Puluhan ribu pasukan berbaris rapi bersiap menyambut kematian atau kemenangan. Kilauan tombak dan pedang menyilaukan ditimpa cahaya pagi. Padang rumput yang begituluas di bawah kaki gunung yang menjadi medan perang akan menjadi sesak dalam sekejap mata.
Aku duduk di atas pelana badak. Bukan kuda. Memang badak. Dia buka hanya binatang tunggangan, tapi juga seorang kawan.
Tangan kiriku memegang tali kekang, sedangkan tangan kananku memegang pedang. Busur dan anak panah diselempangkan di punggung. Baju zirah tipis hanya melindungi bahu, dada, siku, lengan, paha, lutut, dan betis.
Tujuh ribu pasukan penunggang berdiri di belakangku, bersiap sebagai serangan tahap ketiga. Aku ditugaskan memimpin mereka sebagai pasukan kavaleri yang menunggangi berbagai jenis hewan buas. Pertanyaannya kenapa tidak ada kuda? Karena kuda tidak akan mampu bertahan dari tunggangan musuh kita kali ini. Tunggangan mereka bukan berasal dari alam manusia, tapi dari alam jin. Itu sebabnya mustahil menggunakan kuda yang nantinya akan kalah dimangsa makhluk itu. Lebih baik memberikan perlawanan yang setidaknya seimbang daripada langsung mati tertekam lawan kami.
Jantungku berdegup kencang. Tubuhku gemetar. Bahkan pedangku hampir jatuh dari genggaman tanganku. Maklum, ini peperangan pertamaku. Aku pernah bertempur sebelumnya, tapi bukan berperang. Kuyakin seluruh pasukan juga mengalami hal serupa. Lawan kali ini kemampuannya jauh melebihi manusia.
Matahari terus meninggi. Semakin tinggi matahari itu, bersamaan datangnya awan hitam yang jelas tak masuk akal. Bagaimana mungkin matahari yang baru saja naik tiba-tiba didampingi oleh gumpalan awan hitam. Di bawah naungan awan hitam itu, satu pasukan besar telah tiba. Lawan terbesar umat manusia telah kembali lagi. Pasukan dengan wajah mengerikan yang belum pernah sekalipun umat manusia mengetahui kebeadaanya.
Seorang penunggang kuda berlari cepat dari perbukitan dari utara ke arah kami dengan wajah ketakutan dan napas yang memburu. Seperti melihat sesuatu yang mengerikan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Walaupun aku tahu, dia termasuk prajurit senior berpangkat letnan dan banyak ikut dalam berbagai pertempuran, namun kali
ini pasti sangat berbeda. Ketakutannya tak boleh dilihat oleh prajurit yang lain. Itu bisa menjatuhkan mental para prajurit.
Prajurit itu berlari ke arah jendral perang yang berada di atas kudanya. Ia sedikit merubah raut wajahnya agar terlihat tegar. Agar sang jendral tidak merasa cemas. Tapi sang jendral jelas lebih berpengalaman, terutama dalam menanggapi pasukannya. Termasuk hal seperti ini.
Sang jendral menyambutnya dengan tetap tegar di atas punggung kudanya. Dia begitu tegap tubuhnya. Beberapa lapis baja pelindung melindungi tubuhnya, termasuk helm perang. Kilatan dari zirahnya memancarkan keberanian pada pasukan yang ia pimpin. Ia berjalan mendekat ke prajurit yang telah berlari jauh dari arah perbukitan didepan sana.
“Jumlah...mereka..” Ucap si penuggang tanpa basa-basi. “Lebih dari 100 ribu. Jumlah mereka tiga kali lipat dari kita.”
Jendral menepuk pundak si prajurit. “Jangan takut!” ucapnya pelan. “Sembunyikan rasa takutmu dari pasukan yang lain. Tetaplah tegar seperti kau berperang biasanya.” Bisik si jendral pada prajuritnya sambil berlalu ke depan seluruh pasukan. Bisa gawat jika pasukannya tahu musuh seperti apa yang akan mereka hadapi. Walaupun ketakutan si prajurit hanya diketahui lima orang saja. Mungkin empat orang tidak akan memberitahu kawan-kawannya yang lain. Tapi sisa satu orang itu bisa menyebarkan pada lima orang yang lain. Dan lima orang yang lain bisa menyebarkan pada prajurit yang lain. Maka bisa dipastikan sangat berbahaya, teruatam ketika si jendral tahu musuhnya tiga kali jumlah pasukan kita. Walaupun memang tidak bisa dipungkiri jika si prajurit ridak bisa menyembunyikan rasa takutnya.
Sang jendral berjalan ke depan pasukannya sambil mengangkat pedangnya yang berkilau tinggi-tinggi. Baju zirah dan pedangnya menyilaukan tertimpa cahaya matahari pagi.
“Wahai umat manusia!” Dia mengawali orasinya untuk membakar semangat prajuritnya. “Jangan takut! Buanglah rasa takit dari dada kalian jauh-jauh. Tinggalkanlah hal tak berguna itu di medan perang yang menetukan seluruh nasib umat manusia ke depannya.” Sang jendral memutar ke arah pasukan yang lain. “Ketahuilah, perang ini menentukan seluruh nasib umat manusia. Nasib keluarga kita, teman-teman kita, semua orang terdekat kita berada di tangan kita semua.” Teriaknya lantang. “Angkat senjata kalian tinggi-tinggi!” Teriaknya keras sambil mengangkat pedangnya ke udara.
“Angkatlah!” Serunya.
Seluruh pasukan mengikuti seruannya. Ikut mengangkat senjata masing-masing sambil berteriak kencang.
“ANGKAT SEMUANYA!”
“HHHAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!!!” Seluruh pasukan berteriak menggetarkan seluruh padang rumput oleh suara mereka. Membuatnya menyaksikan pertumpahan darah paling besar dalam abad ini. Tanah ini akan menjadi darah persaksian suatu saat nanti. Sebuah persaksian di masa mendatang.
Puluhan ribu pasukan mendekat dari jarak pandang sejauh mata memandang. Pasukan hitam dengan bendera perang hitam pekat tanpa lambang apapun yang keadaannya seperti telah terkoyak. Tombak-tombak hitam mereka telah diacungkan ke arah musuhnya. Siap melibas siapapun yang berani mendekati lautan tombak itu. Berbaris-baris pasukan mereka bergerak meninggalkan bekas kerusakan di belakangnya.
Tiga baris pasukan mereka di depan mengacungkan tombak ke depan. Beberapa baris di belakangnya bersiap dengan busur dan anak panah. Pedang-pedang mereka terselipkan di pinggang mereka. Di belakang pasukan pemanah, pasukan penunggang makhluk buas yang dikatakan bisa melumat apapun dengan rahang dan cakarnya. Grugwolf, makhluk bertubuh serigala liar dengan ukuran sebesar beruang coklat. Dengan kemapuan tiga kali lipat dari serigala biasa. Dengan kemapuan seperti itu, mustahil bisa dikalahkan dengan mudah hanya dengan pedang, tombak, atau anak panah. Untuk itu kami punya senjata yang lebih besar.
Gelombang pertama serangan musuh mulai dilancarkan. Ribuan pasukan bergerak maju dengan tombak teracung kedepan. Wajah mereka yang bengis dan menakutkan menambah kesan menyeramkan peperangan ini.
Pergerakan mereka sangat cepat. Pasukan infateri bertombak dan panah sudah berjarak satu hingga dua kilometer. Genderang perang dari pasukan kami mulai ditabuh. Menambah kesan dramatis dalam peperangan. Namun bukan itu intinya, fungsi lain yang sangat berpengaruh dari genderang perang adalah menandakan serangan macam apa yang akan dilancarkan. Untuk serangan pembuka ini, jendral jelas memilih serangan ringan karena melihat lawannya yang tidak begitu kuat. Namun juga perlu perhitungan untuk tak boleh meremehkan lawan.
Tiupan terompet dari pengawal jendral sudah tiup. Lalu disusul oleh tiupan terompet-terompet lainnya yang jaraknya ratusan meter di belakang hingga sampai ke tempat genderang perang ditabuh. Ritme dari tabuhan genderang perang berubah menjadi alunan nada cepat dan menggunggah semangat.
Gelombang pasukan pertama mulai maju dipimpin komandan masing-masing. Dua jenis pasukan langsung maju; infanteri dan kavaleri berkuda. Pasukan infanteri maju dengan tombak dan pedang. Tubuh mereka di tertutupi oleh zirah. Derap langkah mereka menggetarkan bebatuan di bawah kaki mereka. Derap langkahnya menyamai tabuhan genderang perang kematian.
