Darah segar mengalir dari kepalanya, di depan sana ia bisa melihat tubuh orang tuanya yang berlumuran darah. Ingatan terakhirnya adalah ia yang tengah bernyanyi dengan ayah dan ibunya di dalam mobil, namun seketika pandangannya menggelap dan yang ia bisa lihat saat ini hanyalah puing puing mobil itu.
Mahesa…. ayah titip adek-adek padamu ya…
*Hanya itu ucapan terakhir ayahnya yang berusaha menggapai tangannya dan bersamaan dengan itu ia bisa melihat tangan ayahnya yang terhempas lemah, matanya perlahan tertutup dengan air mata yang mengalir. *
*BRAK *
Suara pintu yang dibuka membangunkannya dari alam mimpinya. Dengan setengah sadar, Mahesa bangkit dari tidurnya, mencoba melupakan mimpi buruk yang selalu hadir di setiap tidurnya.
“ Udah jam berapa ini! Gue mau sekolah!”
Bentak pemuda yang umurnya hanya lebih muda dua tahun darinya, lengkap dengan seragam sekolahnya. Dengan kesadaran yang masih setengah-setengah, Mahesa bangun dari tidurnya dan langsung berjalan ke dapur menyiapkan sarapan dan bekal untuk adiknya.
“ Ini apa?” Tanya Haikal yang sedari tadi makan dengan tenang ketika kakaknya itu menaruh kotak bekal di atas meja.
“ Mulai hari ini bawa bekal ya dek…. Uang kita mulai menip-”
Belum selesai Mahesa melanjutkan kalimatnya, mendengar helaan nafas dari sang adik membuat ia tidak berani melanjutkan kalimatnya. Haikal hanya diam, menatap Mahesa sedikit tajam meminta kakaknya itu untuk melanjutkan kalimatnya
“ Itu bisa ngehemat pengeluaran dek…kakak ngga perlu bayar uang makan kamu di sekolah”
“ Jadi maksud lo gue ngabisin uang gitu?!”
Mahesa hanya bisa menghela nafasnya panjang, sepertinya dia sudah menyinggung hati adiknya itu. Memang faktanya dialah yang paling tua di rumah ini, tapi Mahesa tidak bisa berkutik pada Haikal karena apa yang terjadi pada mereka saat ini adalah karena kesalahannya.
“ Kalau lo ngga bisa ngebiayain gue bilang! Biar gue angkat kaki” Ucap Haikal sambil sedikit melempar sendoknya pelan, entah kenapa nafsu makannya menghilang
Mahesa hanya bisa menyimpan semua kata itu dalam dalam. Berdebat dengan Haikal tidak akan ada habisnya, karena setiap kata yang keluar dari mulut Haikal akan menyakitinya dan ia tidak punya apapun untuk menyanggah hal tersebut.
“ Ngga usah ngerasa berutang budi dan bertanggung jawab karena udah bunuh nyokap gue.....gue ngga butuh!” Ucap Haikal final keluar dari rumah sambil membanting pintu.
Mahesa hanya bisa menghela nafasnya pasrah, setiap kali ia mencoba berbicara dengan Haikal selalu saja seperti ini. Hubungannya dengan Haikal memang tidak baik, pasalnya mereka saudara tiri. Saat Mahesa berumur 10 tahun ayahnya menikah lagi dengan ibu Haikal. Sejak awal Haikal memang tidak menyukai keluarga Mahesa, pasalnya kasta mereka benar benar berbeda, Ayah Mahesa hanya berdagang kecil-kecilan di pasar, sedangkan ibu Haikal adalah seorang pekerja kantoran dan cukup berada.
Di saat ulang tahun Mahesa yang ke 13, ayah dan ibunya ingin merayakan ulang tahun Mahesa ke Disneyland pasalnya, ini kali pertamanya Mahesa merasakan apa itu yang namanya ulang tahun. Haikal yang saat itu masih kesal dan cemburu pada Mahesa, memilih untuk tidak ikut. Namun sayangnya malam itu terjadi hujan deras dan mobil yang dikendarai oleh mereka mengalami kecelakaan, beruntun Mahesa masih bisa selamat tapi sayangnya ayah dan ibunya meninggal saat itu.
