BLAR !!!
Ledakan hebat membumbung tinggi di hadapan Li Mei yang berdiri di depan Istana Merah milik selir Haoran, selir kesayangan ayahnya, Zheng-mi goo.
Li Mei tak menyangka akan melihat peristiwa mengenaskan itu terjadi di hadapannya saat ini.
Saat itu dia dipanggil oleh seorang dayang yang bekerja untuk selir Haoran ke Istana Merah karena undangan selir Haoran yang mengadakan perjamuan makan malam tapi yang dia saksikan adalah kebakaran hebat yang terjadi di Istana Merah.
Bukan acara perjamuan pesta makan malam yang meriah dan menyenangkan. Namun, petaka besar bagi Li Mei.
Kebakaran itu menjadi pukulan keras bagi Li Mei karena ayahnya, Raja Zheng-mi goo yang menyaksikan peristiwa itu menjadi murka.
Dan menuduh Li Mei yang melakukan pemberontakan keji terhadap selir Haoran dengan alasan bahwa Li Mei cemburu pada kemewahan selir Haoran yang sangat berlebihan.
Terlihat sejumlah pasukan istana milik Raja Zheng-mi goo telah berbaris mengepung Li Mei yang berada di Istana Merah yang terbakar.
"TANGKAP PENJAHAT ITU !!!", titah Raja Zheng-mi goo.
Pada saat Raja Zheng-mi goo datang ke Istana Merah bersama pasukannya saat mendengar kabar kebakaran yang terjadi di Istan Merah, tempat selir Haoran tinggal.
Li Mei langsung menoleh ke arah ayahnya dengan tatapan sendu.
Terdiam tanpa mampu berbuat apapun atas tuduhan yang diarahkan pada dirinya meski dia akan membela dirinya tetap semua akan menjadi sia-sia.
"Kepung dia ! Dan penjarakan dia !!!", perintah Raja Zheng-mi goo.
"Aku tidak membakarnya, ayah !", teriak Li Mei.
"Anak durhaka !!! Tangkap dia !!!", ucap Raja Zheng-mi goo marah.
"Bukan aku pelakunya, ayah !!!", teriak Li Mei dengan mata berkaca-kaca.
"Kau telah membunuh selir Haoran, kesayangan ayah, Li Mei !!!", bentak Raja Zheng-mi goo.
"Aku tidak melakukan yang ayah tuduhkan ! Dan bukan aku pelakunya !!!", teriak Li Mei.
"Jangan mencoba membela diri mu karena kamu anak raja, Li Mei !", sahut Raja Zheng-mi goo.
"Bukan aku, ayah !!!", kata Li Mei lemas.
"Kau terlalu cemburu pada selir Haoran dan beralasan bahwa kau ingin membunuhnya dengan membakar Istana Merah !", sahut Raja Zheng-mi goo.
"Tidak, ayah ! Aku tidak berniat demikian... Aku hanya di undang kemari atas panggilan selir Haoran untuk menghadiri perjamuan makan malam di Istana Merah, ayah !", ucap Li Mei mencoba menjelaskan.
"Bohong !!! Bukti sangat jelas di hadapan mu bahwa kau lah dalang atas kebakaran Istana Merah dan menyebabkan selir Haoran mati, Li Mei !!!", sahut Raja Zheng-mi goo.
"Tidak..., ayah...", ucap Li Mei.
Li Mei hanya menggelengkan kepalanya pelan saat mendengar tuduhan yang dilontarkan kepadanya atas kebakaran Istana Merah yang merenggut nyawa selir Haoran.
Kedua mata Li Mei tampak berkaca-kaca, mulai air matanya mengalir keluar.
"Kenapa ayah tega menuduhku demikian sedangka aku putri kandung mu, ayah...", ucap Li Mei.
"Dasar pembohong ! Bukti telah ada, Li Mei ! Bukan lagi hal khayalan yang terjadi saat ini ! Semua ini nyata !!!", sahut Raja Zheng-mi goo.
Kedua mata Raja Zheng-mi goo tampak memerah karena murka.
Li Mei hanya terdiam pasrah, berdiri di area Istana Merah yang dipenuhi oleh kobaran api yang membakar luas.
Sekali lagi Li Mei menggelengkan kepalanya pelan sembari menatap sedih ke arah ayahnya.
