Seorang pria tanpa busana melayang di sebuah ruang hampa yang hanya diisi kegelapan, “di mana ini? disini gelap.” Ucapnya kebingungan. Pria itu tak lain adalah Shou, seorang murid jenius dari akademi Yushinoe.
Seorang perempuan cantik diselimuti oleh cahaya menghampiri Shou, dia tersenyum kepadanya dan memyentuh kening Shou.
“Siapa ka–“ sebelum Shou sempat menanyakan siapa perempuan cantik tersebut, sosok seperti dewi itu malah menghilang dari pandangannya.
“Aduh, duh, duh, kepalaku pusing!” Shou memegang kepalanya yang sakit selama beberapa saat, sebelum akhirnya tersadar bahwa ia berada di sebuah tempat berbeda.
“Di–di mana ini?” Shou benar-benar tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Meskipun begitu dia sangat senang, karena suasana ini adalah yang ia dambakan.
Shou dapat melihat orang-orang menggembala hewan ternaknya, para petani yang tengah memanen hasil tanamannya, serta yang paling ia impikan adalah bisa tidur di atas hamparan rumput yang diselingi oleh hembusan angin dan hangatnya mentari.
“Ini luar biasa, apakah ini maksud kehidupan baru yang diberikan oleh pria berjubah hitam itu?” Shou mengingat-ngingat kejadian saat berada di gang sempit, ia ditemui oleh seseorang berjubah hitam dan ditawari kehidupan kedua yang lebih baik.
Setelah Shou mengingatnya, dia memutuskan untuk segera menikmati kehidupan barunya itu. Dia berbaring di atas rerumputan.
“Rumput ini benar-benar membuatku nyaman!”
Tak lama berlalu, tiba-tiba muncul seorang gadis berambut pirang menghalangi cahaya mentari.
“Hai!” sapanya.
Gadis itu sangat cantik, membuat Shou terpana selama beberapa saat.
“Hai juga!” Shou terbangun dari tidurnya dan duduk dengan kaki yang masih disejajarkan.
“Namaku Lisa, penduduk asli desa ini. Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya, kamu berasal dari kota mana?” tanya gadis itu seraya memperkenalkan dirinya.
Senyumnya yang indah membuat Shou tak mempedulikan ucapan gadis itu, sehingga gadis tersebut pun mengulang pertanyaannya.
“A-aku dari tokyo.” ungkapnya agak kaku.
“Tokyo?” Gadis itu merasa asing dengan nama kota ini, ia pun berusaha mengingatnya tapi hasilnya nihil.
Shou kemudian teringat, dia saat ini berada di tempat dengan peradaban yang jauh berbeda dari tempat asalnya.
Aku berada di mana, kehidupan, baru, mungkinkah ....
“Hei, hei, hei!” Lisa mencoba untuk menyadarkan Shou dari lamunannya.
“Eh, iya. Maaf, aku dari selatan.” ungkapnya.
“Selatan? Maksudmu kota Bolivia itu?” tanya Lisa memastikan.
“Iya, iya, aku berasal dari sana.” Shou sebenarnya tidak tahu sama sekali dengan kota tersebut.
Setahuku, Bolivia adalah negara. Mereka menggunakannya sebagai nama kota, bukankah ini benar-benar aneh? Apakah perkiraanku ini memang benar-benar nyata, bahwa aku kini di dunia yang berbeda.
“Oh, lalu ada keperluan apa kamu kemari?” Lisa bertanya lagi.
Shou nampak sedikit kebingungan, ia pun akhirnya hanya menjawab rekreasi.
“Oh, seperti itu.” perempuan berambut pirang itu nampak iri dengan Shou yang dapat berekreasi sesuka hati.
Shou sebenarnya merasa bersalah pada gadis itu, di pertemuan pertamanya ia harus berbohong seperti ini. Shou ingin mengamati dulu peradaban dan tatakrama di dunia barunya ini, terutama peraturan-peraturan tabu yang tak pernah dituliskan dalam kosa kata.
“Sepertinya baru kali ini aku melihat orang luar yang datang ke desa ini untuk berekreasi, aku hanya pernah melihat beberapa kali pedagang-pedagang dari kota lain yang singgah sebelum melanjutkan perjalanan ke ibukota. Andai saja aku bisa pergi kemana-mana mengelilingi dunia seperti ayahku, aku akan sangat bahagia.” Gadis itu menghela nafas panjang sebelum akhirnya duduk di samping Shou, “bukan berarti aku tidak suka dengan kehidupanku yang sekarang ya! Aku juga bahagia dapat mengurus ibuku yang sakit selama beberapa tahun ini. Di waktu kecil, aku yang merepotkannya. Kini, aku dapat membalas jasa-jasanya dan berusaha sebisanya menjadi anak gadis yang berbakti.”
