NovelToon NovelToon

Menikah Dengan Adik Suamiku

Awal Dari Semua

Hari itu adalah hari dimana dirinya tidak akan pernah melupakan semuanya. Hari yang cerah namun membawa sebuah kegelapan bagi hidupnya. Dimana dirinya merasakan jantung berhenti berdetak dalam sekejap, waktu seperti membeku dan semuanya terlihat abu-abu. 

Seperti biasa, setiap pagi dirinya menjadi seorang Istri yang selalu menyiapkan bekal untuk sang suami. Ia senang akan profesi baru yang Ia jalani selama dua minggu ini. 

“Mas, ini bekalnya udah Aku bikinin. Jangan lupa dimakan yaa.” 

Membuat bekal adalah bagian favoritnya dalam menjalani profesi ini. Profesi yang sudah Ia jalani selama dua minggu dengan penuh bahagia, harapan yang selama ini Ia doakan dan dambakan di setiap sujudnya menjadi sebuah kenyataan. 

“Iya dek, masukkan saja kedalam tas ya. Mas masih perlu cek materi dahulu buat keperluan meeting buat hari ini,'' ujar pria yang sudah duduk di ruang makan namun masih sibuk dengan iPad di tanganya itu. 

Dian tersenyum tipis, dirinya berjalan mendekat ke arah meja makan dan meletakkan tas bekal yang akan dibawa oleh Mas Darma nanti untuk dibawa kantor. Ia memperhatikan wajah Mas Darma dengan seksama, pria itu masih terlihat sama saat sebelum ataupun sesudah mereka menikah. Mas Darma adalah pria yang ambisius dalam meraih keinginan.

“Mas udahan dulu, habisin dulu sarapannya nanti lanjut lagi,” ujar Dian menasehati Mas Darma agar berhenti sejenak dan melanjutkan sarapan yang sudah disediakan. Seperti anak kecil yang paham akan kata Ibunya begitu jugalah dengan Mas Darma yang mengikuti nasehat Dian untuk berhenti, mematikan iPad dan memasukkan ke dalam tas kerjanya. 

Darma menatap Dian dengan senyum lebar, dirinya sangat bersyukur memiliki Istri yang sangat berbakti seperti Dian. Seorang yang tidak pernah banyak tuntut dan tulus dalam menjalani segala hal. Melihat Darma yang tersenyum lebar dan menatapnya dengan intens membuat Dian merasa salah tingkah. Maklum masih pengantin baru kalo kata orang. 

“Dian, makasih banyak ya  sudah menjadi Istri yang berbakti bersama Mas. Tidak pernah banyak menuntut dan selalu memahami segala situasi, Mas bahagia memiliki Dian dalam hidup Mas. Mas selalu ingin melihat senyum Dian selalu seperti ini.” 

Dian tersenyum tipis mendengar perkataan Mas Darma, dirinya sangat senang sekali menjalani hari dengan Mas Darma. Mas Darma selalu memuji dirinya setiap melakukan apapun, memberi support ketika dirinya tidak yakin dan selalu menerima semua kekurangan yang ada.  Seperti ketika dirinya memasak terlalu asin pada sup sayur waktu itu, Mas Darma akan tersenyum tipis dan mengatakan bahwa sayurnya enak dan perlu tambahan sedikit air saja. Pria itu tidak marah ataupun memaki seperti yang lain. 

“Bersama Mas adalah salah satu kebahagian yang Dian syukuri,” ujar Dian membalas perkataan Mas Darma, semua itu benar dirinya memang sangat bahagia menjadi Istri dari seorang Darma Pramata. Pria yang memiliki binar warna bola mata hitam bersih yang selalu melihatnya dengan penuh kelembutan bersama alisnya yang tebal dan berwarna hitam menambah karakter wajahnya yang kuat dan menegaskan ekspresi matanya. Tubuh yang tinggi yang selalu mendekapnya dalam pelukan yang hangat. 

“Kalo Mas suatu saat sudah tidak lagi ada, Mas harap Dian mendapatkan kebahagian yang lebih dari bersama Mas,” ujar Darma dengan lirih bersama senyum tipis di wajahnya. 

