"Pengkhianat....."
Teriakan marah itu bergema di salah satu jalanan ibukota, menarik perhatian orang yang berlalu lalang. Sesekali orang akan menoleh dan berbisik-bisik, tetapi Dara tidak peduli. Ia hanya ingin memaki laki-laki tak tahu diri di depannya ini. Beraninya dia! Dara bisa merasakan darahnya mendidih di kepalanya.
Tak cukup dengan itu, Dara menarik kerah lelaki itu lalu menamparnya.
"Plakkk.." suara tamparan berbunyi meninggalkan bekas kemerahan di pipi pemuda berkemeja biru muda itu. Ia bahkan sampai menoleh ke kiri karena saking kuatnya tamparan itu.
Tangan Dara gemetar hebat entah karena kesedihan atau kemarahan atas pengkhianatannya. Mereka akan menikah tiga hari lagi dan ia juga sudah menyebar undangan di seluruh penjuru ibukota. Ia bisa membayangkan bahwa semua orang akan menertawakannya setelah kejadian ini terungkap.
Umurnya tak muda lagi dan itu udah mencapai usia dua puluh tujuh tahun. Teman-teman seusianya bahkan sudah ada yang menikah dan mempunyai anak.
Mereka sudah berpacaran semenjak kuliah dan hubungan mereka selalu harmonis. Walaupun terkadang di selingi pertengkaran kecil, ia masih bisa mengatasinya. Tidak ada yang menyangka laki-laki yang sudah bersamanya selama tujuh tahun ini ternyata mengkhianatinya. Sakit, marah, sedih, semuanya bercampur menjadi satu.
Ternyata semua pengorbanan dan kerja kerasnya selama ini sia-sia. Mereka berdua bahkan sudah membeli apartemen untuk pernikahan mereka.
Dara sudah menunggu selama tiga tahun supaya Arzan menikahinya. Bahkan ia sering memberi kode tapi Arzan selalu saja tak menanggapinya. Ia juga sering mengajukan pertanyaan beberapa kali seputar pernikahan, tapi Arzan hanya menjawab bahwa keuangannya belum cukup stabil dan ia juga belum naik jabatan.
Dara akhirnya menyerah dan ia tidak berani menyinggungnya lagi. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia masih berharap Arzan peka terhadap keinginannya.
Bukannya ia ingin memaksakan kehendaknya terhadap Arzan, tapi ia juga dipaksa dengan keadaan. Ia hanya ingin cepat-cepat pindah dari rumahnya sesegera mungkin.
Ia dan saudari tirinya selalu bertengkar dan mereka tidak cocok dari segi manapun. Walaupun terkadang ayahnya menengahi mereka, tapi Dara merasa ayahnya lebih condong terhadap saudara tirinya. Ia merasa tidak nyaman. Walaupun seringkali ia membuat alasan ingin pindah, ayahnya selalu tidak menyetujuinya.
Ia tak berani membantah karena ayahnya mempunyai riwayat penyakit jantung. Ia tidak ingin penyakit ayahnya kambuh hanya karena kekeraskepalaannya. Karena itulah, ia hanya bisa bertahan walaupun rasa jengkelnya sudah setinggi langit.
Tidak pernah sekalipun ia merasakan kehangatan di rumah itu, setelah ibunya meninggal dan ayahnya menikah lagi dengan ibu tirinya. Semenjak itu sikap ayahnya suam-suam kuku dan membuat ia merasa sedih. Pernah terlintas di pikirannya untuk kabur dari rumah, tapi dari segi materi ternyata ia belum mencukupi. Bagaimanapun ia masih anak di bawah umur dan ayahnya masih wali sahnya sebelum ia menikah. Jika ia kabur dari rumah, mungkin ia harus hidup di jalanan.