Dalam hal jumlah, pasukan infanteri memang kalah. Bisa jadi lawannya berjumlah dua kali lipat. Namun yang menjadi keunggulan dari kami adalah kemenangan strategi. Strateginya adalah adalah dalam lima puluh orang prajurit akan membentuk sebuah persegi dengan perisai besi persegi panjang. Dalam setiap formasi akan diberi jarak sepuluh meter. Setiap prajurit yang di tepi luar formasi akan menggunakan perisainya sebagai pelindung dari luar. Sedangkan prajurit yang ada di dalam formasi akan mengangkat formasi di atas kepala mereka untuk mencegah serangan dari atas kepala, termasuk tembakan anak panah. Namun kelemahannya adalah mereka tidak bisa bergerak cepat.
Dari bagian belakang pasukan infanteri, pasukan kavaleri membantu dengan tembakan anak panah sambil berlari di antara formasi pasukan infanteri. Memberikan perlindungan sekaligus merepotkan strategi pasukan musuh dengan tembakan anak panah dan merepotkan dangan kepulan debu yang menutupi mata pasukan musuh. Sebenarnya, pasukan infanteri juga tidak bisa melihat karena pandangan mereka terbatas karena tertutup oleh perisai dan kepulan debu. Tapi sesuai strategi, mereka hanya perlu berjalan ke depan ke tempat yang ditentukan untuk serangan pembuka.
Serangan dari pihak musuh semakin bertambah ganas. Namun dengan keadaan lawan yang tidak punya pemimpin,mereka menyerang membabi buta. Mulai tembakan anak panah yang menyasar pasukan infanteri yang justru tidak membuat kerusakan yang berarti karena formasi yang baik. Serangan jarak dekat dengan tombak dan pedang yang dilancarkan juga mustahil. Tombak dan pedang mereka tidak bisa menembus perisai yang tebal itu. Justru tombak dari pasukan infanteri yang berada dalam formasi mampu melumpuhkan musuh dengan cepat. Keunggulan dari pihak kami semakin terlihat pada serangan pertama ini. Tembakan bantuan dari kavaleri berkuda juga cukup banyak melumpuhkan pasukan musuh.
Jendral mengetahui posisi pasukan infanteri sudah dekat dengan posisi yang diharapkan. Walau keadaan medan perang tertutup oleh kepulan debu, ia bisa tahu dengan pasti dengan bantuan angin. Iya, angin. Ia pengendali angin, juga pengendali api, air, tanah, tidak untuk petir.
Jendral menyarungkan pedangnya ke pinggang. Merentangkan kedua tangan, lalu menepukkan tangannya sekali. Gelombang hembusan angin bagaikan badai, menyingkap kepulan debu. Itu adalah pertanda bagi pasukan infanteri untuk memecah formasi menjadi satu. Tidak sampai lima menit, formasi mereka kini menjadi formasi lima baris. Barisan pertama menggunakan perisainya sebagai pelindung. Baris kedua dan ketiga menggunakan perisainya sebagai pelindung di atas kepalanya. Baris keempat dan kelima menyerang musuh yang melompat ke atas mereka. Baris pertama juga bertahan dan menyerang dengan pedang mereka pada lawan yang mendekati perisai mereka.
Secara bertahap, mereka bergerak ke strategi selanjutnya dengan posisi bagian tengah bergerak mundur dan bagian sayap kanan dan kiri bergerak sedikit ke depan hingga membentuk seperti huruf ‘C’. Setelah terbentuk formasi selanjutnya, mereka tetap mundur hingga pihak musuh menjauh dari posisi pasukan inti. Pasukan infanteri musuh semakin menjauh dan tidak menyadari keadaannya sendiri.
Setelah dirasa sudah cukup jauh, pasukan infanteri segera menutup satu-satunya akses jalan keluar. Sedangkan kavaleri berkuda menembakan anak panah dari luar formasi. Menghabisi seluruh pasukan infanteri musuh dalam formasi.
Melihat keadaan kawannya dibantai, terompet perang pasukan musuh kembali terdengar. Teriakan ganas mereka terdengar bersahut-sahutan. Formasi pasukan bergerak mundur secara teratur. Kavaleri berkuda tetap menembakan anak panah secara bertahap hingga membuat musuh semakin dekat dengan posisi pasukan inti.
Setelah menunggu pasukan infanteri dan kavaleri mundur. Jendral meniup terompet miliknya. Sahut-sahutan terompet terdengar hingga barisan belakang. Serangan kedua dimulai. Artileri berat menembakan senjatanya. Puluhan batu api seukuran sapi melayang di atas kepala kami. Mendarat keras ke arah pasukan musuh yang mendekat. Sebagian pasukan musuh telah mati, namun sebagian yang lain tetap merengsek maju. Ditambah dengan bantuan pasukan infanteri lagi dari pihak musuh. Kini mereka cukup banyak jika akan dihabisi dengan trebuchet.
“Tembakan meriam!” Seru Jendral.
Terompet pengawalnya kali ini yang berbunyi. Dengan cepat pesan itu diterima. Puluhan artileri terkuat milik kami harus dikerahkan. Meriam plasma ciptaan Suku Techno. Suku dengan satu-satunya peradaban modern di seluruh dunia. Dan tidak berniat mengembangkan teknologinya hingga ke luar wilayahnya.
Pasumkan artileri yang berada di atas bukit di belakang kami, termasuk trebuchet pelontar batu api. Meriam plasma mulai mengisi tembakan. Cahaya biru mulai menampakkan diri di moncong meriam. Lima detik kemudian senjata ditembakkan. Efek dari pelepasan tembakan membuat tanah bergetar dan menerbangkan debu-debu. Plasma biru melesat jauh ke arah target. Kecepatan jauh melebihi kecepatan suara. Bahkan suara tembakannya benar-benar memekakkan telinga. Efek dari tembakan menyebabakan ledakan bersifat area dengan radius 20 meter. Tembakan-tembakan lain juga dilesatkan. Ledakan-ledakkan beruntun mengenai wilayah musuh. Tapi itu jelas belum selesai. Meski banyak lawan yang telah mati dalam dua serangan tadi. Musuh masih berjumlah lebih banyak dari kita. Peperangan ini pasti akan memakan banyak waktu.
Tembakan dari meriam-meriam plasma telah berhenti. Menyisakan kepulan asap dan debu yang jadi satu. Dari dalam sana, sisa-sisa pasukan musuh terlihat. Tidak terlalu banyak, memang. Tapi aku yakin jendral tidak akan mengerahkan satu pasukan infanteri untuk menghabisinya.
Kini anak-anak panah dilesatkan menembus awan. Jatuh ke sisa-sisa pasukan musuh. Menembus tubuh mereka, menancap di kepala mereka, mengembalikan nyawa mereka ke neraka sekali lagi. Kemenangan beruntun dari pihak manusia. Aku tidak begitu yakin dengan Kemenangan ini. Seharusnya mereka menjadi lawan yang kuat, bahkan untuk serangan pertama tadi. Serangan gabungan infanteri dan kavaleri berkuda, seharusnya itu menjadi kemudahan mereka melibasnya dengan pasukan penunggang grugwolf mereka.
Pertempuran berhenti sejenak. Semuanya hening. Walaupun ada kebahagiaan di hati para pasukan akan kemenangan pertama ini. Tapi aku yakin jendral musuh memikirkan strategi serangan selanjutnya. Walaupun, kita telah rapat sebelumnya tentang serangan apa saja yang akan kita lancarkan dan membalas dengan serangan apa
jika mereka menyerang lebih dulu. Dia tetap memiliki rencana cadangan yang tidak diketahui kepala siapapun.
Jumlah pasukan musuh telah berkurang banyak. Itu membuat pemimpin mereka semakin geram. Walaupun tidak terlihat bagaimana wajahnya karena terlalu jauh dan kami tidak peduli bagaimana reaksi mereka, kami hanya peduli untuk menang. Kami hanya kehilangan beberapa puluh pasukan saja di pertempuran pertama tadi dari pihak infanteri saja. Aku mengagumi rencana jendral, benar-benar hebat.
Tiba-tiba genderang perang dari pihak musuh berbunyi. Sebelumnya kami tidak menyadari mereka membawa genderang perang karena sedari tadi mereka hanya menggunakan terompet perang yang suaranya menggema sampai ke arah kami. Tak kalah dengan genderang perangnya yang ikut menggetarkan perbukitan di belakang kami dan pegunungan di belakang mereka. Suara genderang mereka membuat kami seakan mengalami peperangan mental. Sebuah suara menakutkan yang mungkin saja sengaja dibuat untuk menghancurkan mental seseorang. Sebuah ritme kehancuran bagi siapa saja yang mendengarkan. Sebuah nada kematian. Kali ini pasukan lawan tidak akan bermain-main.