Dian mendongakkan kepalanya melihat ke arah Mas Darma yang melihatnya dengan senyum yang tipis yang sangat menawan. Dian menatap Darma tidak suka, dirinya sama sekali tidak suka akan perkataan Darma seolah-olah ingin pergi meninggalkan dirinya. 

Hidup bersama Darma adalah kebahagiaan yang selama ini Dian nanti. Selama enam tahun menjalani hubungan pacaran, Ia dan Darma sudah dekat semenjak mereka masih di bangku kuliah. Dirinya terpesona akan melihat Kakak tingkatnya yang sangat aktif dan juga ambisius dalam menjalani apapun membuatnya tertarik.

Selama enam tahun mereka menjalani hubungan yang pasang surut namun tepat dua minggu kemarin akhirnya mereka berhasil menuju jenjang yang lebih serius dalam jalur rumah tangga yang sah, hubungan yang sah yaitu pernikahan. 

“Ish ngaco Kamu Mas kek mau ninggalin Aku aja, kita baru juga dua minggu menjadi suami istri dan juga Aku tuh bahagia banget sama kamu dan nggak mungkin Aku bisa berpaling begitu cepat sama yang lain. Jangan ngada-ngada ah!" kesal Dian

Darma terkekeh pelan mendengar gerutu Dian yang tidak suka akan perkataanya,  dirinya semakin tersenyum lebar melihat wajah kesal Dian yang sangat lucu dimatanya. Dian yang melihat Darma tertawa membuatnya semakin  kesal akan keisengan Darma. Namun melihat senyuman Darma yang lebar dan kekehan pelanya tanpa sadar membuat Dian juga ikut tersenyum tipis. 

“Hahaha iya maaf yaa dek,” ujar Darma dengan rasa bersalah, dirinya sudah selesai memakan sarapan yang telah dibuat oleh Dian. ia harus segera sampai kantor sebelum presentasi dimulai dan membuat investor marah. 

Dian ikut membantu membawakan tas bekal Mas Darma dan mengantarkanya ke depan pintu layaknya rutinitas yang sudah Ia jalani selama menikah dengan Darma. 

“Mas minjam mobil Dian dulu yaa, soalnya mobil Mas masih belum dipanasin dan bensinya lupa Mas isi."

Darma meminta izin kepada Dian memakai mobil kesayanganya. Mobil yang Ia bawa ini merupakan mobil pribadi milik Dian bukan hasil uang mereka berdua dan karena itu dirinya perlu izin persetujuan dari Dian. 

Dian menganggukan kepalanya, dirinya tersenyum melihat Darma yang selalu berusaha memahami dan sopan tidak melebihi batasnya padahal mereka sudah menikah satu sama lain. Ia memberikan kunci mobil yang ada di sakunya dan memberikanya kepada Darma. 

“Mas pergi dulu ya Dek." pamit Darma mengecup pelan kening Dian dan memberikan salam kepada Dian sebagai rutinitas akan bepergian yang mereka lakukan. 

Dian tersenyum tipis dan menganggukan kepalanya memberikan tas bekal Mas Darma dan melambaikan tangan bentuk good bye melihat mobil yang dibawa oleh Mas Darma keluar dari gerbang dan semakin jauh dari mata Dian. 

Melihat Mas Darma  telah pergi membuat Dian merasa ada yang kosong, ada bagian hati tidak terima akan kepergian Mas Darma padahal ini bukanlah kali pertamanya dirinya melepaskan Mas Darma berpergian kerja. Dian menepuk kepalanya pelan, dirinya lupa bahwa Ia juga harus siap-siap ke tempat kerja. 

Dret~ 

Dian tersentak pelan merasakan getaran ponsel berbunyi di saku celananya. Ia mengambil ponsel di saku celananya dan melihat nama "Maya" orang yang menelpon dirinya. 