Ibunya adalah seorang yatim piatu, karena itulah ia tidak mempunyai kakek nenek untuk tempat mengadu. Walaupun masih ada dari keluarga pamannya, tapi hubungan mereka tidak cukup dekat untuk membuat ia tidak tahu malu untuk tinggal bersamanya. Pamannya juga mempunyai keluarga sendiri dan ia juga merasa tidak enak merusak ketenangan keluarga mereka.
Sekarang ia sudah dewasa, tapi ayahnya masih tidak memperbolehkan untuk ia pindah dari rumah. Dara tidak mengetahui alasannya, tapi waktu itu ia bisa melihat kilatan kesedihan di mata ayahnya ketika ia menyebut untuk pergi meninggalkannya. Sikap ayahnya sangat aneh, terkadang ia penyayang padanya, terkadang ia juga acuh tak acuh yang membuat Dara tidak mengerti.
Satu bulan yang lalu, akhirnya Arzan melamarnya. Tidak salah lagi, ia sangat gembira. Ia merasa di atas awan. Selain ia akhirnya bisa pindah dari rumahnya, ia juga akan menikah dengan laki-laki yang dicintainya. Bagaimanapun Arzan adalah laki-laki pertama yang memberinya kehangatan setelah ayahnya. Bisa dibilang ia adalah cinta pertama dan terakhirnya. Oh, tidak lagi cinta terakhirnya, karena hubungan mereka sudah berakhir.
"Maaf Ara.." ujar Arzan lirih. Kepalanya menunduk tidak berani melihat wanita yang pernah menjadi kekasihnya ini, karena ia juga merasa dirinya sangat pantas mendapat perlakuan ini darinya.
"Maaf?" ujar Dara tertawa kering. Bagitu mudahnya ia mengucapkan kata maaf sedangkan ia disini yang sangat menderita. Tahukah dia, ia akan menjadi bahan tertawaan di seluruh kota dan dia hanya duduk manis dengan selingkuhannya. Jika kata maaf bisa membalikkan keadaan dan menghapuskan kejadian hari ini, mungkin ia bisa memaafkannya.
"Tubuh Kia tidak bisa hamil lagi karena rahimnya yang tipis. Jika dia menggugurkannya mungkin dia tidak bisa lagi punya anak. Aku tidak bisa membiarkannya begitu saja jadi aku memutuskan untuk bertanggungjawab. Jadi, tolong batalkan saja pernikahan ini, oke!" ujar Arzan sambil memohon.
"Kamu bilang rahimnya tipis. Itu tidak mungkin. Aku pernah memeriksa kesehatan bersamanya di rumah sakit dan ia baik-baik saja." balas Dara aneh.
"Dia pasti memalsukannya untuk merusak pernikahan kita. " ujar Dara berapi-api.
"Jangan mengada-ngada Dara. Aku melihat sendiri kertas laporannya." ujar Arzan tidak terima.
"Kamu tidak percaya padaku?" ujar Dara syok. Laki-laki yang dia cintai malah mempercayai wanita perusak hubungan itu daripada dia. Tidak bisakah dia mengatakan untuk memeriksanya lagi dan menanyakannya lagi terhadap Kia. Apakah hubungan mereka selama tujuh tahun ini bahkan tidak cukup membuat mereka saling percaya.
"Bukan seperti itu." bantah Arzan. "Tapi memang itulah kebenarannya, jadi kamu jangan memfitnahnya lagi. " ujar Arzan sambil memperingatkan.
"Bagaimana bisa kamu mengatakan ini padaku seolah aku yang berbuat jahat padanya. Kalian berdualah yang menyakitiku dan kamu dengan mudahnya membatalkan pernikahan kita." ujar Dara marah. Matanya memerah sambil menahan air mata yang keluar dari pelupuk matanya.
"Kita sudah pacaran selama tujuh tahun, apakah kamu tidak bisa melihat aku berbohong atau tidak?" tanya Dara sedih.
"........ " Arzan hanya diam membisu tidak menanggapi perkataan Dara.
