NovelToon NovelToon

PRESDIR Tampan Itu Suamiku

Pertemuan Tak Di duga

Pagi yang bising oleh suara knalpot dan klakson kendaraan, menambah kepanikan seorang wanita cantik yang tengah berlari di badan trotoar jalan. Dia sengaja turun dari taksi online pesanannya untuk menghindari kemacetan jalan raya.

Freya Agatha, gadis 22 tahun itu terus berlari seraya menyeka keringat yang masih saja bercucuran di wajah putih mulusnya.

"Aku tidak boleh telat datang di hari pertama masuk kerja", gumam Freya yang memiliki tinggi semampai itu. Nafasnya sudah naik turun, namun dia masih saja melanjutkan langkahnya hingga akhirnya. "Aaaa" suara teriakannya berhasil memekakkan telinga seorang pria yang dengan sigap menampung bobot tubuh rampingnya.

Tatapan pria itu terhunus tajam padanya, walau pose mereka terlihat seperti adegan romantis di dalam film.

Bugh.

"Aww", ringis Freya seraya memegang bokongnya yang mendadak menempel di ubin teras gedung bertingkat tempatnya bekerja. "Tolong", mohon Freya dengan suara pelan, namun pria itu mengabaikannya. Dia pergi begitu saja tanpa mengucapkan sepata kata.

"Dasar pria aneh", gerutu Freya sambil berusaha bangkit berdiri. Namun tiba-tiba saja sebuah tangan terjulur padanya. Freya mendongak dan tertegun menatap wajah pria tampan yang ada dihadapannya.

Apa hari ini hari keberuntunganku atau hari sialku? Aku bertemu dua pria tampan dalam waktu singkat. Ucap Freya di dalam batin.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria itu sembari mengibaskan tangannya.

"Eh, tidak apa-apa", jawab Freya seraya menyambut uluran tangan pria itu. Dia tidak hanya tampan. Dia juga ramah dan pengertian beda banget dengan yang ono. Batin Freya.

"Kamu kerja di sini?" tanyanya saat Freya berhasil berdiri normal.

"Um, iya pak."

"Jangan panggil bapak dong. Saya masih muda kok."

Freya menunduk canggung. "Tapi saya masih baru di terima kerja di sini. Saya takut nantinya malah salah menyapa bos saya."

Pria itu menatap Freya dengan tersenyum penuh arti. "Ayo, kita masuk."

"Baik pak", jawab Freya sopan.

Mereka berjalan masuk ke dalam gedung bertingkat 20 itu. Gedung milik salah satu perusahaan terbesar dan cukup terkenal di kota B saat ini.

"Pagi Pak Givan."

"Pagi."

"Pagi pak Givan", timpal wanita cantik yang berdiri di balik meja resepsionis.

"Pagi."

Astaga! Aku bahkan tahu namanya setelah satpam dan resepsionis menyapanya. Habislah reputasiku. Dia pasti menilaiku buruk dimatanya. Rutuk Freya di dalam batin.

"Hei, kenapa bengong?"

Lagi-lagi Freya tersenyum canggung. "Maaf pak. Tadi saya lupa menanyakan nama bapak."

"Oh, kirain kenapa. Nama saya Givan Pratama."

Nama Pratama kayak nggak asing. Batin Freya.

"Lha, bengong lagi"

"Eh, maaf pak. Saya kayak pernah dengar nama itu, tapi lupa di mana."

"Oh, kalau gitu saya terkenal dong?" tanya Givan dengan tersenyum.

Freya pun membalas dengan tersenyum pula. "Saya Freya Agatha pak. Bapak bisa panggil saya Frey. Saya tebak bapak pasti pemilik perusahaan ini kan?"

"Apa saya terlihat seperti itu Frey?"

"Bapak baik dan juga ramah. Bapak adalah sosok pemimpin yang bisa jadi panutan. Itulah alasan saya mengatakan kalau bapak adalah pemilik perusahaan ini."