Shou menatapi gadis bernama Lisa itu, di wajahnya nampak sedikit penyesalan dan kesedihan. Akan tetapi, di kehidupan sebelumnya Shou merupakan bagian dari anti sosial. Dia memang masih bisa bercakap dengan guru maupun siswa lain di kelasnya secara formal, namun secara non formal atau di luar pembahasan sekolah dia tidak mampu melakukannya.
“Oh iya, namamu siapa? Dari tadi aku merasa aneh, sepertinya karena aku tidak tahu harus memanggilmu apa.” ungkap Lisa.
“Eh, iya. Benar juga!” Shou menggaruk kepalanya sebelum akhirnya memperkenalkan diri.
“Shou, nama yang sangat bagus. Aku menyukainya!” Lisa berterus terang.
“Benarkah?” Shou merasa senang mendengar pujian dari perempuan manis itu.
Lisa mengangguk, “Benar-benar bagus.”
“Baguslah, kalau memang seperti itu.”
Suasana menjadi hening lagi, karena tidak tahu pokok pembahasan apa lagi yang ingin dibicarakan mereka.
Karena situasi tersebut terus berlangsung, Shou pun memberanikan diri.
“Akankah kamu bertualang ke berbagai tempat jika kelak ibumu sudah sembuh?” tanya Shou penasaran, karena ia merasa bahwa Lisa seperti terkekang dan ingin pergi dari desa seindah ini.
“Sepertinya memang seperti itu, tapi aku tidak akan berharap banyak.” Lisa menghela nafas.
“Kenapa?” Shou terkejut Lisa akan mengatakan hal itu.
“Ibuku sakit sejak 8 tahun lalu, tak ada satupun obat maupun tabib yang dapat mengobati ibuku. Aku hanya bisa membantunya membawa makanan, membersihkan tubuhnya, dan membuatkannya obat-obatan herbal yang dianjurkan para tabib.” ungkapnya.
“Ah, seperti itu. Lalu bagaimana dengan ayahmu?” tanya Shou lagi, dia tak pernah berpikir bahwa ibunya Lisa terus berbaring di atas kasur selama 8 tahun.
Dia sangat sabar dan tabah mengabdi pada ibunya selama bertahun-tahun ini, bahkan rela memendam hasrat yang menjadi penderitaannya selama ini.
Lisa berlinang air mata saat Shou menanyakan ayahnya.
“Ah, maaf. Aku tidak bermaksud untuk–“ Shou tidak jadi meneruskan ucapannya, dia lebih memilih untuk menyeka air mata gadis tersebut dan menatapnya lamat-lamat.
“Maafkan aku!” ucapnya saat pandangan mereka bertemu.
Perempuan itu melepaskan kedua tangan Shou dari wajahnya, ia berusaha menghapus sisa air mata yang tersisa.
“Ayahku telah meninggal 9 tahun lalu, saat berperang melawan naga hitam di ibukota Dessilva. Insiden itu mengorbankan puluhan nyawa kesatria, demi menyelamatkan nyawa penduduk di kota tersebut. Waktu itu ayahku adalah kaptennya, dan dia tak ingin ada bawahannya lagi yang meninggal akibat perbuatan naga hitam. Dirinya terpaksa menggunakan sihir terlarang untuk memenjarakan naga hitam, dan dia pun ikut terpenjara ke dalamnya sebagai konsekuensi karena telah menggunakan sihir terlarang tersebut.” Lisa berusaha menahan air matanya dan menghela nafasnya agak tertahan.
“Sihir?” Meskipun Lisa sedang menceritakan kisah sedihnya, Shou kelihatannya malah lebih tertarik dengan satu kata itu.
Lisa mengangguk, “dia menggunakan sihir terlarang itu demi bawahan dan supaya tidak menimbulkan kerusakan lebih. Bukannya mengingat aku dan ibuku, dia malah lebih mementingkan kehormatan dirinya daripada keluarga sendiri.” Gadis itu tertawa masam sambil terus menahan gejolak kesedihan dan kekecewaan pada ayahnya.
Sihir ya, sepertinya di dunia ini ada hal yang lebih menarik daripada sains. Apakah sihir di dunia ini seperti di film-film yang pernah kulihat? Lagi pula dia mengatakan bahwa ayahnya bertarung dengan naga, yang berarti keberadaan makhluk mitologi seperti itu di dunia ini masih ada.
“Meskipun begitu, ayahmu sangat heroik. Pengorbanannya pasti diingat dan dia akan dikenang sebagai pahlawan.” ucap Shou yang saat ini lebih memikirkan tentang sihir.
“Aku tidak butuh itu!” Lisa berteriak cukup keras, untungnya tidak sampai orang-orang gembala dan para petani mendengarnya.
