“Yasmin, tolong nanti mandikan Kinan ya, aku buru-buru soalnya, tadi dia tidak mau aku mandikan," pinta Lisa, kakak ipar Yasmin, yang terburu-buru berangkat kerja.
“Yasmin, kaos kakiku mana? Bukannya kemarin sudah dicuci?" tanya Uki, suami Yasmin yang sedang kelimpungan mencari kaos kakinya saat akan berangkat kerja.
Dengan cepat, Yasmin menemukan kaos kaki milik suaminya yang terselip di tumpukan baju.
“Sarapan dulu, Mas,” tawar Yasmin yang ditolak oleh suaminya karena sudah kesiangan.
Setelah suami dan 2 iparnya berangkat kerja, tinggal lah Yasmin sendiri bersama ibu mertuanya, juga Kinan, anak dari Lisa dan Hangga yang berusia 2 tahun. Mereka memang tinggal dalam 1 rumah. Hangga adalah kakak Uki, yang harus tetap tinggal bersama dalam rumah ibunya meskipun mereka sudah memiliki rumah tangga masing-masing, sesuai dengan amanat mendiang ayah mereka.
“Yas, setelah memandikan Kinan, bantu Ibu masak ya, jangan tidur lagi. Ibu lihat kamu malas sekali, jarang gerak, pantas saja sampai keguguran!” titah sang ibu mertua, pada Yasmin yang masih memulihkan kesehatannya paska tindakan kuretase 2 minggu yang lalu.
Yasmin hanya bisa menghela nafas panjangnya, ketika harus selalu bersabar akan ocehan mertuanya. Dirinya bahkan dianggap babu oleh suami dan keluarganya. Hanya karena ia hanya ibu rumah tangga dan mereka semua bekerja, seenaknya mereka selalu menyuruh Yasmin. Tak hanya itu, Kinan juga seolah menjadi tanggung jawab Yasmin untuk selalu mengasuhnya kala Lisa dan Hangga bekerja.
Parahnya, Yasmin bisa mengalami keguguran karena terlalu lelah mengurus pekerjaan rumah tangga yang dibebankan padanya. Sayangnya, tak sekali pun mereka semua menyadarinya. Yasmin tetap dianggap tak melakukan aktivitas apa pun, hanya karena ia di rumah saja.
“Padahal aku berhenti kerja juga karena harus pindah ke kota ini setelah kita menikah, ikut kamu, Mas, tapi kok kamu seakan tidak pernah berpihak padaku,” ujar Yamin memandangi foto pernikahannya dengan Uki 1,5 tahun yang lalu.
Saat akan membereskan kasur, ia menemukan ponsel milik suaminya yang tertinggal.
“Kebiasaan kamu, Mas, kalau sudah kesiangan suka lupa,” ucapnya sembari mengutak-atik ponsel suaminya itu.
Tak sengaja, ia melihat notifikasi yang muncul.
“Mas Uki, sudah berangkat?”
“Aku bawakan nasi goreng ayam suwir seperti kemarin lagi.”
“Sampai jumpa di kantor Mas Sayang, eh hehe.”
Deg. Jantungnya seakan terhenti sekian detik kala membaca notifikasi pesan itu. Bukan seperti pesan yang wajar antar teman biasa.
“Yasmin, Kinan menangis itu!” teriak Bu Emy, ibu mertuanya.
Seketika Yasmin bangkit dari duduknya, dan meletakkan ponsel suaminya di atas meja.
Ia pun segera menggendong Kinan, keponakannya yang tiba-tiba menangis. Belum juga tangis bocah itu reda, Bu Emy kembali mengingatkan Yasmin agar segera memandikannya lalu menyuapi cucunya itu. Mencoba terus menenangkannya, Yasmin lalu membawa Kinan ke kamar mandi.
Hingga 10 menit kemudian, ia selesai memandikan juga memakaikan baju yang bersih dan wangi untuk Kinan.
“Nih, makanan Kinan sudah ibu siapkan. Menunggu kamu lama!” Bu Emy menyodorkan mangkuk kecil milik Kinan.