"Saya tersanjung mendengarnya", balas Givan dengan tersenyum lebar. Seandainya ucapan itu sesuai dengan kenyataan. Ucap Givan di dalam batin.

Freya terpesona menatap wajah tampan Givan yang semakin tampan kala melihatnya tersenyum. Apakah ini yang dikatakan jatuh cinta pada pandangan pertama? Tanya Freya di dalam batin. Tanpa dia sadari wajahnya telah bersemu merah.

Givan tersenyum penuh arti kala melihat wajah merona Freya.

Ting.

"Ayo, kita masuk", ajak Givan kala pintu lift terbuka lebar.

Givan menyusul masuk ke dalam lift setelah Freya masuk lebih dulu. Sementara resepsionis yang sedang berdiri di balik mejanya buru-buru keluar dan menghampiri pak satpam.

"Kamu kenal dengan wanita yang bersama pak Givan tadi?"

Sang satpam membalas dengan menaikkan kedua bahunya. "Nggak!"

"Uh, nggak asyik", balas sang resepsionis dengan wajah cemberut. Lalu dia buru-buru berjalan kembali ke meja kerjanya dengan ngedumel, karena dia tidak berhasil mengajak sang satpam bergosip.

*-*

.

Setelah berpisah arah dengan Givan, Freya mulai mencari-cari ruangan HRD.

"Sepertinya ini", gumam Freya seraya menaikkan tangannya hendak mengetuk pintu.

Ceklek

Pintu tiba-tiba saja terbuka sebelum Freya berhasil mengetuknya.

Tuk.

Kepala seorang pria tidak sengaja di ketuk oleh Freya.

"Maaf, maaf pak", ucap Freya menunduk dengan rasa bersalah.

"Apa kamu ingin balas dendam?"

Freya gegas mendongak menatap pria yang sedang menatap tajam dirinya. "Kamu!" kagetnya.

"Kamu tidak so- "

Ucapan pria berkacamata yang muncul dari belakang tiba-tiba dihentikan oleh pria yang sedang menatap Freya.

"Kamu pasti sekretaris baru?"

"I- iya pak", jawab Freya sedikit gugup. Walau dia hanya seorang HRD. Aku tidak boleh memarahinya atas kejadian tadi pagi. Batin Freya.

Pria tampan dihadapan Freya menatapnya dengan menyeringai hingga membuat bulu kuduk Freya berdiri semua. Apa maksud tatapan itu?

"Fredy, segera beritahu jobdesknya!"

Suara bariton pria itu membuat Freya sedikit gugup. Entah kenapa dia seolah merasakan firasat buruk.

"Baik pak", jawab Fredy.

Pria tampan itu langsung berjalan melewati Freya dengan wajah dinginnya.

"Masuk!" titah Fredy pada Freya yang masih berdiri di ambang pintu dengan muka cengo.

"Baik pak", jawab Freya dengan tersenyum kaku. Lalu dia berjalan masuk ke dalam ruangan HRD.

"Silakan duduk."

Freya gegas menarik kursi dan duduk dengan tenang.

"Hari pertama kerja kamu sudah bersikap tidak sopan dengan bos sendiri. Apa kamu sudah tidak mau pekerjaan ini?"

Sontak Freya terbelalak mendengar ucapan Fredy. "Bb- bos?" tanyanya kaget.

"Jadi kamu tidak tahu kalau dia bos perusahaan ini? Siapa yang wawancara kamu kemaren ha?"

Freya membuka telapak tangannya dan dengan ragu menunjuk pada Fredy. "Bapak", jawabnya gugup.

"Apa? Saya?" tunjuk Fredy pada dirinya. "Tapi kenapa saya tidak ingat pernah mewawancarai kamu?"

"Sa-saya pelamar yang datang terakhir pak. Bapak hanya mewawancarai saya 2 menit."

"Apa? Cuma 2 menit?"