"Maafkan aku, ayah... Tapi aku bukanlah pelakunya... Suatu saat nanti semua akan terkuak kebenarannya...", ucap Li Mei dengan air mata berurai.
"Li Mei !", teriak Raja Zheng-mi goo.
SRET !
Li Mei menyayat tangannya hingga berdarah dengan sebuah pedang emas milik ibunya, Ratu Caihong yang telah lama meninggal dunia.
Darah Li Mei jatuh ke atas permukaan lantai Istana Merah.
"Selamat tinggal, ayah... !", ucap Li Mei dengan mata terpejam.
TES... !
TES...!
TES... !
Istana Merah menjadi penuh darah Li Mei kemudian muncul pusaran angin besar yang terjadi di istana milik selir Haoran.
WOSH !
WOSH !
WOSH !
Angin berhembus kencang di sekitar Istana Merah.
"Li Mei !!! Kembali kau !!!", teriak Raja Zheng-mi goo.
Pusaran angin kencang yang berasal dari darah segar Li Mei pemilik pedang emas Ratu Caihong berputar kuat hingga membentuk angin topan besar.
WOSH... !
WOSH... !
WOSH... !
Tubuh Li Mei tidak terlihat lagi keberadaannya, ditelan lenyap oleh pusaran angin topan darah Li Mei.
"Aku... Mengutuk mu... Li Mei... !!!", teriak amarah Raja Zheng-mi goo. "Kau akan hidup abadi !!!"
Kutukan Raja Zheng-mi goo kepada Li Mei disertai gemuruh suara petir dahsyat yang terjadi di sekitar Istana Merah yang berubah menjadi lautan api. Ketika Li Mei melarikan diri dari Istana Merah dengan melintasi waktu, menggunakan kesaktian pedang emas Ratu Caihong.
...***...
Hening...
Tiba-tiba suasana berubah hening, tidak ada tanda kehidupan.
TIT... !
TIT... !
TIT... !
Level di mulai menjadi nol...
Sistem mengaktifkan mode kenaikan level menjadi 100 persen jika berhasil menyelesaikan waktu misi tepat waktu.
Menguak kebenaran akan kebakaran Istana Merah.
LEVEL NAIK SERATUS PERSEN !
Berhasil melintasi waktu ke masa depan...
Kota Beijing, 30 Januari 2024.
Li Mei, usia 19 tahun, berkulit putih bersih, kemampuan di masa depan nol, menjadi penyanyi opera dengan kemampuan rendah, perlu latihan keras.
Dikutuk abadi oleh Raja Zheng-mi goo atas tuduhan kebakaran Istana Merah yang menyebabkan selir Haoran tewas.
Identitas baru...
Kedua mata Li Mei terbuka perlahan-lahan saat suara asing terdengar di telinganya menggema keras.
Mengerjapkan kedua matanya, terbaring terdiam tanpa berkedip.
Pandangan Li Mei tampak samar saat dia terbangun, tubuhnya terasa kaku dan sulit dia gerakkan.
Kepalanya pening hingga dia merasakan mual pada perutnya.
TIN... !
TIN... !
TIN... !
Suara bunyi klakson mobil meraung-raung di sekitar Li Mei.
Li Mei tidak menyadari jika dia terbaring di jalanan aspal yang gelap dan dingin oleh genangan air hujan yang turun saat itu.
"Hai, ada orang tertabrak !!!", teriak sejumlah orang yang berkerumun di sekitar jalan.
"Dia seorang gadis yang tertabrak !!!", teriak seorang wanita.
"Astaga ! Kasihan dia !!!", ucap beberapa orang yang melintas.
"Adakah yang mengenalinya !?'', kata seorang wanita tua.
"Betapa malangnya nasib gadis itu !?", ucap orang lainnya.
"Cepat ! Selamatkan dia !!!'', teriak yang lainnya lagi terlihat panik.
"Tolong dia ! Selamatkan nyawa gadis malang itu ! Kasihan dia !!!", kata seorang pria bertopi hitam.
Seseorang mengangkat tubuh Li Mei yang terbaring di atas aspal lalu segera membawanya berlari cepat.
TAP... !
TAP... !
TAP... !