Kinan yang harus selalu diajak bermain ketika makan, membuat Yasmin harus mengejarnya. Bocah se-usia Kinan memang sedang aktif-aktifnya, apalagi ketika 1 tahun yang lalu saat ia mulai bisa berjalan. Hingga sampai 30 menit berlalu, makanan Kinan masih tersisa setengahnya.
Bu Emy lalu menghampiri Yasmin dan saat melihat makanan masih tersisa separuh, mertuanya itu menegur Yasmin agar tidak mengajak Kinan bermain saat sedang makan.
“Bu, Kinan itu sulit makan. Kalau tidak sambil main, dia malah tidak bisa makan sebanyak ini,” bantah Yasmin.
“Ya sudah sudah, kalau dia sudah tak mau makan, ajak masuk rumah. Sekarang kamu bantu Ibu masak,” pinta mertuanya sembari masuk ke dalam rumah.
Saat akan masuk rumah, Uki kembali pulang.
“Kok kamu tidak ingatkan sih kalau ponselku ketinggalan, aku jadi telat karena balik lagi,” omelnya sembari masuk kamar.
Hanya diam, Yasmin tak bertenaga untuk menjawab ocehan suaminya itu yang langsung berangkat lagi setelah mengambil ponselnya.
Setelah memastikan Kinan tenang bermain di ruang tengah dengan ponselnya, Yasmin segera menuju dapur untuk membantu mertuanya memasak, seperti kesehariannya sejak menikah dengan Uki.
“Kamu itu, dari dulu sejak menikah dengan Uki, tetap saja tidak bisa masak. Cari uang tidak bisa, masak juga tidak bisa. Contoh kakak iparmu si Lisa, dia kalau masak enak lho, kerja lagi. Badannya juga bagus, padahal dulu waktu hamil Kinan gendut sekali ‘kan. Lha kamu, tidak ada beban kerja di kantor, hamil juga tidak tuntas, badan masih begini saja. Dijaga badannya, Yas, biar suamimu tidak kabur.” Bu Emy mulai menceramahi menantu nomor 2 nya itu.
Lagi-lagi, Yasmin hanya bisa diam. Antara sudah terbiasa dibanding-bandingkan dengan Lisa, juga karena ia sudah malas menanggapi omongan mertuanya itu. Sejujurnya, ia juga ingin sekali bisa kembali bekerja seperti sebelum menikah, tapi sampai saat ini belum juga mendapat panggilan, meski sudah dari lama ia mengirim lamaran ke banyak perusahaan. Statusnya yang sudah menikah dan usianya yang sudah di atas 25 tahun, seakan menyulitkan dirinya mendapatkan pekerjaan.
Bukan hanya pasrah, Yasmin bahkan pernah protes pada mertuanya itu, kenapa tidak memperkerjakan pembantu saja maupun baby sitter untuk Kinan, padahal Lisa dan Hangga sama-sama bekerja. Tapi jawaban mertuanya itu selalu sama. Hanya buang-buang uang, apalagi ada Yasmin yang menganggur. Menurut pengakuan mertuanya itu, gaji Lisa dan Hangga juga tak seberapa, akan habis begitu saja jika untuk membayar jasa pembantu, maupun baby sitter.
Yasmin lalu memberanikan diri bertanya pada mertuanya, jika suatu saat nanti ia bekerja, apa ibu mertuanya itu akan sanggup mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus Kinan sendirian.
“Ya kalau kamu kerja, setidaknya kalian bisa patungan untuk membayar pembantu, biar bisa mengurus pekerjaan rumah, juga membantu Ibu mengurus Kinan. Begitu saja kok repot!” jawab mertuanya ketus.
###
Hingga malam hari, saat semuanya telah berkumpul untuk makan malam, Yasmin ingin berbicara terlebih dahulu pada suaminya.
Ia lalu mengajak sang suami ke kamar. “Mas, tadi aku lihat di ponselmu ada notifikasi dari Winda, siapa dia? Kenapa dia panggil sayang?”
