Salam Fantim....
Hai readers, bijaklah dalam membaca dan jaga waktu bersama keluarga dengan baik...🙏🙏
***************************************************
Suatu hari di awal musim gugur, dimana tempat-tempat yang biasanya sangat panas saat musim panas dan sangat dingin pada musim semi, kini dalam satu bulan ke depan berada dalam kondisi cuaca yang ideal. Pemandangan alam Kota Xinjiang pun begitu hangat dengan pepohonan yang mulai menampilkan warna kuning, oranye, dan kemerahan.
Saat siang hari seorang remaja yang beranjak dewasa sedang menyapu di bawah pohon Ginkgo dan beberapa pohon maple, luasnya pekarangan yang ditumbuhi pepohonan tersebut membuat pemuda itu tampak kelelahan. Tidak ada yang memperhatikan pemuda tersebut, setiap orang yang berlalu lalang di Klan Xiao sudah terbiasa mengacuhkannya dan menganggap dirinya bukan siapa-siapa.
Tanah di kediaman Keluarga Xiao terlihat luas, sebagai klan yang terkenal keluarga Xiao telah berdiri selama ribuan tahun dan memiliki sejarah yang kuat semenjak Kota Xinjiang terbentuk.
Seorang pemuda bernama Xiao Chen duduk bersandar di bawah pohon Ginkgo, tubuhnya yang kurus tidak dapat menutupi batang pohon yang berdiri tegak. Ia terlihat menyeka peluh, sesekali wajahnya terlihat meringis menahan sakit namun ada senyum tersirat seolah hal itu bukanlah apa-apa.
Sebagian besar cahaya matahari di siang ini bersinar lembut seolah merasa simpati terhadap pemuda tersebut. Sambil beristirahat dia diam-diam mengeluarkan sebuah salinan buku yang ia tulis sendiri secara diam-diam saat malam hari. Buku itu merupakan teknik kultivasi dan juga beberapa teknik beladiri yang ia hafal saat membersihkan perpustakaan.
Meski ia dikucilkan dan dianggap bodoh, tidak ada yang mengetahui jika Xiao Chen memiliki bakat membaca dan menulis di atas rata-rata. Pada umumnya anak-anak Klan Xiao mendapatkan pelajaran membaca dan menulis sejak usia dini, hanya Xiao Chen yang tidak mendapatkan hak pendidikan yang seharusnya ia terima layaknya anak-anak Klan Xiao lainnya. Ketidakadilan ini ia terima dengan lapang, namun secara diam-diam ibunya mengajarkan menulis dan membaca dengan baik. Ditambah bakat menghapal yang dimiliki Xiao Chen membuatnya berkembang jauh tanpa terdeteksi oleh orang lain.
Sejak Xiao Chen kecil ibunya yang bernama Xiao Nie mendidik Xiao Chen dengan baik, ibunya seolah menyiapkan Xiao Chen untuk menjadi seorang sarjana. Meski mereka berdua tinggal di gubuk yang merupakan gudang terbengkalai, Xiao Chen tumbuh dengan cepat di bawah keprihatinan. Meski kekurangan sumberdaya, hal itu membuat pikiran Xiao Chen bekerja lebih keras daripada anak-anak Klan Xiao yang memiliki beragam fasilitas serta layanan dari para pelayan.
Xiao Chen kini telah tumbuh menjadi seorang remaja yang beranjak dewasa, bertubuh kurus memiliki tinggi rata-rata dengan pemuda seusianya. Dia juga tidak dapat dibilang tidak menarik, jika diperhatikan secara lebih detail ia memiliki wajah yang tampan dengan lesung pipinya. Hanya saja kelebihannya itu seperti tersembunyi dibalik rambut panjangnya yang sering tidak terurus.
Xiao Chen juga memiliki temperamen yang sangat pendiam, dari kecil ia tidak banyak bercengkrama dengan orang lain. Selain dengan ibunya ia tidak memiliki teman di keluarga Xiao, semua membencinya hanya karena ia tidak memiliki seorang ayah. Sepanjang waktu, dari ia masih kecil hingga kini ia berusia delapan belas tahun, ketidakadilan selalu menyertai jalan hidupnya.
