NovelToon NovelToon

Mama Superku

Sebelum melahirkan

 

Perlahan-lahan Aletha berjalan keluar dari kamar mandi. Terlihat perutnya semakin hari semakin membesar. Ini adalah bulan ke sembilan kehamilan Aletha. Ada rasa yang tak biasa yang dirasakannya. Bolak balik dia ke kamar mandi. Hari ini adalah jadwal Aletha periksa kandungannya ke rumah sakit. Ia meraih ponselnya. Lalu mencari kontak suaminya.

 

"Mas kamu dimana? Hari ini kan jadwal kita ke dokter," kata Aletha kepada suaminya.

"Kamu sendiri saja. Aku sibuk. Kamu pergi sendiri kan bisa! Mengganggu saja!" bentak suaminya.

Tuuuut, tuuuut, tuuuuuut....

Telepon sudah terputus. Kebiasaan suami Aletha memang seperti itu. Memutus telpon tanpa aba-aba.

Aletha meletakkan kembali ponselnya. Wajahnya sudah mulai pucat. Tenaganya seperti terkuras habis. Rasanya dia tak sanggup lagi berdiri. Tiba-tiba,

Brukk

Aletha jatuh ke lantai. Ia pingsan. Tak ada orang di rumah. Hanya dia sendiri. Bilson suaminya tidak memperbolehkan Aletha untuk mempekerjakan asisten rumah tangga di rumah itu.

"Kamu kan tidak bekerja. Untuk apa pakai pembantu. Mendingan kamu saja yang mengerjakan semuanya. Biar hemat," kata Bilson waktu itu saat Aletha meminta persetujuannya.

Dan hari ini asisten rumah tangga atau siapa pun sangat dibutuhkan Aletha sekarang. Dia jatuh pingsan tak ada yang tau.

Di tempat lain, seorang wanita sedang menggerutu karena macetnya jalanan kota. Sesekali iya membanting setir mobilnya.

"Aih, lama banget sih. Kapan lah ini mobil jalan,' keluhnya.

Kemudian ia mengeluarkan ponselnya dari tasnya dan hendak menghubungi seseorang.

Nomor yang anda tuju tidak menjawab.

"Ihh, Letha kemana sih. Kok nggak jawab telpon aku?" katanya menggerutu.

Kemudian dia ulangi lagi menelpon, tapi lagi-lagi yang diharapkan tak menjawab panggilannya. Ia mulai khawatir. Takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya itu. Dia adalah Dena. Sahabat Aletha sejak kuliah.

Hari ini dia janji untuk mengunjungi Aletha. Sudah lama mereka tidak berjumpa sejak Aletha menikah dan Dena melanjutkan karir desainnya di luar negeri.

Dena adalah seorang designer handal dan profesional. Ia lebih terkenal di luar negeri ketimbang di dalam negeri. Ia berjanji bahwa rumah Aletha yang pertama kali dikunjunginya ketika ia sampai di Indonesia.

Dena kembali ke Indonesia karena ia ingin merintis usahanya di tempatnya lahir. Dena lebih senang tinggal di Indonesia kampung halamannya. Kota yang telah membuat dia seperti sekarang ini.

Saatnya ia akan menunjukkan kalau orang pribumi juga mampu berkarya. Ia juga akan memotivasi dan merekrut orang-orang yang mau belajar sepertinya.

"Letha kemana ya, buat orang khawatir saja...." ucap Dena lirih

Tak berapa lama kemacetan pun mulai berakhir secara perlahan. Ternyata ada kecelakaan motor dengan truk di depan. Membuat jalanan macet.

Dena menyetir mobilnya perlahan-lahan melewati mobil lain yang berhenti menyaksikan kecelakaan tersebut. Dia tidak perduli. Yang ia utamakan sekarang adalah Aletha. Meskipun dia nggak tau Aletha sekarang bagaimana.

Dena sudah sampai di depan rumah Aletha. Dia mengucap salam tapi tak ada yang menyahut. Ia mencoba membuka gerbang yang tak dikunci.