Satu pasukan besar infanteri musuh mendekat dengan persenjataan lengkap dengan tubuh terlapisi armor perang yang tebal, menutupi seluruh tubuh mereka. Mereka tidak menggunakan pedang, namun kapak, gada, tombak, sebuah persenjataan berat untuk satu pasukan besar. Ditambah dengan postur tubuh mereka yang satu setengah lebih besar dari tubuh manusia pada umumnya. Ditambah dengan raut muka mengerikan mereka menambah kesan menakutkan pada mereka. Sebuah pasukan yang sengaja dikeluarkan diakhir pertandingan adalah sebuah kunci kemenangan. Awan hitam di atas mereka ikut mengiringi perjalanan pasukan perang itu. Bagaikan hendak turun rintikan hujan darah membasahi tanah ini.
Hentakan kematian mulai menjalari setiap dada manusia yang iktu berperang di tanah ini. Rasa ini lebih kuat daripada peperangan sebelumnya. Rasa cemas juga meliputi jendral. Dia bingung hendak mengirim pasukan macam apa yang cocok untuk menghadapi monster mengerikan semacam itu. Juga karena tidak catatan yang mengatakan adanya makhluk semacam itu. Itu karena umat manusia belum pernah berperang melawan mereka lagi.
Kebimbangan juga menyelimuti jendral. Ia tidak mengira pihak lawan masih punya pasukan menakutkan lain. Ia pikir ia telah memenangkan seluruh panggung pertunjukan ini. Tapi ternyata belum.
“Berapa lama meriamnya terisi penuh?” Tanya jendral pada ajudannya yang memakai armor tebal. Wajahnya tertutup masker kain hitam.
“Sekitar 10 menit lagi. Tapi mereka akan mendekat sebelum waktunya,” Ujar sang ajudan.
“Kita ulur waktunya.” Ucap jendral tegas
“Para penunggang?”
“Tidak!” Ucap jendral tegas. “Kita masih butuh mereka. Kita tidak ingin kehilangan pasukan terbaik dengan cepat.”
“Tapi itu satu-satunya kesempatan kita.” Ajudannya tetap ngotot.
“Tetap tidak.” Jendral menatap ajudannya dengan marah. Si ajudan beringsut diam gemetar.
Aku memacu badak ku mendekatinya. Berhenti tepat di depannya. “Biarkan aku yang maju.” Usulku tegas. Walaupun sebenarnya itu membuatku takut.
Jendral menggeleng. Dia sudah memutuskan sesuatu. “Jangan bilang karena aku adikmu kau melarang ku maju ke medan perang, Atlas!” Seruku marah. Dia mendadak menatapku tajam dengan raut marah. Seharusnya aku tidak memanggil namanya karena peraturan militer melarang seseorang memanggil atasan dengan namanya. Tapi kurasa bukan itu alasannya. Tidak punya alasan marah karena hal seperti itu.
“Selama ini kau di alam liar belajar apa, hah!?” Dia membentak ku. Matanya merah padam. “Alasanku melarang pasukanmu maju, karena aku tak mau kalah dalam peperangan ini dengan cepat. Setidaknya kita berusaha, bodoh,”
“Jendral,” Panggil ajudannya, “Mereka mendekat.”
Kami memalingkan pandangan ada sepasukan monster itu. Mereka sekarang berjarak sekitar dua kilometer kurang lebih. “Keluarkan kavaleri berkuda dan bantu mereka dengan tembakan anak panah.” Perintah Atlas, atau jendral yang sebenarnya kakakku.
Ajudannya mengangguk. Lantas menunggangi kudanya menuju pasukan kavaleri yang dimaksud untuk segera maju. Juga memerintahkan pasukan pemanah untuk maju ke barisan depan. Guna memberikan tembakan perlindungan pada kavaleri berkuda.
Kavaleri berkuda yang satu ini berbeda dengan kavaleri pemanah sebelumnya. Mereka pasukan khusus bersenjata berat, sedangkan kavaleri sebelumnya adalah pasukan gerak cepat yang tidak dibekali zirah berat, hanya zirah tipis, busur dan anak panah, dan pedang. Seluruhnya untuk tidak memberatkan gerakan kuda dari penunggangnya.
Pasukan kavaleri mulai berderap maju. Langkah kudanya menerbangkan debu-debu. Seluruh pasukannya berteriak keras ke medan pertempuran. Berharap ini bukan peperangan terakhir mereka. Mereka masih ingin berperang di pihak manusia selamanya. Hingga makhluk seperti mereka enyah dari alam ini.
Dentang besi dari kedua pasukan saling ber hantaman. Satu persatu potongan tubuh mulai tercerai berai di atas tanah. Darah-darah membasahi tanah ini. Rerumputan yang tadinya hijau berubah sekejap menjadi merah darah. Tak ada yang memperdulikan sekitarnya. Para manusia itu, mereka hanya berharap bisa memenangkan perang ini.
Para monster itu, mereka menang dalam segi kekuatan dan jumlah. Mereka benar-benar tangguh. Bahkan para penunggang kuda dan kudanya bisa mereka tebas dalam sekali tebasan. Mereka benar-benar unggul. Setiap pasukan kaveleri akan menebas, mereka akan menangkisnya dengan tangan mereka sendiri, walaupun pada akhirnya mereka kehilangan satu anggota tubuhnya, namun seakan mereka tak peduli. Mereka hanya peduli untuk memenangkan perang ini. Membuat pihak manusia terdesak. Bahkan komandan pasukan kavaleri yang notabene seorang pengendali tanah tak bisa berkutik sedikitpun. Ia hanya bisa bertahan, padahal sebelumnya, ia sanggup menolong setiap anggota pasukannya terdesak, namun sekarang, menolong diri sendiri saja tak mampu.
“Komandan,” Teriak salah seorang pasukan di depannya yang sedang meminta tolong sedang menghadapi tiga monster sekaligus dari atas kudanya. Tak lama setelah itu, ia mati dengan tubuh terbelah dua bersama kudanya. Komandannya sendiri tak mampu membantunya, ia sibuk sendiri di kancah peperangan yang tidak seimbang ini.
“Komandan,” Teriak lagi seorang pasukannya yang berhasil menerobos musuh demi menghampirinya saja. “Pergilah kembali! Aku akan melemparkanmu dengan pengendali tanah. Mintalah dikirim serangan batu api.”
Seorang musuh mendekat. Mereka berdua bersusah payah menebas kepalanya dan berhasil.
“Tidak!" Tolak sang komandan. “Kau yang akan pergi,”
Belum sempat si prajurit menegaskan penolakannya, si komandan sudah melemparkannya dengan teknik pengendalian tanah dengan sebongkah batu di bawah tubuhnya yang jadi penopang dirinya dan kudanya. Ia mendarat tepat di hadapan jendral. Dia segera memacu kudanya mendekati jendral.
“Siapa yang mengirim mu? Bukannya kau tahu di peperangan seseorang tak boleh mundur?” Ucap tegas Atlas.
“Maafkan saya, jendral, tapi pasukan di sana telah terdesak. Tidak Lama lagi mereka akan binasa. Komandan mengirim saya untuk meminta dikirim serangan bola api cincin mengelilingi lokasi peperangan. Ia akan melakukan serangan bunuh diri. ”
“Tidak mungkin! Serangan itu berpotensi gagal.” Tegas Atlas.
Kecemasan kuat melanda Atlas selaku pimpinan tertinggi pasukan. Namun ia tak ingin pihak manusia kalah. Apalagi ini belum waktunya meriam plasma ditembakkan. Masih ada beberapa menit lagi. Serangan tidak akan maksimal.
“Aku yang akan maju.” Usulku.
“Sudah kubilang aku tak akan membiarkan pasukan terhebat hilang dalam satu pertempuran,” Bentak Atlas.
Aku berbalik melenggang pergi. “Orang bodoh mana yang membiarkan satu pasukan kalah, kakak. Akan kuberikan pertempuran terbaik kami.” Atlas menatapku tajam. Keinginannya memang tak membiarkanku pergi setelah kematian ayah dan hilangnya ibu. Dia sengaja menempatkan ku di pasukan khusus agar aku bisa selamat. Tapi bukan itu yang kuinginkan. Aku ingin berjuang. Aku hanya ingin berjuang.