Freya membalas dengan mengangguk ragu.

Sementara Fredy bergegas membuka kembali CV milik Freya. Habislah aku! Ternyata dia bukan Freya anaknya pak Tirta. Ucap Fredy di dalam batin.

Baru saja Fredy menyebut nama Tirta, ponselnya tiba-tiba berdering. Entah kebetulan dari mana, nama kontak pak Tirta muncul di layar ponselnya

"Ini jobdesk kamu. Baca dan pelajari setelah kamu ke luar dari ruangan ini. Saya masih sibuk", ucap Fredy buru-buru seraya menyerahkan lembaran kertas pada Freya.

"Pak, sa- "

Fredy mengangkat telapak tangannya sebagai isyarat agar Freya menghentikan ucapannya. Tak ingin Fredy menjadi marah padanya, Freya pun bergegas keluar dari ruangan HRD.

"Saya pamit ya pak", ucap Freya sebelum melangkah ke luar. Namun ucapannya hanya di balas dengan anggukan.

Setelah berada di luar ruangan HRD, Freya menoleh ke kanan dan kiri untuk menemukan tempat duduk. Dia gegas menghampiri bangku kosong di arah kirinya Namun tanpa sengaja dia menubruk seseorang yang tiba-tiba ke luar dari meja kerjanya.

"Kau", tunjuk Freya pada pria dihadapannya.

Tunangan Duan

"Apa ini yang dikatakan kalau jodoh tidak akan ke mana?"ucap pria yang akrab di sapa Dika itu.

Freya menatap Dika dengan tersenyum. "Menurutku pepatah itu tidak cocok untuk kondisi kita saat ini. Kebetulan kita bekerja di perusahaan yang sama, tentulah kita kita saling bertemu."

"Kenapa kau selalu mengelak Frey? Apa aku terlihat buruk dimatamu?"

Freya menatap Dika dengan rasa bersalah. "Kau salah paham Dik."

"Kalau gitu jangan tolak aku!"

Freya menghela nafas berat, lalu dia menarik salah satu kursi dan duduk di sana. "Maaf Dika. Aku hanya menganggapmu sebagai sahabat, tidak lebih. Jadi tolong jangan memaksaku."

"Sudahlah! Lebih baik aku lanjut bekerja saja", sahut Dika kesal seraya membalikkan badannya, kemudian dia duduk membelakangi Freya.

Freya hanya bisa menatap punggung Dika dengan perasaan sedih. Freya sebenarnya memiliki sedikit rasa suka pada Dika, namun sahabatnya Dinda juga menyukai Dika. Tak ingin merusak persahabatan mereka bertiga, Freya pun mengalah. Maaf Dik. Aku rasa ini yang terbaik untuk persahabatan kita. Cukup berikan cintamu itu pada Dinda.

Tiba-tiba terdengar suara lantang yang menggema diruangan itu "Freya!" teriak Fredy hingga membuat Freya tersentak kaget.

Freya gegas berdiri dan berjalan menghampiri Fredy "Iya pak."

"Sudah selesai baca jobdesknya?"

"Belum pak."

"Dari tadi ngapain aja? Pacaran?"

Freya tampak panik melihat ekspresi Fredy. Dia pun buru-buru mendekatinya. "Maaf pak. Tadi saya... "

"Sudah tidak ada waktu lagi. Ini kontrak kerja kamu. Cepat baca dan langsung tanda tangan. Setelah ini pergi ke lantai 20. Bos menunggumu di sana. Jika kamu tidak kompeten dalam bekerja, maka aku akan segera menggantimu!" ancam Fredy.

"Baik pak", jawab Freya dengan sedikit rasa kuatir. Dia buru-buru membaca surat kontraknya dan langsung membubuhi tanda tangannya. Setelah itu dia pamit dan beranjak pergi sebelum Fredy memarahinya. Aku sangat cepat dalam menghafal, aku baca saat di dalam lift sepertinya masih sempat. Batin Freya seraya berjalan dengan langkah lebar.