Dengan gerakan cepat Dian mengangkat telepon tersebut, meletakkan di telinganya " waalaikumsalam Iya Maya, sebentar lagi Aku ke sana. Semuanya udah siap kok," balas Dian pada orang di seberang sana. 

Setelah telepon berakhir Dian dengan segera bergegas mengambil tas dan memesan ojek online untuk pergi. Ia menutup pintu dan menguncinya dengan teliti. 

Dian adalah salah satu perancang busana muslim, karyanya sudah terkenal dimana-mana. Ia juga sering kali menjadi peragawati atau model dari pakaian yang Ia rancang sendiri maupun dari teman dekatnya. Dian model muslimah cantik yang banyak memukau orang, Ia tampak cantik dengan jilbab yang seirama dengan fashionnya. 

Ia juga seringkali menjadi pusat sandaran fashion bagi wanita muslim dalam fashion muslimah terkini. Dian memang bukanlah wanita sempurna namun dirinya selalu berusaha melakukan yang terbaik, Ia pun memakai hijab ketika dirinya sudah dua tahun pacaran dengan Darma. 

Dian tersenyum tipis melihat ojek online yang sudah Ia pesan sudah ada di depan gerbang. Langkah Dian terhenti ketika merasakan kembali ponsel miliknya kembali bergetar berbunyi. 

Senyum Dian kembali muncul ketika melihat nama Mas Darma yang menelponnya. 

"Assa-"

"Hallo apa benar ini dengan Istri dari pemilik ponsel ini?"  Dian mengerutkan dahinya, merasa bingung ketika mendengar suara Mas Darma yang berubah. Senyum Dian luntur ketika perasaan cemas dan tidak nyaman menusuk hatinya. 

"I-iya saya," balas Dian dengan gugup. 

"Kami dari pihak rumah sakit menemukan nomor Anda paling pertama muncul ketika membuka handphone korban. Suami Anda mengalami kecelakaan beruntun dan sekarang dievakusi di Rumah Sakit Ramajaya dengan keadaan kritis-"

Dian terdiam, air matanya jatuh membasahi pipinya. Kakinya terasa lemas untuk tetap berdiri kokoh hingga membuatnya tumbang, telinganya rasa berdengung, dadanya terasa sakit.

"Ibu! Buu! Kenapa?"  Dian tersadar, dirinya mendongakkan kepalanya melihat bapak ojek online yang Ia pesan tadi membantu dirinya untuk berdiri. 

Dian menangis, dia ingin meraung bahkan suara panggilan hallo masih terdengar di ponselnya. Ia sudah tidak peduli, Ia hanya  ingin bertemu dengan Mas Darma. 

"Pak, bawa saya ke Rumah Sakit Ramajaya," lirih Dian dengan lesu bersama air matanya. Seakan tahu apa yang dirasakan Dian, bapak ojek itu  tanpa banyak bertanya langsung membantu Dian agar berdiri dan naik motor menuju ke rumah sakit yang Dian maksud. 

Pada hari itu, Ia kehilangan separuh hidupnya. Pria yang Ia cintai, pria yang selama ini menemani hari-harinya. Pria yang sabar menghadapinya, pria yang selalu memberikan support terbaiknya, Ia adalah suaminya Darma Pratama. 

Hari itu adalah hari dimana semua berputar. Dunianya tak lagi sama, separuh hidupnya sudah pergi meninggalkannya tanpa membawa dirinya bersamanya. 

"Di-an, Mas sudah tidak kuat-" Dian menggelengkan kepalanya tidak terima akan perkataan menyerah dari Darma. Dimana letak ambisius dan pantang menyerah suaminya, kembalikan. Jerit hati Dian

"Ma-s sebentar lagi akan pe-rgi. Dia-n tetap harus jadi anak uhuk baik ya, cinta Mas pada Dian akan Mas bawa mati, Ma-s Ingin lihat Dian tetap hidup bahagia tidak menangisi Mas selalu. Dengan izin Allah Mas sudah siap pergi dan melepaskan Dian menjadi Istri Mas." Dian terbelalak mendengar perkataan Mas Darma. Ia menggelengkan kepalanya, Ia tidak terima, suaranya habis tidak bisa keluar hanya air mata yang semakin terus turun membasahi pipinya. Apa ini bentuk talak yang diberikan Ma Darma kepada dirinya? 