"Hahahaha.." Dara tertawa sarkasme. "Kamu tidak pernah mencintaiku bukan? Buktinya aku yang selama ini selalu antusias terhadapmu. Sikapmu selalu panas dingin dan membuat aku merasa aneh. Semenjak kita pertama kali berpacaran pun, akulah yang tergila-gila padamu. Mengirimkan kamu makan siang setiap hari, selalu menanyakan kamu berada, dan terus menghiburmu setiap hari."
"Selama ini akulah yang selalu berkorban dalam hubungan ini. Aku pikir karena kepribadian kamu yang dingin jadi aku memahaminya. Ternyata tidak bukan? Kamu tidak pernah mencintaiku. Aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku, kamu makan siang bersama Kia di kafe dekat kantormu. Buktinya kamu bisa tertawa riang seperti itu dengannya. Sedangkan aku, kamu hanya tersenyum kepadaku sesekali." ujar Anna melampiaskan keluh kelahnya.
Ia tidak peduli lagi dengan penampilannya sekarang. Pakaian yang acak-acakan, riasan yang ternoda air mata, wajah yang kuyu, bahkan anak kecil pun akan jijik dengan penampilannya.
Isak tangis Dara bergema di telinga Arzan, membuat ia merasa bersalah. Walaupun ia belum tahap mencintai tetapi ia sudah menyukai perempuan ini. Sejak ia menerima pengejaran sepihaknya tanpa henti, Arzan merasakan harga dirinya membubung tinggi. Mereka sudah tujuh tahun bersama, tak di pungkiri ia juga memiliki kasih sayang padanya.
Arzan ingin memeluk Dara untuk menenangkannya tapi langsung di tepis oleh Dara.
"Tidak usah bersikap baik padaku. Kebaikanmu membuat hatiku sakit." teriak Dara sedih.
"Maaf Dara." ujar Arzan tulus.
"Maaf.. maaf... Yang kamu ucapkan hanyalah kata maaf. Kata maaf tidak bisa memperbaiki hatiku yang rusak. Kamu mengkhianatiku dengan teman masa kecilmu. Wanita itu selalu berada di dekatmu dan selalu menggodamu, tapi kamu membiarkannya saja. Apakah kalian sudah menjalin hubungan di belakangku? Sudah berapa lama kalian bersama?" kata Dara emosi.
"Jangan salah paham, Dara! Aku tidak punya hubungan apapun dengannya. Aku mabuk hari itu dan tidak sengaja tidur dengannya. Akulah yang bersalah. Buktinya ia juga korban disini. Jangan salahkan dia lagi!"
"Bagaimana kamu bisa menjadi seperti ini? Mentang-mentang dia teman masa kecilmu, kamu percaya semua yang dia katakan. Sudah kubilang dia roh rubah, kenapa kamu tidak percaya?"
"Jangan salahkan Kia lagi Dara!" bentak Arzan jengkel. "Akulah yang harusnya kamu salahkan." ujar Arzan lagi.
"Kamu membentak ku." ujar Dara tertegun.
"Ya, kamu juga salah disini. Kamu tidak bisa mengendalikan bagian bawahmu dan membuat seseorang hamil. Teratai putih dan laki-laki tak tahu malu, ck..sama-sama cocok." ujar Dara sinis.
"Jaga ucapanmu!" peringat Arzan dingin.
"Apa?" ujar Dara sambil menantang Arzan.
"Apakah aku salah? Kamu tidak bisa mengendalikan hawa nafsumu dan dia selalu menggodamu dan terus berlagak menjadi adik yang penuh kasih sayang. Sepasang kekasih yang saling mencintai, akhirnya kalian bisa bersama sekarang. Aku mengucapkan selamat kepada kalian. Semoga hubungan kalian langgeng dan punya anak yang sangat banyak." kata ara sinis.
"Daraaa.." geram Arzan. "Minta maaf padaku!" ujarnya dingin.
