Rumah itu, meski dibasahi hujan deras yang dari tadi pagi tidak berhenti, bukannya terlihat seperti menangis, malah menggeram dan marah. Jendelanya rusak dan tampak kotor, penuh debu dan tanah akibat perlakuan anak-anak nakal yang iseng melempari saat lewat. Pintunya besar dan kokoh, yang ketika terbuka seperti siap menelan siapa saja dan tidak membiarkan mereka keluar. Dari luar, bangunan itu tampak menyeramkan,
berbanding terbalik dengan yang ada di dalamnya.
Di ruang depan ada sofa, meja kaca, meja kecil penuh laci, vas tanpa bunga. Semuanya tertata rapi di atas karpet bulu lembut yang memanjakan kaki. Lampu gantung yang berpendar temaram, juga lukisan di dinding. Ruang tengah dihampari permadani halus, beserta bantal-bantal dan peralatan lain. Dapur dan ruangan lain sama hidupnya. Semua terlihat normal, tapi seharusnya benda-benda itu tidak ada di sana.
Jelas ada yang tidak beres dengan rumah itu, sama tidak beresnya dengan perempuan yang ada di dalamnya. Dia terus meringkuk di bawah selimut. Dibanding karena kedinginan, perempuan itu seperti ketakutan, bersembunyi dari sesuatu. Matanya yang membelalak terus melihat ke arah pintu. Keringat membanjiri wajah pucat d n badannya yang tidak berhenti bergetar.
Kilat menyambar sekali, disusul guruh yang menggelegar. Perempuan itu terlihat terkejut sebentar, perhatiannya teralihkan untuk sesaat. Lalu saat kilat kedua terlihat, perempuan itu menyibak selimut, kemudian berlari cepat menuju jendela. Dari sana dia harusnya bisa melihat ilalang yang tingginya sudah sepinggang, tapi yang ada dalam bola matanya malah tanah dengan rumput yang baru saja habis dipangkas.
Perempuan itu membuka jendela dengan ragu-ragu, masih menimbang akankah dia keluar dari sana. Kamarnya berada di lantai dua, jadi tidak mudah jika ingin keluar lewat jendela. Sementara dia
merasa kalau itu jalan satu-satunya.
Kilat ketiga menyambar sangat dekat ketika tiba-tiba pintu kamar yang ditempati perempuan itu terbuka dengan cepat, seperti sengaja dihantam dengan keras. Perempuan itu membeku seketika, matanya
membelalak dan giginya tidak berhenti gemetar. Dengan susah payah dia berbalik,
melihat ke arah pintu.
Tidak ada siapa pun yang masuk atau muncul di sana, tapi ekspresi perempuan itu berubah, makin ketakutan. Dia
mundur perlahan, dengan kaki yang terus bergetar. Perempuan itu berjuang untuk
tetap bisa berdiri, meski sebenarnya kakinya sudah tidak tahan lagi.
“To—tolong, jangan ....”
Kalimat yang susah payah dia ucapkan tenggelam oleh bunyi kilat dan hujan yang semakin deras. Tidak ada siapa pun dalam kamar selain perempuan itu, tapi dia bertingkah seolah ada yang datang dan berada di sana.
“Jangan!” teriak perempuan itu lagi, masih mundur ke jendela. Tangannya menyentuh kosen jendela, terasa sangat
dingin. Perempuan itu menangis, kemudian mendadak ekspresinya berubah. Pandangannya kosong dan badannya tidak lagi gemetar. Dia mengambil napas sebentar, lalu dengan cepat berbalik dan melompat ke luar jendela.
Namun, sebelum dia benar-benar bisa melompat, badannya terlempar ke belakang. Kembali masuk ke dalam kamar, seperti ditarik oleh sesuatu berkekuatan besar. Dia berteriak saat punggungnya menyentuh lantai dengan keras. Perempuan itu memegang rambut saat terseret menuju dekat ranjang, seakan ingin mengurangi rasa sakit di kepala karena rambutnya ditarik oleh sesuatu tak kasat mata.