"Dian Mas pinta satu hal, t-tolong turuti permintaan Mas uhuk satu ini" ujar Darma kepada Dian dengan setengah nafas, dirinya benar-benar sudah tidak kuat. Darah keluar dari batuknya, tanganya semakin mati rasa, badanya sudah memulai mendingin setengah. Rasahya ajalnya sudah mulai dekat. 

"Di-an maukan menuruti permintaan terakhir mas?" Tanya Darma memastikan kepada Dian. Dian semakin menangis sedih, kenapa harus permintaan terkahir? Kenapa ini bukan sebagai permintaan biasa saja, Ia tahu Mas Darma tidak pernah meminta apapun kepada dirinya, Mas Darma adalah pria yang menerima apapun dengan adanya. Dengan penuh air mata Dian menganggukan kepalanya. 

Rumah sakit ini sudah penuh dengan jejeran korban kecelakaan beruntun. Bahkan Dian bisa mendengar jeritan sedih kepergian orang yang mereka sayangi di samping tempat Mas Darma di rawat. Tempat evakuasi Mas Darma hanya dibatasi oleh kain gorden warna putih  khas rumah sakit, maka dengan itu Ia bisa mendengar jelas jeritan sedih dari orang samping rasakan. 

Air mata Dian semakin jatuh membahasahi pipinya, bahkan kerudung yang Ia gunakan sudah terbawa basah oleh air matanya. 

"Ja-jangan nangis. Akhhh, satu Dian hanya satu menikahlah dengan Adik mas yaitu Rama."  Dian dapat merasakan tangan penuh darah Darma berusaha menghapus air matanya. Dirinya seketika panik ketika Darma berteriak penuh kesakitan  kemudian menunjuk ke belakang Dian. 

Dian sontak menoleh ke belakang, melihat seorang pria yang berdiri penuh kesedihan dan kaku ketika tangan sang Kakak menunjuk dirinya. 

"Innalilahi wa Inna ilaihi rojiun, Darma  Pramata sudah berpulang ke tuhan pada jam 10:20 pagi." 

Dian meraung, dirinya tidak terima akan ketidak adilan ini. Ia meminta kembalikan Mas Darmanya, kembalikan! Kenapa Tuhan harus mengambil suaminya ketika Ia dan Mas Darma baru saja menikah dua Minggu, kenapa? Apa dirinya setidak begitu layaknya menikah dengan Darma? Apa dirinya tidak pantas bahagia? 

Mas Darma, bawa aku bersamamu.

 Pada hari itu setengah jiwaku telah mati bersama pria yang telah berpulang ke tuhan. Ia adalah pria yang selalu ada di dalam hati. 

Rama, Adik Mas Darma

Rintik hujan tak membuat Dian berhenti, hujan seakan tahu bahwa dirinya sedang bersedih. Ia dahulu membenci hujan sekarang malah menikmatinya untuk menangis di bawah rintikan air jatuh itu sendiri. Hujan ini seakan tahu akan air mata jatuhnya dan membantu menyamarkan mereka. 

"Dian, sudah dulu Nak. Darma juga pasti sedih melihat Kamu sedih tidak ikhlas seperti ini" 

Dian mengabaikan suara wanita paruh baya yang berusaha menenangkan dirinya. Dirinya hanya ingin menemani Mas Darma disini, Ia tidak akan melepaskan nisan yang bertuliskan nama Mas Darma. 

Kenapa tuhan tega sekali kepada dirinya, kenapa disaat dirinya baru merasakan kebahagiaan berumah tangga selama dua Minggu harus kandas begitu saja. Apa dirinya  tidak pantas bahagia? Batin Dian. 