Kemudian memanggil-manggil nama penghuni rumah. Mengucap salam kembali. Tak ada juga yang menyahut dari dalam. Dena berjalan menghampiri pintu yang terbuka. Dia masuk.

"Bodo amatlah, nggak ada yang nyahut," gerutunya.

Ia masih terus memanggil nama Aletha. Tapi tetap saja Aletha tidak menyahut.

"Ya ampun. Lethaaa!" pekik Dena.

Dia menghampiri Aletha yang sudah tergeletak lemah di samping tempat tidur. Tubuh Aletha sudah tak berdaya dan sangat pucat.

"Tolong! Tolooooong!" teriak Dena dari dalam memanggil tetangga berharap ada yang mendengar.

Tetapi belum ada juga tetangga yang datang. Dena memutuskan untuk keluar dan memanggil orang-orang yang kebetulan lewat untuk membantunya.

"Pak, Pak, tolong saya!" teriak Dena kepada seorang lelaki paruh baya yang kebetulan lewat.

"Iya nona. Ada apa?" tanya lelaki itu heran.

"Tolong saya,pak! Teman saya tergeletak di lantai. Saya tidak tau apa yang terjadi," ucap Dena panik.

"Maaf, nona. Saya harus pergi," ucap lelaki itu hendak melangkah.

Tapi Dena menghentikannya.

"Tunggu, pak. Tolong sebentar saja pak. Kasihan teman saya, pak," kata Dena memohon.

"Maaf nona. Bukannya saya tidak mau membantu, tapi saya nggak mau berurusan dengan keluarga ini. Saya takut nona," katanya lagi.

"Tapi, pak. Dia sedang hamil. sepertinya dia akan melahirkan," kata Dena.

Lelaki tersebut pun langsung berlari menuju rumah itu. Ia langsung berubah pikiran setelah mendengar bahwa temannya itu hamil. Walau bagaimana pun dia sangat menghormati wanita yang sedang hamil. Ia menunjukkan rasa ibanya.

"Ayok, pak! Bawa ke mobil ku saja!"kata Dena sambil berjalan ke mobilnya diikuti oleh lelaki itu.

"Trimakasih ya, pak sudah mau menolong teman saya," ucap Dena sambil menyodorkan uang ratusan ribu selembar.

"Nggak usah, nona. Saya iklas. Semoga nyonya ini dan anaknya bik-baik saja...." katanya lirih.

Lalu ia meletakkan tubuh Aletha di kursi belakang.

Lelaki itupun pergi dengan cepat.

Dena kembali menyetir. Ia membawa Aletha ke rumah sakit terdekat. Beberapa perawat menghampiri Dena dengan membawa tandu untuk Aletha. Dena berlari mengikuti perawat itu. Mereka membawa Aletha ke ruang ICU.

"Maaf, nona. Sebaiknya nona mengisi administrasi di depan," ucap salah satu perawat yang membawa Aletha.

Dena lalu menuju meja administrasi. Dia mengisi data Aletha. Dia bingung. Tak tau harus menghubungi siapa.

Dena memutuskan untuk menunggu Aletha di rumah sakit. Dia nggak tega melihat sahabatnya itu. Dena duduk di kursi yang ada di depan ruang ICU.

Dengan cemas dia menunggu hasil pemeriksaan dokter. Beberapa saat kemudian pintu ruang ICU terbuka. Dena langsung menghampiri dokter yang keluar. Dia adalah dokter Ariel spesialis kandungan.

"Dokter, bagaimana kondisi teman saya?" tanya Dena penasaran.

"Maaf nona, apakah nona keluarga pasien?" tanya dokter Ariel.

"Tidak, dok. Saya sahabatnya."

"Apa yang terjadi dengan Aletha dok?" tanyanya lagi.

Ia semakin khawatir. Tak terasa butiran bening sudah keluar dari kelopak mata Dena membasahi pipinya yang mulus dan putih. Cepat-cepat ia mengeringkannya.

"Maaf nona, keluarga nona Aletha harus ada di sini sekarang. Mereka harus melihat kondisi nona Aletha dan bayinya saat ini."