Sementara Fredy merasa senang karena Freya telah cuai dalam melakukan tugas yang dia perintahkan. "Aku yakin dia tidak akan bertahan lama di tempat ini", gumamnya.

*-*

.

Di dalam lift, Freya fokus dengan lembaran kertas yang ada ditangannya, bahkan tak sedetik pun netranya berpaling dari kertas itu. Hingga tba-tiba lengan seseorang bersisihan dengannya. Semua lembaran ditangannya jatuh berserakan.

"Ceroboh sekali!" ledek wanita yang dengan sengaja menginjak lembaran kertas milik Freya.

"Maaf bu. Berkas saya terinjak."

"Bak buk, bak buk! Emangnya aku ibu kamu!' teriak wanita itu dengan tatapan tidak suka.

Freya menghela nafas berat seraya berdiri. "Maaf jika kata-kata saya membuat ibu tidak senang. Saya.baru di terima bekerja di sini, jadi belum mengenal semua karyawan di kantor ini. Bagaimana seharusnya saya memanggil ibu?"

"Ih, apa.sih nih cewek!"

Wanita itu langsung memalingkan wajahnya seraya mengangkat sepatunya. Freya bergegas memungut berkasnya tanpa sepata kata.

Ting.

Freya bergegas keluar saat pintu lift terbuka lebar di lantai 20.

"Untuk apa kau mengikutiku?" tanya wanita yang tampak bak model itu dengan nada tidak ramah.

"Saya mau keruangan pak Duan."

"Untuk apa kau bertemu dengan tunanganku?"

Silau tajam di sudut mata wanita dihadapan Freya membuat Freya sedikit takut. Seram banget. Apa ada yang salah dengan ucapanku? Batin Freya.

"Di tanya malah bengong."

"Pagi mba Calista", sapa seorang karyawan wanita dengan ramah.

"Pagi. Apa kau kenal dia?"

Sorot mata wanita yang menyapa Calista melirik Freya sekilas. "Mungkin dia sekretaris barunya pak Duan. Saya dengar sekretaris pak Duan masuk kerja hari ini."

Calista menatap penampilan Freya dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Apa kau sekretaris baru?"

"I- iya bu."

"Tunggu di sini. Aku akan memanggilmu nanti", ucap Calista seraya membalikkan badannya dan berjalan menjauhi Freya. Kemudian dia buru-buru masuk ke dalam ruangan Duan.

"Sayang", panggil Calista dengan suara manja saat berjalan mendekati Duan.

Duan mendongak dan menatap Calista dengan tersenyum. "Tumben datang pagi-pagi."

"Aku kangen!"

Kecupan manis mendarat di pipi mulus Calista. "Apa kau sudah sarapan?"

"Belum sayang."

"Kalau gitu ayo pergi sarapan."

"Kita sarapan di sini saja. Suruh saja sekretaris barumu membelikan sarapan."

"Oh, dia sudah datang?"

"Iya sayang", jawab Calista dengan nada acuh. Duan pernah memberitahunya bahwa sekretaris barunya akan masuk kerja hari ini. Namun dia tidak menduga kalau sekretaris Duan tak kalah cantik dari dirinya.

Duan gegas menekan nomor ekstensi telpon sang sekretaris.

"Kenapa lama sekali di angkat?" kesal Duan.

Calista langsung berdiri dan berjalan menuju pintu ke luar. "Hei, kamu niat kerja nggak sih?"

Sontak Freya berdiri dari tenpat duduknya. "Iya, ada yang bisa saya bantu bu?"

"Kenapa kau tidak mengangkat telponnya?"

"Saya tidak berani bu. Itu bukan meja saya."

Calista mencibirnya. "Dasar sekretaris bo*doh. Kamu kan bisa baca labelnya. Ayo, masuk keruangan!"

