Bab 1. Kenapa Ibu memaksa.
Malam makin larut, Arumi masih dengan tangisnya. Bantal tempatnya untuk mengadu dan tempat berkeluh kesah kini sudah basah oleh air mata. Sejak pagi tadi Arumi sudah mengurung diri di kamar, menghindari kejaran sang ibu tentang keputusan yang selalu di nanti. Arumi tidak menyangka jika kedua orang tuanya akan menerima pinangan dari laki-laki yang tidak pernah dia kenal sama sekali. Laki-laki yang hanya dia tahu namanya dari sang ibu, bahkan Arumi sendiri belum punya keinginan untuk menuju pelaminan.
"Apa? Kamu akan terus menangis seperti itu Arumi?" Sang Ibu dengan nada ketus, mendobrak pintu kamar kasar, kedua tangannya berkacak pinggang dengan arogan.
"Bu ...." Arumi terkejut, bangun dari tidurnya, “Bu, A-Arumi ....” Arumi dengan suara tercekat mengikis netranya yang mengembun.
“Argh ... diam! Hentikan tangismu!” teriak Sang Ibu penuh emosi berjalan mendekat ke sisi ranjang.
Tubuh Arumi bergetar menahan takut. "Arumi mohon Bu, tolong Ibu pikirkan lagi. Arumi masih ingin bekerja, Arumi juga masih muda Bu. Arumi masih dua puluh tahun," keluh Arumi berusaha memberi pengertian sang Ibu mengikis netranya.
Mendengar bantahan Arumi, Sang Ibu hanya mendengus kesal, netranya membola seakan ingin melahap wanita muda yang tengah bersih kukuh dengannya. "Argh ... kamu selalu memberontak Arumi! Andaikan adikmu itu sudah dewasa mungkin aku akan memilih Nindi!” ketus Sang Ibu kesal.
"Ya, Allah Bu," timpal Arumi sedih.
Sang Ibu tersenyum licik, menatap Arumi sinis. "Sekarang Ibu tidak mau tahu! Ibu sudah setuju dan menerima pinangan laki-laki itu. Bisa kamu bayangkan berapa jumlah mas kawin yang akan laki-laki itu berikan Arumi!" seru Sang Ibu kesal, tetapi sekilas Arumi bisa melihat jika ada perasaan senang saat menyebut tentang mas kawin yang akan di berikan.
“Bu ... jadi ....” Arumi kembali menggeleng, mengusap hidungnya yang berair, “jadi ... hanya karena mas kawin yang Ibu pertimbangkan? Ibu tidak bertanya tentang perasaan Arumi? Arumi takut Bu,” rengeknya untuk melunakkan hati sang ibu.
“Takut? Kamu sudah dewasa! Arumi-Arumi ... sudah waktunya kamu menikah,” decak Sang Ibu bibirnya tersenyum misterius, “ jika kamu menikah, berkurang satu beban Ibu!” seru Sang Ibu tanpa peduli dengan rengek Arumi tangannya menyibak tirai jendela di depannya.
"Ibu dulu, menikah masih muda, bahkan masih berumur tujuh belas tahun," tuturnya menatap luar jendela, "waktu itu Ibu menerima begitu saja pinangan yang di ajukan oleh Kakekmu," putus Sang Ibu, tangannya kembali melepas tirai jendela yang di pegangnya, berbalik menatap Arumi kesal.
Mendengar ucapan sang ibu Arumi langsung tercengang, kepalanya menggeleng heran, manik matanya kembali mengeluarkan bulir air mata. "Arumi belum siap menikah Bu, Arumi mohon ...." Arumi kini tergugu dengan tangisnya berusaha membujuk sang ibu.
"Hagh ... jangan merengek, siap atau tidak siap! Kamu harus menerima pinangan ini,” putus sang Ibu mendekat tanpa ingin penolakan.
"Tapi, Bu ... zaman sudah berubah," bantah Arumi di sela-sela tangisnya. Arumi masih tergugu, perlahan kakinya turun dari ranjang, memohon bahkan mencium kaki Sang Ibu, agar menolak pinangan untuknya.