“ Kak Hesa…..”
“ Kak Hesa berantem lagi sama kak ikal?” Suara gadis kecil menyadarkan Mahesa dari lamunannya. Dengan Mata yang masih setengah mengantuk, ia berjalan perlahan sambil menepuk pelan tubuh kakaknya. Mahesa tersenyum tipis sambil menggelengkan kepalanya menggendong putri kecil itu sambil menimangnya kembali tidur.
“ Ngga kok… rara kenapa kebangun? Kaget?” Tanyanya lembut dan Rara hanya menganggukkan kepalanya sambil merebahkan kembali kepalanya di pundak Mahesa.
Rara, adalah anak dari Ayah dan Ibu tirinya, dan sejak kematian orang tuanya itu Mahesa lah yang menjaga Rara. Ayahnya adalah anak tunggal, begitu juga dengan ibu tirinya, Mahesa juga sudah lama tidak berhubungan dengan kerabat dari ibu kandungannya, karena itu mau tidak mau Mahesa menjadi kepala keluarga saat ini. Berbekal dengan peninggalan orang tuanya dan ia yang mencari nafkah sendiri, enam tahun berlalu sejak kejadian itu Mahesa bisa menghidupi kedua adiknya itu.
“ Ya ampun badan kamu panas lagi? Kita ke dokter ya…. Kemarin kamu juga mimisan….” Ucap Mahesa panik saat merasakan hawa tubuh Rara yang sedikit panas.
Rara menggelengkan kepalanya pelan, kembali memeluk kakaknya itu
“ Ara nggak papa kak…. Kakak nggak usah khawatir….” Ucapnya mencoba meyakinkan kakaknya itu namun tampak jelas dari suara dan tatapan sayu dari adiknya itu, ia tidak baik baik saja.
Mahesa tersenyum sendu, jika Haikal selalu menyalahkan dirinya akan hal yang terjadi pada mereka, selalu membentak dirinya, berbeda dengan Rara, seolah gadis kecil ini mengerti dengan kondisi mereka, mengerti akan beban yang ditanggung oleh kakaknya itu, Rara selalu membantu kakaknya. Padahal saat ini umurnya masih tujuh tahun, namun seolah didewasakan oleh keadaan, rara bahkan mengerjakan pekerjaan rumah untuk membantu beban sang kakak.
“ Yaudah kamu ngga usah masuk sekolah hari ini ya… istirahat aja jangan lupa minum obat oke? Kakak berangkat kerja dulu….” Ucap Mahesa menidurkan Rara di sofa dan mengecup pelan keningnya dan hanya dibalas dengan anggukan pelan oleh Rara
.
.
.
.
“ Argh…..” Mahesa berdesis pelan saat pisau mengenai tangannya, ia terlalu banyak melamun sehingga tidak sadar saat mata pisau itu menyayat bebas tangannya.
“ Kau baik baik saja? Ini sudah yang ketiga kalinya kau tidak fokus, ingin melukai tanganmu seberapa banyak lagi?” Mahesa hanya tertunduk saat teman kerjanya itu menegurnya, ia menatap telapak tangannya, jari jarinya penuh dengan plester untuk menutup lukanya hari ini ia benar benar kacau.
“ Duduklah… tenangkan kepalamu” Ucap Andi, teman kerjanya menuntun Mahesa untuk pergi ke ruang belakang sambil membawakannya segelas air.
“ Hei, aku tau kau bisa melakukan semuanya sendiri, terlebih lagi di umurmu yang masih muda, kau sudah membesarkan dua adikmu, tapi jika kau ada masalah…. Tidak ada salahnya bercerita.”
Mahesa menghela nafasnya gugup, menatap keluar pintu, menapakkan beberapa customer yang tengah bersantai ataupun ngobrol di cafe itu. Di umurnya yang saat ini menginjak 19 tahun, harusnya ia sama seperti pemuda pemuda yang tengah duduk di cafe tempatnya bekerja ini, mengerjakan tugas kampus dan bercengkrama dengan teman sebayanya. Namun Mahesa sudah mengubur mimpi dan masa mudanya.
