"Dimas sialan! Brengsek! Aku berharap kamu mati aja bajingan!"
Air mata wanita itu tumpah walau sedetik kemudian dia tertawa terbahak-bahak seperti orang gila, dinging malam tidak dia pedulikan, sakit di hati lebih menyiksa dirinya, Bagaimana tidak? Bberapa menit yang lalu dia melihat dengan kedua mata sang kekasih tercinta alias Dimas pria brengsek baru saja selingkuh! SELINGKUH DENGAN HRD MEREKA!
"Sial!" maki wanita yang bernama Adelina itu, dia kembali meneguk sebotol alkohol berharap rasa sakit ini dapat menghilang.
"Hubungan tiga tahun sia-sia!" lanjut Adelina, dia meracau tidak jelas sesekali menangis lalu tertawa pelan, tidak ada yang berani mendekatinya karena malam yang cukup sepi.
Saat kepalanya sudah terasa berat, Adelina mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru, melihat sebuah hotel lalu melangkahkan kaki ke arah sana, malam seperti ini dia tidak bisa pulang, apalagi melihat keadaannya yang sudah mabuk.
"Selamat datang, ada yang bisa kami bantu?" Seorang wanita menyapa Adelina membuat wanita itu mengangkat tangan seraya menganggukkan kepala.
"Kamar," lirih Adelina pelan, yang ada di pikirannya hanya segera merebahkan tubuh di atas kasur, bahkan Adelina segera memberikan KTP serta sebuah kartu.
"Kamar 39, kuncinya nona," ujar wanita itu dengan sopan yang diangguki oleh Adelina, setelah mengambil kunci dia melangkah menuju kamar yang diucapkan wanita tadi.
Saat ada seorang pria yang berniat mengantar Adelina tetapi wanita itu menolak, walau dia tengah mabuk tetapi dia masih tau arah jalan dan tidak akan tersesat.
Setelah menolak kaki Adelina terus melangkah, dia sesekali memaki Dimas dan tertawa pelan karena merasa bodoh telah menjalani hubungan dengan pria itu.
"35," lirih Adelina membaca nomor di depan sebuah kamar, kakinya bergerak selangkah lalu mengerutkan kening saat melihat angka di depan kamar tersebut.
"35 dan ini 39?" lirih Adelina pelan walau selanjutnya dia menggelengkan kepala dan mengatakan tidak peduli karena saat mencoba membuka pintu, pintu sama sekali tidak terkunci membuat wanita itu segera melangkahkan kaki masuk ke dalam.
Dengan wajah yang penuh gembira Adelina merebahkan tubuhnya di atas kasur, dia tersenyum tipis menikmati nyamannya telah merebahkan diri. Saat akan menutup mata, telinganya mendengar sebuah suara, pandangan wanita itu teralih melihat seorang pria yang baru saja keluar dari kamar mandi, sedetik kemudian wanita itu berdiri dengan kaki yang melangkah mendekati pria itu.
"Dimas?" tanya Adelina setelah beberapa saat terdiam.
Adelina tertawa cukup keras, dia bahkan menepuk pundak pria tersebut sedangkan pria itu menatap Adelina dengan wajah yang keheranan, saat akan melangkah mendekati sebuah meja, Adelina tiba-tiba memeluk pria tersebut membuatnya sedikit kaget.
"Dimas, aku sangat menyayangimu, kenapa? Kenapa kamu malah memilih wanita itu?" Adelina menatap wajah pria yang tengah menatapnya dengan tatapan tajam.
"Lepas!" lirih pria tersebut tetapi tidak dipedulikan oleh Adelina malahan Adelina malah berjinjit, menyatukan bibirnya dengan pria tersebut, awalnya pria tersebut berniat mendorong Adelina tetapi saat merasakan rasa manis di bibir Adelina karena alkohol, pria itu malahan semakin menekan tekuk Adelina membuat keduanya semakin termakan gairah, bahkan tanpa Adelina sadari tubuhnya sudah terjatuh di atas kasur.
Malam semakin larut, tetapi aktivitas kedua orang tersebut semakin jauh, hal yang selama ini Adelina jaga tanpa dia sadari telah dia berikan kepada pria asing yang bahkan tidak dia kenali, sedangkan pria itu hanya menatap Adelina dengan wajah sedikit heran saat merasakan jika dia telah menerobos sesuatu yang membuat darah mengalir di atas kasur, tetapi hanya sebentar karena kedua orang itu tidak peduli dengan semua itu.