Suara langkah kaki terdengar keras saat berlarian di tengah-tengah derasnya air hujan yang turun, entah kemana, Li Mei tidak dapat melihatnya dengan jelas.
"Tolong, minggir !!!", ucap seorang pria.
Pandangan Li Mei menjadi kabur dan dia mulai kehilangan kesadarannya penuh.
Tubuhnya yang basah oleh air hujan terasa dingin serta memucat membiru bahkan terasa sangat sulit bagi Li Mei untuk dia gerakkan.
Li Mei merasakan seseorang membawanya berlari dengan panik, samar-samar, dia melihat wajah seorang pria berwajah sangat tampan tapi dia tidak mengenalinya.
Siapakah pria yang tengah menolongnya itu, Li Mei benar-benar tidak mengenalnya.
Tak lama kemudian, terdengar suara deru mesin mobil yang menyala saat Li Mei berada terbaring di atas jok mobil bagian depan lalu mobil itu bergerak pelan, pergi meninggalkan area jalan yang dipenuhi oleh kerumunan orang-orang yang melintasi jalan utama Kota Beijing saat musim hujan tiba.
TRAT... TAT... TAT... TAT... !!!
TRAT... TAT... TAT... TAT... !!!
TRAT... TAT... TAT... TAT... !!!
Suara mercon dari luar terdengar sangat keras disertai iringan musik dari arah drum yang dipukul rancak berirama.
Terdengar pula suara ledakan meriah seperti suara petasan.
DUAR... !
DUAR... !
DUAR... !
Sayup-sayup suara seseorang berbincang-bincang dari arah luar ruangan.
Li Mei yang masih terbaring lemah, hanya mampu menggerakkan kelopak matanya yang terpejam.
KRIET... !
Pintu terdengar di buka, suara langkah kaki mendekat pelan ke arah ranjang.
Li Mei segera bersikap waspada meski dengan tubuh masih terbaring di atas ranjang, dia berusaha tetap berhati-hati.
SRET !
Li Mei segera meraih baju yang dikenakan oleh orang asing itu seraya duduk dan terbangun.
"Siapa kau ?", tanyanya.
Seorang pria tampan berada di hadapannya, menatapnya dengan kedua mata elangnya ke arah Li Mei.
"Seharusnya akulah yang bertanya pada mu ?Siapa dirimu ?", sahut pria itu.
"Aku !?", ucap Li Mei tertegun.
"Kenapa ? Kau lupa siapa namamu ?", kata pria tampan itu.
"Aku... !?", ucap Li Mei mengulang perkataannya lagi.
"Ya, siapa nama mu ?", tanya pria itu.
"A--aku... Aku... Aku !?", sahut Li Mei tergagap.
Tanpa sadar Li Mei memegangi kepalanya yang terasa sakit.
Kepalanya seperti tertusuk-tusuk benda tajam saat dia mencoba mengingat namanya, kedua mata Li Mei langsung terpejam rapat.
"Ahk !?", pekiknya tertahan.
"Hai... Kenapa dengan mu, nona ???", sahut pria itu yang berbalik terkejut saat melihat Li Mei menjerit kesakitan.
"Auwh !!!", teriak Li Mei seraya memegangi kepalanya dengan kedua tangannya erat-erat. "Ini sangat sakit sekali !!!", sambungnya.
"Nona, katakan mana yang sakit ?", kata pria itu cemas.
"Kepalaku sakit sekali !!!", jerit Li Mei.
"Tenanglah ! Tenanglah ! Jangan dipaksakan untuk mengingat apapun !", sahut pria itu bertambah khawatir.
BRUK !
Tubuh Li Mei terhempas keras di atas ranjang tidur dengan kedua tangan tetap memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut keras.
"Nona ! Tenanglah !", ucap pria itu.
Kedua mata Li Mei terbelalak lebar serta berair saat dia menahan rasa sakit yang menghinggapi kepalanya.
"Tolong aku !", rintih Li Mei gemetaran.
"Bagaimana caranya aku menolong mu ?", kata pria asing itu.
"Sakit...'', ucap Li Mei.
Tampak Li Mei membolak-balikkan badannya di atas ranjang tidur dengan masih memegangi kepalanya yang luar biasa sakitnya.
"Tolong aku, tuan...'', gumam Li Mei.