“ Tahun depan tahun terakhir Haikal di SMA…. dan Rara juga sudah mulai masuk sekolah…. Aku tau… Haikal ingin melanjutkan studinya dan ia memilih jurusan kedokteran….. Aku tau Haikal pintar dan mengusahakan beasiswa, tapi tetap saja akan banyak uang yang akan aku keluarkan dan aku tidak yakin tabungan yang ku punya akan cukup… gajiku bekerja di cafe ini dan pekerjaan serabutan lainnya pun tidak akan menutupi…. Aku tidak tau lagi kemana harus mencari uang….”
Mahesa membuka cerita, terkadang ia malu untuk menceritakan apa yang terjadi pada hidupnya dengan orang lain, namun saat ini semuanya benar benar sudah tidak bisa tertampung lagi, ia tidak bisa mencari solusi untuk permasalahan ini, karena itu ia tidak peduli jika ia akan dipandang rendah oleh orang lain.
Di lain sisi, Andi hanya bisa mengelus pundak temannya itu sambil tersenyum sendu. Ia lebih tua dari Mahesa, namun beban hidup yang ditanggung oleh Mahesa tidak ada apa apanya dengan dirinya saat ini. Andi mengenal Mahesa sebagai anak yang benar benar tekun dan dewasa, ia bahkan tidak malu mengerjakan apapun hanya untuk mencari uang. Prinsip Mahesa dalam mencari uang hanya satu, tidak mencuri dan membunuh, selain itu ia akan melakukan apapun untuk menghidupi kedua adiknya itu. Mahesa juga anak yang sangat jarang menadahkan tangan untuk meminta bantuan, seolah ia tidak ingin merepotkan orang lain, atau tidak ingin terlihat begitu menyedihkan di depan orang lain.
“ Kau bisa menyetir? Kau punya SIM?” Tanya Andi sambil mengeluarkan dompetnya
“ Ya,aku pernah bekerja di jasa antar barang kenapa?” Tanya Mahesa bingung sambil mengambil sebuah kartu nama pemberian Andi
“ Dia tetanggaku, seingatku mereka mencari seorang sopir sekaligus untuk mengawasi putrinya, tapi seingat ku itu dari bulan yang lalu, coba saja kau tanyakan, mungkin mereka masih mencari”
“ Terima Kasih kak…. Aku benar benar berterima kasih…” Ucap Mahesa berdiri dan dengan cepat membungkuk
“ Tentu… ingat… kau tidak sendiri jadi jangan ragu untuk meminta bantuan.” Senyum Andi ramah dan ia kembali bekerja.
Keenan merebahkan kepalanya pada meja, berusaha untuk menetralkan amarah dan semua amukan yang bergejolak di dalam dirinya.
“ Nan… nanti jadi party kan?” Ucap Shilla teman seperjuangannya sedari kecil. Melihat sahabat dekatnya itu tidak merespon dan terlihat seperti mayat hidup, dengan usil ia menarik rambut Keenan
“ Shilla!” Bentak gadis itu kesal dengan suara lengkingannya yang sangat khas membuat seisi kelas menatap dirinya.
“ Ya, elo gue panggil kagak nyaut…. Jadi party ngga nih? Cowo cowo pada ikut katanya….” Ucap Shilla semangat sedangkan Kennan menunjukkan wajah kecewanya, mengeluarkan ponselnya dan melihatkan layar ponselnya pada Shilla.
“ Bokap lo nyari sopir baru lagi?” Tanya Shilla dan Keenan kembali merebahkan kepalanya, mengangguk pasrah
“ Tck…Tck… kasian banget bapak strict parents tapi kelakuan anak kaya cabe hahahah” Gelaknya mencemooh sedangkan Keenan hanya bisa berlari mengejar temannya yang terkadang mulutnya itu tidak bisa di filter.
.
.
.
“ Whoa…. Tumben bokap lo nyari sopir masih muda, mana cakep lagi…. Tapi kalo dia sopir miskin sih skip deh gue…” Ucap Shilla saat sambil berjalan disamping Keenan mendekat pada seseorang yang sudah menunggu mereka di depan gerbang.
“ Yaudah selamat belajar tuan putri… jadi anak yang baik ya hahaha gue mau party party dulu bye bye….” Ucap Shilla melambaikan tangannya sedangkan Keenan dengan pasrah mendekati pria baru yang sepertinya menjadi rantai gemboknya untuk bergerak.