"Dasar anak tidak tahu di untung," cecar Sang Ibu, "sia-sia Ibu membesarkan kamu, jika hal sepele seperti ini saja kamu tidak bisa melakukannya ....” Sang Ibu kesal, “mana baktimu Arumi! Begini caramu membalas budi pada orang tua kamu!" sentak sang ibu penuh amarah.
Tangan sang Ibu menjambak rambut Arumi, menariknya kasar hingga kepala Arumi mendongak menatap wajah sang ibu. “Apa Ibu harus memberi pelajaran padamu lebih dulu, hah! Apa Ibu harus melakukan ini!” teriak Sang Ibu, tangannya bergerak cepat mencubit bahkan memukul tubuh Arumi penuh emosi.
“Ampun Bu ... Arumi minta maaf, sakit Bu ... Arumi mohon lepas Bu, sakit ....” Arumi mencegah tangan sang ibu yang masih menarik rambutnya, “sakit Bu ... Arumi mohon,” iba Arumi di tengah tangisnya berusaha melerai jambakan sang ibu.
“Sakit? Kamu bilang sakit?” tanya Sang Ibu semakin gelap mata, tangannya terus mencubit bahkan memukul tubuh Arumi tanpa ampun.
"Ampun Bu ...." Arumi terus mengiba, berulang kali meminta ampun daan belas kasihan sang ibu.
Arumi akhirnya memilih diam, tubuhnya membeku pasrah menerima bentakan, pukulan, bahkan cubitan yang di terimanya bertubi-tubi membuat hatinya semakin sedih. Arumi sengaja membiarkan sang ibu berbuat sepuasnya hingga gerakan tangan sang ibu mereda dengan napas terengah dan mata merah.
“Argh ... Ibu harap pelajaran ini bisa membuatmu sadar Arumi!” teriaknya penuh emosi mengusap wajahnya yang berkeringat, “sudah waktunya kamu membalas air susu yang pernah Ibu berikan, sekarang kamu paham!” sentak Sang Ibu, mendorong tubuh Arumi.
Arumi, menatap tidak percaya, tubuhnya gemetar menahan sesak dan sakit dalam hatinya. "I-Ibu, sudah puas memukul Arumi? Ibu bersungguh-sungguh mengatakan itu? Meminta air susu yang pernah Ibu berikan pada Arumi?” Arumi tersedu, suaranya kini semakin lirih menyesali ucapan yang keluar dari bibir sang ibu, bahkan Arumi tidak percaya dengan semua yang di dengarnya dan perlakuan Sang Ibu.
"Benar dan Ibu yakin dengan ucapan Ibu. Balas air susu Ibu yang sudah kamu minum selama dua tahun!” sumpah serapah ke luar dari mulut Sang Ibu.
Setelah puas melampiaskan semua amarahnya, Sang ibu tanpa berbicara lagi ke luar kamar. "Ibu minta pikirkan permintaan Ibu ini!" teriaknya dari luar kamar, beberapa saat yang terdengar hanya hening tidak ada teriakan dari sang ibu.
Tubuh Arumi terlonjak suara dentuman pintu kamar yang di dorong kasar. Arumi hanya duduk terpekur, selepas kepergian sang ibu. Arumi hanya bisa menatap lantai kamar, suara tangisnya tidak lagi terdengar hanya air matanya yang terus luruh jatuh menitik di lantai, Arumi benar-benar menangis dalam diam.
"Ibu ... apa? Salah Arumi! Apa? karena harta Ibu memperlakukan Arumi seperti ini. Apa? Yang harus Arumi lakukan?” tanya Arumi lirih pada dirinya sendiri, tubuh Arumi limbung luruh meringkuk dilantai dengan tatapan kosong.