"Tapi dok, saya tidak tau di mana suaminya. Saya baru pulang dari LN kebetulan berkunjung ke rumah Aletha dan saya menemukan dia sudah pingsan di kamar, dok," ucap Dena masih meneteskan air matanya.

"Tolong, dok! Biar saya saja yang menjamin. Saya akan membiayai segala adiministrasinya. Jadi tolong dokter lakukan yang terbaik untuk sahabat saya," kata Dena memohon.

Dokter Ariel tidak sanggup melihat Dena yang sudah terisak. Dia juga nggak tega dengan Aletha.

"Baiklah, ikut ke ruangan saya sekarang!" kata dokter Ariel.

Dena mengikuti dokter Ariel. Dia semakin bingung dengan ucapan dokter Ariel tadi.

"Aku berharap kamu dan bayimu baik-baik saja, Letha," batin Dena.

Kehadiranmu

Setelah perdebatan dengan dokter, segala persetujuan administrasi mengenai operasi cesar pun sudah selesai ditandatangani Dena.

Mau tidak mau dokter harus segera melakukan operasi. Dikarenakan kondisi janin yang dikandung Aletha sudah membiru. Air ketuban sudah kering terminum oleh sang janin.

"Maaf, bu. Kondisi bayi ibu sudah melemah dan membiru. Sepertinya dia meminum air ketuban, bu," kata dokter Ariel saat di ruangan ICU.

"Jadi harus bagaimana, dok?" tanya Aletha terisak dengan wajah yang masih pucat.

"Kita harus segera mengeluarkannya, bu dengan cara pembedahan," kata dokter Ariel menjelaskan.

"Lakukan apa saja, dok yang penting anak saya selamat!" perintah Aletha kepada dokter Ariel.

Ia berusaha meraih tangan dokter Ariel, tapi karena kondisi badannya yang masih lemah ia pun terkulai lemas di tempat tidur.

Dena membantu memperbaiki tidur Aletha. Dia semakin iba melihat sahabatnya itu. Ia juga dari tadi sudah meneteskan air mata. Tapi di depan Aletha ia berusaha tegar untuk memberi semangat pada sahabatnya itu.

Bagaimana pun dukungan yang kuat sangat dibutuhkan Aletha saat ini, baik dari sahabatnya terlebih dari suami dan keluarganya.

"Den, tolong hubungi suamiku!" ucap Aletha pada Dena.

Aletha memberikan nomor ponsel Bilson padanya. Dena menghubungi nomor tersebut. Tetapi, nomor yang dihubungi tidak aktif.

"Tha, nomornya nggak aktif. Ada nomor lain?" tanya Dena.

"Nggak ada, Den. Hanya itu nomornya setauku," kata Aletha.

"Ya sudah. Nggak usah terlalu kamu pikirkan. Sekarang kamu fokus dengan bayimu dan kesehatanmu!" ucap Dena.

"Tapi, Den dia harus tau. Dia kan..." lirih Aletha.

"Sudahlah, Tha. Kamu tenang aja ya. Akan aku coba lagi nanti. Sekarang kamu istirahat, kamu tenangkan pikiranmu supaya operasinya nanti berjalan lancar!" ucap Dena pada Aletha.

Sebenarnya dia agak kesal sama Bilson, jadi dia berencana akan melakukan segala cara agar suami Aletha itu datang.

Dokter yang dari tadi masih di ruangan Aletha mencoba memahami pasiennya itu.

"Baiklah, bu! Sebaiknya ibu siapkan fisik dan mental ibu agar besok operasinya berjalan dengan lancar!" kata dokter Ariel memutus pembicaraan Aletha dan Dena.

Dena dan Aletha heran. Mereka membelalakkan matanya bersamaan.

"Besok, dok?" tanya Dena bingung.

"Iya, bu. Malam ini tidak bisa, karena dokter yang akan melakukan pembedahan akan pulang beristirahat dan kembali lagi besok pagi," kata dokter Ariel memberi alasan.