Kepalanya dibenturkan dengan keras di kaki ranjang. Perempuan itu tidak sempat mengaduh kesakitan karena selanjutnya yang terjadi lebih aneh lagi. Tubuhnya terangkat sejengkal dari lantai, dan entah bagaimana bisa darah keluar dari lehernya, membasahi baju putih yang dia kenakan.
Seperti disayat, lehernya terus mengucurkan darah. Terlalu banyak, sampai baju perempuan itu sepenuhnya berubah merah. Dia tidak bisa melakukan apa-apa selain membelalak. Dia tidak bisa bicara, tidak bisa bergerak, hanya bisa melihat semua hal itu terjadi padanya, mendengar suara tetesan darahnya jatuh ke lantai, mencium bau amis dari darahnya sendiri. Perempuan itu sekarat.
Hujan deras di luar seketika berhenti, juga kilatnya. Suasana berubah sepi, terlalu hening dan terasa janggal. Perempuan tadi tidak lagi melayang, kini dia duduk di pinggiran ranjang, menatap ke luar jendela sambil sesekali mengusap lengan seolah kedinginan.
Perhatiannya teralih saat ada suara benda yang terjatuh dan menggelinding di dekat kakinya. Dengan tenang, dipungutnya benda itu dan dipasangkan kembali ke tempatnya, seolah itu hal yang wajar. Namun, benda itu kembali jatuh saat dia menoleh sedikit. Mungkin lelah terus begitu saja, perempuan tadi tidak lagi memasangkan benda itu di tempatnya, melainkan memeluk dengan penuh kasih sayang. Tidak peduli lagi jika kepalanya bukan berada di atas leher, melainkan di pangkuan.
“Ini udah semua?” tanya Rana yang baru saja keluar dari bangunan yang sudah menjadi rumah barunya.
“Udah semua, kayaknya. Tadi ada tiga truk, ‘kan?”
Rana melihat ke arah jalan sambil menguncir rambut panjang yang dari tadi mengganggu. Di sana ada dua truk, dengan orang-orang yang sibuk mengeluarkan kardus-kardus dan benda-benda lain dari dalamnya. Sepertinya truk satu lagi sudah pergi.
“Daffa mana?”
Rana melihat pada Yudha, suaminya yang dari tadi sibuk mengarahkan orang-orang untuk meletakkan semua barang di tempatnya.
“Eh, iya, yah. Tadi ada di dalam, tapi keluar lagi. Sebentar aku cari, mungkin ada di samping.”
Rana menuruni tangga teras, berjalan menuju samping kanan rumah. Bagian itu memang cukup luas untuk dipakai bermain. Rumputnya baru dipangkas dan ada bekas beberapa pohon kecil yang baru saja ditebang. Seketika Rana memikirkan banyak hal tentang apa saja yang akan dia lakukan di halaman itu. Menanam beberapa tanaman, meletakkan beberapa hal. Sepertinya halaman itu akan lebih bagus jika dibuat taman dibanding hanya lapangan
tempat bermain anaknya.
Kemudian dia kembali teringat tentang anaknya. Daffa tidak ada di sana, jadi Rana kembali berjalan ke belakang rumah. Mungkin perasaannya saja, tapi atmosfer di bagian belakang berbeda, seperti berada di tempat yang lain.
Hari ini cerah, matahari bersinar dengan terang sampai-sampai Rana merasa terlalu panas. Namun ketika berada di belakang rumah semua terasa beda. Angin berembus dengan pelan, tapi dingin. Cahaya matahari terhalang oleh pohon-pohon besar yang ada di sana, hanya sedikit yang bisa lolos menyentuh tanah.
Daun-daun kering berserakan. Beberapa hancur saat Rana injak dan yang lain tidak. Saat dia sibuk mengamati mana daun yang baru jatuh dan mana yang sudah lama, Rana menyadari ada sesuatu yang aneh. Ada jejak kaki di sana. Bukan jejak kaki orang lain, jejak kakinya sendiri, tapi tetap saja dia merasa aneh.