"Atas dasar apa aku meminta maaf. Aku hanya berbicara fakta." ujar Dara tak mau kalah.
"Aku tidak menyangka kamu akan menjadi seperti ini." ujar Arzan dingin.
"Apakah kamu kecewa? Ya. Ini adalah aku yang sebenarnya. Aku tidak bisa menjadi lemah lembut seperti teratai putih disampingmu. Terus berpura-pura lemah untuk mendapat perhatian orang lain membuatku merasa jijik."
"Kia dalam kesehatan buruk sejak kecil, wajar saja dia lemah." bantah Arzan tak terima.
"Kesehatan buruk? Dia hanya menderita asma. Itu tidak sampai ketika aku meninggikan suara dia jatuh pingsan karena terkejut." ujar Dara. Teratai putih itu selalu berakting lemah setiap hari membuat ia merasa mual. Ingin sekali rasanya ia merobek topeng munafik itu dan memperlihatkan wajah aslinya.
Pernah sekali ia melihat Kia jatuh pingsan, karena panik ia buru-buru membawanya ke rumah. Dokter mengatakan ia hanya mengidap asma dan tidak sampai ke penyakit jantung yang harus menjaga suasana hati pasien setiap hari.
"Dara, jangan memfitnahnya lagi. Aku tau kamu merasa sakit hati karena aku mengkhianatimu. Akulah yang bersalah padamu. Jangan melibatkan orang yang tidak bersalah lagi." ujar Arzan sedih.
"Relakan hubungan kita dan berusahalah menerima takdir ini. Walaupun kita tidak bisa bersama, aku akan menganggapmu sebagai adikku."
Dara tertegun. Siapa yang mau menjadi adiknya. Laki-laki ini benar-benar tidak tahu malu. Masih bagus ia hanya menamparnya saja. Seharusnya ia mengekspos pasangan tak tahu malu ini ke publik, biar publik tahu laki-laki yang kerap dipuji sebagai orang yang pendiam dan anggun ini ternyata bajingan. Seorang teratai putih yang lemah lembut dan bajingan yang pendiam dan anggun, mereka sangat cocok jika dipasangkan bersama. Dia pasti buta karena sangat menyukai laki-laki ini dahulu.
"Arzan..." panggil Dara serius.
"Hmm.." ujarnya sambil menganggukkan kepalanya tak kalah serius.
"Kepalaku pasti penuh genangan air ketika aku menyukaimu." teriak Dara dengan nada tinggi.
"Daraaa..." ujar Arzan marah. Urat nadi di pelipisnya sampai menonjol karena menahan amarah.
"Puffft.." tidak tau siapa yang tertawa. Dara dan Arzan mendengar gelak tawa tidak jauh dari tempat mereka berada.
"Maaf, aku tidak bisa menahannya." kata Danish tertawa terbahak-bahak. "Ini terlalu lucu." ujarnya lagi sambil memegangi perutnya.
"Zayn, bukankah ini sangat lucu?" ujar Danish kepada pemuda di sampingnya. Dia tidak menjawab, tapi Danish bisa melihat ada lengkungan di sudut bibirnya.
Wajah Arzan merah padam. Tapi karena harga dirinya ia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.
"Nanti kita bicarakan lagi. Mari bertemu di kafe Blues sore nanti!" ujar Arzan datar lalu dengan cepat ia membuang muka pergi meninggalkan Dara.
"Aku tidak mau. Siapa yang ingin bertemu denganmu lagi. Melihat wajahmu saja membuat aku merasa jijik." teriak Dara dengan keras. Entah Arzan mendengarkannya atau tidak, yang penting ia sudah mengatakannya.
Mata Dara terpaku terhadap kepergian Arzan. Tidak ada yang menyangka hubungan ia dan Arzan akan menjadi seperti ini. Ia bahkan berfantasi ketika ia sudah sah menjadi istrinya, ia akan resign dari perkerjaannya, lalu fokus merawat anak-anak mereka dengan baik. Ia akan melimpahkannya dengan penuh kasih sayang sambil menebus masa kecilnya yang kurang bahagia.