Seketika raut wajah Uki menegang. “Kok kamu lancang sekali buka-buka ponselku? Aku saja tidak pernah begitu!”
Yasmin lalu menjelaskan bahwa ia tak sengaja melihat notifikasi saat ponsel suaminya itu ketinggalan, dan tak membuka pesan tersebut. Ia kemudian menanyakan apa maksud pesan Winda itu. Yasmin memastikan bahwa hubungan suaminya dengannya itu hanya sebatas teman, meski terlihat janggal karena terbaca kata “sayang”.
“Dia teman kantorku. Di kantor itu, sudah biasa bagi-bagi makanan. Sudah biasa juga panggil sayang lah, beb lah, karena itu untuk kekompakan kita saja. Kerja itu menjenuhkan, kalau kita tidak pakai untuk bercanda dan saling berbuat baik pada rekan kerja yang lain, ya makin jenuh! Sudah ah, kamu tidak tahu waktu sekali, jelas-jelas suaminya baru pulang kantor dan belum makan malam, malah diajak berdebat!” jelas Uki lalu pergi meninggalkan istrinya sendiri di kamar.
Sementara itu keesokan paginya, saat semua orang selesai sarapan dan beberapa di antaranya tengah bersiap untuk berangkat ke kantor, Yasmin masih sibuk mencuci piring kotor bekas sarapan mereka.
“Yas, Kinan sudah aku mandikan tadi, sekarang dia masih tidur lagi, nanti jangan lupa suapi ya. Oh iya satu lagi, jangan beri dia ponsel ya karena aku tidak membiasakannya menatap layar lama-lama," pinta Lisa, kemudian berpamitan pada Bu Emy, dan berangkat bersama Hangga.
Yasmin mengangguk setengah kesal kala mendengar ucapan Lisa. "Bagaimana bisa tidak diberikan ponsel, kalau Kintan saja hanya tenang setelah menonton video kartun di ponsel. Kalau Kintan rewel, memang siapa yang akan bantu Ibu mengurus pekerjaan rumah? Bisa-bisanya berpesan begitu."
Lalu tak lama, Uki juga berpamitan pada ibunya. “Bu, Uki berangkat ya, teman Uki sudah jemput.”
“Yas, Mas berangkat dulu,” pamitnya juga pada istrinya yang baru saja selesai mencuci piring.
“Iya, Mas, hati-hati,” balas Yasmin sedikit berteriak karena suaminya itu sudah keluar rumah.
Dilihatnya dari jendela, terlihat seorang perempuan menjemput suaminya menggunakan motor, lalu mereka berpindah kemudi, perempuan itu berpindah duduk di belakang, mendekap perut Uki yang memboncengnya.
...****************...
Saat petang, salah seorang tetangga mendatangi rumah Bu Emy untuk mengantarkan makanan karena di rumahnya baru saja ada acara lamaran anaknya.
“Wah, terima kasih ya, Bu, semoga lancar sampai hari H,” tutur Bu Emy pada tetangganya itu.
Setelah tetangganya pulang, Bu Emy memanggil Yasmin untuk berbicara padanya. “Ini ada kiriman makanan dari tetangga depan warungnya Pak Subur, nanti biar dimakan sama Hangga, Uki, dan Lisa saja, soalnya juga cuma sedikit, jadi biar buat mereka saja, kasihan baru pulang kerja pasti lapar. Kamu sama Ibu makan masakan yang tadi saja.”
Yasmin mengangguk pasrah. Hal seperti ini bukan lah kali pertamanya terjadi dengan dirinya, bahkan sudah sering terjadi. Ia selalu menjadi prioritas terakhir, setelah suami dan iparnya.
Hingga tak lama, suami dan kedua ipar Yasmin sampai rumah, dan mereka pun bergegas membersihkan diri, sebelum berkumpul makan malam.
Yasmin sengaja tak ingin membahas tentang perempuan yang menjemput suaminya tadi, dan menunggu perut suaminya terisi dahulu sebelum membicarakan masalah.