"Sudah Dian. Kamu harus mengikhlaskan Darma, Allah lebih sayang dia dibanding dengan kita Nak" 

Dian mendongakkan kepalanya, melihat wanita paruh baya yang berusaha menenangkan dirinya. Mama Raisa adalah Mama yang baik selama ini, dirinya selalu mendukung dan menyayangi dirinya tanpa membedakan Mas Darma dengan dirinya sendiri. Setelah semua kejadian ini, apakah Mama Raisa masih bisa Ia katakan Mama mertuanya? Setelah putusnya ikatan dirinya dengan Mas Darma?. 

Dia sudah tidak memiliki siapa-siap sekarang, Mas Darma sudah pergi meninggalkannya sedangkan Ibu sudah meninggalkannya saat Dian berumur satu tahun dan Bapak baru saja pergi dua Minggu lalu tepat satu hari setelah hari pernikahannya bersama Mas Darma dan sekarang? Dirinya harus kehilangan Mas Darma yang juga pergi meninggalkannya. 

"Ayo Dian kita pulang, sudah Nak nanti kamu sakit jika terus terkena hujan seperti ini. Kita sudah seharian di sini" ujar Pria paruh baya yang membantu Dian agar berdiri. 

"Pak, nanti Mas Darma sendirian" lirih Dian kepada pria yang Ia panggil dengan Bapak. 

Bram memejamkan matanya sejenak, dirinya merasa kasihan kepada Dian. Ia juga merasakan kehilangan atas meninggal putra sulungnya. Ia tahu bagaimana perjuangan Darma dan juga Dian selama ini apalagi Dian anak yatim piatu sekarang namun bagaimana lagi ini semua adalah takdir yang diberikan.

"Dian tidak sendiri Nak. Ayo pulang ikut Bapak sama Ibu" ajak Bram kepada Dian yang masih menatap sendu ke arah gundukan tanah bertuliskan nama Darma Pratama. 

Dian mengangguk pelan, melepaskan batu nisan itu dengan tidak rela. Ia berdiri dengan sempoyongan untung saja langsung dibantu oleh Ibu dan Bapak untuk kokoh. Sepertinya untuk saat ini Ia akan kembali ke rumah mertuanya. 

"Mas, Aku pergi dulu yaa. Jangan lupa datang di mimpi Aku" lirih Dian sebelum pergi menoleh ke belakang dan bergumam pelan. 

"Rama, kunci mobil sama kamu kan? Tolong bawa mobil nya" ujar Bram 

Dian menoleh ke samping, dirinya melihat pria yang  ditunjuk oleh Mas Darma saat di rumah sakit itu melihat dirinya, tatapan yang tak bisa Dian jabarkan. 

"Baik pak"  

Suara itu tegas namun terkesan lembut membalas perkataan yang lebih tua. Pada akhirnya, Dian harus pergi meninggalkan Mas Darma selamanya. Ia tidak akan berpaling begitu mudah dari Mas Darma apalagi mereka sudah menjalani hubungan lebih dari enam tahu. 

Dian memejamkan matanya sejenak duduk di kursi mobil yang berjalan dengan pelan berharap ini semua hanyalah mimpi belaka. Ini hanya mimpi buruk dan semua tidak benar. Ia berharap saat membuka mata nanti, Ia dapat melihat senyuman Mas Darma yang menyambutnya. Memujinya yang terlihat sangat cantik saat bangun tidur seperti setiap pagi saat bangun tidur. 

Ia berharap itu semua benar-benar hanyalah mimpi. Mimpi buruk yang tak akan pernah Dian ulangi kembali.  

Raisa menoleh ke arah samping melihat Dian yang tenang menutup mata. Dirinya benar- benar sedih melihat Dian yang sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi, Ia yakin jika Darma melihat Dian terpuruk seperti ini akan membuat anak sulungnya kecewa. Membayangkan itu semua membuat air mata Raisa jatuh mengenai pipi, anak sulungnya sudah pergi meninggalkan selama-lamanya. 

"Jangan bersedih seperti itu. Darma akan sedih jika kamu menangis seperti ini, buk" 

Raisa mendongakkan kepalanya melihat ke depan, pria  yang selama ini menjadi pasangan hidupnya. Duduk di samping pengemudi menoleh ke belakang melihat ke arah dirinya. Ia adalah Ayah dari anaknya, pria yang telah menikah dengan dirinya. 