"Oh, tidak !? Apa yang harus aku lakukan !?", sahut pria itu panik.
Pria tampan itu menoleh ke arah meja di dekatnya kemudian meraih obat pereda rasa sakit.
"Cobalah kamu meminum obat ini dahulu ! Setelah itu kita akan pergi ke dokter untuk memeriksakan kondisi mu...", lanjut pria itu.
Tidak ada suara jawaban dari Li Mei yang terdiam memandangi pria asing itu dengan wajah penuh keringat dingin.
"Nah, sekarang minumlah obat ini ! Mudah-mudahan rasa sakit di kepala mu tidak akan terasa lagi", ucap pria itu.
Li Mei masih terdiam, tidak ada pilihan lainnya selain mematuhi perkataan pria asing itu.
Pria itu membantu Li Mei untuk menelan obat dengan merebahkan kepala gadis itu di atas dadanya.
"Bersandarlah padaku ! Jangan takut !", kata pria itu.
Li Mei menelan obat pereda sakit kepala agar rasa sakit di kepalanya mereda, tak banyak yang dia ucapkan hanya bersandar diam.
"Nama ku Shaiming, aku tinggal di Beijing ini dengan mengurus sebuah usaha kecil milik keluarga ku", kata pria yang menyebut dirinya dengan nama Shaiming.
"Hmm, iya..., maaf jika aku tidak ingat siapa nama ku...", sahut Li Mei.
Kedua mata Li Mei berubah sendu ketika dia tidak mengingat kembali dirinya.
Ingatannya seluruhnya hilang dalam hitungan detik ketika Li Mei melintasi waktu ke masa depan karena lari dari kejaran pasukan ayahnya, Raja Zheng-mi goo.
Tidak ada satupun kenangan yang tertinggal dalam benak Li Mei, hanya ada kabut gelap yang melingkupi kepala Li Mei saat ini.
''Apa kamu mengalami amnesia ?", tanya Shaiming.
"Mungkin saja... Karena saat aku mencoba mengingat semua yang ada, kepala ku akan langsung terasa sakit...", sahut Li Mei.
"Aku yakin itu disebabkan oleh kecelakaan yang menimpa mu sehingga seluruh ingatan mu hilang dan kamu mengalami amnesia", ucap Shaiming.
"Kecelakaan !?", kata Li Mei terkejut. "Apa aku mengalami kecelakaan ?", sambungnya.
"Iya, saat aku melihat mu pertama kalinya, kau telah terbaring di atas aspal jalan raya, sebuah mobil tepat di depanmu saat itu", sahut Shaiming mengangguk pelan.
"Sebaiknya aku segera pergi dari sini", kata Li Mei yang terburu-buru bangun.
"Kau akan pergi kemana ?", tanya Shaiming.
"Aku... !?", sahut Li Mei tertegun kembali.
"Apa kau tahu rumah mu ?", tanya Shaiming.
Li Mei hanya menggelengkan kepalanya pelan seraya terdiam merenung.
"Aku sarankan pada mu, lebih baik kau tetap tinggal disini sampai ingatan mu pulih kembali", ucap Shaiming memberi saran.
"Tapi aku akan merepotkanmu, Shaiming...", sahut Li Mei.
"Tidak, tidak merepotkan ku", jawab cepat Shaiming.
"Benarkah !?", kata Li Mei bimbang.
"Percayalah pada ku !", sahut Shaiming.
Li Mei hanya memandangi Shaiming yang duduk di sampingnya dengan tatapan terharu, tidak tahu harus membalas apa pada kebaikan Shaiming yang begitu tulusnya terhadap dirinya.
"Terimakasih atas kemurahan hati mu...", lanjut Li Mei.
...***...
Baru pertama kalinya Li Mei dapat tersenyum kembali setelah kedatangannya di Kota Beijing yang menjadi harapan baru baginya di masa depan.
"Oh, iya...", ucap Shaiming.
Shaiming segera memberikan sebuah bungkusan besar yang terikat erat sebuah benang merah dengan liontin giok di ujung ikatannya.
"Aku menemukan bungkusan ini bersama mu saat aku melihat mu untuk pertama kalinya dan kamu mendekapnya erat-erat bungkusan besar ini", kata Shaiming.
"Emm... !?", gumam Li Mei agak termenung.