Lisa yang selesai mandi, menemui ibu mertuanya, untuk memberikan jatah bulanan. Seketika wajah Bu Emy itu pun sumringah kala melihat amplop putih di tangannya. Dengan haru ia mengucap terima kasihnya pada menantu kesayangannya itu.
Bukan hanya Lisa, Uki juga memberikan jatah bulanan pada ibunya, karena kebetulan hari ini adalah awal bulan, jadwal mereka menerima gaji.
“Terima kasih ya, semoga rezeki kalian selalu lancar,” ucap Bu Emy, lalu mempersilakan anak-anak dan menantunya itu makan malam.
Sementara Yasmin hanya berdiam di kamar, tak ikut makan malam bersama, entah mengapa ia tak nafsu makan sama sekali.
Bukannya memanggil untuk ikut makan malam, Uki justru meminta istrinya untuk menjaga Kinan yang sedang menonton tv, sembari menungu orang tuanya selesai makan.
“Ibu juga makan yang ini dong,” pinta Lisa mengambilkan sepotong ayam balado kiriman tetangga tadi, untuk mertuanya.
Uki dan Hangga kemudian memuji rasa masakan yang diberikan oleh tetangga mereka.
Selesai mereka semua makan, Hangga berterima kasih pada Yasmin telah menemani putrinya, ia lalu meminta adik iparnya itu untuk bergantian makan. Masih tak nafsu makan, Yasmin langsung mencuci piring kotor, dan membereskan meja makan, sebelum disuruh sang mertua. Setelah itu, ia menemui sang suami di kamar, dan mengajaknya bicara. “Mas, tadi siapa yang jemput kamu?”
“Oh, teman kantor,” jawab Uki singkat.
Seakan tak percaya begitu saja dengan jawaban suaminya, Yasmin meragukan kejujuran Uki. “Apa dia si Winda itu? Apa kamu punya hubungan khusus sama dia, kalau teman kenapa sampai berpelukan naik motornya?”
“Memang harusnya bagaimana, ha? Namanya naik motor ya berpegangan lah! Apa-apa kok dimasalahkan. Begitu saja dimasalahkan. Aku sudah bilang teman ya teman! Dari pada aku naik KRL terus, jadi dia jemput aku. Bagus ‘kan, aku jadi lebih cepat sampai kantor!” tegas Uki lalu mentransfer sejumlah uang pada istrinya, dari gaji yang telah dibagi 3 untuk dirinya sendiri, untuk jatah bulanan sang ibu, dan untuk istrinya.
“Mas, bukannya uangmu sudah kamu bagi 3, tapi kenapa Ibu masih sering minta uangku, untuk ini lah untuk itu lah, padahal dia juga sudah menerima uang dari Mas Hangga lewat Mbak Lisa. Kadang juga kalau Kinan minta jajan, aku juga yang bayar,” adu Yasmin.
Uki yang merasa tak terima dengan aduan sang istri, seketika membentaknya. Ia meminta untuk tak perhitungan dengan mertuanya sendiri. Bagaimana pun, ibunya adalah ibu Yasmin juga, tak seharusnya istrinya itu bersikap demikian. Yasmin juga dianggap tak pantas bila perhitungan terhadap keponakannya sendiri.
Hanya diam, Yasmin tak ingin melanjutkan perbincangannya, meski ia masih ingin membahas tentang hubungannya dengan Winda.
Mendengar suara ribut di dalam kamar, Bu Emy menegur mereka. “Ada apa sih malam-malam kok ramai sekali suaranya?”
Seolah sedang mengadu, Uki mengutarakan kekesalannya pada Yasmin yang sering mengajaknya bertengkar, karena sifat pencemburunya.
“Oalah, Yas, Yas, bukannya bersyukur suami bertanggung jawab mencarikan nafkah, kok begitu saja dimasalahkan. Dunia kerja ‘kan memang begitu. Sudah biasa itu,” tegas ibu mertuanya.