“Apa? Yang harus Arumi lakukan?” Arumi meringis merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Bab 2. Keputusan yang berat
Semalaman Arumi meringkuk di lantai kamar, pikirannya di penuhi berbagai pertanyaan yang terus menyudutkan hatinya, pertanyaan-pertanyaan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya olehnya.
'Apa? yang harus aku lakukan, menerima atau menolak keinginan Ibu? Kenapa Ibu tega memaksakan kehendaknya? Bahkan Ayah juga seakan menutup telinga dengan masalah ini. Apa? Benar aku anak Ayah dan Ibu dan kenapa semua baru terpikirkan olehku?' beberapa pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam hatinya.
Arumi mengubah posisi tubuhnya menjadi terlentang, netranya menatap langit-langit kamar, hanya sesekali terdengar desahan napas berat dari bibirnya. 'Apa? Aku harus menerima perjodohan ini. Apa? Laki-laki itu akan baik padaku atau bahkan sebaliknya.'
Arumi mengusap dadanya yang tiba-tiba berdesir cemas. "Bagaimana aku memutuskan?" tanyanya bimbang pada dirinya sendiri.
Malam makin larut, Arumi memilih bangkit mengusap netranya yang sembab. "Ya, jika ini jalan satu-satunya," putus Arumi merebahkan tubuhnya di ranjang begitu saja sebelum netranya terpejam, berharap dengan merehatkan otaknya beberapa jam ke depan hingga pagi menjelang dirinya bisa mengambil keputusan yang tidak akan dia sesali seumur hidupnya nanti.
Mentari pagi menyapu wajahnya dengan rakus, netranya berkedip sebelum wajahnya berpaling menghindari silau yang membuat netranya memicing pedih. "Huuff ...." Arumi menggeliat malas, perlahan tubuhnya bangkit, duduk tanpa semangat di atas ranjang.
Arumi masih dengan semua kebisuannya, mengusap netranya yang sembab. "Apa? yang harus aku lakukan?" tanyanya bingung untuk beberapa saat, "apa, aku ...." Arumi beringsut duduk di sisi ranjang kakinya terjuntai di lantai begitu saja.
"Argh ...." Arumi mengacak-acak rambutnya kesal, "jika ini yang menjadi jalan keluarnya," putus Arumi akhirnya, seakan dirinya menemukan jawab dari semua masalah yang di hadapinya.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*\*
“Pagi ....” Sapa Arumi lirih, netranya menatap sendu ke arah kedua orang tuanya yang tengah duduk di meja makan.
Mendengar teguran Arumi sang ibu yang tengah menyuap nasi dalam mulutnya langsung menoleh ke arah Arumi kesal. Mendapat tatapan yang kurang bersahabat dari sang ibu, Arumi spontan menunduk menghindari tatapan sinis Ibunya.
“Jika kamu ingin mengganggu sarapan kami, sebaiknya pergi Arumi!” sentak Sang Ibu geram, seketika menghentikan makannya, “Ash ... melihat wajah sembabmu itu membuat Ibu tidak selera makan,” ketus Sang Ibu tidak suka.
Arumi membeku, lagi-lagi amarah yang masih sama ditunjukkan padanya, sesaat Arumi menelan ludahnya untuk mengurai ketakutannya. “Bu, a-ada ... yang ingin Arumi bicarakan,” ujarnya lirih makin menunduk menatap meja makan di depannya, “A-Arumi, Arumi ....” Arumi menjeda ucapannya.
Sang Ibu semakin kesal saat mendengar bicara Arumi yang terbata. “Hem ... begitu cara kamu berbicara dengan orang tua, tidak sopan. Angkat kepala kamu!” teriak Sang Ibu tangannya reflek melempar sendok yang di pegangnya hingga jatuh ke lantai yang tertinggal hanya suara dentingan sendok yang beradu dengan lantai.
“Maaf. A-Arumi ....” Arumi menjeda ucapannya, menatap dua wajah orang tuanya lekat dengan keberanian yang tersisa.
“Apa? Bicara yang benar jangan plin-plan,” tegas Ibu tidak sabar.