"Tidak bisa pak. Anakku telah pergi, anak yang selama ini Aku sayangi. Anak yang selalu berbakti tidak pernah melukai hatiku dan yang pasti dia adalah anak kandungku pak. Anaku satu-satunya" ujar Raisa menangis dengan terisak. 

Bram terdiam mendengar perkataan Raisa. Ia kenoleh ke samping melihat ke arah anaknya satu lagi yang tampak diam tidak bereaksi apapun. 

"Ibu, jagan seperti itu" Bram berusaha menenangkan Raisa. Dirinya merasa iba kepada Rama yang hanya diam tak membalas. 

"Apa? Bapak tidak terima, sudah cukup Ibu selama ini diam karena permintaan Darma untuk tidak mengatakan semua! Bapak kira Ibu tidak terluka, sakit hah? Bapak bahkan tidak sesedih itu kehilangan Darma" ujar Raisa dengan perasaan yang menggebu-gebu. Wajah terluka dan penuh kehilangannya nampak bersama air mata yang jatuh membasahi pipinya. 

"Cukup! Cukup ibu! Ibuk kira bapak tidak sedih? Aku bahkan lebih sedih Raisa, tanpa Kamu sadari batinku menangis kehilangan. Aku harus berlagak kuat di depanmu dan juga Dian agar kalian tidak semakin terpuruk dan melihatku lemah-" ujar Darma dengan nada pelanya. Ia tidak ingin membuat Dian terbangun mendengar percekcokan antara dirinya dengan Raisa. Sepertinya menantunya sangat kelelahan sehingga tertidur saat menuju pulang. 

"Berhenti, Aku tidak mau Dian terbangun karena mendengar perdebatan kita. Lebih baik kita membahasnya di rumah bukan di depan anak-anak" tambah Bram dengan nada tegasnya. Kemudian membalikkan badan melihat ek arah depan berusaha meredakan emosinya.

" Hahaha. Kamu takut Rama akan tahu semuanya bukan?" Ujar Raisa dengan nada sinisnya. 

Bram mendongakkan bahunya dan menoleh ke belakang dengan cepat. Dirinya benar-benar muak dengan perdebatan seperti ini, apalagi di depan anak dan mantunya. 

"Apa maksudmu Raisa!" Ujar Bram dengan tidak suka. 

Rama yang melihat itu memberhentikan mobilnya ke arah samping dengan pelan. Ia tidak mau berhenti mendadak membuat wanita yang tertidur kelelahan itu terbangun. 

Suasana terasa hening, bingung apa yang dilakukan Rama tiba-tiba memberhentikan mobil. Rama menarik napas panjang dan menghembuskanya

"Tanpa Ibu katakan Aku sudah tahu bahwa aku berbeda. Sudah Ibu Bapak, kasihan Istri Mas Darma terbangun akan perdebatan ini. Cukup perdebatan ini, Aku tahu akan posisiku" ujar Rama menoleh ke arah Bapak dan Ibunya. 

Wajah tidak berekspresi Rama membuat Bram terdiam, dirinya tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia terkejut Rama tahu semua, apakah Raisa yang mengatakan ini semua? Bukankah mereka sudah berjanji untuk tidak boleh Rama maupun Darma tahu ini semua sampai mereka tua nanti? Batin Bram. 

Bram menoleh ke arah Raisa yang sama terkejutnya dengan dirinya. Wanita itu menatap Rama dengan keresahan. Melihat wajah Bram yang menatapnya meminta penjelasan membuat Raisa kebingungan. 

"Bukan Ibu yang mengatakannya. Tidak perlu bereaksi seperti itu" ujar Rama menatap ke arah sang Bapak. 

Ia kembali membalikkan badanya melihat ke arah ke depan. Ia menghela napas panjang dan menghempasnya dengan pelan, menutup mata sejenak dan membukanya. 