Dia ingat jelas jika sebelumnya tidak pernah hujan, tanah di depan dan di samping rumah juga tidak selembek ini.
“Apa karena tanahnya gak kena matahari?” gumam Rana tanpa sadar. “Tapi gak sampai lembek kayak gini juga, deh.”
Rana cukup lama memikirkan tentang tanah itu, beberapa kali membuat jejak kaki sambil berjalan sampai dia melihat jejak kaki lain, lebih kecil. Dia kembali teringat tentang Daffa. Rana memang selalu seperti itu, perhatiannya selalu teralih saat dia melakukan sesuatu.
Dia terus mengikuti jejak kaki kecil itu, kemudian berhenti di bawah pohon beringin besar, sangat besar. Rana tidak tahu sejak kapan pohon itu ada di sana, tapi dilihat dari besarnya pasti sudah lama sekali. Dari cabang-cabangnya keluar akar gantung yang sudah seperti rambut saking banyaknya.
Di bawahnya, tepat di depan Rana, Daffa duduk bersandar pada batang pohon. Mata anak itu tertutup. Dengan cepat Rana menghampiri anaknya, memastikan kalau Daffa baik-baik saja. Ketika dia merasakan napas Daffa yang teratur dan betapa damainya ekspresi anak itu, Rana tahu kalau tidak ada hal buruk yang terjadi. Daffa hanya tertidur.
Mungkin dia kelelahan,pikir Rana. Bagaimanapun mereka sudah melakukan perjalanan yang cukup jauh, tidak heran jika anak itu merasa lelah.
Rana tadinya tidak ingin membangunkan Daffa, tapi guncangan saat dia ingin menggendong membuat anaknya terbangun.
“Mama,” kata Daffa sambil mengucek-ngucek mata.
“Eh, kamu bangun. Kenapa tidur di sini?”
“Daffa tidur, yah?” Daffa mengedar pandangan ke sekitar. Dari matanya, jelas terlihat kalau anak itu masih mengantuk.
“Iya, tadi kamu tidur di sini. Sekarang kita masuk rumah, yah. Tidur di kamar pasti lebih nyaman.”
Daffa hanya mengangguk, lalu ikut berdiri dan berjalan bersama Rana menuju rumah. Dia tidak begitu ingat kenapa
bisa tertidur di sana, yang dia ingat hanya ingin menjelajah rumah baru, mencari sesuatu yang mungkin bisa dimainkan. Dia juga ingat melihat seseorang di belakang rumah. Namun, Daffa terlalu mengantuk untuk memikirkan siapa orang itu dan kenapa berada di belakang rumahnya.
Rana terus berjalan sambil menarik lembut anaknya yang terus saja menguap. Dia tidak menoleh ke belakang. Entah kenapa, Rana merasa jika menoleh, dia akan mendapati seseorang atau melihat sesuatu, hal semacam itu. Manusia kadang mendapat firasat seperti itu, seolah ada yang memperhatikan dan saat dilihat memang ada yang mengamati.
Perasaannya lega saat sampai di depan rumah. Rana masih bisa melihat truk-truk yang berjalan menjauh, meninggalkan rumahnya. Suaminya berdiri di teras, melihat kepergian truk-truk itu. Dia baru sadar sudah menghabiskan waktu cukup lama untuk mencari Daffa. Tidak sampai membuat suaminya menyusul mencari, tapi tetap saja, sebenarnya dia bisa lebih cepat menemukan anaknya jika saja dia fokus.
“Udah selesai?” tanya Rana, menaiki tangga teras. Dia menuntun Daffa naik, anak itu benar-benar hampir tertidur.
“Udah,” jawab Yudha. Melihat mata Daffa yang setengah terpejam, dia memutuskan untuk menggendong anaknya masuk ke dalam rumah. Rana menyusul di belakang. “Semuanya udah selesai, kalau misalnya ada yang mau kamu ubah, nanti kita susun ulang barang-barangnya,” lanjut Yudha.