Sebagai anak laki-laki ia lebih banyak mengerjakan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh perempuan, ia tidak diberikan kesempatan untuk belajar beladiri seperti anak-anak di Klan Xiao lainnya. Selain itu fisiknya yang terlihat lemah dan seperti orang sakit itu tidak ada yang membuat para Tetua tertarik kepadanya. Seluruh orang di Klan Xiao hanya tahu jika Xiao Chen hanyalah aib dan tidak berhak mendapatkan kehidupan yang layak. Adapun hidupnya kali ini bisa dianggap karena belas kasih anggota Klan Xiao lainnya, ia bekerja seperti budak pada umumnya.
Xiao Chen bertahan hidup dengan keras di Klan keluarga ibunya sendiri, ibunya sakit-sakitan sejak Xiao Chen berusia lima belas tahun. Penyakit dalam ibunya semakin parah selama tiga tahun belakangan, tidak ada yang mempedulikan keadaan ini sama sekali. Sejak kecil Xiao Chen rela dipukuli setiap hari demi sekedar menyenangkan hati anak-anak Klan Xiao, selama mereka senang maka Xiao Chen akan mendapatkan upah berupa makanan atau buah-buahan yang akan ia berikan untuk ibunya.
Setiap kali ia selesai dipukuli maka ia akan merasakan energi di dalam tubuhnya berfluktuasi dan mengembang. Mulanya ia tidak mengerti, karena rasa sakit dan keadaan yang berulang ia terus bertahan dan membuat tekad. Ketika ia berumur tujuh tahun hal ini semakin sering terjadi dan setiap memulihkan cidera di tubuhnya tanpa obat-obatan berarti, ia hanya mengandalkan beberapa jenis dedaunan secara acak.
Luka lebam yang ia terima semakin cepat pulih dengan bantuan energi internal yang tidak ia mengerti saat itu, namun jika orang lain tahu maka semua orang akan muntah darah. Xiao Chen sudah mampu merasakan energi Qi dan juga membentuk energi vitalitas pada usianya yang masih anak-anak. Perlu diketahui jika energi vitalitas adalah energi yang sangat dibutuhkan oleh kultivator untuk bertahan hidup, meskipun ia sekarat selama masih ada energi tersebut di dalam tubuhnya maka ia akan tetap bertahan sampai dengan tindakan penyelamatan lainnya.
Bahkan di Klan Xiao, mereka yang mampu memasuki kondisi seperti Xiao Chen umumnya berusia tiga belas tahun yang disebut memasuki masa Pemurnian Daging atau istilah lainnya memasuki ranah Pendekar Perunggu. Tetapi mereka tetap belum bisa membentuk energi vitalitas, keadaan ini baru bisa dilakukan jika seseorang setidaknya sudah berada di Ranah Pendekar Emas.
Energi yang ada di dalam tubuh Xiao Chen terbentuk bukan karena bantuan sumberdaya, melainkan energi internal yang murni terbentuk dari dalam dirinya karena keinginan yang kuat untuk sembuh. Sugesti ini selalu tertanam di dalam dirinya, ia harus selalu kuat dan bisa bertahan hidup demi membahagiakan ibunya. Ia hanya punya seorang ibu yang merupakan segalanya dalam kehidupan Xiao Chen.
Ada perbedaan mencolok yang harus digarisbawahi di dunia kultivator, energi Qi bisa dibedakan menjadi dua berdasarkan sumbernya. Energi internal dan eksternal, energi internal berasal dari dalam tubuh dan pada awal pembentukannya sangat sulit sekali. Hal ini juga bisa berlaku kepada seorang kultivator yang sedang menghadapi pertarungan hidup dan mati, rasa ingin hidup yang tinggi akan mendobrak rasa putus asa yang akhirnya melahirkan energi terbarukan dari dalam tubuhnya yang berada di luar nalar serta kendali pikirannya. Namun energi internal juga bisa dirangsang dengan cara meminum pil atau ramuan khusus, tetapi sayangnya hal itu dapat menyebabkan tumpukan atau endapan di dalam tubuh.
Sedangkan energi eksternal bersumber dari esensi alam ataupun dari benda-benda pusaka, tubuh akan menyerap energi tersebut melalui proses yang dinamakan dengan teknik kultivasi. Semakin bagus teknik kultivasi, maka semakin banyak dan cepat seorang kultivator untuk menyerap energi Qi ke dalam tubuhnya.