"Apa ini punya mu ?", kata Shaiming.
"Mungkin...", kata Li Mei.
Li Mei lupa bungkusan apakah itu yang dia bawa bersama dengannya, dia hanya diam seraya memandangi bungkusan besar yang ada di hadapannya.
"Jika kau lupa, tidak perlu kamu paksakan untuk mengingatnya, simpanlah baik-baik bungkusan itu bersama mu, mungkin saja benda itu sangat berharga bagi mu", kata Shaiming.
"Umm... !?", gumam Li Mei.
"Liontin giok ini sangat indah sekali...", ucap Shaiming.
Shaiming lalu meraih liontin giok yang terikat erat pada ujung benang merah yang melilit kuat di bungkusan besar itu.
Diamatinya liontin giok itu dengan seksama kemudian dia membaca sebuah tulisan yang tertera di atas permukaan giok.
"LI MEI... !?", ucap Shaiming.
Shaiming langsung tersenyum ketika dia membaca tulisan yang ada pada giok itu.
"Nama mu Li Mei...", kata Shaiming.
"Aku tidak tahu...", sahut Li Mei.
"Yah, aku tahu jika kamu tidak dapat mengingat apapun", ucap Shaiming.
"Maaf...", jawab Li Mei sambil memalingkan pandangannya ke arah lain.
"Tidak apa-apa...", sahut Shaiming.
Pandangan Shaiming langsung teralihkan pada kalung yang melingkar di leher Li Mei, liontin pada kalung emas itu sangat mirip dengan liontin giok yang ada di ujung ikatan benang merah.
"Boleh aku melihat kalung milik mu ?", kata Shaiming.
"Kalung !?", sahut Li Mei bingung.
"Yah, kalung emas yang kamu pakai itu !", kata Shaiming.
"Oh...", ucap Li Mei segera menundukkan pandangannya ke arah kalung emas yang melingkar di lehernya.
"Kau memakai kalung itu artinya kalung itu sangat berharga buat mu", ucap Shaiming.
Shaiming meraih liontin yang menggantung di kalung emas milik Li Mei, dia juga melihat sebuah tulisan nama yang sama dengan tulisan yang tertera pada giok di ujung ikatan benang merah yang melilit kuat bungkusan besar di tangan Li Mei.
Tertera kembali tulisan sama bernama Li Mei pada liontin kalung emas itu.
"Li Mei... !?", ucap Shaiming kembali. "Nama mu Li Mei dan mulai dari sekarang aku akan memanggil mu dengan nama Li Mei sesuai nama yang ada pada liontin kalung emas ini, Li Mei...", sambungnya.
Li Mei terdiam saat Shaiming memberinya semangkok mie pangsit untuk menambah tenaganya.
Perhatian Shaiming begitu tulusnya terhadap Li Mei yang sangat telaten melayaninya saat dia makan di meja bundar yang ada di dalam kamar.
"Makanlah mie pangsit ini, Li Mei !", kata Shaiming seraya menyidorkan dua sumpit kayu kepada Li Mei.
Li Mei masih terdiam saja ketika Shaiming memberinya semagkok mie pangsit serta dua sumpit kayu kepadanya.
"Kau perlu makan banyak, untuk menambah energi mu agar kesehatanmu cepat pulih kembali, Li Mei", kata Shaiming.
"Emm... !?", gumam Li Mei yang hanya melirik ke arah mangkok berisi mie pangsit dengan dua sumpit kayu di atasnya tanpa bersuara.
"Cepat kamu makan mie itu sebelum dingin !", pinta Shaiming.
"Terimakasih...", sahut Li Mei.
"Tak perlu merasa sungkan pada ku, semua adalah kewajiban bagiku untuk menolong sesama yang membutuhkan'', ucap Shaimin.
"Tetap aku harus mengucapkan rasa terimakasih ku pada mu karena telah tulus hati menolong ku", sahut Li Mei.
Shaimin menatap Li Mei dengan tertegun lalu tersenyum lembut.
"Setelah ini kita akan pergi", kata Shaiming.
"Kemana ?", tanya Li Mei sembari menatap serius ke arah Shaiming.
"Memeriksakan kondisi mu", sahut Shaiming.