Keenan tidak tau apa yang terjadi pada ayahnya, kenapa ayahnya begitu keras menjaganya, bahkan berpacaran dan berteman dengan laki laki ayahnya melarangnya. Entah itu karena trauma sang ayah karena ibunya yang selingkuh, atau memang ayahnya yang menerapkan pola asuh yang begitu keras. Tapi Keenan tetaplah Keenan, bagaimana pun larangan ayahnya, bagaimanapun hardikan dan bentakan ayahnya, ia tetap bisa pergi untuk bermain dengan teman temannya.
“ Nyonya Keenan ?” Keenan sedikit mengangkat alisnya kala seseorang menghampirinya, melihat foto yang dikirim oleh ayahnya dan meradar setiap inci wajah pria yang ada di depannya ini, memastikan orang yang dimaksud adalah orang yang sama.
“ Gantiin pak Yono? Nama lo Mahesa ? ” Tanya Keenan dan Mahesa mengangguk pelan.
“ Keenan aja, kayanya lo lebih tua dari gue, ngomong santai aja masih sepantaran” Ucap Keenan santai masuk ke dalam mobil. Mahesa hanya mengangguk dan langsung kembali masuk ke dalam mobil.
Mahesa sedikit terkagum melihat Keenan, saat Mahesa mengobrol dengan Tuan Ardhias begitu banyak peraturan dan larangan yang harus Mahesa lakukan untuk menjaga putrinya itu. Walaupun pekerjaan Mahesa sederhana, hanya mengantar jemputnya kesekolah dan mengawasi setiap putrinya saat berada di luar, namun angka yang ditawarkan begitu besar. Melihat bagaimana sosok Keenan, tidak mengherankan kenapa Tuan Ardhias sangat protektif menjaga anak itu.
Keenan benar benar layaknya seorang putri. Walaupun warna kulitnya sedikit gelap, tapi kulitnya benar benar mulus dan bersih, belum lagi wajah Keenan yang begitu cantik dan matanya yang indah. Mahesa tidak tau sepanjang apa rambut gadis itu pasalnya rambutnya digulung seperti bantalan bulat dengan sentuhan poni tipis yang menutupi keningnya, membuat sisi anggun sedikit tertutup pada Keenan, namun Keenan masih tampak begitu indah.
“ Apa lo liat liat? Jalan!” Ucap Keenan menyadari Mahesa yang menatapnya cukup lama dan tidak menyalakan mobilnya.
Selama perjalanan pulang, Keenan hanya bisa pasrah menatap jalanan, sesekali ia menatap sopir barunya ini, walaupun wajahnya sedikit kusam dan lesu, tapi Keenan masih bisa melihat ketampanan di wajah pria itu, rahangnya tegas, bibir tipis, matanya bulat layaknya mata boneka, dan alis camar yang mempertegas wajahnya. Rambut yang ia potong pendek memberikan kesan rapi walaupun tidak ia tata sedikit pun.
Keenan yakin pria itu tidak jauh lebih tua darinya, dan jika pria pria muda sepertinya itu bekerja apa lagi sebagai sopir yang menurut Keenan adalah pekerjaan yang paling rendah, pasti pria itu sangat membutuhkan uang, kantung mata dan tatapan letih dari pria itu sangat menggambarkan bahwa pria itu bekerja untuk mencari uang.
“ Lo kerja karna butuh duit kan?” Ucap Keenan tiba tiba dan Mahesa hanya bisa mengangguk pelan.
“ Anterin gue ke alamat ini…. Gue bakal kasih lo uang lebih….” Ucap Keenan membuka maps di ponselnya dan melihatkannya pada Mahesa.
“ Tapi nyonya… itu bar untuk minum… kau masih dibawah umur…” Ucap Mahesa sopan
“ Alaah bacot! Lo tu cuma sopir gue, bukan bokap gue!”
“ Uhm… maaf nyonya, tapi tadi Bapak menyuruh saya untuk mengantar nyonya ke tempat les”
Keenan menghela nafasnya panjang dan memutar matanya malas. Sambil mendecak kesal,Keenan mengeluarkan dompetnya dan melemparkan beberapa lembar uang ke kursi depan.