“Ya masak kalau sudah panggil sayang dan berduaan naik motor sambil pelukan itu sudah biasa sih, Bu?” Yasmin seakan kembali ingin berdebat.
“Di tempatku yang begitu sudah biasa, Yas. Namanya juga lelaki pasti begitu, semakin dikekang semakin menjadi. Aku saja yang perempuan bisa memahami. Tenang saja, ‘kan kamu sudah dinikahi begini,” sahut Lisa.
Suami Lisa, si Hangga, seolah juga ikut mendukung adiknya untuk tak dicurigai, lantaran hal itu sudah biasa terjadi dengan teman kerja, apalagi dirinya yang bekerja di pabrik, pergaulan dengan teman kantornya justru lebih luwes dari pada yang dilakukan sang adik.
“Aku juga tidak apa-apa kalau Mas Hangga antar pulang temannya dulu sebelum menjemput aku di kantor. Karena memang searah dan saling tolong saja,” imbuh Lisa.
Bu Emy lalu meminta Yasmin untuk mencoba kerja di Jakarta, agar paham maksud mereka. Ia juga tak segan meminta Yasmin mencontoh sikap dewasa Lisa. Baginya, itu semua disebabkan karena Yasmin yang menganggur, hingga pikirannya kemana-mana yang akhirnya sering membuang-buang waktu untuk mempermasalahkan hal-hal kecil.
Merasa dikeroyok, Yasmin hanya bisa mengelus dada.
###
Keesokan paginya, Yasmin kembali melihat Winda menjemput suaminya. Hatinya benar-benar teriris kala melihat kemesraan mereka bak pasangan yang sedang kasmaran. Winda terlihat begitu erat memeluk perut Uki.
Jika melihat sosok Winda, wanita itu memang jauh lebih cantik darinya. Pantas saja jika sang suami merasa segar kala bersama teman kantornya itu. Berbeda dengan dirinya yang kucel dan selalu memakai daster, karena sehari-hari harus membantu mertuanya mengerjakan pekerjaan rumah.
Bukan hanya itu, Yasmin tak bebas membeli baju dan alat make up. Selain karena uangnya tak cukup, mertuanya juga pernah menegurnya untuk tak boros dengan membeli itu semua. Berbeda dengan perlakuannya terhadap Lisa, yang seolah sah-sah saja melakukannya, karena dianggap memiliki penghasilan sendiri, jadi bebas saja ia mau membeli apa pun.
“Hargai sedikit jerih payah suamimu, Yas! Jangan beli barang-barang tak penting! Lagian mau dipakai kemana dandan seperti itu?” Begitu lah ucapan mertuanya yang masih terngiang di telinganya, kala ia ketahuan membeli baju secara online.
Seakan sudah tak sanggup menghadapi situasi ini yang sudah 1 tahun lamanya ia tahan, Yasmin kembali mengecek progress lamaran kerjanya. Ia benar-benar bertekad untuk memiliki penghasilan sendiri agar tak diremehkan. Meski hingga saat ini, belum ada satu pun lamarannya yang berhasil.
Menangis pun seakan air matanya sudah mengering. Meminta suaminya agar mereka pindah rumah pun juga adalah hal yang mustahil. Mertuanya itu tak akan mengizinkan mereka berpisah rumah.
Katanya, biar tipe rumah lawas, tapi rumah peninggalan ayah Uki itu masih cukup luas untuk menampung keluarga anak-anaknya, padahal, bukan masalah sempit luasnya, tapi karena merasa tak adanya privasi.
Hingga 10 menit Yasmin merenung dan mencoba terus merefresh emailnya, ada sebuah pesan yang baru saja masuk.
PT Ethanos Development mengundang Anda untuk mengikuti interview.
...****************...
Terasa seperti mimpi, wanita berusia 27 tahun itu menampar pipinya berkali-kali. Baru diingatnya, bahwa ia memang pernah melamar kerja di perusahaan tersebut sebagai admin, beberapa minggu lalu, tak lama setelah dirinya dikuret. Dibacanya terus menerus undangan itu. “Lusa? Aku harus siap-siap dari sekarang!”