Arumi menghela napas panjang, kedua tangannya bertautan gemetar. “Arumi ... Arumi menerima perjodohan yang Ibu sampaikan,” jawab Arumi lesu.
Sang Ibu yang sedari tadi menatap sinis, seketika netranya membola tidak percaya. “Arumi, coba ulangi lagi ucapan kamu,” ujar sang ibu senang, “ benar yang kamu katakan?” tanya Sang Ibu dengan wajah berbunga seakan tidak percaya dengan kabar yang di dengarnya.
“Benar Bu. Arumi menerima perjodohan yang Ibu sampaikan,” jawab Arumi sedikit keras dengan suara gemetar.
“Apa? Ibu tidak salah dengar Arumi?” tanya Sang Ibu ulang.
Arumi hanya mengangguk sebagai jawaban, netranya tertuju pada sang ayah yang selama ini selalu mengalah dengan semua keputusan sang istri.
“Wah ... akhirnya, benar ‘kan, Pak. Apa? Yang Ibu bilang, Arumi pasti setuju,” timpal Sang Ibu dengan wajah senang, “maharnya Pak, belum lagi perhiasannya juga, akhirnya ... kita bisa memiliki uang sebanyak itu.” Sang Ibu bergegas berdiri menghampiri Arumi memeluk, bahkan mencium seluruh wajahnya.
“Ini baru anak Ibu.” Sang Ibu sesaat mengerutkan dahi menatap anak gadisnya secara intens. “Ash ... lihat mata sembab kamu, cek-cek ... mata sembabmu itu bisa mengurangi kecantikan kamu,” tutur sang Ibu tidak suka menangkup wajah Arumi, memindainya secara teliti untuk kedua kalinya, “cepat rawat wajah kamu Arumi, benar ‘kan, Pak,” ujar sang ibu kembali duduk di samping suaminya.
Sang suami yang sejak tadi memilih diam langsung menoleh ke arah Arumi. “Kenapa, kamu memaksa Arumi, Lastri. Biarkan dia memilih jodohnya sendiri,” timpal suaminya tidak suka.
Bu Lastri hanya tersenyum menanggapi teguran suaminya. “Akh ... Bapak, semua juga demi kebahagiaan Arumi, hanya itu,” jawab Bu Lastri kekeh dengan pendiriannya, “benar ‘kan, Arumi?” tanya Sang Ibu penuh penekanan.
“I-iya, Bu,” jawab Arumi terjeda.
Mendengar jawaban Arumi, sang ayah langsung menilik wajah sang istri, sesaat dahinya mengerut seakan paham dengan sikap istrinya. “Pasti mahar itu yang menjadi pertimbangan kamu, aku sudah mengingatkan kamu dari awal, sekarang ... Arumi, bahkan menyetujui begitu saja pinangan ini.” Sang suami menghela napas panjang, dirinya seakan tidak berkutik dengan keputusan sang istri.
“Mas tahu itu. Serahkan semua pada Lastri, Lastri akan mengurusnya,” timpalnya yakin.
“Terserah kamu Lastri, tetapi ingat perkataan saya,” ancam Sang Suami, meninggalkan meja makan dengan kesal.
Namun, belum juga langkahnya menjauh dari meja makan sang suami kembali menoleh ke arah sang istri untuk beberapa saat. “Lastri ... jika sampai terjadi apa-apa dengan Arumi, ingat perkataan saya,” kecam sang suami penuh penekanan.
"Sudahlah Pak, Ibu yakin dengan perjodohan ini. Ibu lihat sendiri jika laki-laki itu baik, dia juga tampan, Ibu sangat yakin dengan laki-laki itu," jelas Bu Lastri panjang lebar.
Sang suami hanya mendengus kesal mendengar penuturan sang istri, memilih meninggalkan meja makan. Bu Lastri hanya tersenyum melihat sikap suaminya.