“ Lo sama gue! Gue bos lo! Jangan banyak gaya lo!”
“ Maaf nyonya, tapi saya sudah berjanji dengan Bapak”
“ Ck… nurut aja bisa ngga sih! Gue teriak lo nyulik gue nih!”
“ Tap-”
“ Aelah lo tu kerja cuma buat dapet duit kan? Ngga usah sok ngurusin hidup gue!! Ah… mending sama pak Yono! Lo ngga asik, ngga bisa diajak kerja sama!”
“ Saya hanya menjalankan tu-”
“ Bacot! Diem lo! Ngga lo turunin gue disana! Gue teriak lo mesum! Atau gue lompat nih dari mobil”
Mahesa menghela nafasnya panjang dan terpaksa mengalah karena jika tidak bisa saja anak ini benar benar melompat dan itu semakin berbahaya.
.
.
.
“ Keenandra Ardhias!!”
Keenan tersentak kaget saat namanya diucapkan dengan lantang dan bentakan oleh ayahnya bersamaan dengan pintu kamarnya yang dibuka dengan cara sedikit dibanting.
“ Dari mana saja kau hah?!” Bentak ayahnya dengan amarah yang menggebu gebu
“ Da…da..dari tempat bimbel….. “ Ucapnya gugup.
“ Oh begitu…. Lalu ini apa?” Ucap Ayahnya sambil membanting ponselnya ke kasur Keenan.
Keenan dengan cepat mengambil ponsel ayahnya, ternyata disana terdapat beberapa foto yang ia yang tengah berada di club memegang botol alkohol dan dikelilingi oleh beberapa pria.
“ Bisa kau jelaskan apa ini hah?! Jadi selama ini kau berbohong padaku?!”
“ A-ayah ta…tapi aku cuma duduk dan denger musik aja… ak-aku ngga minum….” Ucap Keenan membela diri
“ Fakta bahwa kau membohongiku sudah keterlaluan Keenan! Bisa bisanya kau bergaul dengan orang orang sampah seperti itu! Mau jadi apa kau hah? Pelacur?! Ponsel dan dompet mu ayah sita! Tidak ada bantahan!”
Keenan hanya bisa pasrah saat ayahnya mengambil semua barang elektroniknya di meja belajarnya, kemudian menutup pintu dan menguncinya.
“ Mahesa sialan! Liat aja lo besok! “ Kesal Keenan karena tadi saat melihat foto itu, orang yang mengirimkannya adalah Mahesa.
Rara tersenyum melihat kakaknya yang tengah mengompres pipinya. Ini baru kali pertama Rara melihat kakaknya itu pulang dengan keadaan babak belur. Rara tau, kakaknya membanting tulang untuk menghidupi mereka, dan Rara sangat kenal dengan kakaknya yang tidak akan melakukan kekerasan ataupun berkelahi dengan orang lain.
“ Kakak dipukul di tempat kerja kakak? “ Tanya Rara ikut membantu Mahesa mengompres wajahnya
“ Ngga kok, tadi kakak jatuh….” Ucap Mahesa berbohong, ia tidak ingin adiknya khawatir.
“ Bohong… aku tau mana bedanya abis dipukul sama jatuh kak….” Ucap Rara kesal dan Mahesa hanya terkekeh pelan.
Mahesa kembali termenung. Ia tidak menyangka kepatuhannya dalam bekerja malah membawanya ke dalam mala petaka. Ia hanya menjalankan perintah tuan Ardhias untuk mengantar jemput Keenan sesuai perintahnya dan memantau putrinya. Kemudian hari itu Mahesa melaporkan semuanya apa yang terjadi,saat Keenan memintanya untuk mengantarkan ke sebuah Bar.
Mahesa melakukan itu bukan mencari muka atau semacamnya, bukan juga karena ia ingin mencari masalah dengan Keenan, tapi karena itu adalah perintah yang ia dapat dan ia juga tidak ingin anak dari majikannya itu dalam bahanya. Namun siapa sangka, karena kejujurannya itu, Keenan menyuruh teman temannya untuk menghajar Mahesa habis habisan. Walaupun mereka hanya murid SMA, tapi dengan jumlah yang cukup banyak, jika Mahesa melawan mereka hanya semakin memberontak, karena itu Mahesa memilih untuk pasrah saat tubuhnya dipukuli dan ditendang oleh anak anak SMA itu.