Saat Xiao Chen baru saja kembali pada sore hari, Xiao Nie menatap mata yang begitu bersinar dan mempesona, bahkan dalam kondisi bagaimanapun baik susah maupun senang pancaran mata itu tidak pernah berubah.
Sebagai seorang ibu, Xiao Nie tahu jika kehidupan yang dialami putranya tersebut sangat keras. Kendati demikian kasih sayang seorang ibu tidak pernah lekang oleh waktu serta keadaan. Pada dasarnya Xiao Nie juga merupakan seorang kultivator yang jenius di Klan Xiao. Ia berada di tingkat Pendekar Emas, sangat berpotensi untuk bersinar dan menjadi harapan para pemimpin Klan. Ketika Xiao Chen kecil, saat ia tertidur maka Xiao Nie selalu mengalirkan energi dari dalam tubuhnya.
Hal ini juga yang membuat dirinya tidak pernah berkembang, justru energi yang ia miliki semakin berkurang demi memberikan kekuatan kepada putranya secara diam-diam. Bantuan diam-diam ini berpadu menjadi satu dengan tekad bawaan Xiao Chen dan terbungkus dengan rapi.
"Ye Chen, anak kita sudah dewasa. Dia sangat mirip denganmu, sangat mirip" ucap Xiao Nie pelan, memandang penuh kasih kepada putranya.
"Ibu, siapa Ye Chen?" tanya Xiao Chen penasaran.
Selama ini ia baru pertama kali mendengar nama itu, Xiao Chen curiga jika ibunya menyembunyikan sesuatu.
"Itu nama ayahmu" jawab Xiao Nie dengan lemah.
"Jangan sebut tentang ayah! Aku tidak memiliki ayah" ucap Xiao Chen mendengus kesal, dalam sekejap sikap pendiamnya berubah.
Xiao Chen merasa seluruh penderitaan dia dan ibunya disebabkan karena ayahnya, lelaki yang tidak bertanggungjawab yang menelantarkan istri dan anaknya begitu saja. Dari ia lahir sampai dengan hari ini ia tidak pernah mendengar tentang ayahnya, bahkan olokan dari anak-anak Klan Xiao selalu terngiang di dalam ingatannya.
"Ayahmu adalah seorang pahlawan, seharusnya ia tidak tahu dengan kehamilan ibu saat ia pergi berperang" ungkap Xiao Nie dengan serius.
"Lalu kenapa ia tidak mencari ibu?" sahut Xiao Chen kesal.
"Bukannya ia tidak mau, ia adalah lelaki yang mendedikasikan hidupnya demi kedamaian di wilayah perbatasan kekaisaran. Ia rela berjuang dan mengorbankan nyawanya demi menjaga perdamaian orang banyak" ungkap Xiao Nie dengan sedih, sampai hari ini ia tidak mendapatkan kabar tentang pria yang dicintainya seumur hidup.
Xiao Nie jelas tahu jika Ye Chen, kekasihnya di masa lalu mendapatkan hukuman dari keluarga Ye. Ye Chen diasingkan ke perbatasan karena menolak menikah dengan salah seorang putri pejabat pemerintahan. Ye Chen memilih menerima hukuman tersebut daripada menikah dengan wanita yang tidak dicintainya, tetapi hal yang tidak diketahuinya adalah Xiao Nie tengah hamil dua bulan saat peristiwa itu terjadi.
Xiao Nie tidak menahan kepergian Ye Chen, sebagai seorang wanita ada saatnya ia harus mengalah demi keselamatan calon bayi yang tengah dikandungnya tersebut. Xiao Nie hanya yakin jika suatu saat takdir akan mempertemukan mereka kembali, entah sebagai hantu atau berada di alam roh. Kendati demikian harapan terbesarnya ada pada bayi yang dikandungnya, segala cita-cita dan harapannya akan terlaksana suatu hari nanti.
Setelah mendengar penuturan dari ibunya Xiao Chen tertegun, ada sedikit rasa hangat di hatinya saat mendengar sekelumit kisah tentang ayahnya. Namun hal lain yang tidak ia mengerti selanjutnya adalah kenapa keluarga Xiao tidak pernah menceritakan hal ini dan selalu menganggap Xiao Chen anak haram.