Freya melangkahkan kakinya dan mengikuti Calista masuk. Tahan Frey, kamu harus bisa bekerja dalam tekanan. Batin Freya mencoba mendorong semangat dalam dirinya sendiri.

"Sayang, darimana kau merekrut sekretaris ini?"

"Kenapa sayang?"

"Walau tampangnya lumayan tapi sepertinya dia tidak cukup pintar. Telpon bunyi saja dia abaikan!"

"Dia dalam masa percobaan."

Calista gegas berjalan menghampiri Duan. Tangan kirinya melingkar di leher Duan. "Sayang, aku takut itu hanya akan membuang waktumu saja. Aku saranin cari kandidat lain."

Freya terperangah mendengar ucapan Calista. "Pak, maafkan saya. Tolong beri saya kesempatan. Saya akan lakukan pekerjaan saya dengan sebaik-baiknya."

Duan menatap Freya dengan tatapan dingin. "Oke!"

"Sayang... Kenapa nggak langsung di pecat saja?"

"Dia sudah tanda tangan kontrak. Aku tidak mau rugi hanya karena orang seperti dia."

"Bukankah kau malah rugi jika mempekerjakannya."

"Di sini aku bosnya. Jadi jangan mendikteku!"

Calista membeku kala mendengar ucapan keras Duan. Ini kali kedua Duan marah padanya karena ikut campur dalam urusan pekerjaan. "Kalau gitu aku pergi", ucapnya dengan wajah cemberut.

"Calista! Tunggu dulu!" panggil Duan dengan suara lembut, namun Calista mengabaikannya. Duan pun mengusap kasar wajahnya. "Ah, biarkan saja dulu. Nanti aku coba membujuknya", lanjutnya bergumam.

Freya yang sedari tadi ada di dalam ruangan Duan, berdiri dengan kaki gemetar. Dia pasrah menunggu kemarahan sang bos dilimpahkan padanya karena telah membuat tunangannya pergi dengan emosi.

"Kamu kemari!"

Freya gegas.menghampiri Duan. "Ya, pak."

Tiba-tiba Duan menghentak tumpukan berkas di atas meja, hingga membuat Freya terperanjat. "Kamu buat sebuah presentasi dari berkas ini. Saya tunggu hasilnya sore ini."

"Ba- baik pak", jawab Freya gugup. Dia tidak begitu yakin akan mampu menyelesaikan semua berkas hanya dalam waktu sehari.

"Pergilah!"

"Saya pamit pak", ucap Freya seraya membawa tumpukan berkas ke luar. Namun tanpa sengaja dia menubruk seseorang yang baru saja membuka pintu.

Kecurigaan Freya

"Sepertinya kamu hobby jatuh ya", ucap Givan yang tidak sengaja menubruk Freya.

Freya berdiri dengan rasa malu. Ini adalah hari pertamanya bekerja, namun dia telah mengalami banyak kejadian yang mempermalukan dirinya sendiri. "Maaf pak Givan. Tadi saya buru-buru."

"Kenapa harus buru-buru sih? Bukankah jam kerja masih panjang?"

"Ada urusan apa kemari?" potong Duan yang tidak senang mendengar ucapan Givan.

"Jangan galak-galak dong. Nanti sekretaris kamu nggak betah."

"Cukup basa basinya. Katakan ada urusan apa?"

"Saya pamit pak", sela Freya dengan buru-buru. Dia ingin menghindar dari perdebatan Givan dan Duan agar tidak menunda pekerjaannya.

"Frey, tunggu dulu."

"Jangan ganggu sekretarisku!" ketus Duan.

"Kapan kau melihat aku menganggunya? Dari tadi aku cuma memperhatikannya, kalau-kalau kamu tidak menyukainya, maka aku siap menjadikannya sekretaris pribadiku."

Duan menatap Givan dengan tatapan membunuh. "Aku tidak akan pernah memberikannya padamu!"

