Edgar menepuk bahu Nara.
"Kamu pasti bisa, lagian kemarin sudah liburan selama satu minggu. Sekarang pasti sudah terkumpul semua tenaga baru. Dan sekarang giliran saya yang liburan" ucapnya sambil terkekeh.
Nara hanya tersenyum masam dengan ucapan Pak Edgar barusan. Tentu saja dirinya sudah tidak bisa menolak lagi. Bahunya langsung lemas begitu saja.
"Zayyan, sini kamu!" ucap Pak Edgar sambil melambaikan tangannya pada anaknya itu.
Zayyan yang sejak tadi hanya diam dan menyimak percakapan diantara keduanya itu, lalu langsung berdiri ketika Ayahnya menyuruhnya untuk menghampiri mereka. Tatapan Zayyan yang begitu tajam menusuk, selalu tertuju pada Nara. Sebenarnya dia juga tidak pernah mengerti kenapa bisa bertemu lagi dengan wanita ini. Namun, Zayyan cukup senang juga, meski dia tidak tahu kenapa dirinya bisa merasa senang seperti ini.
"Ini adalah anakku, Arya Zayyan Sugarda. Kamu panggil dia Zayyan saja" ucap Pak Edgar memperkenalkan anaknya.
Nara menghembuskan nafas pelan, masih tidak percaya dengan takdir seperti ini. Lalu dia mengangguk dengan hormat pada Zayyan.
"Saya Nara, Pak Zayyan"
"Mulai sekarang, kamu bekerja dengan dia, Zay. Dia adalah Sekretaris andalan Papa. Namanya Anara Malika" ucap Pak Edgar.
Zayyan tersenyum dengan terus menatap Nara, jelas dari tatapannya itu seolah menyimpan sebuah arti yang besar. Zayyan mengulurkan tangannya pada Nara untuk berjabat tangan dan berkenalan.
"Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik"
Nara menatap tangan Zayyan yang terulur padanya, hanya bisa menghela nafas pelan dan perlahan menjabatnya meski sedikit ragu.
"Iya Pak"
Pak Edgar tersenyum, dia merasa kalau kali ini anaknya akan benar-benar serius belajar akan bisnis dan menjadi pemimpin Perusahaan ini.
"Baiklah, kalau begitu semuanya aku serahkan pada kalian berdua. Zayyan, Papa pergi dulu" ucap Pak Edgar sambil menepuk bahu anaknya.
Zayyan mengangguk dengan hormat. "Baik Pa, selamat bersenang-senang dengan liburanmu dan Mama"
Setelah Pak Edgar keluar dari ruangan ini, Zayyan langsung duduk di kursi yang tadi diduduki oleh Ayahnya. Menatap Nara yang berdiri di depannya.
"Jadi, apa saja jadwalku hari ini?" tanya Zayyan.
Nara memejamkan matanya pelan, dia berbalik badan dan menatap Zayya sekilas. Lalu dia menyebutkan beberapa jadwal pekerjaan Zayyan hari ini. Kali ini dia sedang berada di mode serius dalam pekerjaannya.
Zayyan mengangguk mengerti atas penjelasan Nara barusan. "Bahan meeting yang harus aku pelajari sebelum meeting, yang mana?"
Nara memberikan ipad di tangannya dan memperlihatkan bahan meeting yang akan nanti di bahas di meeting pertama hari ini.
"Kalau begitu aku pelajari ini dulu" ucap Zayyan.
Nara mengangguk. "Meetingnya masih berlangsung setengah jam lagi. Kalau begitu saya permisi keluar dulu, Pak"
Melihat Zayyan yang hanya mengangguk saja, membuat Nara segera keluar dari ruangan itu. Dia kembali ke meja kerjanya dan memegang dadanya dengan tangan bergetar. Dia menjatuhkan kepalanya di meja kerja dengan menjerit tanpa suara.
"Kenapa harus bertemu dengan dia lagi?"
Nara mengerjap pelan, lalu dia kembali menegakkan tubuhnya. "Sepertinya dia juga tidak ingat dengan aku. Buktinya barusan saat kita berdua saja, dia sama sekali tidak membahasnya. Ah iya, dia pasti sudah sering bermalam dengan banyak wanita. Jadi pasti akan mudah lupa"
Nara tersenyum sendiri, dia mengingat ucapan Zayyan saat malam itu. Bagaimana dia yang meminta Nara untuk melupakannya setelah kejadian malam itu. Jadi, sekarang Nara sudah tidak perlu merasa takut lagi, karena Zayyan pasti melupakan semuanya.
Bersambung
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!