"Dahulu Klan Xiao dan Klan Ye memiliki permusuhan yang sangat kental, mereka memiliki dendam turunan yang tidak berujung pangkal, bahkan hingga sekarang hubungan itu masih seperti minyak dan air" Xiao Nie berkata jujur seolah mengetahui apa yang menjadi beban pikiran putranya.
"Ayahmu sebenarnya anak ketiga dari Patriark Klan Ye, ia juga merupakan tuan muda sesungguhnya dari keluarga Ye. Ayahmu memiliki dua orang kakak perempuan, mereka semua membawa suami ke kediaman keluarga Ye. Sedangkan ayahmu memiliki pendirian yang sangat keras, demi mempertahankan rasa cintanya pada ibu, ia menolak menikah dengan putri salah seorang pejabat kekaisaran. Oleh karenanya ia dihukum keras oleh Patriark Ye Chou, kakekmu juga orang yang sangat tegas dalam menjalankan peraturan keluarga" ucap Xiao Nie dengan rasa haru yang mendalam, ia mengingat masa-masa pacaran dengan Ye Chen.
Xiao Nie dan Ye Chen adalah pasangan yang tidak diinginkan oleh kedua keluarga, hubungan keduanya tidak mampu memadamkan api permusuhan yang sudah terjadi sejak lama. Sebagai pasangan muda yang menggebu-gebu mereka bersikeras ingin menyatukan dua keluarga yang selalu bermusuhan, Ye Chen tidak mau mewarisi kebencian turun temurun yang ia sendiri tidak paham akar masalahnya.
Xiao Nie merasa hidupnya tidak akan lama lagi, oleh karena itu sudah semestinya Xiao Chen mengetahui hal-hal yang selama ini tidak diketahuinya. Sebagai seorang ibu, Xiao Nie tidak mau putra satu-satunya tersebut tersesat, memiliki kebencian terhadap ayahnya sendiri yang nyatanya sangat mencintai Xiao Nie.
Bahkan hal yang membuat Ye Chen tidak kembali adalah karena ia tidak ingin melibatkan Xiao Nie dengan Keluarga Song, mereka adalah keluarga yang kejam karena jabatannya sebagai pejabat pemerintahan Kekaisaran.
Sambil mengatur emosionalnya, Xiao Nie lalu melanjutkan ceritanya dengan napas yang ia pertahankan dengan cukup stabil.
"Hal lain yang terjadi selanjutnya adalah Patriark Ye saat itu berada di bawah tekanan Keluarga Song, lalu mengirim ayahmu untuk ikut berpartisipasi dalam berperang di wilayah selatan jika menolak menjalin hubungan pernikahan, dengan penuh tekad ayahmu pergi ke perbatasan dan berhasil mencapai beberapa pencapaian. Namun setelah beberapa bulan kemudian kabar tentang dirinya seperti ditutupi, ibu tidak lagi mendengar tentangnya dan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari keluarga sendiri" ucap Xiao Nie kemudian, lalu mengeluarkan sebuah kalung yang seharusnya milik Ye Chen.
Xiao Chen terdiam, ia mulai mengerti alasan kenapa klan Xiao membencinya dan juga ibunya. Perlahan Xiao Chen menerima kalung yang baru saja diberikan oleh ibunya, dibalik liontin giok tersebut terukir nama Ye Chen. Xiao Chen meski enggan akhirnya memakai kalung tersebut, walau bagaimanapun ia berpikir Klan Xiao tidaklah sebaik apa yang dipikirkan oleh banyak orang. Sehingga Xiao Chen berpikiran lebih baik memiliki identitas keluarga Ye, meski dia sendiri masih ragu namun tidak ada salahnya jika ia berharap.
Xiao Chen merasakan kesedihan, ia tidak mengira jika perjalanan cinta ayah dan ibunya penuh onak berduri. Ia juga tidak habis pikir mengapa kakek dan neneknya begitu tega meski peristiwa itu telah terjadi belasan tahun silam. Xiao Chen tahu jika kakek dan neneknya merupakan seseorang yang berpengaruh di Klan Xiao namun mereka justru sangat membenci Xiao Chen.
Dari Xiao Chen masih kecil tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari Xiao Fang dan Xiao Hua. Mereka adalah kakek dan nenek Xiao Chen, orang-orang yang memiliki hubungan darah secara langsung. Tetapi sayangnya mereka terlalu malu untuk mengakui Xiao Chen sebagai cucunya, bahkan Xiao Hua yang merupakan nenek kandungnya sering menindas Xiao Chen dengan memberikan pekerjaan yang tidak manusiawi sejak ia kecil.