Saat hampir jam tiga, Adelina sudah terlelap tidur seraya memeluk tubuh pria yang tadi berhasil membuatnya melayang, begitu pula dengan pria itu yang membalas pelukan Adelina, bahkan setelah sekian lama baru kali ini pria itu kembali memeluk seorang wanita dengan begitu nyaman. Dua jam kemudian pria itu Perlahan membuka mata, hal yang pertama kali dia lihat adalah wajah damai Adelina.
Saat tangannya berniat menyentuh wajah Adelina, tangan pria itu malah berhenti di Udara, dia Perlahan melepaskan pelukan Adelina dan melangkah menuju kamar mandi. Setelah selesai membersihkan diri, pria itu segera mengambil sebuah cek, menuliskan nominal yang cukup besar, meletakkan cek tersebut di atas meja lalu melangkah keluar, meninggalkan Adelina yang masih berada di alam mimpi.
Cahaya matahari menerpa wajah Adelina, secara Perlahan wanita itu membuka matanya, dia sejenak terdiam saat merasakan sedikit ngilu di daerah intimnya, apalagi saat melihat tubuhnya yang hanya berbalut sebuah selimut.
"Apa ini? Kenapa aku ." Adelina secara Perlahan memegang kepalanya yang terasa sedikit sakit, dia melirik ke kiri dan ke kanan, mengambil segelas air lalu meneguknya, tanpa sadar sebuah kertas jatuh tetapi tidak dipedulikan oleh wanita itu, secara perlahan tangannya bergerak mencari tasnya dan mengambil ponselnya.
Ada banyak panggilan di sana, apalagi panggilan dari Dimas, mantan sialannya itu dan panggilan dari seorang wanita yang tidak lain adalah sahabatnya sendiri, Fiola.
"Halo Fio."
"KAMU KE MANA AJA?"
Dengan cepat wanita itu menjauhkan ponsel dari telinganya, teriakan Fiola barusan bisa saja membuat gendang telinga pecah.
"Di hotel."
"Dari tadi ketua mencarimu, ke mana aja?"
Adelina menghela napas kasar, dia sebenarnya harus pergi bekerja tetapi melihat wajah mantan serta selingkuhan itu membuatnya malas datang, tetapi apa boleh buat, dia memang harus pergi.
"Iya, aku segera ke kantor."
Panggilan terputus, saat Adelina berniat turun dari kasur, rasa ngilu tiba-tiba menyerang membuat dirinya seketika jatuh, dia meringis kecil saat merasakan daerah intimnya begitu ngilu.
"Kenapa bisa ngilu?" lirih Adelina dengan sedetik kemudian memekik melihat noda darah di atas kasur, darah apa itu? Bukankah dia hanya sendirian di kamar ini? Kenapa bisa ada noda darah?
"Apa hotel ini ada hantunya?" lirih Adelina seraya bergidik ngeri.
Dengan susah payah, wanita itu melangkah menuju kamar mandi, dia segera mengisi bak dengan air dingin berharap rasa ngilu itu akan hilang, ditambah badannya terasa sakit semua. Adelina yang tengah memikirkan sesuatu tiba-tiba menggelengkan kepala saat mengingat mimpinya tengah berhubungan badan dengan Dimas.
Benar, semua yang terjadi tadi malam hanya mimpi bagi Adelina, dia mengira jika pria asing itu adalah Dimas, tetapi bagaimana jika Adelina tau sebenarnya jika dia benar-benar telah berhubungan badan?
Setelah bersiap-siap, kaki Adelina melangkah keluar, tubuhnya tiba-tiba membeku saat akan menutup pintu, dia bahkan mengucek kedua matanya saat melihat nomor kamar tersebut adalah tiga puluh enam, apa tadi malam dia salah masuk kamar? Pasalnya di tangannya sekarang ada kunci kamar nomor tiga puluh sembilan.
"Semoga enggak ada yang tau jika aku salah kamar."
...***...