"Dok, bedanya besok dan hari ini apa dok? Sama-sama harus dibedah kan? Sama-sama merasakan sakit kan, dok?"

Aletha menjejali dokter Ariel pertanyaan.

"Iya bu. Sama saja memang. Tapi apakah ibu sudah siap?" tanya dokter Ariel.

"Saya siap, dok. Demi anak saya, saya siap. Kasihan dia di dalam dok, lebih baik cepat dikeluarkan," ucap Aletha penuh semangat.

Dena sangat senang mendengarkan penuturan sahabatnya itu. Aletha sudah kembali semangat. Dia pun menyetujui perkataan Aletha.

Dokter Ariel pun pamit dari ruangan Aletha. Dia pergi menuju ruangan dokter Edi yang akan melakukan pembedahan. Ia pun menceritakan segalanya.

Dokter Edi pun menyetujui. Ia mengurungkan niatnya untuk pulang. Padahal ia tadi sudah beres-beres akan pulang. Dokter Ariel menghubungi semua pihak yang terkait untuk melakukan operasi.

Dengan cekatan para perawat, dokter, bidan sudah memakai seragam operasi. Sementara Aletha sudah dibawa ke ruang bedah untuk di suntik bius. Dan Dena menunggu di ruangan Aletha sebelumnya karena tidak diperbolehkan ikut ke ruang bedah.

Setelah semuanya siap, operasi pun dilakukan. Dena menunggu di ruangan dengan perasaan berkecamuk. Ia juga merasa kasihan pada sahabatnya itu.

Saat-saat seperti ini tidak ada suami maupun keluarga yang mendampingi Aletha. Dena pun bingung. Dia tidak menyimpan kontak keluarga Bilson dan Aletha. Dia kan sudah lama di luar negeri. Wajar saja jika kontak mereka tidak ada.

"Hallo, Rim kamu dimana?" tanya Dena menelepon seseorang.

"......."

"Kamu cari yang bernama Bilson. Aku akan mengirimkan datanya lewat WA, kalau ketemu kamu geret dia ke sini. Aku lagi di rumah sakit sekarang," kata Dena pada seseorang yang bernama Rimba.

"....."

Dena memutuskan panggilannya. Dia fokus menunggu lahirnya bayi Aletha.

Satu jam kemudian, terdengar suara bayi dari ruang operasi. Dena berlari menghampiri suara itu. Ia menanyakan pada salah seorang perawat yang keluar dari ruang operasi.

"Suster, apakah bayi Aletha sudah lahir? tanyanya penuh semangat.

"Sudah, bu. Sekarang bayinya sedang dibersihkan oleh bidan," kata perawat tersebut.

"Saya permisi ya, bu," kata perawat tersebut meninggalkan Dena.

Ia kembali ke ruangan tempat Aletha dirawat untuk menunggu Aletha.

Setengah jam kemudian, dua perawat mendorong tempat tidur yang di dalamnya ada Aletha. Aletha sedang terlelap.

"Tolong ibu persiapkan semua kebutuhan pasien, bu!" kata salah seorang perawat.

"Baik, sus," kata Dena mengerti.

Ia menghampiri perawat tersebut untuk menanyakan apa saja yang dibutuhkan. Setelah mendapatkan informasi dari perawat, Dena memutuskan untuk kembali ke rumah Aletha.

Ia memanfaatkan waktu selagi Aletha masih terlelap. Ia juga berharap akan bertemu dengan suami Aletha di sana.

Menunggu Papa

 

Dena sampai di rumah Aletha. Dia memarkirkan mobilnya di depan rumah. Dia memasuki rumah Aletha dengan hati-hati. Takut dikira maling oleh warga.

 

"Tok, tok, tok," Dena mengetuk pintu rumah itu.

Seorang wanita muda keluar. Ada perasaan aneh di hati Dena. Tapi dia tak memperdulikan gadis itu. Dia hendak masuk tetapi dihalangi oleh gadis itu.