Rana melihat ke sekeliling ruangan, mengamati setiap benda, memikirkan apakah benda-benda itu sudah cocok berada di tempatnya sekarang atau masih perlu dipindahkan. Namun, dia merasakan apa yang anaknya rasakan, lelah.
“Kayaknya kita biarin gini dulu, deh. Aku capek, cuti kerjaku masih ada satu hari lagi. Nanti malam aku lihat-lihat, besok baru pindahin barang kalau misalnya ada yang butuh dipindahin.”
“Tapi besok aku udah harus masuk kerja. Aku cuma dikasih waktu satu hari buat ngurus semuanya.”
Yudha naik ke tangga menuju lantai dua, ke ruangan yang akan menjadi kamar anaknya.
“Gak ap-apa, aku bisa manggil tukang buat bantu-bantu kalau barangnya berat,” ujar Rana. “Kalau gitu, habis ini kamu istirahat aja. Aku mau masak dulu.”
“Katanya capek.”
“Ya, emang capek, tapi kalau aku gak masak kita mau makan apa?”
Mereka sudah sampai di kamar Daffa, ruangan itu terletak di ujung. Sudah ada tempat tidur dengan seprai yang baru, bergambar Iron Man. Meja belajar, lemari, dan beberapa kardus dan koper yang belum dibuka.
Rana memang sengaja mengutamakan tempat tidur dulu, dia tahu betul kalau mereka butuh istirahat. Tanpa sadar dia menghela napas, masih banyak yang perlu dikerjakan. Yudha membaringkan Daffa dengan pelan, ternyata anak itu sudah tertidur, entah sejak kapan.
“Kayaknya aku mikir lagi,” kata Yudha, ekspresinya berubah serius.
“Apa?” Rana mengernyit, bingung.
“Kalau kamu gak usah kerja, biar aku aja.”
Yudha dengan cepat melanjutkan kalimat setelah melihat perubahan di wajah istrinya. “Maksudku, kita emang udah
bicaraan ini sebelum nikah. Soal kamu yang tetap pengen kerja, tapi aku ngerasa kalau Daffa masih butuh kita. Aku gak mungkin berhenti kerja buat ngurus dia, lagian kamu juga pasti capek kalau ngurus rumah sama kerjaan di kantor. Jadi ... kamu kayaknya sebaiknya fokus ngurus Daffa sama aku aja.”
Rana menatap suaminya dalam. Dia paling tidak suka pembicaraan tentang ini, tentang pekerjaannya. Lagi pula, Yudha sudah setuju dengan semuanya sebelum mereka menikah, kenapa sekarang tiba-tiba berubah lagi? Rana tidak habis pikir.
“Jujur aja, aku lagi gak mau bahas ini. Aku lagi capek, dan pasti aku bakalan marah kalau kamu masih bahas ini. Kita baru pindah di rumah baru, aku gak mau hari pertama di rumah ini kita bertengkar, tapi aku juga mau buat semuanya jelas. Kita udah setuju dengan semuanya, dulu sebelum nikah kamu sendiri yang bilang gak masalah kalau aku kerja. Itu udah jelas banget, jadi kita lakuin seperti biasa aja. Aku bisa ngurus Daffa, kamu, rumah, sama kerjaan sekaligus.”
Rana berbalik dan keluar kamar, meninggalkan suaminya yang hanya bisa menghela napas. Yudha bukan tipe lelaki yang takut dengan istri, dia tidak seperti itu. Hanya saja dia terlalu mencintai istrinya, sedikit sulit baginya untuk menentang Rana karena rasa cintanya itu. Hal yang paling ingin dia hindari adalah bertengkar dengan istrinya.
Bukannya tidak tegas, tapi Yudha tahu betul bagaimana istrinya. Jika ditanya siapa orang paling keras kepala yang pernah dia temui, Yudha akan menyebut nama Rana tanpa perlu berpikir. Yudha sadar, betapa pun kerasnya dia memaksa Rana, wanita itu tidak akan tergerak sedikit pun, tetap pada pendiriannya. Hal itu juga yang membuatnya mencintai Rana, meski kadang hal itulah yang paling membuatnya kewalahan.