"Arumi, maaf 'kan, Ibu. Ya, Nak," pintanya pelan, "andaikan kamu bersikap baik sejak semalam, mungkin Ibu tidak akan memukulmu, aduh ... lihat lengan bahkan tangan kamu," tutur Bu Lastri dengan senyum yang sulit di tebak.
Arumi hanya mengangguk, wajahnya makin menunduk takut. "Bu, boleh Arumi masuk kamar?" tanya Arumi pelan.
"Boleh-boleh, masuk saja sekalian beri salep tangan juga lengan kamu," ujarnya perhatian.
Arumi bergegas berdiri, masuk dalam kamar. "Kenapa Ibu cepat berubah, bahkan tabiatnya berubah seratus persen, saat menyebut laki-laki ini," lirih tidak urung dirinya menyempatkan diri untuk menengok ke arah meja makan di mana ibunya duduk tidak lama Arumi menutup pintu kamarnya.
Sepeninggal Arumi, sang ibu yang duduk sendiri kini terlihat tersenyum-senyum sendiri, seakan ada hal yang membuatnya senang, angan yang hanya dirinya paham dan mengerti. "Akh ... kalau sudah rezeki, enggak akan ke mana dengan begini ...." Bu Lastri menjeda ucapannya.
Bab 3. Pelaminan kosong
Waktu cepat berlalu Bu Lastri begitu bersemangat, setelah perkenalan Arumi dan menetapkan tanggal pernikahan. Genap satu bulan kemudian, pagi ini suasana terlihat ramai, semua persiapan akad nikah sudah tertata rapi, Bu Lastri sudah berdandan rapi, senyumnya sudah tersebar ke beberapa tetangga yang di temuinya di rumah. “Apa? Arumi sudah siap?” tanyanya, mengintip dari balik pintu.
“Ash ... kenapa belum siap juga,” sergah Bu Lastri kesal bergegas masuk dalam kamar, “rias dia!” titahnya marah.
“Bu ....” Arumi menolak, menepis tangan MUA.
Arumi menggeleng, kembali menolak tangan MUA yang menyapukan bedak di wajahnya. Sang ibu yang melihat sikap Arumi semakin kesal, tanpa banyak bicara mendekat, mencubit lengan Arumi dengan netra tajam.
“Lakukan sekarang,” titah sang ibu marah.
Lagi-lagi Arumi kalah dengan sikap keras ibunya hingga lima belas menit kemudian. “Begini ‘kan cantik. Ibu yakin Abraham pasti akan pangling,” tutur sang ibu puas.
Selepas kepergian sang ibu, Arumi hanya tertunduk lesu menatap lantai kamar.
“Arumi, kenapa kamu terlihat tidak senang?” tanya MUA yang sedari tadi memperhatikan sikap Arumi.
Arumi menggeleng, menatap MUA yang berdiri di depannya. “Saya takut, saya ....” Arumi merapatkan bibirnya, bersamaan dengan helaan napas berat yang ke luar dari hidungnya, “Mbak saya ingin lari dari pernikahan ini. Apa? Mbak mau membantu?” tanya Arumi ragu.
Sang MUA langsung menatap Arumi heran, netranya membola tidak percaya saat mendengar perkataan Arumi. “Jangan bicara yang aneh-aneh Arumi. Tenang saja, nanti pasti tidak akan takut, itu wajar,” jawab MUA tenang kemudian merapikan alat make up yang berserak di nakas.
“Selamat Arumi, semoga langgeng.” MUA memberi selamat setelah semua alat make up sudah tersimpan rapi, menilik wajah Arumi yang cemas.
Percakapan mereka terhenti, saat mendengar suara mobil berhenti tepat di depan jendela kamar Arumi. Arumi dan MUA sontak menoleh bersamaan, tetapi Arumi langsung memutus tatapannya saat melihat seorang laki-laki ke luar dari mobil. Laki-laki yang sibuk membetulkan jas putih tulang yang di kenakannya.
Laki-laki berperawakan tinggi, garis wajah tegas dengan sorot mata tajam.