Di sela-selanya membantu sang mertua mengerjakan pekerjaan rumah dan mengurus keponakannya, Yasmin mempersiapkan dirinya untuk mengikuti wawancara kerja yang akan dilaksanakan lusa. Ia tak ingin melewatkan kesempatan ini.
Mulai dicarinya di internet, semua pertanyaan yang mungkin saja akan ditanyakan dalam wawancara nanti. Hingga tiba-tiba, terbesit di otaknya untuk membuka sosial media sang suami. Entah mengapa ia kembali teringat akan rencananya kemarin, untuk mencari tahu hubungan suaminya dengan Winda.
Sayangnya, tak ada apa-apa di sana. Ia mencoba mencari akun sosia media Winda yang ternyata sudah saling mengikuti dengan akun sang suami. Namun sayang, akunnya terkunci. Tak ingin putus asa, Yasmin mencari-cari akun sosial media kantor tempat suaminya bekerja.
Tak menemukan apa-apa, ia mencoba mencari informasi dari teman kerja suaminya. Dilihatnya satu per satu, beberapa akun yang pernah memberi tag pada akun sosial media kantor Uki. Tak disangka, ada satu postingan video dari salah satu akun tersebut yang menghunjam jantungnya.
Terlihat video yang merekam momen saat perayaan ulang tahun kantor 2 bulan lalu. Dilihatnya sang suami yang terus berdekatan dengan seorang wanita, yang ia duga adalah si Winda. Mereka tampak begitu kompak saat mengikuti lomba, dan aksi mereka terlihat begitu mesra. Sesekali berpelukan, saat mereka merasa telah memenangkan lomba.
Bahkan yang paling mengejutkan adalah ketika banyak cuitan dan celetukan tajam yang ikut terekam dari para teman-temannya yang lain, seolah mendukung hubungan mereka.
“Kawal sampai sah jadi istri kedua!”
###
Saat malam hari, ketika Uki pulang kantor, ia terlihat basah kuyup karena cuaca memang hujan sedari siang tadi.
“Loh, Mas, motor siapa ini?”
“Tadinya Winda mau mengantarku pulang, tapi karena hujan jadi aku minta dia naik taksi, aku yang bawa motornya.”
Yasmin lalu kembali bertanya, mengapa bukan suaminya itu yang naik taksi biar tidak kehujanan.
“Kasihan dia kalau kehujanan, tidak bawa jas hujan pula. Lagian kamu, suami pulang basah kuyup begini bukannya diambilkan handuk, malah ditanya-tanya terus!” ketus Uki yang berlalu ke kamar mandi.
Saat suaminya sedang mandi, Yasmin kembali tak sengaja melihat notifikasi di ponsel Uki.
“Mas, kamu sudah sampai rumah?”
“Mas, makasih ya yang tadi. Seru sekali hujan-hujanan, jadi hangat.”
Dirasa hal ini sudah melebihi batas, Yasmin ingin kembali membahasnya. Seperti biasa, ia selalu menunggu suaminya selesai makan malam, baru akan berbicara pada suaminya itu. Namun ternyata, setelah selesai mandi, saat ditawari makan, Uki menolaknya karena ia sudah makan.
“Makan di mana? Sama Winda? Yang benar kamu minta dia pulang sendiri atau kamu antar dia sampai rumah? Kenapa dia bisa bilang kalian hujan-hujanan? Apa yang kalian lakukan setelah kamu mengantar dia pulang ke rumahnya?" Yasmin semakin tak kuasa menahan emosinya.
“Ada hubungan apa kamu dengan dia? Jawab jujur!” lanjut Yasmin.
Seketika Uki melemparkan handuk basahnya di atas kasur. “Memang aku antar dia pulang dulu tadi, baru sampai rumah aku diminta bawa motornya karena ojek susah! Apa salah? Justru dia baik. Kenapa sih, harus tanya terus! Capek aku, Yas! Mau sampai kapan kamu begini terus, ha? Apa aku tidak usah kerja saja biar kamu tak banyak curiga?”