“Jendral,” Teriak ajudannya ketakutan. “Pasukan grugwolf musuh maju.”
Atlas menatap ke arah medan perang. Benar, pasukan grugwolf maju. Belum lagi satu ketakutan hilang, kini ditambah lagi. Satu serangan besar dari dua pasukan terbaik musuh akan membinasakan seluruh pasukan kavaleri di dalam sana. Setelah itu, mereka akan menembus pertahan pasukan infanteri terdepan, walau pasukan infanteri yang ini terkenal kuat akan pertahanannya. Tapi itu hanya berlaku pada musuh manusia, melawan para monster itu, mereka hanya terlihat seperti mainan, apalagi dihadapan pasukan grugwolf.
“Kakak, hei, dengarkan aku!” Aku turun dari badak ku, mendekatinya. “Kau sudah melihat mereka. ” Telunjukku mengarah ke arah pasukan musuh yang telah menghabisi pasukan kavaleri dan bergerak cepat ke arah kami. “Jika kau tidak memutuskan sesuatu, kita akan tamat. Dalam segi jumlah dan kekuatan, pasukanku unggul melawan para penunggang itu. Waktumu tak banyak.” Aku kembali menunggang badak, melenggang kembali ke pasukanku. Aku hanya berharap Atlas tak mengambil keputusan yang salah.
Para penunggang grugwolf semakin mendekat. Ditambah pasukan besar di belakangnya yang akan membantu melumat pasukan kami setelah para penunggang grugwolf menerobos pertahanan.
Genderang perang berubah cepat. Strategi di luar rencana telah dimulai. Atlas telah mengambil keputusannya. Strategi pasukan pemanah dan penembak suku Techno menembaki dari atas perbukitan. Pasukan ditarik mundur untuk menghindari jatuh korban lebih banyak, dan pasukanku maju membendung pasukan grugwolf. Sebelum itu juga, lemparan trebuchet melontarkan batu api ke arah pasukan grugwolf, menahan mereka sementara. Lalu pasukan kami menyerang pasukan yang berhasil menerobos. Itu strateginya.
Lemparan batu api dimulai, apinya membakar seluruh daratan. Asap hitam tebalnya menjunjung tinggi ke angkasa. Dari balik asap hitam itu, para grugwolf masih bisa bertahan dan keluar dari kepungan api.
Para pemanah dan penembak di atas bukit yang telah siap menembaki mereka yang berhasil keluar. Banyak diantara mereka yang langsung mati, kembali ke neraka. Namun masih banyak lagi yang selamat dari kepungan api dan menerobos keluar, maju ke arah kami.
Aku meniup terompet perang. Pasukan penunggang mengangkat senjatanya, berteriak keras mengikuti teriakanku. Singa, harimau, badak, cheetah, banteng, serigala, babi hutan, bahkan elang dan rajawali yang bertengger di pundak-pundak para tuannya juga merentangkan sayapnya bersiap mencabik-cabik musuhnya.
“Majulah para penunggang!!!” Teriakku sambil memacu badak tungganganku.
Mereka mengangkat senjatanya masing-masing ke angkasa, diiringi teriakan buas para tunggangannya. Para tuannya juga tidak mau kalah, mereka ikut berteriak hingga serak. Membuktikan kegigihan mereka dalam perang ini.
Para penunggang lainnya mengikuti langkahku. Langkah-langkah berderap kuat, menerbangkan gumpalan harapan baru. Pasukan terbaik yang ku sarankan pada Atlas, dan aku yang memilih mereka langsung dari suku suku terbaik.
Ditembakkan anak panah ke udara. Itu adalah sebuah pertanda akan sebuah formasi penyerangan. Biasanya sebuah tanda akan berbentuk tembakan anak panah, suara terompet, tabuhan genderang, dan hal-hal lain yang bisa dilihat oleh banyak orang dan didengar dengan jelas. Jelas tidak akan menggunakan sebuah teriakkan yang jelas-jelas tak akan terdengar karena bisingnya peperangan.
Formasi kami berubah, yang tadinya bergerak satu pasukan memanjang ke belakang, kini dipecah menjadi dua pasukan. Mengepung dari sisi kanan dan kiri musuh. Dengan cepat para penunggang mengahadapi lawan mereka yang seimbang. Walaupun ukurannya, grugwolf sulit ditaklukan. Tapi nyatanya sekarang tidak terlalu sulit. Sedikit demi sedikit musuh ditumbangkan. Para penunggang grugwolf sudah terdesak dan kehabisan daya gerak karena terhimpit di kedua sisi.
Namun ada yang satu tidak kita ketahui, awan hitam itu. Benda itu yang seakan mengikuti iring-iringan pasukan musuh. Bukanlah seperti yang kami kira sebelumnya. Di saat kami masih terus menghabisi sisa para penunggang grugwolf, hal yang tak terduga datang. Bukan dari pasukan monster yang ukurannya tak masuk akal yang telah menghabisi pasukan kavaleri. Namun dari awan hitam itu sendiri. Itu bukanlah awan, namun sekelompok naga yang mengeluarkan asap hitam dari hidungnya untuk menyembunyikan keberadaan mereka.
Dengan cepat sekelompok naga itu menukik menyerang kami, para penunggang. Dengan cakar dan mulut mereka yang penuh taring tajam, mereka menukik sambil mencabik-cabik kami. Beberapa dari kami juga dibawanya terbang lalu dijatuhkan dari ketinggian. Tak peduli juga ada pasukan grugwolf, mereka juga menyemburkan nafas api dari mulutnya. Membakar kami yang di bawah. Kali ini kami bukan hanya terdesak, tapi sekarat.
Aku hanya bisa mundur sambil melempari para naga itu dengan batuan besar menggunakan teknik pengendali tanah. Tapi itu tak berefek besar pada mereka. Konon, kulitnya sangat keras, sekeras batuan gunung di pegunungan Senyap. Sebuah semburan api mengarah padaku. Aku hanya menatap kobaran napas api itu hingga mengenai diriku. Mungkin ini akhirnya. Aku tak percaya secepat ini akhir diriku. Karena masih ada seseorang yang menungguku. Seseorang yang kucintai. Perempuan yang selama ini membantuku hingga titik ini. Ia juga berjanji untuk tidak mati dalam peperangan ini, tapi apa janjiku juga berlaku pada dirinya. Kuharap ada sebuah keajaiban yan terjadi. Aku tak ingin mati langsung, ada bangsa yang akan ku lindungi.
Waktu mundur menuju lima tahun lalu.
Aku berdiri di depan sebuah batu besar di dalam sebuah goa. Cahaya matahari merambat masuk dari pintu masuknya dan sela-sela dinding bebatuan goa yang retak. Aku menatap batu besar itu. Sambil mengepalkan tanganku yang dilapisi bebatuan terakota.
Aku memakai baju berwarna hitam yang ditenun manual oleh alat tenun. Celanaku hanya terbuat dari kulit domba. Tanpa memakai alas kaki apapun. Tak ada kehidupan dengan mesin. Suku kami lebih menyukai kehidupan tradisional, tidak seperti suku sebelah yang lebih cerdas yang mampu menciptakan sebuah alat-alat hebat yang tidak bisa dilakukan oleh kaki tangan manusia.
Pakaianku telah basah oleh air keringatku yang bercucuran. Kakiku sampai berdarah bercampur debu, juga dengan keringat. Telapak kakiku sampai retak-retak karena latihan-latihan berat selama
ini.
“Sudah sembilan puluh sembilan kali aku melakukannya. Yang ke seratus kali aku harus bisa.”
Kakiku membentuk kuda-kuda dengan kaki kiri di depan. Batu besar itu seperti tak tergoyahkan. Selama ini, serangan ku hanya membentuk retakan-retakan kecil. Sebuah batu dengan ukuran diameter tiga meter dan tebal kurang lebih dua setengah meter. Setiap seminggu sekali aku kemari, memberikan serangan terkuat ku selama latihan dalam seminggu. Tepat pada hari ketujuh aku kemari untuk memberikan serangan besar pada benda tak bergerak ini.
Kaki kanan depanku maju dengan menggeser pelan di atas tanah. Aku melompat dengan diawali lompatan kaki kiri yang berada di belakang. Loncatan Ku setinggi satu meter ke arah batu besar itu. Tangan kananku menghantam batu itu. Ketika aku mendarat kembali ke tanah. Batu itu hanya retak saja, walaupun retak, itu sudah cukup besar dari retakan-retakan yang kesembilan puluh sembilan kali lebih kecil dari serangan ku ke seratus ini. Batu itu tak bergerak sama sekali. Tetap seperti dulu.