Xiao Chen termenung setelah mendengar perkataan dari ibunya, rasa bencinya kepada sosok lelaki yang menjadi ayahnya kini semakin memudar. Ada rasa kerinduan yang saat ini ia rasakan, ada keluh kesah yang akan ia utarakan jika bertemu dengan ayahnya saat ini.
"Ibu, aku akan mencari ayah" ucap Xiao Chen penuh tekad.
"Jika sudah ditakdirkan maka kalian akan bertemu, hanya saja kamu harus menjadi kuat. Jika tidak maka perjalananmu dalam mencari ayahmu hanya akan membawa mara bahaya" Xiao Nie ketakutan, ia tidak mau kehilangan darah dagingnya sendiri.
Xiao Chen kembali terdiam, ia menyadari jika memang kekuatannya masih sangat lemah. Meski ia sudah bisa berkultivasi secara diam-diam namun itu seperti sebutir pasir di pantai. Kekuatan yang ia latih baru sebatas kekuatan melatih tubuh, bekal yang ia gunakan untuk menghadapi segala tindakan kasar dari saudara-saudaranya di Klan Xiao.
Dengan perlakuan anak-anak di Klan Xiao setiap harinya, mau tidak mau Xiao Chen harus membiasakan diri untuk bisa bertahan. Hal ini juga yang membuatnya termotivasi untuk merangkum sebuah catatan usang di perpustakaan dan menggabungkannya dengan beberapa pengetahuan lain yang secara tidak sengaja ia temukan dari kebiasaannya menghafal cepat.
"Berhati-hatilah, kelak jika ibu sudah tiada maka kamu harus bisa menjaga dirimu lebih baik. Kamu juga bisa menunjukkan identitas mu di keluarga Ye dengan menunjukkan kalung yang baru saja ibu berikan" ucap Xiao Nie dengan penuh keyakinan, ia tidak tega melihat putranya selalu ditindas di Klan Xiao.
"Ibu akan baik-baik saja, aku akan selalu menjaga ibu" jawab Xiao Chen dengan tegas, tangannya mengepal.
Xiao Nie mengangguk puas, ia benar-benar melihat bayangan pria yang ia cintai di dalam diri putranya. Xiao Nie juga tahu jika putranya tersebut sudah membangkitkan energi internalnya, beruntung beberapa tahun lalu ia mengajarkan Xiao Chen teknik menyembunyikan kultivasi. Teknik itu merupakan hadiah dari Ye Chen ketika mereka masih bersama, kini dengan melihat pertumbuhan Xiao Chen dalam keterbatasan membuat Xiao Nie merasa bahagia.
Selama ini ia sudah diliputi kesedihan dan penderitaan, hanya dengan melihat Xiao Chen ia benar-benar bahagia dan dapat bertahan hidup dengan baik. Baginya Xiao Chen adalah representasi dari Ye Chen, tidak hanya fisiknya yang mirip tetapi juga sikap dan mentalnya yang begitu kuat. Xiao Nie yakin jika Xiao Chen ke keluarga Ye maka Patriark Ye akan sangat terkejut, Xiao Chen akan mewarisi Klan Ye di masa depan.
Setelah mendengar kenyataan tentang kehidupan ayah dan ibunya, Xiao Chen bertekad untuk menjadi kuat. Dalam hatinya ia bersumpah akan menjadi sosok yang akan mengguncang Kekaisaran dan membuktikan jika Xiao Chen adalah putra yang dilahirkan oleh dua orang manusia terbaik di Klan Xiao dan Klan Ye.
Xiao Chen kemudian merawat ibunya sebelum tidur, ia membersihkan kaki ibunya dan memberikan selimut wol yang ditenun oleh tangan halus ibunya sendiri. Meskipun musim dingin telah berlalu, kesehatan ibunya harus selalu terjaga. Xiao Chen hanya menyesali ia terlalu miskin, tidak mampu membeli obat-obatan untuk merawat ibunya. Sambil berlinang air mata, Xiao Chen menuju kamar tidurnya yang memiliki sekat tipis sebagai pembatas dengan kamar ibunya.