Kejadian itu tentu diketahui oleh tuan Ardhias dan ternyata ini bukan kali pertama kejadian yang sama terulang. Banyak yang mengundurkan diri setelah kekacauan yang diperbuat oleh Keenan dan ternyata anak itu memang sengaja membuat kekacauan agar ayahnya jera memberikannya pengawal dan tentu Mahesa juga diberikan kesempatan untuk mundur jika memang ia tidak kuat.
Mahesa memang ingin berhenti, direndahkan oleh anak anak SMA seperti itu tentu sedikit menyakiti hatinya, namun Mahesa membutuhkan uang, setidaknya mempersiapkan tabungan untuk Haikal berkuliah nantinya, karena itu Mahesa memilih bertahan, karena ia tidak yakin bisa mendapatkan gaji yang cukup besar dengan pekerjaan yang menurut Mahesa cukup mudah untuk dilakukan
“ Ra… idung kamu!” Ucap Mahesa panik saat melihat hidung adiknya yang mengeluarkan darah. Dengan segera ia mengambil tisu dan menengadahkan kepala adiknya agar darah itu berhenti mengalir.
Beberapa bulan terakhir, ia menyadari kesehatan Rara yang mulai menurun, sering kali Rara mimisan dan demam, Mahesa mengira adiknya yang kelahan karena harus sekolah dan mengerjakan pekerjaan rumah, namun sudah dua bulan berlalu seolah demam dan mimisannya tidak mau berhenti.
“ Kita ke dokter ya dek…” Ucap Mahesa sedikit khawatir
Rara menggelengkan kepalanya dan tersenyum lembut pada Mahesa.
“ Uangnya bisa disimpan buat kita makan kak… Aku kecapean aja kak… maaf ya kak bikin kakak panik”
Ucap Rara menenangkan, selama ini Mahesa hanya memberikan obat dari apotik untuk adiknya, berharap demam itu akan perlahan membaik. Namun membawa Rara ke dokter, Mahesa juga harus menyiapkan uang yang banyak, ditambah lagi peninggalan kedua orang tuanya yang mulai menipis sehingga Mahesa tidak memiliki simpanan
“ Maafin kakak ya….” Hanya itu kata yang bisa Mahesa ucapkan.
Terkadang ia sedikit bangga dengan dirinya karena bisa menghidupi kedua adiknya, namun hati kecilnya sering kali menangis, merasa gagal menjaga dan melindungi adik adiknya.
.
.
.
.
Keenan menatap jengah Mahesa yang duduk dengan tenang di ruang tengahnya tanpa melakukan apapun. Sebagai hukuman atas perilakunya, Keenan harus diawasi oleh pria bernama Mahesa itu selama dua puluh empat jam. Ponsel dan laptopnya disita, semua kartunya ditangguhkan dan ia hanya bisa berkomunikasi melewati Mahesa bahkan keluar rumah pun harus melalui izin Mahesa
Keenan cukup mengerti kenapa ayahnya percaya pada Mahesa karena pria itu yang sangat jujur dan sangat polos. Tapi itulah yang membuat Keenan sangat benci kepada pria itu. Ia tidak bisa mengelabui Mahesa ataupun menipu ayahnya, karena Mahesa pasti akan mengadukannya pada Ayahnya. Dan sudah berjalan dua minggu semenjak Mahesa mengawasinya, Keenan sedikit bingung bagaimana bisa ada manusia bertingkah seperti robot.