Aku langsung tumbang begitu aku mendarat. Kakiku sudah lemas. Tanganku meraih bambu berisi air minum yang badannya kuberi tali dari rotan. Dengan tangan gemetaran aku meraih bambu berisi air minum itu. Aku meneguk separuh isinya. Lalu meletakkan kembali bambu berisi air itu ke tanah.
“Aku butuh waktu lama menghancurkan batu itu. Sangat sulit menggunakan elemen yang sama untuk mengalahkan benda yang menggunakan elemen itu.”
Aku berdiri setelah agak lama beristirahat dalam gua. Ku selempangkan bambu berisi air itu pinggangku. Lalu aku keluar dari goa, sambil mengangkat tumpukan kayu bakar yang ku letakkan di mulut goa. Aku mengikatnya dengan tali rotan. Rumah-rumah di suku kami membutuhkan kayu bakar sebagai bahan bakar rumah tangga. Walaupun juga ada minyak untuk bahan pembakaran. Tapi sulit untuk mendapatkannya, walaupun ada itu hanya untuk acara tertentu yang sangat penting. Dan untuk penerangan, bukan untuk keperluan memasak.
Kakiku melangkah dari gua. Sinarnya mulai menyengat kulitku. Bau keringat dan matahari bersatu. Lapisan-lapisan batu terakota yang lupa ku hancurkan saat di goa tadi, aku meluruhkannya dari tanganku saat keluar berjalan dari goa.
Aku berjalan menuruni lembah, memasuki hutan dan keluar hutan. Melewati semak-semak belukar, melewati akar-akar pohon yang besarnya sama seperti ranting pohonnya. Sinar matahari tak tampak lagi terhalangi rimbunnya dedaunan. Hanya bayang-bayang hutan yang tampak.
Setelah menyusuri jalur hutan yang jarang dilewati banyak orang, aku sampai di jalan bebatuan tanah sebagai jalan setapak, juga sebagai jalan kendaraan pengangkut yang ditarik kuda atau kerbau.
Suara langkah kaki terdengar di belakangku. Langkah kaki yang berat dan kasar. Gerak kakinya berat dengan tapak demi tapak mendekatiku. Lebih dekat lagi aku seperti mengenal pemilik langkah
kaki itu, apalagi terdapat dua pasang kaki.
“Artas!!” Panggil seorang dari mereka.
Menolehkan kepalaku ke pemilik suara. Itu Zanas yang memanggilku dan kakaknya Yundan, si pangeran dingin. Itu sebutan Yundan. Walau mereka kembar, mereka punya dua sifat yang berbeda. Meski
begitu, mereka dua saudara yang baik dan setia pada kawan. Tidak membeda-bedakan kawan, termasuk aku sebagai anak dengan kekuatan pengendali paling lemah.
“Seperti biasa, kau selalu membawa kayu lebih banyak dari kami.” Puji Zanas.
Yundan berjalan lebih dulu daripada kami.
“Hei, Yundan, mau berlomba? Kalau aku menang kalian ikut jadi bagian kelompokku di pertandingan selanjutnya.”
“Kau selalu menang dari kami, bodoh.” Ucap Yundan malas.
Zanas menepuk bahu Yundan. “Ayolah, kakak, aku tidak akan kalah lagi darinya. ” Zanas menatapku. “Kau pasti akan keberatan menuruni lembah dengan beban berat di punggungmu.”
“Ayolah,” Aku tersenyum, “Kau pasti tahu aku selalu menuruni lembah hampir tidak pernah berjalan. Aku selalu berlari menuruni lembah.”
Zanas tertawa. Dia berpikir kali ini dia yang akan menang. Ayolah, aku pengendali elemen tanah terbaik yang pernah dimiliki akademi.
“1...2...3...” Kami menghitung bersama dan melesat bersama juga, meninggalkan Yundan sendirian di belakang.
“Ya ampun, aku ditinggal lagi.” Yundan menepuk jidatnya. Mau tak mau ia ikut berlari mengejar kami.
---xx---
Obor-obor sudah dinyalakan sepanjang jalan desa. Menerangi seluruh perkampungan setelah matahari terbenam di ujung barat sana. Diikuti semerbak indahnya bulan dan gemerlapnya bintang di ufuk timur. Puluhan pengembala kembali ke ke dalam perkampungan sebelum malam menjemput. Termasuk diriku tadi setelah kembali mencari kayu bakar, aku kembali ke luar perkampungan suku untuk menggembala kambing.
Jika bukan ada acara penting hari ini, tidak akan kepala suku menghabiskan persediaan minyak tanah untuk menghidupkan obor-obor sepanjang jalanan. Sebenarnya aku terbiasa pulang malam-malam. Namun karena hari ini ada acara penting, seluruh penduduk desa harus kembali ke pedesaan sebelum malam tiba. Aku juga punya janji dengan tiga orang.
Segera aku memasuki kandang tanpa ada seorang pun yang tahu dari ayah dan ibuku. Setelah aku pastikan dua puluh ekor kambingku masuk ke tempatnya masing-masing. Aku segera menaiki kudaku, memacunya menuju ke lapangan di akademi. Aku tidak berpamitan pada orang di rumah, pasti juga tidak ada orang di rumah. Ayah pasti sedang memimpin rapat sebelum acaranya dimulai. Ibu pasti juga sedang di akademi belum pulang. Ia pasti mempersiapkan untuk pertandingan beberapa hari lagi.
Aku memacu kudaku menuju lapangan akademi di tengah kota. Tiga orang sudah menungguku di sana. Timku. Tiga kuda besar dan penunggangnya duduk tegap di punggungnya. Aku ikut merapat ke antara mereka.
“Kau terlambat lagi, Artras!” Ujar Jana. Satu-satunya perempuan di tim kami dan juga yang paling perhatian.
Napas Ku terengah-engah. “Aku minta maaf, sungguh!” Ucapku menyesal. “Aku baru saja pulang dari menggembala.”
“Kuharap kau tidak terlambat lagi saat pertandingan dimulai.” Ucap Yundan ketus. Dia orang yang dingin.
BUKK!!
Zanas mengepak punggung Yundan, kakaknya, pelan. “Ayolah, bisakah kau melupakan kejadian tahun lalu.” Ujar Zanas kesal dengan perkataan kakaknya.
“Itu benar!” Yundan menatap Zanas tajam. “Jika aku tidak menjemputnya di tepian sungai, kita pasti sudah ditetapkan jadi kalah.”
“Tapi kau melupakan jika ia juga bertarung sendirian tanpa bantuan selama hampir dua jam?!” Bentak Zanas. Ia mengepalkan tangannya, seperti ingin mengajak bertarung kakaknya.
Perdebatan kedua saudara kembar terdengar nyaring sampai jelas jika mereka akan bertarung, hingga tiba-tiba...
BLAAMMM!!!
Ringikan kuda-kuda yang terkejut sambil mengangkat kedua kaki depannya terdengar jelas karena kaget. Itu ulah Jana, ia membuat dinding pemisah antara dua saudara kembar itu. jika tidak, mereka akan bertarung. Seketika mereka berhenti bicara.
“Bisakah kalian kesampingkan hal semacam ini? Jangan gunakan emosi kalian untuk hal yang jelas seperti ini.” Jana memberi nasehat. “Biarlah yang lalu itu berlalu. Kita akan memulai hal baru lagi. Tapi kita gunakan yang lalu itu sebagai pelajaran.” Mata Jana menatap kami satu persatu. Memberi peringatan.
Jana jika sudah marah tak ada yang berani bicara. Ia bagaikan seorang ibu yang memarahi anak-anaknya yang tak kunjung pulang. Itu juga sebab tak ada seorangpun di akademi mau menjadi kekasihnya. Itu bukan aku. Bisa aku katakan secara umum.
Dia juga menatapku dengan mata merah padam. Aku takut jika ia tiba-tiba menyerang dengan elemen tanahnya, aku tidak akan bisa menahannya. Elemen tanahnya yang terkuat ke tiga di akademi. Aku yang kedua. Walau begitu ia selangkah lebih dekat ke arahku.
Jana menatapku. Membuatku gugup.
“Ada...apa?” Tanyaku gugup.
Jana memicingkan mata. “Kau kenapa?”
Aku menggeleng cepat. “Tidak apa-apa!” Aku memalingkan tatapanku dari matanya.
Jana mengalihkan matanya ke Yundan. “Yundan, beritahu kami apa yang kau temukan.” Desak Jana hingga membuat Yundan kaget dengan bentakannya.