"Jika saja ayah dan ibuku bisa bersama dalam keadaan yang berbeda, aku sebagai keturunan langsung dari Klan Ye pasti tidak akan berakhir seperti ini, dan ibu juga tidak akan menderita seperti ini..." gumam Xiao Chen sambil berkhayal.
Xiao Chen kemudian duduk sila, melakukan meditasi dengan tekad yang semakin membulat. Ia ingin keluar dari keterpurukan dan membuat perubahan dari situasi yang menghimpitnya selama ini. Dengan teknik kultivasi yang ia pelajari secara diam-diam itu, ia mulai tenggelam dalam suasana khusyu sepanjang malam.
Keesokan paginya Xiao Chen bangun lebih awal dari biasanya, ia harus bangun lebih awal karena hari ini akan ada perhelatan orang-orang Klan Xiao untuk memilih bakat muda. Ia harus membersihkan arena beladiri tempat berlatih serta aula pertemuan keluarga. Ia juga harus bekerja ekstra di musim gugur untuk menjaga kebersihan halaman dan juga kebersihan perpustakaan Klan Xiao, jika tidak ia akan mendapatkan pukulan serta makian dari para Tetua.
"Aku masih membutuhkan waktu yang panjang untuk mempelajari buku yang sudah aku salin, semua teori yang tertulis di dalam buku ini memang sangat baik, tetapi beberapa hal terlihat sedikit lebih rumit saat mempraktekkannya tanpa tenaga dalam yang cukup." Bisik Xiao Chen sambil menatap buku yang selalu ia bawa di dalam saku bajunya, wajahnya terlihat sedikit putus asa.
Dari luar rumahnya tiba-tiba terdengar suara seseorang melangkahkan kaki dan berusaha membuka kunci pintu rumahnya yang kemudian membuyarkan lamunannya. Ekspresi wajah Xiao Chen terlihat waspada, ia dengan segera bangkit dan menuju pintu untuk mengetahui siapa yang datang di pagi hari seperti ini.
Pintu depan rumahnya pun akhirnya terbuka, lalu terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekatinya. Seorang wanita tua melangkah menuju ke arah Xiao Chen dengan membawa rotan kecil, wanita tua itu memukulkannya ke sisi ranjang usang tempat tidur Xiao Chen.
Xiao Hua yang merupakan nenek dari Xiao Chen itu lalu berteriak kepadanya,
"Apakah kamu masih bermalas-malasan? Apakah kamu sedang mengkhayal menjadi tuan muda dari Klan Xiao? Bangkit sekarang juga! Kamu harus bekerja sekarang!"
Ucapan keras Xiao Hua membuat Xiao Chen terdiam, ini bukan pertama kalinya wanita yang merupakan neneknya tersebut membuat tindakan yang sangat menjengkelkan. Jika bukan karena ibunya yang sedang sakit, maka Xiao Chen akan membalas ucapan kasar tersebut.
Wanita yang terlihat menyebalkan ini memiliki tampang yang keji, rambut putih yang tumbuh di kepalanya tidak membuat dirinya untuk bertindak bijak. Ia sama sekali tidak terlihat bijak di usianya yang sudah beranjak tua tersebut, hanya sorot kebencian yang ia miliki saat menatap ke arah Xiao Chen.
"Kau terlihat semakin menyedihkan, namun putramu juga anak yang tidak berguna. Seharusnya kau sudah menyesali perbuatanmu selama belasan tahun.." ucap Xiao Hua kemudian, tatapannya jatuh pada Xiao Nie yang juga ikut terbangun.
Sebagai seorang anak, Xiao Nie hanya terdiam mendengarkan kata-kata ibunya tersebut. Entah sudah berapa ribu kali ibunya mengatakan hal demikian, Xiao Nie juga sudah terlalu sering menjelaskan dan tidak ada gunanya. Selama ini ia terdiam dan menerima perlakuan kedua orangtuanya asal Xiao Chen tidak diusir dan tetap berada di sisinya.
Xiao Chen memandang penuh permusuhan kepada wanita tua tersebut, tidak ada rasa hormat sama sekali baginya terhadap wanita yang seharusnya ia puja tersebut. Kelakuan wanita tua tersebut dalam bersikap kepada Xiao Chen tidak lebih buruk kepada babi. Bahkan babi di keluarga Xiao diperlakukan lebih baik, hewan ternak dianggap membawa nilai bagi keluarga Xiao.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!