"Aku rasa itu tidak perlu... Dan aku merasa jika aku baik-baik saja, hanya merasa pusing saat harus memaksa mengingat...", ucap Li Mei.
Li Mei lalu memasukkan sesumpit mie pangsit ke dalam mulutnya.
"Sebab itulah, kita harus memeriksakan kondisi mu, Li Mei", sahut Shaiming yang menuangkan minuman ke dalam cangkir kecil.
"Nanti akan teringat kembali, semua ingatanku seiring waktu, Shaiming", kata Li Mei.
"Yah, aku tahu itu tetapi alangkah baiknya jika kita periksakan keadaan mu, aku hanya akan merasa lebih tenang", ucap Shaiming.
"Percayalah padaku, Shaiming... Aku baik-baik saja saat ini, setelah meminum obat maka kepala ku akan segera sembuh", kata Li Mei.
"Mungkin itu pikiran mu tapi aku tidak akan merasa tenang sampai mengetahui sendiri kondisi mu dari dokter", ucap Shaiming.
"Emm... !?", gumam Li Mei.
Li Mei hanya menundukkan pandangannya ke arah mangkok di tangannya kemudian menghabiskan mie pangsit itu dengan lambat. Sedangkan Shaiming menenggak habis minumannya.
"Aku tidak memiliki pakaian ganti...", ucap Li Mei.
"Hmm !?", gumam Shaiming.
Shaiming menoleh ke lemari antik dekat jendela besar yang menghadap ke taman.
"Tunggu..., mungkin aku punya sesuatu yang bisa kamu kenakan...", ucapnya lalu beranjak menghampiri lemari antik.
SRET... !
Shaiming membuka lemari seraya mencari-cari sesuatu di dalam sana lalu termenung sesaat.
"Ada pakaian yang mungkin cocok untuk mu tapi ini pakaian khusus opera", kata Shaiming.
"Opera ?", ucap Li Mei.
"Ya, aku punya sebuah opera kecil yang menampilkan berbagai kesenian, mulai dari tari, musik hingga nyanyian", kata Shaiming.
"Wow !?", sahut Li Mei yang berubah senang.
Shaiming tersenyum sekilas seraya melangkah mendekat ke arah meja bundar, dimana mereka duduk tadi.
"Pakailah gaun ini ! Aku pikir akan cocok untuk mu, Li Mei !", kata Shaiming.
"Terimakasih...", sahut Li Mei dengan tersenyum lembut.
"Bergantilah segera setelah itu kita pergi ke dokter hari ini !", kata Shaiming.
"Shaiming...", panggil Li Mei saat Shaiming hendak melangkah keluar kamar.
Shaiming menoleh ke arah Li Mei seraya menjawab panggilannya.
"Yah, ada apa, Li Mei ?", tanyanya.
"Bolehkah aku melihat opera milik mu sebelum kita berangkat ke dokter ?'', kata Li Mei.
Shaiming terdiam sejenak seraya berpikir tentang niat Li Mei yang terlihat antusias untuk melihat opera kecil miliknya.
Laki-laki bernama Shaiming itu segera menganggukkan kepalanya cepat sembari tertawa kecil.
"Baiklah, kita akan mampir sebentar ke tempat opera kecil milik ku sebelum berangkat ke dokter", kata Shaiming.
"Benarkah itu !?", ucap Li Mei seraya bertepuk tangan.
"Aku melihat niat mu sungguh besar terhadap opera, dan aku senang bahwa kamu menaruh perhatian pada sebuah opera", sambung Shaiming.
"Opera adalah hal baru bagi ku...", sahut Li Mei berbohong.
"Apa kamu tidak pernah melihat pertunjukkan sebuah opera ?'', tanya Shaiming.
"Tidak...", jawab Li Mei.
"Kebetulan juga, opera membutuhkan pemain baru agar penonton tidak bosan jika melihat pertunjukkan opera kami", kata Shaiming.
"Mungkin saja, aku dapat mengisi peran baru untuk pemain opera...", sahut Li Mei.
"Apa kamu berminat terhadap opera ?", tanya Shaiming.
"Jika kamu mengijinkannya maka aku akan dengan senang hati mengikuti opera mu", sahut Li Mei.
Ingatan Li Mei tertuju pada suara aneh yang pernah dia dengar ketika dia jatuh tak sadarkan diri.