"Sebentar, ibu-ibu!” Yundan mengomel sambil mendekat.
“Apa katamu?” Mata Jana kembali memerah marah menatap Yundan.
Dengan cepat Zanas yang jelas paham akan hal itu dan pasti Jana akan mengajak berkelahi dan itu juga akan membuat waktu terbuang sia-sia. “Aah...lupakan! Lupakanlah itu!” Zanas melambaikan tangannya di depan wajah Jana sambil memasang wajah lucu untuk menenangkan Jana.
Jana mengepalkan tangannya. Tapi lagi-lagi Zanas menenangkan Jana. Untuk akhirnya Jana kembali tenang, tapi jelas Jana masih menyimpan emosinya. Lagipula, kenapa pula Yundan memancing emosi Jana saat ia selesai marah. Ia bisa menghantam kami dan bisa membuat kami masuk rumah sakit di kota saat dua tahun lalu.
“Baik, langsung saja kenapa kita berkumpul di sini.” Zanas langsung memulai inti pembicaraan sebelum Yundan bicara. “Kali ini kita akan menghadapi beberapa lawan yang sulit daripada beberapa tahun lalu.”
“Mereka ada kelompok perempuan, Taike. Kelompok Yacob yang menang empat kali berturut-turut. Lalu kelompok Zoya yang paling berbahaya.” Yundan menambahi.
“Hanya itu?” Tanyaku tak percaya.
“’Hanya itu?’ Kau bilang? Hei, lawanmu Taike adalah pengguna elemen angin terbaik di akademi. Zoya adalah kelompok paling menakutkan yang selalu mengalahkan lawannya dengan jebakan-jebakan yang tidak masuk akal.” Yundan menghardik.
Zanas turun dari kudanya. “Kita harus cari dari mereka siapa yang paling mudah dikalahkan,”
Aku menggaruk kepalaku. “Taike?” Aku berusaha memberikan jawaban, walaupun hanya mengasal.
“Kau gila?” Hardik Zanas. “Mereka ahli elemen angin yang membuat mereka bergerak cepat.”
Aku menggeleng, “Bukan itu, justru itulah. Kau sendiri apa tak pernah membaca biografi mereka? Taike lebih hebat dalam pertarungan jarak jauh. Itulah kelemahan mereka.”
“Kau memang ahli strategi terbaik, Artras.” Puji Jana.
“Tapi lemah dalam elemen,” Sindir Yundan, matanya melirik ke arahku.
Tangan Jana mengepal dilapisi batuan keras karena Yundan selalu membuat kami kesal. Jana bersiap menghajar Yundan, tapi aku menghentikannya. “Sudahlah, tak perlu begitu, Jana.” Aku menatap mata Jana. Ia seperti kesal aku menahannya. Entah kenapa saat aku berbicara padanya, ia bisa mudah tenang. Bahkan Zanas perlu meyakinkan Jana lebih keras. “Aku bisa jadi lebih baik walaupun hanya dengan elemen tanah dan api yang yang tak sempurna. Aku bisa jadi lebih hebat dari siapapun.”
“Hebat?!” Yundan tersenyum sinis. “Kau sudah ditakdirkan seperti itu.”
Yundan melaingkan wajahnya padaku. Mungkin ia menyesal karena ia kalah dalam perlombaan lari dengan ku. Jelas ia tidak suka bergabung denganku, walaupun kita saling mengenal sejak kita masih kecil, tapi Yundan hampir selalu menyudutkan ku sejak dulu. Berbeda dengan Zanas, walaupun dia orang yang mudah marah, dia selalu baik padaku sebagai seorang yang punya masalah serius dalam masalah elemen. Zanas sendiri selalu suka jika ia bekerjasama denganku, apalagi dalam hal strategi, aku bisa jadi yang paling diandalkan.
“Sudah cukup, kakak!” Bentak Zanas pada Yundan.
“Sebaiknya kita tak bersikap bermusuhan sebagai sesama kawan,” Jana menyindir Yundan.
“Aku hanya berharap kita bisa bekerjasama di pertandingan nanti.” Aku menimpali.
Memang dalam pertempuran nanti, kita bisa bekerjasama. Namun, sekarang kita sudah berselisih paham. Apalagi aku yang selalu jadi bahan pembuat masalah. Zanas sendiri pasti akan mengikuti langkah kakaknya. Tapi mereka tidak akan ingkar janji, mereka tetap akan bertanding bersamaku. Walaupun mungkin kita bisa gagal nanti. Tapi setidaknya kita sudah berusaha hingga akhir pertandingan. Kita nantinya kan jadi pedang tajam yang melukai diri sendiri.
“Kita bertemu di pertandingan nanti.” Ujar Zanas.
Zanas menaiki kudanya mengikuti langkah kuda kakaknya. Mereka berdua berlalu pergi meninggalkan kami berdua. Mereka masih sedikit berdebat saat berjalan. Sayup-sayup suara mereka masih terdengar sampai ke kami. Entah apa yang mereka debatkan, tapi jelas mereka saudara kembar yang selalu berselisih paham.
Jana berlalu setelah dua saudara itu pergi. Aku mengikuti Jana dari belakang. Aku mempercepat langkah kudaku hingga menyamakan langkah kuda kami. Langkah kuda kita pelan. Sedikit santai pulang ke perkampungan. Kami searah perjalanan.
Aku mendekati Jana.
“Aku hanya tak suka dengan sikap Yundan yang selalu menyudutkan dirimu. Mentang-mentang ia punya kemampuan yang hebat dari angkatan kita di akademi. Tapi setidaknya ia punya etika yang baik, berbanding terbalik dengan kehebatannya.” Jana menyindir Yundan. Ia tambah kesal. Sebenarnya aku yang mau memulai permbicaraan, tapi ia yang memulai lebih dulu.
Aku nyengir saja mendengar pembicaraannya. “Aku yang terlemah di akademi,”
Jana tertawa pelan. “Kau terlalu polos, Artras.”
. Aku balas tertawa. “Itu tidak lucu. Lagipula, itu memang benar, kan? Meski aku lebih hebat dalam kemampuan fisik.” Aku lanjut tertawa pelan.
Jana kembali tertawa kecil. Hal yang tak pernah kulihat dari Jana. Hampir tak pernah. Ia bisa tersenyum dan tertawa adalah hal yang langka. Dia selalu terlihat marah sehingga membuat kami rekan setimnya merasa ketakutan, kadang juga merasa jengkel. Dia memang pemarah, tapi itu jika benar-benar hal yang salah.
“Sampai bertemu di pertandingan, Artras!!” Jana memacu kudanya sambil melambaikan tangannya padaku sambil mengulas senyum ramah padaku. Aku juga membalas senyumnya lalu memacu kuda dengan cepat kembali ke perkampungan setelah Jana terlihat jauh dari pandangan mata karena terhalang gelapnya malam.
Kami berempat semakin masuk jauh ke dalam hutan. Menghindari pertempuran sejauh dan sebaik mungkin. Dua puluh kelompok dengan masing-masing kelompok beranggotakan empat orang, harus bertarung memperebutkan gulungan dan mempertahankan gulungan miliknya. Setengah dari kelompok membawa gulungan langit dan setengah lagi membawa gulungan bumi. Tak ada yang tahu setiap kelompok mereka membawa gulungan apa, Yang terpenting adalah merebutkannya dari kelompok lain. Kami diberikan waktu 120 jam untuk merebut gulungan kelompok lain. Tak ada waktu untuk diam, atau kelompok lain akan menemukan kita, dan berusaha merebut gulungan kita.
Luas area yang digunakan dalam pertandingan berada dalam alam liar yang dipenuhi oleh berbagai macam hewan liar yang menjadi predator alami. Dengan luas area yang mencakup dua puluh kilometer. Agar mencegah para petarung keluar arena dan hewan-hewan yang ada tetap dalam tempatnya, maka dibuatlah penghalang di lima sisi arena yang membuat area menjadi area pertarungan pentagonal. Tak ada jalan keluar lagi selain jalan masuk, itupun harus menunggu waktu berakhir.
Dalam peraturannya yang sangat simpel namun berbahaya jika orang itu atau kelompok mengetahui celah kesalahan dalam katanya. Pertama, tak ada yang terbunuh, hanya sampai lawannya menyerah, dan jika telah menyatakan menyerah, maka tidak boleh lagi menyerang lawannya. Kedua, hanya menyisakan sepulu kelompok yang membawa dua gulungan langit dan bumi. Mereka lalu masuk ke babak selanjutnya.