Menggunakan amarah pada Rana tidak akan membantu, hanya akan memperburuk keadaan. Jadi, yang dilakukan Yudha hanya setuju, setuju, dan setuju. Dia sudah melakukan itu selama kurang lebih delapan
tahun, sejak mereka menikah saat usianya dua puluh lima. Sekarang, di usia tiga puluh tiga, Yudha merasa kalau istrinya harus lebih memperhatikan anak mereka, hanya itu.
Dia keluar kamar, menuruni tangga menuju dapur. Yudha mencium aroma masakan di sana. Rana sedang sibuk memasak. Dengan pelan didekatinya istrinya itu, kemudian memeluk dari belakang dengan
lembut.
Rana terkejut sebentar karena diperlakukan seperti itu. Namun, saat sadar Yudha sudah berdiri di belakangnya sambil menampilkan senyum paling manis yang dia punya, Rana ikut tersenyum. Dia sudah lupa dengan pembicaraan mereka tadi. Begitulah Rana, cepat sekali melupakan hal yang menurutnya memang pantas untuk dilupakan, kemudian bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi.
“Bahannya cukup?” tanya Yudha, jelas sekali kalau itu cuma basa-basi.
“Cukup, kok. Masih lumayan segar juga. Cuma besok kalau udah ngurus rumah, kayaknya aku bakal belanja bentar.”
“Maaf yah aku gak temenin.”
“Kamu ngomong apa, sih? Besok ‘kan kamu kerja. Udah, kamu istirahat dulu sana.”
“Bentar, mau nunggu kamu.”
Rana tidak menjawab lagi, membiarkan suaminya tetap berada di sampingnya saat dia memasak. Tidak menyadari kalau di belakang, tepat di ambang pintu, ada bayangan yang seketika berkelebat menghilang.
Yudha terbangun dari tidurnya, merasa sangat panas sekali. Bahkan badannya berkeringat, piyamanya basah. Dia memang belum memasang pendingin ruangan, padahal dia sendiri sangat tidak tahan dengan hawa panas. Di sampingnya, Rana masih tertidur dengan pulas, seolah tidak terganggu sama sekali dengan suhu tinggi ini.
Dia sempat memerhatikan istrinya sebentar, menikmati wajah damai Rana. Wanita itu tetap cantik meski tertidur.
Bulu matanya cukup lentik dan panjang. Hidungnya mancung, serasi dengan bibir tebalnya yang sedikit terbuka.
Tiba-tiba Yudha merasa semakin kepanasan. Dia bangun dan keluar dari kamar. Semua lampu sudah dimatikan sebelum mereka tertidur tadi, tapi cahaya bulan terang yang masuk lewat celah tirai dan ventilasi sudah cukup untuk menjadi penerangan. Yudha menuruni tangga dengan hati-hati, kemudian menuju dapur.
Dia langsung mengambil gelas dan membuka kulkas, menuangkan air dingin untuk diminum. Begitu tenggorokannya tersegarkan, Yudha merasa tidak terlalu panas lagi. Dia baru saja ingin kembali ke kamar saat terdengar suara ketukan di pintu belakang.
Di dapurnya memang ada pintu untuk ke halaman belakang. Yudha melihat ke arah pintu itu sambil mengernyit, berpikir apakah dia tidak salah dengar. Dia diam untuk beberapa saat, memastikan kalau pintu itu memang seperti diketuk tadi.
Selama beberapa detik tidak ada apa-apa, jadi Yudha berpikir kalau suara tadi hanya ada di dalam kepalanya saja dan memutuskan untuk kembali ke kamar. Suara ketukan itu terdengar lagi sebelum Yudha benar-benar meninggalkan dapur, kini lebih keras dan lebih cepat.