Saat itu Li Mei mendengar tentang perannya yang memiliki identitas baru sebagai Li Mei, seorang pemain opera.
Mungkinkah hal itu berkenaan dengan sesuatu yang tidak dia ingat, dan menjadi alasan buatnya kehilangan ingatan, serta mengalami amnesia.
Li Mei tertunduk ke arah meja di depannya sembari terus memperhatikan mangkok kosong di tangannya.
...***...
Tak beberapa lama Shaiming mengajaknya keluar rumah untuk pergi ke tempat opera kecil milik Shaiming.
Ternyata tempat opera kecil kepunyaan Shaiming berada tepat di sebelah rumah Shaiming sehingga mereka tidak perlu berjalan lama untuk pergi ke tempat opera kecil, cukup berjalan beberapa langkah maka sampai di tempat tujuan.
"Opera kecil ku sengaja aku bangun di dekat rumah agar aku tidak perlu berjalan lama jika ingin sampai ke tempat opera", kata Shaiming.
"Kamu sangat hebat, bisa memiliki sebuah opera, Shaiming", ucap Li Mei.
"Yah, tidak besar tapi opera milikku kerap manggung di berbagai pertunjukkan festival besar di Beijing", sahut Shaiming.
"Luar biasa...", puji Li Mei.
Mereka masuk ke dalam tempat yang dipenuhi oleh sejumlah orang yang sedang berlatih teater.
"Hai, Shaiming !", sapa seorang wanita dari arah duduknya sembari melambaikan tangannya.
"Hai, Fengying...", balas Shaiming.
"Siapa dia, Shaiming ?", tanya seorang pria muda kepada Shaiming saat melihat Li Mei berjalan bersamanya.
"Perkenalkan ini Li Mei, dia akan menjadi anggota baru kita di opera ini", sahut Shaiming yang memperkenalkan Li Mei pada anggota opera miliknya.
"Hai, Li Mei !", sapa yang lainnya dengan ramah.
"Selamat datang di opera ini ! Semoga kamu merasa betah disini, Li Mei !", ucap seorang perempuan cantik yang mengenakan hiasan rambut mencolok.
Berdiri dengan berkacak pinggang sedangkan mulutnya dipenuhi asap rokok tebal.
"Jangan ganggu dia, Genji !'', ucap pria berkepala botak.
"Biar saja, Yelu ! Ini adalah salam perkenalan dari kita, kenapa kamu tidak terima !?", sahut Genji melengos kesal.
"Beri dia ruang untuk beradaptasi, Genji ! Dia masih anggota baru di opera ini !", ucap pria lainnya.
"Ahk ! Kau juga Hao Yu ! Jangan ikut-ikutan usil seperti Yelu !", sahut Genji sembari menghembuskan asap rokoknya.
"Hai, Shaiming ! Ajak dia masuk ! Kasihan gadis itu, sepertinya dia masih muda'', ucap Hao Yu.
"Iya, dia memang baru di sini, dari luar daerah jadi tidak kenal tempat ini, Hao Yu'', sahut Shaiming.
"Oh, begitu ya...", ucap Hao Yu.
"Yup !", sahut singkat Shaiming.
"Ajak dia latihan opera, bukankah kita masih perlu pemain baru mengisi karakter untuk pegelaran nanti'', kata Yelu.
"Iya, benar. Tapi aku masih harus membawanya ke dokter sekarang ini'', ucap Shaiming.
"Dokter !? Memangnya kenapa dengan dia, hai, Shaiming !? Apa kau menghamilinya ??? Hah !?", kata Genji.
"Apa yang kau katakan itu, Genji ! Bersikaplah hormat pada anggota baru kita. Dasar kau ini, tidak bisa bersikap formal !", sahut Hao Yu.
"Fuih !?", hela nafas Genji sembari mengepulkan asap rokok yang ada di tangannya. "Untuk apa aku harus bersikap formal, aku hanya artis opera kecil, bersikap bak artis besar, aku pikir sangatlah berlebihan, Hao Yu", sambungnya.
"Kau ini... !?", sahut Hao Yu.
Shaiming hanya tersenyum simpul saat mendengar ucapan dari anggota-anggota opera miliknya, yang selalu saja kerap menggoda dirinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!