Givan tertawa dengan keras, hingga membuat Duan semakin kesal. "Sebagai saudara yang baik aku akan mengingatkanmu. Tunanganmu nggak suka kau punya sekretaris yang cantik. Jadi aku harap kau mau memberikannya padaku, sebelum tunangan galakmu itu mengganggunya."

"Itu urusanku!"

"Kau tidak pernah medengarkan ucapanku. Kalau gitu aku pergi saja."

"Tunggu dulu!"

"Hm, kenapa lagi? Bukannya tadi kau tidak senang aku ada di sini?"

"Duduklah sebentar."

Givan gegas berjalan mendekati meja kerja Duan. "Cepat katakan! Aku juga bukan karyawan santai!" ucapnya galak saat berhasil membuat bokongnya menempel di kursi.

"Bagaimana kerjasama dengan PT Sinar Jernih? Apa kau sudah mendapatkan kontrak kerjasamanya?"

Givan menatap Duan dengan menyeringai. "Apa kau ingin mengambil alih tender yang telah ayah angkat berikan?"

"Jangan lupa! Aku presdir di kantor ini. Pekerjaanmu juga harus aku ketahui!"

"Iya aku tahu. Kau bahkan pemilik saham terbesar di perusahaan ini."

Duan merasa kesal mendengar nada bicara.Givan yang terkesan tidak puas. Dia tahu Givan marah pada sang ayah karena hanya memberinya posisi sebagai wakil presdir atas keberhasilan yang di capai Givan saat mendapatkan tender dengan perusahaan besar. Padahal Givan sangat menginginkan sang ayah memberikannya sebagian saham padanya.

"Kalau begitu aku tidak mengganggumu lagi", ucap Givan seraya berdiri dari tempat duduknya.

Duan hanya bisa melihat kepergian Givan dengan perasaan sedih. Hubungannya dengan Givan sangat baik setahun yang lalu. Namun rasa cemburu Givan membuat hubungan mereka mulai retak.

"Apa aku harus memberikan sebagian saham milikku padanya, agar hubungan kami kembali membaik?"

Duan menghela nafas berat seraya menyandarkan punggung kekarnya pada kursi. Lalu dia memutar kursi menatap jendela kaca yang menampilkan hamparan langit biru. "Huft, apa aku setujui saja permintaannya? Sepertinya dia menyukai sekretaris baruku."

Tok. Tok.

"Masuk!" ucap Duan seraya membalikkan kursinya.

"Permisi pak."

"Ya, ada apa?"

"Ada yang ingin saya tanyakan pak", sahut Freya sembari berjalan menghampiri Duan. Tangannya sibuk membuka lembaran kertas ditangannya dan langsung bertanya beberapa poin yang tidak dia pahami.

Duan pun mulai menjelaskan dengan wajah serius. Sesekali Freya mengangguk sebagai reaksi atas penjelasan Duan.

"Oke, apa ada lagi yang tidak kamu pahami?"

"Tidak ada pak. Saya pamit pak", sahut Freya dengan antusias. Langkah kakinya terlihat penuh semangat kala berjalan menuju pintu keluar.

Duan merasa senang melihat semangat Freya. "Apa aku benar-benar akan memberikannya pada Givan?" gumam Duan ragu.

*-*

.

Jam kerja berlalu begitu cepat. Bahkan Freya harus menghemat jam makan siangnya untuk mengejar deadline yang diberikan Duan.

"Ah, akhirnya selesai juga."

Freya merenggangkan otot-otot kakunya seraya menyandarkan punggungnya. Netranya hampir saja memerah kala berjam-jam lamanya menatap layar laptop dihadapannya.

"Coba aku periksa lagi sebelum mengirimkannya ke pak Duan. Mana tau masih ada yang kurang", gumam Freya seraya menatap layar laptopnya. "Hm, sudah oke. Kalau gitu aku masuk keruangan pak Duan."

Freya bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu ruangan sang bos.