Shou pada akhirnya tersadar, bahwa gadis yang ada dihadapannya ini bukanlah seorang penyedia informasi yang dapat dia gunakan sesuka hati saja. Dia juga perlu memperhatikan gadis tersebut, yang kini membutuhkan pertolongan dan juga sandaran.
Lisa mengajak Shou untuk berkunjung ke rumahnya, yang ternyata di dalamnya terdapat seorang lelaki 40 tahunan sedang minum teh.
“Pamanmu?” tanya Shou.
Lisa mengangguk.
Pria tua itu melirik ke arah Lisa dan Shou, “teman barumu? Tapi paman merasa belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.” ucapnya sambil memperhatikan Yuno dari atas sampai bawah.
Pakaian yang tengah dikenakan oleh Shou adalah seragam sekolah SMA, jadi wajar saja kalau pamannya Lisa merasa asing.
“Dia katanya dari kota Bolivia, datang kemari untuk berekreasi.” Jelas Lisa.
“Berekreasi? Ya sudah, bertemanlah dengan baik selama kamu di sini.” ucapnya yang kemudian meneguk habis teh dalam gelas.
“Eh, sudah mau pergi lagi?” Lisa sedikit murung saat pamannya berdiri dan lekas memakai jaketnya.
“Iya, paman harus menyiapkan hasil tani yang telah dipanen untuk di kirim ke ibukota. Maafkan paman ya.” ucapnya sambil mengelus-ngelus rambut Lisa sebelum bergegas pergi.
Dalam keheningan, tiba-tiba terdengar suara pemberontakan dari dalam perut Shou.
“Apakah kamu lapar? Tunggu sebentar ya, aku akan memasak dulu.” Lisa bergegas pergi tanpa menunggu timpalan dari Shou.
Shou melihat sekeliling rumah sederhana itu, yang hanya terdapat satu vas bunga sebagai hiasan di ruang depan.
Meskipun terlihat cukup tua, rumah tersebut sangat bersih hingga tak ada satupun debu yang bersarang.
“Pasti dia membersihkannya dengan giat setiap hari.” ungkapnya sambil menyentuh kursi goyang yang terbuat dari kayu.
Terdengar suara batuk dari dalam ruangan kecil, Shou bergegas pergi ke sumber suara tersebut untuk mencari tahunya.
Terlihat seorang perempuan tua dengan wajah yang begitu pucat dan kurus hendak mengambil segelas air. Shou bergegas mengambil gelas tersebut dan meminumkannya pada perempuan tersebut.
Sudah dapat dipastikan bahwa orang tersebut adalah ibunya Lisa, yang mana mengalami penyakit misterius selama beberapa tahun ini.
“Terimakasih.” ucap perempuan tersebut.
Shou menaruh gelas tadi ke tempat asalnya dan membantu ibunya Lisa untuk berbaring kembali.
“Apakah kamu pacarnya Lisa?” tanya perempuan itu tiba-tiba.
“Eh? Ti‐tidak, a‐a‐a‐a-aku hanya temannya saja. Kami belum saling kenal lebih lama, jadi ....”
Ibunya Lisa tampak berusaha untuk tertawa melihat keluguan Shou. Shou memperhatikan gerak-gerik ibunya Lisa dan khawatir terjadi sesuatu kepadanya.
“Bertemanlah dengan baik dengannya, dia jarang bermain dan tidak memiliki banyak teman di desa ini.”
Shou hanya memberikan satu anggukan sebagai jawaban.
Tak lama berlalu, Lisa datang ke kamar tersebut sambil memanggil nama Shou.
“Ternyata kamu di sini. Ibu, apakah kamu tidak apa-apa?” Lisa mendekat ke arah ibunya, Shou berpindah tempat untuk memberikan jalan bagi Lisa.
“Tidak apa-apa, tadi ibu hanya sedikit haus dan temanmu ini membantu ibu membawakannya.” Ibunya Lisa melirik ke arah Shou,“Ngomong-ngomong, temanmu ini namanya siapa? Ibu belum sempat menanyakannya.” lanjutnya.
“Oh, dia namanya Shou.” jawab Lisa.
Shou tersenyum ke arah ibunya Lisa dan sedikit menunduk, dia tidak tahu kata-kata apa yang harus diucapkannya dalam keadaan seperti ini.
“Oh, nama yang bagus. Namaku Fliesa, kamu sudah pasti tahu bahwa aku adalah orangtuanya Lisa karena tadi dia memanggilku ibu.” jelasnya.
Karena masih gugup, Shou hanya bisa mengatakan satu kata yaitu “iya.”
Shou benar-benar tidak tahu caranya bersikap kepada orang tua dari temannya, karena itu Lisa mengingatkannya untuk makan supaya dirinya tidak tegang lagi. Shou pun menunduk hormat sebelum dirinya pergi ke ruang tengah dan diikuti oleh Lisa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!