Alex melepaskan jas yang melekat di tubuhnya, dia segera duduk dan meminta seorang pria untuk menjelaskan sesuatu membuat pria yang biasa dipanggil Arkan segera mengeluarkan tablet dan memberikannya kepada Alex.
"Keadaan di sana sudah hampir kita kuasai," jelas Arkan mengakhiri penjelasannya.
Alex sejenak terdiam, dia tengah fokus memikirkan sesuatu sampai akhirnya suara ponsel memecahkan keheningan, pria itu mengangkat sebelah alis saat melihat nomor yang tidak dikenal menghubungi dirinya.
"Halo." Arkan bergerak cepat, setelah mendengar ucapan dari sang penelpon Arkan segera memberitahu Alex jika yang menghubungi adalah pihak hotel tempat Alex tadi malam menginap. Pihak hotel mengatakan jika menemukan sebuah cek atas nama diri Alex membuat Alex sejenak mengerutkan kening.
Sebuah cek? Dia memang memberikan sebuah cek tetapi sebagai bayaran untuk wanita itu, apa wanita itu tidak mengambilnya?
"Perintahkan William mengambil cek tersebut!" tekan Alex karena dia tidak mau mengurus hal-hal seperti itu, lagian hanya cek bernilai seratus juta.
Mendengar perintah Alex, Arkan menganggukkan kepala, dia segera memberi perintah William untuk mengambil cek tersebut walau sedetik kemudian tatapan Alex terfokus kepada Arkan membuat pria itu siaga menunggu perintah selanjutnya, apa yang perlu dia lakukan?
"Apa tadi malam kamu mengirim wanita?"
"Tidak tuan," balas Arkan dengan singkat.
Alex kembali terdiam, dia memang meminta Arkan untuk tidak mengirim wanita karena saat itu dia hanya ingin beristirahat dengan tenang, jika bukan kiriman dari Arkan, apa jangan-jangan wanita itu adalah mata-mata dari musuhnya?
"Selidiki wanita yang tidur denganku tadi malam!" perintah Alex dengan raut wajah datar.
Jika benar wanita itu adalah kiriman dari musuhnya, dia tidak akan segan-segan membunuh wanita itu. Harusnya tadi malam dia waspada tetapi entah kenapa ada sesuatu hal yang membuat Alex menjadi tertarik dengan wanita itu sampai tidak memikirkan kemungkinan risiko yang akan dia terima.
Apa lagi saat wanita itu menyebutkan nama "Dimas", raut wajah kesakitan dan kekecewaan membuat Alex menjadi tidak memikirkan hal lain.
Arkan yang diperintahkan oleh Alex segera bergerak menuju hotel tersebut, dia memerintahkan William untuk kembali ke Perusahaan karena dia sendiri yang akan mengambil cek tersebut, pasti ada sesuatu yang terjadi tadi malam sampai Alex memerintahnya mencari identitas seorang wanita.
"Permisi," sapa Arkan dengan ramah setelah berada di hotel.
Wanita itu tersenyum lebar dan segera bertanya ada yang bisa dibantu olehnya, setelah Arkan menjelaskan jika dia ingin mengambil cek dari Alex Aderson serta ingin melihat CCTV hotel mereka.
"Maaf tuan, tetapi itu privasi hotel," tolak wanita itu dengan sopan saat Arkan meminta melihat CCTV.
Bukan Arkan namanya jika kehabisan akal, bahkan hanya beberapa menit kemudian dengan tipuan Arkan sudah bisa melihat CCTV. Dia dapat melihat jika seorang wanita masuk ke dalam kamar yang dipesan oleh Alex.
"Apa kamu mengenalnya?"
Wanita yang ada di samping Arkan sejenak terdiam, dia kenal wanita itu karena hanya satu wanita mabuk yang tadi malam memesan kamar, dia juga baru tau jika wanita telah salah kamar.
"Maaf tuan, ini kelalaian kami, jika ada benda yang hilang kami siap ganti rugi!" ujar wanita itu tetapi digelengi oleh Arkan, sekarang dia hanya butuh identitas wanita itu.
Dengan cepat Arkan sudah mendapatkannya, Adelina Raiska, seorang wanita yang bekerja di Perusahaan Flowlin, perusahaan kecil yang bergerak dibidang produk makanan. Bahkan Arkan segera tau di mana wanita itu tinggal dan latar belakang Adelina juga.