“Arumi, itu calon suami kamu?” tanya MUA mengejutkan, kemudian netranya melihat ke arah Arumi untuk beberapa saat dan tidak lama berganti ke arah laki-laki yang tengah membetulkan jas yang di kenakan.
“Benar Mbak, dia Mas Abraham,” jawab Arumi tidak bersemangat.
“Wah ... beruntung sekali calon suamimu itu. Mendapatkan kamu yang masih kinyis-kinyis, sementara dia sudah berumur dan berpengalaman,” cerocos MUA semakin membuat Arumi takut.
“Mbak ... Arumi takut.” Arumi membeku bertepatan dengan Abraham menilik ke arah jendela kamarnya.
“Arumi ....” MUA menatap Arumi lekat, “apa? Kamu tidak mencintainya?” tanya MUA menelisik.
“Mbak.” Arumi memegang erat tangan MUA disebelahnya.
Namun, belum juga Arumi menjawab, pintu kamar di buka, wajah sang ibu muncul dari balik pintu. “Siapkan Arumi, acara ijab kabul sudah di mulai,” tutur Bu Lastri bunga.
Suasana benar-benar sepi yang terdengar hanya suara Pak Penghulu yang memimpin ijab kabul dan tidak lama terdengar suara sah dari beberapa warga yang menyaksikan.
“Alhamdulillah. Arumi, lekas ke luar,” titah sang ibu menarik tangan Arumi, menuntun anak perempuannya ke luar dari kamar.
Memasuki altar pernikahan Arumi tidak mengira jika pelaminan akan di dekor begitu megah, lampu hias menggantung di beberapa tempat, buket bunga mawar, sontak aroma wangi tercium menyeruak ke seluruh ruangan, bahkan area prasmanan tersaji beragam selera nusantara.
"Jangan melamun Arumi, tarik bibir kamu! Senyum yang manis, lihat suamimu sedang memperhatikan," sentak Sang Ibu mengejutkan Arumi.
“Kenapa kamu diam, majulah. Abraham sudah menunggumu,” bisik sang ibu lirih mendorong tubuh Arumi ke depan.
Arumi tersadar dari lamunnya. “Maaf, Bu,” jawab Arumi melangkah lebih mendekat.
Abraham yang sejak tadi memperhatikan dirinya, tersenyum ramah menyambut kedatangan Arumi, meraih tangan Arumi, membimbingnya hingga duduk di kursi, sikap sopan dan ramah yang pertama kali Arumi nilai.
Melanjutkan beberapa acara yang terjeda hingga Pak Penghulu menutup acara akad nikah dan menyerahkan buku nikah pada Arumi dan Abraham.
Selepas kepergian Pak Penghulu hanya dalam hitungan menit, Abraham sudah berdiri, berjalan mendekati kedua orang tua Arumi. Arumi bisa melihat jika Sang Ayah tengah berdebat pelan dengan Abraham, tetapi tidak lama sang ayah hanya bisa diam dan netranya langsung tertuju pada Arumi, menatapnya cemas. Melihat reaksi dari sang ayah, Arumi semakin merasa takut
seakan ada isyarat yang coba sampaikan lewat tatapannya.
Arumi perlahan mundur dari tempatnya, perlahan Arumi beringsut pergi, tetapi langkah Arumi sedikit terhambat karena kain panjang yang dia kenakan. “Mau ke mana kamu,” sentak sang ibu, mengejutkan, meraih tangan Arumi kasar, menyeretnya kembali mendekat ke suami yang baru menghalalkannya beberapa menit lalu.
“Bu, Arumi-Arumi ....” Arumi memutus ucapannya, netranya menilik ke arah sang ayah.
Namun, Arumi hanya bisa melihat sorot netra cemas sang ayah. “Silakan bawa Arumi, dia sudah menjadi istrimu sekarang,” ujar sang ibu yakin melepas Arumi tanpa rasa khawatir.
Memeluk Arumi dan membisikkan sesuatu yang membuat Arumi tidak berkutik.