Sudah lima jam kami masuk ke dalam hutan sejak turnamen di mulai. Jika total keseluruhan waktunya sampai tujuh jam. Masih terlalu pagi, namun banyak ledakan di dalam hutan karena pengguna elemen api. Matahari belum tampak, tapi situasi sudah sangat mencekam. Begitu mencekamnya sampai tidak tahu aku antara fajar dan api.
“Hei, Artras, sampai kapan kita menghindari pertempuran?” Tanya Yundan. Remaja yang mudah marah karena hal sepele dan selalu tertarik dengan perkelahian. Ia lebih kuat dari aku. Postur tinggi dan tegap badannya membuat banyak disukai oleh cewek di akademi, namun ia hanya menyukai satu orang saja. Dan ia belum pernah mengungkapkan perasaannya.
Aku tak menjawab pertanyaannya. Mataku terlalu fokus pada rerumputan yang terdapat bekas injakan kaki berlumpur. Ada kelompok lain di sini.
“Artras!” Nada Yundan meninggi. Dia kesal karena aku tak kunjung menjawabnya. Namun segera ia diam setelah aku mengangkat tangan sambil mengepal.
“Penyergapan.” Ucapku lirih. Mataku menengok ke atas. “Ada kelompok lain di sini.”
“Wah, ternyata kau cakap juga, ya, Artras.” Puji Zanas. Adik kembar Yundan. Ia yang paling ramah dan bisa diandalkan dari pada adik kembarnya yang mudah marah. Kemampuan mereka sama, tipe petarung jarak dekat.
“SERANGAN!!!” Teriak Jana. Satu-satunya perempuan dalam kelompok kami. Ia juga lebih hebat dalam pengendalian elemen dari pada aku. Ia yang terbaik di akademi. Namun selalu menyembunyikan kemampuan terbaiknya di hadapan semua orang. Ia tidak mau dipuji orang. Hanya kami berempat yang tahu tentang kemampuannya terbaiknya.
Memang benar dari seperti perkataan Jana. Empat bongkahan batu melesat dari empat arah mata angin. Kami berempat merapat. Yundan dan Zanaz merapat kami. Mereka berdiri paling depan.
“Serahkan pada kami.” Ucap Zanas bersemangat.
“Ayo, lakukan, Zanas.” Yundan balas berteriak pada adiknya.
Tangan mereka terangkat ke depan. Lalu mengeluarkan hembusan angin pemotong. Mereka pengendali angin. Mengendalikan angin agar sesuai dengan proporsi yang dibutuhkan, yaitu sebagai pemotong yang tajam. Mampu memotong jenis benda apapun, tergantung kemampuan si pengguna.
Empat batu itu hancur berkeping-keping. Tapi dari dalamnya muncul hal yang tak kami duga sebelumnya. Sebuah dinamit. Musuh memancing kami dengan lemparan batu yang di dalamnya berisi dinamit yang sudah terbakar sumbunya. Kami hancurkan atau tidak batunya, dinamit itu tetap akan meledak. Tujuan dari kita menghancurkan batu itu, agar dinamit itu meledak tepat mengenai kami
“Yundan, Zanaz, merapat!” Teriakku.
Mereka berdua segera merapat. Aku dan Jana segera memukul tanah tempat kami berpijak. Lalu muncul tembok tanah dari bawah, mengelilingi kami. Membuat tembok pelindung dari ledakkan dinamit.
DUAARRR!!!!!!
Dinamit nya meledak sedetik kemudian. Telat sedetik kami pasti langsung kalah. Namun kejutan dari pihak lawan kembali membuat kami terpana. Mereka bisa menghancurkan dinding batu kita tanpa serangan elemen lain. Dengan kata lain, mereka melawan tanah dengan tanah. Mereka bahkan bisa menghancurkannya tanpa melemparkan bongkahan batu lain, tapi justru mereka yang merontokkan dinding batu kami dengan teknik yang sama seperti kami memunculkan dinding batu. Mereka justru mengembalikan dinding batu kembali ke bawah tanah. Mereka lawan yang patut diperhitungkan.
“Hebat sekali kalian bisa meruntuhkan elemen tanah dengan elemen tanah. ”Puji Yundan.
Empat orang musuh mengepung kami dari atas pepohonan. Mereka semua menggunakan penutup wajah. Jadi kami tidak tahu kelompok siapa yang menyerang.
“Kalian langit atau bumi?” Tanya seorang dari mereka.
“Kalian mau yang mana?” Tanya Zanas dengan bercanda.
“Kami bumi.”
“Kalau begitu, kalian tahu milik kami apa.”
Empat orang itu saling bertatapan. “Langit?” Ucap seorang dari mereka.
Jana tersenyum. “Kalau begitu, mari kita saling merebutkan gulungan.” Tangannya mengepal ke arah lawan yang bertengger di atas ranting pohon.
Empat orang itu mundur dari dahan tempat mereka berpijak, lalu dua dari mereka meniupkan angin kencang. Hanya angin kencang, tapi debu-debu menutupi pandangan. Aku berpikir keras. Mereka hanya menggunakan angin saja? Mustahil. Sebuah perangkap besar.
Aku meninju tanah kembali, memunculkan dinding tanah di hadapan kami. Sisi samping dan belakang tidak masalah. Depan perlu penjagaan lebih baik.
“Jana, Zanas, bersiap dengan elemen air.” Perintahku sambil tetap pada posisi meninju tanah agar lawan tidak bisa merobohkan kembali dinding yang aku buat.
Mereka mengeluarkan dua galon air dari tas kulit di punggung mereka berdua yang berisi satu galon setiap tas. Mereka berdua bersiap menggunakannya. Namun sepertinya butuh lebih dari dua galon. “Jana kita kekurangan air.” Ucapku sambil memikirkan rencana musuh selanjutnya.
“Kurang? Memang kita mau membuat pemandian?” Tanya Yundan sedikit penasaran dengan nada kesal sambil beringsut di balik tembok batu yang aku buat.
“Kau akan lihat serangan berikutnya.” Kataku memperingatkan.
Jana segera merentangkan kedua tangannya, lalu berputar di tempat. Dengan kemampuan pengendalian airnya yang ditingkatkan, ia bisa menyerap air dari tumbuhan yang efisiensinya sama dengan air biasanya. Bedanya, hanya dia bisa mendapatkan air dimanapun asalkan ada tumbuhan. Namun faktor lainnya adalah tumbuhan itu akan mati seketika jika seluruh airnya diserap habis. Namun Jana adalah Jana, siswi terbaik di akademi sebagai seorang pengendali air. Ia bisa mengambil air dari tumbuhan dengan hanya menyerap sepertiga air dari sana. Tidak lebih. Dengan itu tumbuhan bisa tetap hidup untuk bertahan di waktu berikutnya.
Gumpalan air mulai berkumpul di sekitar telapak tangan Jana. Tumbuhan di sekitar kami juga sedikit kering. Itu air yang cukup untuk menahan serangan selanjutnya.
Suasana menegang dengan cepat setelah lawan menyemburkan lidah api pada pusaran angin yang mereka ciptakan. Bergabungnya angin dan api membuat serangan api bertambah empat kali lipat dari serangan api biasa.
Semburan api yang besar bahkan sampai bisa terlihat dari jarak tiga kilometer. Jago merah mulai melahap pepohonan, rumput, ranting, dan semua yang dilaluinya. Kami masih bertahan di balik dinding batu. Serangan mereka tidak berdampak pada kita, namun hawa panasnya benar-benar membuat kami harus bertahan sekuat mungkin.
Untuk membuat kami bertahan lebih lama. Jana dan Zanas membuat dinding air di sisi kanan dan kiri kita agar udara tetap dingin. Berbeda dengan dinding batu yang ku gunakan sebagai penghalang kami dengan serangan langsung mereka, rasa panasnya saat bersentuhan dengan dinding batu membuat kulit kami terasa terbakar. Juga uap panas yang dari terbakarnya tanah dihasilkan juga lebih berbahaya saat kami menghirupnya.
Air dan api mengeluarkan suara mendesis begitu dua elemen itu bertemu. Kabut asap putih yang berasal dari pertemuan dua elemen itu, membuat hutan lebih gelap. Walaupun matahari hampir terbit dan terlihat fajar keemasan di ufuk timur, tapi dengan adanya kabut asap itu membuat daerah sekitar kita menjadi gelap.
Kami saling berdempetan. Bersiaga dengan serangan jarak dekat dari lawan.
Aku merasakan gerakan dari kanan, tempat asal Zanas. Namun gerakan lain yang tak terduga dari atas kami, ia turun tepat di tengah-tengah kami berdiri.