Keenan tidak pernah melihat Mahesa tertawa, tersenyum ataupun marah, bahkan saat Keenan mengolok ngolok dan menghajarnya, wajah pria itu masih datar dan tenang, tidak ada perasaan kesal sedikit pun tercetak di wajahnya. Kemudian Mahesa bekerja benar benar tepat waktu dan tidak pernah terlambat sedikitpun. Pagi hari Mahesa sudah berada di rumahnya untuk mengantarkannya ke sekolah dan saat Keenan melangkahkan kakinya keluar kelas saat bel pulang, ia sudah melihat sosok Mahesa yang menunggunya, begitu juga saat ia pulang dari tempat bimbingan belajar. Mahesa juga sangat jarang berbicara, ia hanya berbicara seperlunya atau saat Keenan memanggilnya
“ Woi…” Panggil Keenan dan Mahesa langsung berdiri dari duduknya, Keenan mengangkat tangannya memberi isyarat agar Mahesa untuk tetap duduk di tempatnya, diikuti dengan dirinya yang mendudukkan diri di sofa.
“ Ada yang bisa saya batu nyonya?” Tanya Mahesa sopan
Keenan menghela nafasnya kesal, ia sedikit tidak nyaman dipanggil dengan sebutan “Nyonya” tapi berapa kalipun Keenan meminta pria itu untuk berhenti, ia tetap melakukannya.
“ Gue bosan….Gue kepo tentang lo… lo tu robot apa manusia sih! Hidup lo buat kerja dan jadi budak doang ya?”
Mahesa tersenyum simpul, faktanya memang benar, tapi mendengarnya membuat hati Mahesa sedikit sakit, seolah ia direndahkan saat ini.
“ Ngga mau jawab? Gue bilang gue bosan… jadi temenin gue ngobrol…. Ngerti tugas lo kan?” Ucap Keenan menegaskan.
“ Kalau saya tidak kerja, saya tidak makan nyonya, saya juga harus mengurus adik adik saya.” Jelas Mahesa
“ Hmmm…. Lo ngga sekolah? Orang tua lo kemana? Kok lo kerja?”
Mahesa menghela nafasnya panjang, jujur ia tidak nyaman saat orang menanyakan akan kehidupan pribadinya, tapi tatapan Keenan yang penasaran dan sedikit mengancam membuat dirinya lebih tidak nyaman.
“ Iya Nyonya… saya berhenti sekolah sejak SMP…. orang tua saya meninggal sejak enam tahun yang lalu…”
“ Hmmmm….” Keenan memangku dagunya. Memang pada dasarnya Keenan adalah anak yang nakal dan terkadang semena mena dan tidak berperasaan, tapi semua itu bentuk protes dirinya pada ayahnya yang terlalu keras padanya, dan mendengar cerita Mahesa sedikit mengetuk pintu hatinya.
“ Orang tua lo pasti ngedidik lo dengan baik….” Gumam Keenan pelan yang masih bisa terdengar oleh Mahesa.
“ Ya… lo mau tanggung jawab ngebesarin adek adek lo…. Banyak loh yang milih buat misah atau ke panti asuhan…. “
“ Terimakasih nyonya… jika saya masih punya waktu dengan orang tua saya, saya pasti akan berbakti pada mereka….” Ucap Mahesa hati hati
“ Nyindir gue?” Kesal Keenan dan Mahesa hanya menundukkan kepalanya
“ Ya… aib lo mungkin lo yang miskin… ngga bisa sekolah… lo kepala keluarga…. Kalau gue… nyokap gue itu pelacur… dan bokap gue trauma… makanya dia ngekang gue kek anjing… paham kan lo?” Kesal Keenan menjelaskan bagaimana berantakannya keluarganya
“ Ma..Maaf nyonya….” Ucap Mahesa tertunduk dan Keenan hanya memutar matanya malas.
Keenan Terkekeh pelan dan membuat Mahesa sedikit bingung
“ Ini obrolan terpanjang kita…. Gue pikir lo nggak bisa diajak ngomong… “ Ucap Keenan santai dan berjalan ke dapur, kemudian tidak lama setelah itu ia kembali dengan beberapa camilan.
“ Suka nonton horor? Action?”
“ Huh?”
“ Gue bosan Mahesaaaaaa lo ngga sadar gue kaya lagi dipenjara ini… temenin gue nonton! Kan apa apa gue harus izin lo dulu!” kesal Keenan
“ Ka…Kalau itu boleh nyonya… tuan tidak melarang” Ucap Mahesa gugup
“ Noh… gue ngga bisa ngabisin semua… nonton horor aja ya?” Ucap Keenan sambil melemparkan beberapa camilan pada Mahesa dan mulai memutar film mereka.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!