Setelah mendapatkan semuanya, Arkan mengucapkan terima kasih dan pergi dari sana, dia mengirim semua data tersebut kepada Alex membuat Alex yang tengah memeriksa sebuah berkas segera mengecek informasi dari Arkan.
Awalnya dia sedikit ragu karena wanita itu hanya wanita biasa tidak seperti yang ada di pikirannya, jadi bagaimana bisa wanita itu masuk ke dalam kamarnya dan menyerahkan kehormatan dirinya kepada Alex? Bukankah sedikit aneh? Ditambah wanita itu sama sekali tidak mengambil cek darinya, apa yang diinginkan wanita itu?
"Awasi wanita itu!" Alex mengirim pesan kepada Arkan.
Arkan yang menerima pesan segera menganggukkan kepala, dia tidak pernah membantah perintah dari Alex walau perintah itu sendiri membahayakan dirinya, baginya perintah Alex mutlak untuk dilaksanakan, sedangkan Alex yang dilanda tanda tanya masih menatap foto Adelina yang sempat dikirim Arkan kepadanya.
"Apa tujuannya?"
Baru kali ini ada wanita yang menyerahkan diri tanpa dibayar, bahkan wanita itu masih segel membuat Alex berpikir yang tidak-tidak. Dia benar-benar harus waspada, ada banyak musuh yang menginginkan dirinya jatuh.
Di saat Alex tengah memikirkan apa yang diinginkan oleh Adelina, wanita itu sendiri baru saja menjatuhkan bokongnya di kursi tempatnya menghasilkan uang, dia tau dia sudah telat beberapa jam yang lalu tetapi dia tidak peduli, dia harus menyelesaikan tugasnya sekarang juga!
"Kamu ke mana aja? Kenapa baru sampai?" Fiola mendekati, dia bahkan menatap Adelina dari atas sampai bawah, sepertinya wanita itu sedang tidak mood terbukti dari raut wajah suram Adelina.
"Kamu tau? Tadi pagi Dimas dan ...."
"Jangan sebut nama sialan itu! Kamu tau? Tadi malam aku memergokinya selingkuh dengan HRD sialan kita," kesal Adelina.
Fiola yang mendengar ucapan Adelina barusan hampir saja memekik jika tidak ingat jika dia ada di tempat kerja, ini benar-benar berita panas minggu ini, pantas saja tadi pagi mereka lihat jika Dimas dan HRD itu berangkat Bersama.
"Sabar ya!" Fiola mengelus bahu Adelina tetapi hanya dibalas helaan kasar oleh wanita itu.
Bahkan Adelina sedikit melirik ke arah Dimas yang terlihat fokus bekerja seakan tidak terjadi sesuatu, hal itu yang membuat Adelina semakin menatapnya dengan penuh kebencian, bisa-bisanya dia memiliki hubungan dengan pria sialan itu!
Adelina mulai fokus dengan computer di hadapannya, dia bahkan sesekali bertanya kepada Fiola tentang gosip terbaru di kantor karena temannya ini merupakan Mak Gosip, tetapi sayang sekali jawaban Fiola membuat Adelina menatapnya dengan sinis karena gossip terbaru malah tentang dirinya.
"Habisnya kok bisa-bisanya Dimas selingkuh padahal hubungan kalian udah jalan tiga tahun? Benar-benar sulit dipercaya," bisik Fiola takut jika Dimas atau HRD Mendengar.
Adelina hanya bisa mengangkat Kedua bahunya tanda tidak tahu, jika dibandingkan dirinya HRD itu memang cantik, ditambah koneksinya di Perusahaan akan membuat siapapun naik jabatan lebih cepat, mungkin itu yang ingin dicari oleh Dimas, mana mungkin dia tau.
"Lihat saja, aku akan cari pria yang lebih tampan dan lebih kaya dari Dimas!" pekik Adelina dengan kesal, dia sebenarnya tidak mood bekerja karena tidak mau bertemu dengan Dimas atau HRD, karena mau bagaimanapun, hubungan tiga tahun mereka sudah banyak meninggalkan kenangan yang indah.
"Siapa sangka akan jadi seperti ini."
...***...