Pria itu, begitu ia mendarat di tengah-tengah kami, ia membuat tanah di sekitar kami bergelombang dan melempar kami ke berbagai arah.
Aku terjungkal sambil berusaha menerka apa yang akan terjadi berikutnya. Sebuah tendangan mendadak mendarat di dadaku. Membuatku terjungkal sekali lagi menabrak pohon pinus di belakangku. Rasa sakit menjalar di dadaku. Punggungku juga merasakan sakit setelah menabrak pohon pinus tadi.
“Tak kusangka kau berhasil mengelabui rencana kita.” Pria yang menendang ku berjalan mendekat keluar dari kabut. Perlahan menampilkan sosok di balik wajahnya.
Aku masih terduduk diam menahan rasa sakit.
“Lebih baik kau diam, kau hanya serangga kecil yang mengganggu kehebatan seluruh kawan-kawanmu.”
Pria itu mencabut pedangnya dari punggungnya.
“Serahkan gulungannya.” Dia mengacungkan pedangnya padaku. Ucapannya benar-benar menggambarkan kalau dia seorang yang hanya besar kepala saja.
Ada satu masalah pada dirinya, meremehkan kemampuan orang lain. Hal yang belum pernah dilihat orang lain dari diri seseorang bukanlah suatu hal yang menjijikan, melainkan sebuah rahasia yang harus dijaga dan diasah untuk membungkam orang sombong seperti dia.
Aku terkekeh. “Aku memang pandai strategi dan tak pandai bertarung sepertimu. Namun itulah gunanya ahli strategi.”
Tanganku terkepal, lalu menggerakkan tanah yang bergerak ke udara berbentuk runcing seperti tombak berjumlah puluhan menghadap ke arahnya.
“Aku tak berniat membunuhmu, itu saja. Mungkin kau akan terluka dengan perkiraan luka berat yang pernah kau terima seumur hidupmu.” Ucapku memperingatkan sambil tetap bersiap jika pria sombong di hadapanku menyerang.
Pria di hadapanku tetap berdiri tenang. Ingin mempengaruhi pikiranku jika ia lebih kuat dariku. Itu tidak akan terpengaruh padaku yang menguasai peran strategi.
Aku tersenyum. “Ini bukan hanya untukmu.” Mataku melemparkan pandangan ke arah lain, tepatnya arah tiga kawannya berada. Aku melemparkan tiga tanah runcing ke tiga arah yang berbeda, lalu memecah tiap tanah runcing yang ku lemparkan pada tiga arah menjadi bagian yang lebih kecil lagi. Tak lama kemudian teriakkan kesakitan terdengar. Aku tersenyum mendengar berbagai teriakkan itu.
“Kau dengar itu?” Tanyaku pada pria di depanku dengan tersenyum penuh kemenangan.
Sebuah hempasan angin kencang menghembuskan kabut asap yang menghalangi pandangan kini telah menghilang dari pandangan. Terlihat Yundan dan Zanas mengacungkan pedang pada lawan mereka yang berhasil mereka rebut, pada lawan yang terkena serangan tanah runcing ku yang lebih kecil mengenai kaki, bahu, lengan, perut, itu tidak melukai organ vital mereka, hanya cukup untuk menghentikan pergerakkan mereka dengan memberikan rasa sakit yang menembus ke dalam daging mereka.
Jana juga selesai mengalahkan lawannya yang sama-sama perempuan. Hidung dan mulutnya berdarah. Tangannya mengusap darah di mulutnya. Dengan senyum lebar di wajahnya ia bangga berhasil mengalahkan lawannya.
“Kau sudah kalah. ” Ucapku pada pria itu.
Dia menggeleng. “Selama aku berdiri, kami tidak akan kalah.” Dia terlihat keras kepala.
Baik, cukup menjadi keras kepala. Kami akan memberikannya sebuah serangan hebat yang selama ini kami pelajari.
“Formasi B.!!” Aku berseru.
Dengan cepat aku berdiri, lalu mengunci kedua kakinya dengan cengkeraman tanah yang membuatnya tidak bisa bergerak. Dengan cepat kami mengepungnya dari empat sisi. Aku di depannya, Zanas dan Yundan dari kanan dan kiri, Jana dari belakang. Kami menyerang dengan kekuatan satu elemen oleh setiap masing-masing dari kami. Aku menyerangnya dengan lontaran batu-batuan kecil yang runcing, Yundan meniupkan angin badai, Zanas menyemburkan api dari mulutnya, Jana menyiramkan air dari kantong air dari kulit hewan yang ia bawa dan dari milik Zanas.
Serangan yang kami lancarkan bukan serangan sembarangan. Setiap serangan memiliki tingkat tersendiri. Tingkat satu, adalah menggabungkan dua elemen menjadi satu untuk sebuah serangan baru. Dan tingkat ini bisa dilakukan oleh banyak orang karena hampir semua orang bisa melakukannya karena semua orang dari suku ku punya kekuatan dua elemen, namun sekali lagi, tidak semua orang bisa, jika ia bisa, maka yang bisa menyempurnakannya hanyalah sedikit.
Tingkat kedua, adalah penggabungan tiga elemen. Kali ini teknik ini butuh minimal dua orang untuk membuat satu serangan baru. Yang sekali lagi, semakin tinggi tingkatnya, semakin sulit pula menggabungkan ketiga elemen. Jika berhasil, maka tingkat kesulitan penyempurnaannya lebih tinggi lagi.
Tingkat ketiga, kali ini teknik ini butuh minimal tiga orang untuk membuat satu serangan baru. Bisa dengan dua orang dengan setiap dari mereka tidak memiliki kesamaan elemen oleh orang lain. Yang sekali lagi, semakin tinggi tingkatnya, semakin sulit pula menggabungkan keempat elemen. Jika berhasil, maka tingkat kesulitan penyempurnaannya lebih tinggi lagi. Bisa pula hanya satu orang jika orang itu menguasai empat elemen, dan itu mustahil. Hanya dua orang yang bisa menguasai empat elemen itu di masa saat ini.
Tingkat empat, adalah penggabungan lima elemen sekaligus yang hanya bisa sempurna dengan hanya satu orang saja dan hal itu sungguh mustahil. Pengendali empat elemen saja hanya ada dua, sedangkan elemen terlangka adalah petir. Pengguna elemen petir ada empat, namun mereka tidak termasuk dalam pengguna empat elemen utama; tanah, udara, air, api. Termasuk ayahku pengguna elemen petir. Ia menguasai dua elemen utama dan elemen petir.
Sebuah serangan besar yang mengguncang tanah tempat kami berpijak. Hujan deras turun selama beberapa saat. Angin berhembus kencang menggoyangkan pepohonan, rerumputan, menerbangkan debu
dan daun-daun melintasi langit. Percikan api terlontar dari bekas serangan kami, membuat api-api kecil kecil yang membakar beberapa benda di sekitar kami.
Serangan kami tadi yang tidak sempurna juga berefek pada kami, untuk sementara kekuatan elemen kami tidak berfungsi. Aku juga tidak tahu kenapa hal itu terjadi. Kami juga sempat terlempar beberapa meter karena ledakan empat elemen yang mengakibatkan guncangan pada elemen di sekitar kami karena ketidaksempurnaan.
Yundan bangkit dari jatuhnya. Beberapa ranting pohon menimpanya. Ia menyingkirkan dari tubuhnya. Ia berjalan mendekati pria itu. Mengecek tubuhnya, mungkin gulungan bumi ada pada mereka. Ia menemukannya. Ia melemparkan gulungan itu padaku. Aku menangkapnya.
“Ayo kembali!!” Ucap Yundan santai.
“Tentu. Tapi ini akan memakan waktu yang lama.” Sahut Zanas sambil berdiri berpegangan tangan pada pohon di belakangnya.
“Kurasa tidak akan ada kelompok yang akan mengganggu pembawa dua gulungan.”
“Itu benar!” Aku menambahi sambil membantu Jana berdiri, karena ia terjatuh di sampingku. “Kita punya waktu berlatih selama seminggu jika kita bisa kembali dari sini pada hari ini juga.”
Kami berbalik kembali ke benteng suku. Empat orang tadi akan baik-baik saja. Tim medis akan datang setelah kami melapor ke pos satu yang jaraknya satu jam dari sini. Peraturannya mengharuskan meninggalkan musuh. Itu untuk melatih kami agar tidak sembarangan menolong musuh yang terluka. Untuk itu kami harus meninggalkan mereka dan membiarkan tim medis yang mengurusnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!