“Yah ... Arumi, mendekap tubuh sang ayah erat seakan ingin mencari perlindungan lewat netranya.
“Bersenang-senanglah Arumi, Suami kamu akan mengajakmu berbulan madu,” jelas Sang Ayah pelan.
Arumi tidak mengira jika Abraham akan membawanya pergi begitu cepat, belum juga Arumi menyiapkan batinnya hanya untuk sekedar menyapa suaminya. “Apa? Kamu akan membiarkan Suami kamu menunggu Arumi? Perjalanan akan memakan waktu,” Abraham pelan dengan netra tajam.
Arumi menunduk takut, melangkah mendekat dengan kaki gemetar, entah kenapa Arumi merasa ada hal yang di sembunyikan dari sikap ramah Abraham. “Ayah, Ibu. Arumi berangkat,” pamitnya dengan suara tercekat.
Abraham sudah berdiri di samping mobil, membuka pintu mobil lebar untuk dirinya. “Ma-maaf. Saya lupa membawa baju,” ujar Arumi berusaha mengulur waktu.
“Masuklah jangan pikirkan hal sepele itu,” ujar Abraham pelan seakan memaksa Arumi masuk mobil.
Arumi hanya membisu, wajahnya menunduk takut menyembunyikan tatapan Abraham yang sesekali meliriknya tajam. ‘Terlambat Arumi, terlambat, kenapa kamu akan memberontak sekarang? Kamu ingin lari dari laki-laki ini? Dia sudah membelimu mahal Arumi, mahar yang tidak kamu miliki.’ Perang batin Arumi menghujat ketololannya.
“Apa? Kamu takut?” tanya Abraham tiba-tiba mengejutkan Arumi.
Arumi makin menunduk, meskipun kepalanya menggeleng sebagai jawaban.
“Duduk saja dengan tenang, mungkin tengah malam nanti kita baru sampai,” tutur Abraham dengan suara besar, melirik benda yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Gunakan untuk istirahat Arumi," ujarnya sembari tersenyum aneh, kata terakhir yang Arumi dengar setelah itu hanya kebisuan yang terjadi, sementara Abraham sudah sibuk menggulir benda pipih yang ada di tangannya, hanya sesekali senyumnya tersungging aneh tidak urung netranya melirik ke arah Arumi.
Benar yang Abraham ucapkan, entah berapa lama perjalanan yang mereka lalui, tengah malam mereka baru tiba. Arumi masih terpaku di dalam mobil, netranya menatap rumah besar yang ada di depannya. "Ini ...." Arumi tertahan saat Abraham meniliknya dari luar mobil.
“Ke luar Arumi, ini rumahku dan sekarang kita sudah berada jauh dari kota asal kamu,” terang Abraham menutup pintu mobil kasar kemudian melangkah lebih dulu meninggalkan Arumi dengan semua kebingungannya.
Arumi masih menggunakan baju pengantin lengkap saat mengekor langkah Abraham pelan. Netranya terus memindai setiap jalan yang dilaluinya, seakan ingin memberikan perintah pada memorinya untuk mengingat semuanya dalam sekali lihat.
Langkah Arumi makin pelan, ada kecemasan dan perasaan takut yang tiba-tiba menusuk hatinya. 'Apa? Benar ini rumah Abraham? Siapa dia, kenapa dia ....' Batin Arumi bergolak melawan kenyataan yang tengah dilihatnya.
"Apa? Kamu akan berjalan seperti siput! Cepatlah, aku juga ingin segera istirahat," pekik Abraham tidak sabar.
"Ma-maaf ... sa-saya ...." Arumi tidak melanjutkan ucapannya, memilih mengangkat kain yang di gunakannya agar langkahnya bisa sedikit cepat.
Arumi masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, langkahnya terhenti di ruang tamu, ruang yang terkesan gelap dengan suasana remang-remang.
"Akhirnya, kamu datang juga," suara manja seorang wanita, langsung memeluk tubuh Abraham dari belakang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!