Seminggu berjalan begitu cepat tetapi begitu menyiksa untuk Adelina, karena HRD alias selingkuhan Dimas selalu mempersulit plus memamerkan kemesraan di kantor membuat hati kecil Adelina sering meringis walau masih dia kuat-kuatkan dengan mengatakan jika dia bisa tanpa Dimas.
Tidak ada yang berubah, hanya saja Adelina masih beradaptasi dengan kehidupannya tanpa Dimas walau sebenarnya dia kadang merasa jika ada yang mengawasi dia tetapi kembali ke awal hanya perasaannya saja.
Hari ini semua orang berdiri di depan kantor menyambut seorang pria alias CEO baru yang kabar-kabarnya sangat tampan. Adelina sebenarnya tidak peduli dengan CEO baru mereka ini karena sejak dua hari yang lalu dia merasakan perutnya yang serasa ingin muntah, bahkan sudah dua hari saat bangun dari tidur dia mual-mual terus, ditambah nafsu makannya yang menurun membuat energi Adelina seakan terkuras habis.
"Selamat datang CEO!"
Semua orang bertepuk tangan saat seorang pria melangkah masuk, bahkan beberapa wanita mulai berbisik akan ketampanan CEO mereka ini, lain dengan Adelina, dia malah menahan mulutnya seperti akan muntah.
"Eh, mau ke mana?" bisik Fiola kepada Adelina saat melihat wanita itu sudah pergi begitu saja membuat Fiola hanya melongo keheranan, dia tau kondisi Adelina yang akhir-akhir ini kurang baik.
Setelah beberapa menit berada di toilet, wanita itu melangkah keluar, dia menjatuhkan tubuhnya di atas kursi dengan helaan panjang, jujur saja dia capek berada di situasi ini.
"Kenapa enggak pergi berobat aja?"
Adelina secara pelan menggelengkan kepala, dia tidak suka ke Rumah Sakit, dulu jika dia sakit pasti Dimas yang merawatnya, sekarang dia hanya bisa merawat diri sendiri.
"Tau enggak? CEO kita tampan banget," bisik Fiola tetapi tidak dipedulikan oleh Adelina, saat ini dia hanya ingin segera menyelesaikan pekerjaannya lalu pulang untuk beristirahat.
Apa pedulinya dengan ketampanan CEO baru? Lagian tidak bisa dia miliki juga jadi percuma. Fiola masih saja mengoceh Bersama beberapa karyawan wanita, apalagi jika bukan membahas CEO tampan yang mungkin akan menjadi hot topik selama seminggu.
"Adelina!"
Dengan terpaksa Adelina mengangkat kepala, matanya menatap ketua yang sesuai dugaan dirinya hanya akan menambah pekerjaan saja.
"Selesaikan dokumen ini hari ini juga!" Dua dokumen tebal seketika sudah terletak di atas mejanya membuat wanita itu melototkan Kedua mata, apakah ketuanya ini tidak tau jika dia sedang tidak enak badan dan ingin segera beristirahat?
"Ketua, aku tidak bisa lembur malam ini, aku kurang enak badan," alasan Adelina berharap ketua akan mengerti.
Tetapi tetap, harapan hanya tinggal harapan, ketua malah tidak mempedulikan dirinya dan mengatakan jika itu semua hanya alasan Adelina saja. Tuhan, jika bisa Adelina menangis ingin rasanya dia menangis, kenapa tidak ada yang kasihan kepadanya? Belum lagi perutnya yang terus-terusan merasa mual dari tadi pagi dia belum makan sama sekali.
Waktu berlalu dengan cepat, lagi dan lagi hanya wajah lesu yang Adelina tampilkan, saat makan siang dia hanya makan sedikit karena benar-benar tidak ada selera, belum lagi nanti dia lembur membuat mood-nya semakin hancur saja.
"Kamu yakin mau lembur?" Fiola menatap Adelina yang masih fokus dengan dokumen di tangannya.
Dengan anggukan pelan Adelina menjawab pertanyaan Fiola, lagian dia bisa apa? Dari pada besok dia dimarahi lebih baik dia lembur saja, lagian dia rasa masih sanggup untuk lembur.
"Ya udah, jangan memaksakan diri. Aku pulang dulu." Fiola menepuk pundak Adelina yang diangguki oleh wanita itu.