"Kamu siapa? Enak aja nyelonong masuk rumah orang," kata wanita itu mendorong tubuh Dena hampir terjatuh.

Namun Dena menahannya.

"Aku mau mengambil peralatan pemilik rumah ini. Aku nggak ada waktu berdebat dengan anda. Maaf," kata Dena lagi mencoba menerobos.

Dena tidak mau menghabiskan waktunya dengan hal yang nggak jelas seperti ini. Fokus dia datang ke rumah ini adalah mengambil perlengkapan bayi Aletha dan Aletha.

Kalau ada kesempatan di sini, Dena juga akan mengatakan semuanya pada Bilson. Dengan cepat Dena langsung menerobos masuk ke kamar Aletha tempat dia pingsan sebelumnya.

Ia mencari barang yang dibutuhkannya. Matanya terfokus pada sebuah travel bag di atas lemari. Perlahan dia menghampirinya dan membukanya. Ternyata itu peralatan bayi lengkap. Aletha sudah menyiapkan semuanya di sana. Sekarang tujuan Dena berikutnya adalah perlengkapan Aletha.

Diperiksanya dengan teliti isi travel bag tersebut. Dan semua ternyata sudah ada di sana. Buru-buru ia mengunci kembali travel bag itu dan hendak beranjak dari sana.

"Hey, kamu siapa? Ada perlu apa kamu di rumah saya? Kamu mau maling, ha?"

Dena terkejut. Ia tidak tau kalau ada orang lain di rumah itu. Iya pun menoleh ke sumber suara.

Seorang lelaki menatap sangar ke arahnya.

"Aku mau mengambil perlengkapan Aletha,"

"Buat apa, ha?" bentak lelaki itu.

"Aletha sekarang sudah melahirkan. Ia butuh perlengkapan bayinya. Aku datang untuk menjemputnya sekalian memberitahumu."

"Ngapain kami sok jadi pahlawan pake bantuin orang segala?"

Bilson marah melihat kedatangan Dena. Dia juga nggak terima Dena masuk ke rumahnya dan membawa berita yang tak diinginkannya.

"Mendingan kamu pulang sekarang. Kamu urus teman kamu itu. Aku nggak peduli mau dia mati sekalipun!" ucapnya dengan suara keras.

"Tapi kamu ayahnya bayi itu. Dan kamu juga harus mengurus mereka."

"Alah, manja. Ngapain mesti diurus-urus. Uda tua juga."

"Dasar suami yang nggak bertanggung jawab." ujar Dena.

Yang dia tau dari Aletha Bilson adalah sosok suami yang baik dan sayang keluarga. Seketika sirna sudah kepercayaan Dena selama ini.

Dia percaya dengan apa yang dikatakan Aletha selama ini tentang suaminya. Tetapi melihat sikap Bilson sekarang, Dena semakin khawatir dengan sahabatnya itu.

"Kamu memang wanita yang tak tau malu," ucap Bilson geram.

"Dan kamu adalah seorang ayah dan suami yang

tidak bertanggung jawab," ujar Dena tak mau kalah.

Bilson hendak menampar pipi Dena tapi urung karena perempuan yang membukakan pintu untuk Dena tadi datang menghampiri.

"Jadi mas, kamu sudah punya istri?" tanya perempuan itu mendekati Bilson. Kamu bilang kamu single mas, makanya aku mau menerima lamaran kamu.

"Apa? Lamaran?" kata Dena heran.

Ia terbelalak.

"Iya mbak. Mas Bilson melamarku. Katanya dia masih single makanya aku mau, mbak," kata perempuan itu.

Tetesan bening wanita itu sudah mengalir di pipinya.

"Tega kamu, mas. Aku uda nggak percaya sama kamu. Mendingan kita batalkan pernikahan kita," kata perempuan itu sambil terisak.

Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya sambil berlari ke luar rumah.

"Sayang, tunggu." kata Bilson.

Dia berlari mengejar perempuan itu.

Sementara Dena terbengong menyaksikan kejadian itu. Dia semakin iba akan hidupnya Aletha.