Berusaha mengontrol emosinya, Yasmin kembali menegaskan bahwa ia berhak protes karena bagaimana pun, Uki adalah suaminya. Istri mana yang rela kalau suaminya hujan-hujanan dengan wanita lain. Bukannya menenangkan sang istri, Uki malah meminta Yasmin berhenti bersikap demikian. Kecemburuannya sudah melewati batas. Lama-lama, ia risih dengan sikap istrinya itu.
"Kenapa sih kamu, Yas? Coba sekali-kali kamu intropeksi diri. Kalau kamu mau suamimu tidak dekat dengan wanita lain, lihat dirimu. Setiap hari aku lihat kamu hanya pakai daster. Tidak pernah juga dandan. Terus akhir-akhir ini, aku pulang selalu kamu sambut dengan perdebatan. Apa ini yang kamu bilang bisa melayani aku?” protes Uki.
“Oh, jadi benar ‘kan kamu sedang dekat dengannya? Lalu kenapa kamu bilang itu hal yang biasa?” tebak Yasmin.
Tak menjawab, Uki hanya diam dengan tatapan penuh amarah pada istrinya.
Yasmin lalu dengan tegas mengatakan bahwa jika memang penampilan seperti itu yang suaminya mau, mereka bisa bicarakan baik-baik, bukan langsung mencari solusinya sendiri. Yasmin juga mengatakan bahwa karena sang mertuanya lah ia tak bisa tampil cantik. Baru beli 1 baju saja sudah dibilang boros, baru beli alat make up saja sudah dibilang menghambur-hamburkan uang suami. Mertuanya itu juga sering meminta recehan padanya, meski hanya untuk membeli bumbu dapur, tapi jika lama-lama, nominalnya cukup besar juga. Padahal, Bu Emy sudah mendapat jatah sendiri untuk dapur.
Seakan tak terima ibunya disalahkan, Uki meminta Yasmin tak membawa-bawa ibunya dalam masalah mereka. “Kamu yang tidak bisa mengatur uang!”
Uki lalu membawa bantal keluar kamarnya.
Batinnya begitu sakit. Selama pernikahan dirasa-rasa tak pernah ia mendapat kebahagiaan seperti saat dirinya belum menikah. Janji manis yang pernah diucapkan Uki, seakan melebur begitu saja bersama angin. Yasmin bertekad, ia harus segera diterima kerja agar terlepas dari kehidupan yang menyiksa batinnya ini.
Jika diingat-ingat, semenjak hamil dulu, Yasmin dan Uki tak pernah lagi berhubungan badan, karena kondisi kehamilan Yasmin yang tak memungkinkan untuk berhubungan. Hingga saat ini pun, Uki juga tak pernah meminta jatah pada istrinya, mungkin karena sudah kenyang di luar bersama selingkuhannya. “Tapi apa harus begini sih, Mas?” isaknya sesenggukan.
###
Keesokan paginya saat berangkat, Uki tak terlihat berpamitan padanya. Hubungan mereka benar-benar dingin. Ia hanya bisa meratapi nasib pernikahannya yang sedang diuji oleh kehadiran orang ketiga.
“Ibu sudah pernah bilang, bersikap manis lah dengan suamimu, dia bisa saja di luar rumah tertarik dengan wanita lain yang lebih bening. Sudah tahu begitu, saat Uki pulang, bukannya disambut mesra, malah disuguhkan masalah,” sahut Bu Emy dari belakang.
Mencoba tetap fokus pada wawancaranya esok hari, Yasmin tak peduli dengan keributan di rumahnya.
Hingga malam tiba, suaminya itu tak kunjung pulang. Yasmin menghubunginya berkali-kali, namun tak diangkatnya. Pikirannya pun menjadi kemana-mana. “Apa mereka sedang berduaan di rumah Winda?”
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!