Yudha berbalik dan berjalan mendekat ke pintu, memegang kenop dengan ragu-ragu. Ketukan itu tidak berhenti, setiap detik bertambah keras dan cepat. Siapa pun yang berada di luar sana, di balik pintu ini, adalah orang yang tidak tahu diri, pikir Yudha. Memangnya orang waras mana yang mengetuk pintu belakang rumah orang di tengah malam begini?
Pikiran itu menyadarkannya. Tidak mungkin ada orang waras yang akan melakukan hal seperti itu. Yudha menarik tangan dan bersikap awas, menatap pintu dengan tajam. Kemudian dia berjalan dan mencari ke sekeliling dapur, mengambil pisau daging setelah menemukannya berada bersama pisau lainnya.
Dia berdiri di belakang pintu, mengambil posisi seaman mungkin. Membuka pintu dengan cepat setelah memastikan di posisinya itu, dia tidak akan menerima serangan tiba-tiba—jika saja dilakukan—oleh orang yang mengetuk pintunya. Namun, Yudha malah tidak bisa berkutik setelah pintu terbuka.
Badannya seperti membeku sesaat, matanya sedikit melebar dan napasnya tertahan. Dia baru mendapatkan dirinya kembali saat mulutnya berseru tidak percaya. Tidak ada siapa pun yang berdiri di sana, dan sejauh mata memandang, Yudha hanya bisa melihat pohon-pohon di belakang rumahnya.
Bagaimana mungkin? batinnya. Pintunya jelas diketuk, tapi tidak ada orang yang mengetuk. Tadi dia membuka pintu dengan cepat, dan saat dia melakukan itu suara ketukan di pintu masih ada. Tidak mungkin orang yang mengetuk—jika memang orang—bisa lari secepat itu tanpa terlihat.
Yudha menutup kembali pintu dan menguncinya. Dia minum lagi segelas air sebelum kembali ke kamar. Pria itu tahu betul kalau dia baru saja mengalami hal aneh, jujur saja itu menempati cukup banyak tempat di kepalanya. Namun, dia tidak bisa terus memikirkan hal itu. Dia harus tidur, besok hari pertama setelah dia pindah ke kantor pusat dengan jabatan yang lebih tinggi setelah promosinya.
Sebelum menutup mata, Yudha berbalik ke arah istrinya lalu memeluk. Tidak lama kemudian, pria itu sudah tertidur. Terbangun saat merasa guncangan di tubuhnya, disusul suara Rana yang membangunkan.
Yudha mengerjap-ngerjap sebentar sebelum benar-benar membuka mata. Tirai kamarnya sudah terbuka lebar, cahaya matahari yang masuk masih redup dan kekuningan. Ternyata sudah pagi. Yudha bangun dan menatap istrinya yang sudah mengganti piyama dengan baju kaos longgar dan celana panjang. Dari rambut Rana yang basah, Yudha tahu kalau istrinya sudah mandi.
“Mandi, gih. Aku turun masak dulu.”
Setelah mengatakan itu, Rana segera keluar kamar. Yudha masuk ke kamar mandi, dia sempat memikirkan kejadian semalam, tapi hanya sebentar. Karena selanjutnya dia memikirkan tentang bagaimana dia menjalani hari pertama di kantor barunya.
Saat dia selesai dan turun ke dapur, Rana masih memasak. Daffa sudah duduk di salah satu kursi di meja makan. Tiba-tiba Yudha memikirkan tentang anaknya.
“Oh, iya. Sekolah Daffa gimana? Dia ‘kan harusnya udah masuk SD.”
Rana berbalik dan melihat suaminya. Dia tersenyum, kemudian berkata, “Iya, Daffa ‘kan baru selesai TK. Nanti aku yang daftarin dia di sekolah dekat sini. Kayaknya kemarin aku ngelihat ada sekolah pas kita ke sini. Daffa sekolah di sana aja, mau ‘kan?”