Aletha menutupi semua itu selama ini. Ia menahan segala penghianatan yang dilakukan suaminya. Cepat-cepat ia membawa travel bag tadi keluar rumah itu.

Ia cuek atas perdebatan Bilson dengan selingkuhnya itu. Ia akan menanti saat yang tepat untuk melabrak Bilson. Dia pun berlalu dari sana dan membawa semua perlengkapan itu ke rumsh sakit.

Kembali ia menyalakan mobilnya dan melajukannya dengan kecepatan tinggi. Dia harus cepat-cepat sampai di rumah sakit keburu Aletha nanti terbangun.

Sebelumnya Dena sudah menelepon pak ustad untuk mengadzani bayinya Aletha. Ia meminta nomor ponsel pak ustad kepada Rimba tadi sebelum sampai di rumah Joey.

Tiga puluh menit kemudian, Aletha sudah sampai di rumah sakit. Cepat-cepat ia berlari ke dalam dan menaiki lift agar cepat sampai di ruangan Aletha.

"Untung aja dia masih tertidur pulas," batin Dena.

Beberapa menit kemudian pak ustad sudah tiba di ruangan Aletha. Dena membawa pak Ustad ke ruangan bayi. Tentunya sudah persetujuan dari dokter dan bidan.

Pak ustad pun melantunkan ayat-ayat Al Qur'an ke telinga si bayi mungil. Sibayi terlihat sangat bahagia. Dia tersenyum seolah mengerti apa maksud dari lantunan ayat tersebut.

Setelah selesai, pak ustad pamit undur diri kepada Dena. Dena mengucapkan terimakasih kepada pak ustad tersebut dan menyodorkan beberapa lembar uang seratus ribu rupiah kepada pak ustad yang sudah dibungkusnya ke dalam amolop.

Dena juga kembali ke ruangan tempat Aletha dirawat. Diilihatnya Aletha masih tertidur pulas. Ia kemudian terbangun saat merasakan kehadiran seseorang di ruangan itu.

"Den, mana suamiku? Aku menunggunya," kata Aletha menahan rasa sakit.

"Sssst, udah kamu tiduran dulu. Kamu mau apa?" tanya Dena tidak menjawab pertanyaan Aletha.

"Tapi aku butuh suami ku, Den. Tolong aku, minta dia datang ke sini dan melihat putra kami!" katanya lagi.

Dalam hati Aletha berharap Bilson senang karena dia sudah menjadi seorang anak. Pasti dia akan berubah.

"Iya, Tha. Kamu tenang ya. Aku udah ketemu sama Bilson. Dia pasti akan datang sebentar lagi," ucap Dena berbohong.

"Mendingan kamu istirahat sambil menunggu datangnya Bilson!" kata Dena lagi.

Ia menarik selimut Aletha sampai ke dada. Ia memberi Aletha minum karena memang sudah habis masa puasanya. Tetapi hanya sedikit. Itu perintah dokter.

Aletha pun mulai tertidur lagi. Obat bius yang disuntikkan kemarin masih belum habis. Makanya dia bawaannya ngantuk terus.

Dena duduk di tepi ranjang. Ia menelepon seseorang.

"Rim, aku udah menemukannya. Sekarang juga kamu geret dia ke sini. Aku nggak perduli bagaimana caranya. Yang penting dia ada di sini." kata Dena dengan tegas.

Terdengar suara tuuut panjang karena Dena audah memutuskan panggilannya tanpa basa basi.

"Bayi mungil menunggu kehadiran sang papa. Namun sang papa tak kunjung jua. Kasihan kamu, sayang. Bunda akan selalu berusaha untuk membantumu dan mama kami, sayang."

"Yang penting kamu dan mama kamu tetap sehat. Suatu saat kamulah yang akan menuntut balas kepada papamu. Tunggu kamu besar nanti," Batin Dena.

Setelah mengakhiri peecakapan lewat telepon tadi, Rimba langsung melaksanakan tugasnya sesuai perintah. Ia menuju rumah Aletha yang sudah diberitahu Dena tadi lewat pesan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!