Satu persatu karyawan segera pulang, bahkan di ruangan ini hanya tinggal Adelina seorang, sebenarnya dia tidak takut lembur sendirian, hanya saja jika dia tengah lembur seperti ini pasti Dimas menemaninya.
"Sial, kenapa aku harus memikirkan pria itu sih!" kesal Adelina lalu kembali fokus dengan dokumen di tangannya.
Waktu kembali berlalu, tanpa terasa perut Adelina tiba-tiba berbunyi membuat wanita itu menghentikan kegiatannya, dia melirik ponsel yang menampilkan pukul Sembilan malam, ternyata sudah selama ini dia fokus bekerja.
Saat Adelina mengedarkan pandangannya, dia baru menyadari hanya dirinya sendiri yang tengah lembur, perasaan takut mulai datang, bagaimana jika terjadi hal yang tidak-tidak? Sialnya saat seperti ini Adelina malah mengingat ucapan Fiola jika perusahaan memang ada penunggunya.
"Fiola sialan, kenapa juga aku harus ingat ucapannya?" keluh Adelina seraya membuka ponselnya.
Lebih baik dia mengurus perutnya yang tengah lapar, saat tengah asik melihat-lihat makanan yang ada, telinga Adelina tiba-tiba Mendengar langkah kaki membuat tubuh wanita itu menegang, bahkan dengan perasaan takut dia perlahan memutar kursi.
Tepat di hadapan Adelina seorang pria melangkah ke arahnya, dengan cepat Adelina berdiri, dia menatap wajah pria itu dengan tatapan takut, siapa pria itu?
"Siapa kamu? Kamu mau apa? Aku bisa aja teriak minta tolong!"
"Aku Arkan, CEO baru."
"Eh?"
Adelina mengerjapkan kedua matanya, saat penyambutan Arkan, dia tidak terlalu fokus karena perutnya yang tengah mual, kali ini saat melihat CEO baru dari dekat, Adelina akui sangat tampan.
"Maaf pak, saya benar-benar tidak tau jika bapak CEO baru kami!"
"Santai saja. Ngomong-ngomong kamu hanya lembur sendiri?" Tatapan Arkan beredar ke segala arah, memang hanya Adelina saja yang dia lihat lembur.
"Iya, kebetulan yang lain sudah pulang," jawab Adelina dengan senyum yang sedikit dipaksakan, entah kenapa akhir-akhir ini dia merasa ketua memang sangat tidak adil, banyak pekerjaan yang diberikan begitu saja kepadanya, tidak jarang Adelina harus lembur sendirian.
"Jangan terlalu memaksakan diri, aku lihat kamu sedikit pucat."
Adelina segera mengambil cermin, saat melihat wajahnya sendiri memang apa yang dikatakan Arkan, dia memang pucat, padahal Adelina merasa dirinya baik-baik saja, kenapa bisa pucat?
"Mungkin karena belum makan, pak," balas Adelina dengan sopan.
Kali ini Arkan menganggukkan kepala, kali ini hanya keheningan yang menyelimuti kedua orang itu, Adelina juga tidak tau akan mengatakan apa, malahan dia merasa sedikit canggung hanya berdua saja dengan Arkan.
"Jika begitu saya lanjut bekerja, pak," ujar Adelina tetapi digelengi oleh Arkan.
"Simpan saja, ayo aku traktir!"
Adelina melongo, saat melihat senyum dan kembali mencerna ucapan Arkan baru wanita itu tersadar dan segera menganggukkan kepala, kapan lagi makan Bersama CEO tampan? Jika Fiola tau akan hal ini pasti wanita itu akan berteriak histeris.
"Baik, pak. Saya bereskan ini dulu!" Dengan cepat Adelina membereskan dokumen-dokumen tersebut, memasukkan ponsel, cermin serta beberapa alat make up ke dalam tas, saat merasa tidak ada yang tinggal Adelina segera melangkah mendekati Arkan.
"Ayo pak! Saya ...." Adelina secara tiba-tiba memegang kepalanya, dia merasa kepalanya mulai memberat bahkan pandangannya perlahan mulai berkunang-kunang, tanpa Adelina sadari pandangannya seketika berubah jadi gelap.
"Adelina!"
...***...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!