Daffa hanya mengangguk, tidak mengatakan apa pun. Rotinya masih ada separuh dan tidak dimakan lagi. Mereka sarapan seperti biasa, tidak ada yang spesial. Yudha berangkat kerja setelahnya, mencium kening istri dan pipi putranya sebelum pergi.
Rana masih berdiri di teras melihat mobil suaminya, baru masuk saat mobil itu berbelok di tikungan dan tidak
terlihat lagi. Dia beralih ke putranya yang terlihat tidak bersemangat sama sekali.
“Daffa kalau mau main, main aja, tapi jangan ke belakang rumah, yah,” kata Rana.
Daffa hanya mengangguk, tidak bertanya kenapa dia dilarang ke belakang rumah. Rana masuk dan melihat sekeliling sambil menghela napas panjang. Masih banyak yang harus dikerjakannya.
Wanita itu menguncir rambutnya, segera bergerak dengan gesit membersihkan dan memindahkan barang-barang yang menurutnya harus dipindahkan. Dia merasa beruntung karena benda-benda itu berukuran tidak terlalu besar, sedang dan tidak berat. Beberapa memang butuh tenaga saat mengangkatnya, tapi sisanya ringan. Dia tidak perlu memanggil tukang untuk membantu, dia bisa mengerjakan semuanya sendiri.
Rana baru selesai saat matahari sudah berada di titik kulminasi. Badannya bermandi peluh, tapi wajahnya semringah. Di tangannya ada segelas air dingin yang belum diminum, padahal dia sudah merasa
haus.
Dia menatap sebentar hasil kerjanya. Semuanya sudah selesai, bersih dan rapi. Dia juga ingat sudah mengeluarkan semua barang dari kardus dan menyimpan kardus-kardus itu di loteng. Semuanya selesai, tapi entah kenapa dia merasa ada yang kurang. Tidak tahu apa, tapi ada yang kurang.
Rana kemudian meminum airnya dan sadar akan sesuatu yang kurang itu. Dia merasa rumah terlalu sepi, padahal dia tidak sendiri. Harusnya ada suara Daffa yang dia dengar, atau melihat anaknya mondar-mandir, tapi dia tidak mendapati anak itu berada di sekitarnya. Rana mengintip dari jendela, Daffa tidak ada di halaman samping. Lalu dia keluar ke teras, hasilnya sama saja.
Rana baru saja ingin ke halaman belakang saat dia mendengar suara teriakan dari dalam rumah, suara Daffa. Dengan cepat Rana masuk ke dalam rumah, mendapati Daffa sudah terbaring dengan tidak sadar di anak tangga paling bawah. Posisi anak itu tidak wajar, jelas sekali kalau Daffa baru saja terjatuh dari tangga.
Rana khawatir, tapi dia tidak panik. Dengan cepat dia menelepon ambulans, kemudian membersihkan darah di kepala anaknya. Selama menunggu ambulans datang, Rana memikirkan untuk memberitahu Yudha atau tidak. Kalau dia menelepon, suaminya itu pasti akan khawatir, tidak akan fokus dengan kerjaannya, tapi suaminya harus tetap tahu keadaan Daffa. Rana bingung harus melakukan apa. Bahkan saat ambulans datang, dia masih belum mendapatkan jawaban yang mana harus dilakukannya.
Rana keluar dan memanggil petugas untuk segera masuk. Dia akan memikirkan itu lagi nanti, sekarang yang terpenting adalah pertolongan untuk anaknya. Rana berharap Daffa akan baik-baik saja, meski kelihatannya itu tidak terlalu mungkin. Bagaimanapun Daffa, bocah tujuh tahun itu, baru saja terjatuh dari tangga.
Dari posisi jatuhnya, Rana tahu kalau Daffa berada di tempat yang cukup tinggi sebelum terjatuh. Kepala Daffa menyentuh lantai, sementara badannya masih berada di anak tangga paling bawah. Posisi kaki kiri anak itu tidak wajar, pergelangan kakinya bisa saja patah dengan posisi seperti itu.
Mendadak Rana merasa ketakutan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!