Ayahnya terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan membuat ia merasa kehilangan. Karena itulah ia berniat menjadi ibu rumah tangga saja nanti dan fokus merawat suami dan anak-anaknya.
Karena kurangnya kasih sayang dengan keluarga, ia sangat berharap mempunyai keluarga sendiri. Rumah yang nyaman, keluarga yang hangat, anak-anak yang lucu, itulah keinginannya. Bahkan takdir pun tidak bisa mengabulkan keinginan sederhana itu.
Jika orang menganggap itu sangat biasa, tapi baginya itu adalah yang paling mewah. Ia sangat kesepian. Tidak ada kerabat yang berada disampingnya. Bahkan sekarang orang yang akan dia anggap sebagai keluarganya pun telah menghilang dari kehidupannya.
Tak terasa air matanya kembali menetes. Pertama kali seukuran biji jagung lama kelamaan seperti keran bocor yang tidak ada habisnya.
Isak tangis Dara pecah. Ia menangis tergugu sambil memeluk lututnya sendiri. Meratapi kemalangan yang menimpa dirinya. Hari sangat panas secerah matahari yang bersinar di atas kepalanya, tapi itu sangat menyengat membakar hatinya yang sedang sakit.
Orang yang berlalu lalang kerap bertanya apa yang terjadi tapi ia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menangis. Banyak yang menunjuk dan penasaran tentang dirinya, tapi ia tidak peduli. Ia tidak membutuhkan simpati siapapun. Simpati mereka hanya membuat ia merasa terhina dan rendah diri.
Menangis di jalanan ibukota sangat menarik perhatian khalayak ramai, karena itu adalah tempat kawasan industri. Orang kerap berlalu lalang dan melakukan aktivitas di tempat itu.
"Ehm, Zayn. Perempuan itu menangis. Apakah kamu punya sapu tangan?" ujar Danish pelan. "Aku tidak membawanya sekarang." ujarnya sambil meraba-raba saku celananya.
Dalam hatinya ia sangat berharap, bahwa kali ini Zayn berbaik hati kepada wanita sekali. Karena Danish tau betul, sahabatnya itu tidak pernah mempedulikan wanita kecuali wanita yang sekarang berada di rumahnya itu.
Zayn merogoh saku jasnya lalu menyerahkan sapu tangan berwarna putih gading itu kepada Danish.
"Terimakasih." ujar Danish lalu berlari menghampiri Dara.
Dara mendongakkan kepalanya ketika melihat bayangan orang yang menutupi tubuhnya. Wajahnya tidak begitu jelas, karena sinar matahari mengaburkannya.
Dia mengenakan setelan jas berwarna hitam dipadukan dengan sepatu pantofel yang mengkilap melekat di kakinya. Dia sepertinya menyuruhnya mengambil benda yang berada di tangannya, karena ia terus menyodorkannya kepada Dara.
Perlahan Dara mengambilnya, lalu menghapus sisa-sisa air mata yang berada di wajahnya. Saputangan yang berwarna putih bersih itu sekarang mendapat bercak hitam akibat make up Bara yang mulai luntur dan langsung membuatnya tidak enak hati. Dara berdiri dengan perasaan campur aduk untuk melihat siapa laki-laki yang membantunya.
"Terimakasih." ujar Dara setelah berdiri menghadap Danish. "Aku akan mengembalikannya setelah mencucinya." ujar Dara lagi sambil tersenyum canggung.
"Tidak usah berterimakasih padaku. Bukan aku yang memberikannya." tolak Danish halus.
"Terus siapa?" ujar Dara bingung.
"Temanku." lalu Danish menunjuk Zayn yang berdiri di bawah pohon.