Tok. Tok.

Tangan Freya baru saja mengetuk pintu. Tak lama kemudian terdengar suara Duan. "Masuk!" katanya dengan suara lantang.

"Permisi pak. Saya sudah menyelesaikan tugas yang bapak berikan. Filenya saya kirim ke mana pak?"

Duan tersentak kaget mendengar ucapan Freya. Dia tidak menyangka Freya mampu menyelesaikannya walau dia baru saja masuk kerja.

"Kamu email ke sini saja", sahutnya seraya memberi secarik kertas pada Freya. "Berkas yang tadi kamu simpan dulu. Besok saya minta balik."

"Baik pak. Kalau begitu saya kirimkan filenya dulu. Permisi pak."

"Oke."

Freya gegas keluar dari ruangan Duan dan berjalan menuju meja kerjanya. Jemari terampilnya langsung mengotak-atik laptop dan berhasil mengirimkan file presentasi.

"Selesai!" ucap Freya dengan raut wajah bahagia. Lalu dia menonaktifkan laptop.

Setelah menunggu lima menit lamanya, Duan pun keluar dari ruangannya. "Saya sudah terima emailnya. Kamu sudah boleh pulang."

"Terimakasih pak. Kalau begitu saya pamit pulang pak."

"Oke", sahut Duan seraya masuk.kembali ke dalam ruangannya.

Sementara Freya bergegas merapikan mejanya. Lalu dia meraih tas kerjanya dan berjalan menuju pintu lift.

"Bagaimana hari pertama kerja jadi sekretaris pak Duan?" tanya Givan tiba-tiba yang membuat jantung Freya hampir copot.

"Bapak ngagetin saya", ucap Freya seraya memegang dadanya.

"Emangnya saya nyeramin ya?"

Freya mengibas-ngibaskan tangannya dengan gugup. "Mak- maksud saya bukan gitu pak. Saya cuma kaget karena bapak muncul tiba-tiba."

"Saya cuma bercanda kok Frey", ucap Givan dengan tersenyum. "Ayo masuk", ajaknya kemudian kala pintu lift terbuka lebar.

Freya berjalan masuk di susul Givan dibelakangnya.

"Bapak juga mau pulang?"

"Iya", jawabnya sambil mengangguk.

Canggung banget. Aku harus ngomong apa ya. Batin Freya gelisah saat pintu lift tertutup. Bahkan dalam benaknya muncul khayalan yang tidak seharusnya dia pikirkan.

"Apa kamu merasa nyaman kerja dengan pak Duan?"

"Sejauh ini masih nyaman pak."

"Tidak perlu ditutup-tutupi. Kalau kamu merasa tertekan, ceritakan ke saya. Percayalah, saya tidak akan pernah memberitahukannya pada Duan."

"Tapi saya benar-benar nyaman kok pak."

Givan tampak sedikit kecewa mendengar jawaban Freya.

"Saya duluan ya pak", ucap Freya seraya buru-buru keluar. Awalnya dia mengira Givan sosok yang baik. Namun saat Givan terus menyudutkan bosnya, dia curiga Givan memiliki motif tersembunyi.

"Frey, tunggu saya!" teriak Givan, namun Freya terus berlari menjauhinya hingga Givan menyerah untuk mengejarnya.

"Untung saja berhasil kabur", ucap Freya sambil menetralkan nafasnya. Namun sesaat kemudian dia tersadar kalau dirinya salah memilih arah. Alhasil dia terpaksa melewati gang yang tampak sepi.

Tiba-tiba terdengar teriakan seorang wanita dengan isak tangis. "Lepaskan!"

Freya pemegang sabuk hitam Taekwondo tak takut jika berhadapan dengan beberapa orang pria. Namun dia khawatir dengan heels dan rok yang sedang dia kenakan akan menyulitkan pergerakannya.

"Hei, lepaskan dia!" teriak Freya dengan sedikit gugup.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!