Dara mengikuti pandangan Danish lalu melihat laki-laki yang juga mengenakan setelan jas berwarna hitam sedang menatap ke arahnya. Kulitnya putih bersih, fitur wajahnya mirip orang timur tengah, dan ia sedang berdiri sambil melipat tangannya memandang ke arah Dara dengan tajam. Ia merasa seperti ditatap oleh binatang buas.
Rambutnya disisir rapi ke belakang, tingginya sekitar 189cm. Bentuk tubuhnya sangat bagus membuat jas itu melekat pada dirinya seperti model profesional.
Dara tertegun. Inilah pertama kalinya ia melihat wajah yang sangat tampan. Bahkan wajah Arzan pun tidak bisa dibandingkan dengannya yang kerap disebut sebagai pangeran kampus. Jika wajah Arzan bisa dibilang 9/1000 maka dia 999/1000. Dara mengakui wajahnya yang sangat tampan membuat ia terpana sejenak, lalu ia dengan cepat ia menbuyarkan lamunannya dan mengingat kembali tujuannya.
"A.. aku akan menghampirinya." ujar Dara tersenyum canggung. Ia merasa harus mengucapkan terimakasih secara pribadi supaya mengungkapkan ketulusannya. Jujur, ia merasa tidak enak.
"Tidak usah. Aku saja yang akan memanggilnya kesini. Kamu disini saja." kata Danish lembut.
"Baiklah." balas Dara sambil menganggukkan kepalanya patuh.
"Zayn, kemarilah." kata Danish sambil berteriak.
Zayn mendengarnya lalu berjalan menghampiri Danish. Belum beberapa langkah dia sampai di tempat itu, Danish sudah menariknya dengan paksa.
"Kamu tadi ingin berterimakasih kan. Nah, sekarang lakukanlah!" ujar Danish tersenyum lebar. Ia menarik-narik lengan Zayn supaya mendekat kepada Dara.
Mata Zayn melotot kepada Danish, seolah mengancamnya jika melangkah lebih jauh lagi ia akan membunuhnya. Danish melihatnya tapi ia membuang muka, seolah mengabaikan peringatannya. Tapi hanya tuhan yang tau jantungnya berdegup kencang ketika menarik lengan Zayn. Entah apa yang dia makan hari ini sampai mempunyai keberanian melawan taipan bisnis ini.
Lihatlah, dia bahkan banyak berkorban untuk masa depan sahabatnya. Jika mereka nanti sampai menikah, ia harus meminta imbalan yang setimpal.
Danish tau, Zayn memandang wanita ini dari kacamata berbeda. Sejak awal pertengkaran, Zayn terus mengamati dari jauh seolah mengawasinya. Kapan sahabatnya ini pernah memandang wanita lebih dari tiga detik. Sekarang sudah hampir satu jam ia terus memandangnya dari jauh. Danish merasa lebih baik sahabatnya bersama wanita ini daripada roh rubah yang terus menyembunyikan ekornya itu.
Melihatnya saja membuat Danish merasa muak. Bagaimana bisa sahabatnya tidak melihat akting canggung rubah itu? Ya. Danish harus memakluminya. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Dibalik tampang sahabatnya yang sangat sempurna, IQ yang tinggi, sangat disayangkan EQ nya sangat rendah. Sudah hampir lima belas tahun roh rubah itu berada di sisi Zayn, tapi sampai sekarang wajah aslinya belum saja terungkap. Entah rubah itu yang terlalu pintar atau Zayn yang terlalu bodoh, Danish juga tidak tahu.
Bibinya sangat khawatir dengan pernikahan Zayn, tapi yang bersangkutan tidak cemas sama sekali. Sudah berulang-ulang kali bibinya memperkenalkannya dengan wanita lain, tapi Zayn selalu memberi wanita paruh baya itu bahu dingin yang membuat komunikasi mereka menjadi terputus. Bibinya bahkan curiga bahwa putra satu-satunya itu adalah gay, tapi Zayn dengan tegas membantahnya yang membuat bibinya tidak bisa berkutik.
Danish sebenarnya juga khawatir. Bibinya pernah mengatakan, jika Zayn masih tidak mau menikah dengan perempuan yang di pilihkan bibinya atau belum juga memiliki kekasih, ia akan mencoba menikahkannya dengan Kiandra, roh rubah itu. Hanya dia yang pernah melihat wajah asli roh rubah itu dan itu membuatnya merasa gelisah. Ia pernah sekali mengatakannya kepada semua orang tapi tidak ada yang mempercayainya sama sekali, jadi dia dengan pasrah hanya menahan keluhannya.
Jika sahabatnya benar-benar menikah dengan roh rubah itu, sudah pasti sahabatnya akan di manipulasi olehnya. Hah, setiap hari dia sangat cemas seperti duduk di atas bara api. Pokoknya kali ini harus berhasil, dia tidak akan membiarkan roh rubah itu duduk diatas kepalanya lagi. Bagaimana bisa sepupu sekaligus sahabatnya yang selalu dia hormati dan kagumi, bersanding dengan roh rubah itu? Dia bisa mati karena amarah terus menerus melihatnya setiap hari di samping sahabatnya.
"Terimakasih." ujar Dara tersenyum canggung. Lalu ia perlahan menyembunyikan saputangan yang kotor dibelakang punggungnya untuk menghancurkan bukti. "A..aku akan mencucinya dulu, sebelum mengembalikannya padamu." ujar Dara merasa bersalah.
Zayn melihat tingkah canggung gadis itu menyembunyikan saputangannya, tanpa ekspresi, lalu dia berkata "Tidak usah. Kamu membuangnya saja."
"Baiklah." kata Dara pelan. Ingin membantah tapi ia merasa pihak lain tidak menyukainya, jadi dia hanya bisa menundukkan kepalanya menyembunyikan emosinya yang sedih. Entah dia yang terlalu sensitif atau laki-laki di depannya orangnya memang seperti itu.
Tapi jika laki-laki ini tidak menyukainya kenapa dia memberinya saputangan? Hah, ini membuat Dara terasa bingung. Tapi setelah beberapa saat, Dara menemukan pikirannya kembali. Mungkin laki-laki ini hanya terpaksa karena temannya terus medesaknya untuk memberikannya.
"Dara..Dara kamu terlalu banyak berpikir. Bagaimana bisa laki-laki yang hampir sempurna ini memperhatikanmu? Dia mungkin tidak akan mengingat wajahmu setelah pertemuan ini. Mungkin dia hanya menganggapmu sebagai orang yang lewat saja dalam kehidupannya. Jadi berhentilah menganggap dirimu begitu penting." batin Dara.
Setelah itu, keheningan kembali menyelimuti suasana antara Dara dan Zayn. Kecuali suara-suara orang yang berlalu lalang di sekitarnya, tapi sepertinya itu tidak mempengaruhi mereka sama sekali. Dara menatap sepatunya di lantai lalu membuat lingkaran kecil seolah-olah dia tidak memperhatikan Zayn yang berdiri di depannya sama sekali. Begitu juga dengan Zayn yang masih diam bak patung Yunani.
Danish yang melihatnya dari samping merasa cemas. Ia menggigit kuku jarinya sendiri sambil mondar mandir tak karuan bagaimana cara memecahkan suasana beku ini. Otaknya bekerja dengan kecepatan tercepat bak mesin yang sudah diolesi dengan pelumas.
Tepat ketika ia memikirkannya, dia mendengar suara Zayn yang membuat ia menghela nafas lega.
"Kita bertemu lagi." ujar Zayn datar. Tapi jika diperhatikan dengan seksama ada lengkungan kecil di sudut bibirnya menandakan dia dalam suasana hati yang baik.
Dara membeku. Kapan dia pernah bertemu dengan laki-laki ini? Bisakah salah satu dari kalian menjelaskannya?
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!