Fakta yang selama ini Ia pendam. Fakta yang membuat dirinya mendapatkan perbedaan, fakta yang membuat dirinya harus lari menahan kesakitan. 

Rama membuka matanya kemudian menjalankan kembali mobil yang Ia kendarai menuju arah rumah. Hari ini membuat dirinya benar-benar diambang lumpuh dengan kejutan yang ada. 

Wasiat Terakhir Mas Darma

Hari ini adalah hari yang cerah dengan cuaca yang cukup baik. Dian mencoba berdamai walau hatinya tidak menerima sepenuhnya, terkadang Dian masih diam termenung dimalam hari di dalam kamar Mas Darma di rumah kedua orang tua suaminya itu. 

Dian benar-benar bersyukur Ibu dan Bapak mertuanya sangat peduli dan sayang kepada dirinya. Bahkan mereka berdua tidak menerima Dian untuk pergi ke rumah lamanya takut akan wanita itu kembali sedih sendirian.

"Rama, makan dulu" 

Dian yang sedari tadi menunduk menatap makanan di piringnya sontak mendongakkan kepala saat mendengar suara Bapak mengajak seseorang untuk makan. Dian menoleh melihat ke arah orang tersebut yang mana Dia adalah pria yang sama ditunjuk Mas Darma dan pria yang membawa mobil saat balik di pemakaman. Pria itu baru saja bersiap dengan pakaian rapinya, turun dari tangga. 

Dian tersentak pelan saat matanya bersitatap dengan mata coklat terang milik pria itu. Matanya mirip dengan mata Mas Darma, yang membedakanya adalah Mas Darma memiliki bola mata warna hitam pekat sedangkan pria itu memiliki warna mata coklat yang penuh akan teka-teki. 

"Baik pak," ujar pria yang bernama Rama itu. 

Dian tersentak pelan saat Ibu mertuanya membanting sendok dengan pelan. Wajah Ibu seperti tidak senang saat pria bernama Rama itu duduk di samping Bapak mengambil nasi dan lauk untuk dimakan. 

Dian merasa dejavu dengan posisi seperti ini, dirinya ingat bagaimana dulu saat hubungan dirinya dengan Mas Darma dalam masa pdkt Ia sering berkunjung ke rumah ini dan makan bersama dengan Ibu dan Bapak di meja makan ini. Dahulu tawa ria di meja ini dapat terdengar saat Ibu dan Mas Darma melakukan interaksi lelucon konyol bercanda yang membuat tertawa namun sekarang hanya suara dentingan sendok dan garpu yang menemani. 

Terasa canggung bagi dirinya 

"Dian untuk sementara tinggal di sini dulu ya temani Ibu," seru Raisa menghadap ke Dian dengan senyum penuh pintanya. 

Dian tersenyum tipis, dirinya sebenarnya tidak enak untuk berlama-lama tinggal di rumah mertuanya dalam waktu yang lama. Ia segan, Mas Darma sudah tak ada dan juga dirinya sedikit canggung dengan pria bernama Rama itu. 

Dian menoleh dengan patah saat mendongakkan kepala ke depan. Ia melihat pria yang bernama Rama itu masih sibuk dengan makananya dan semenit kemudian mendongakkan kepalanya membuat tatapan mereka bertemu kembali, dengan cepat Dian menoleh pandanganya ke arah samping tepat ke arah sang Ibu mertua. 

Bapak melihat rasa canggung Dian saat menatap Rama. Dirinya juga tahu akan wasiat yang diberikan oleh Darma saat sebelum anaknya meninggal. 

Apa sudah saatnya dirinya membahas ini semua? Sudah satu minggu berlalu. 

"Dian," panggil Bram kepada Dian.

Dian mendongakkan kepalanya melihat ke arah sang Bapak mertua yang menatapnya dengan pandanganya yang teduh.

"Iya pak" jawab Dian kepada Bapak mertuanya. 

Bram terdiam sejenak memikirkan semuanya, dirinya hanya menyampaikan amanat saja. Ia menoleh ke arah Rama yang sedang sibuk dengan makananya kembali sedangkan Raisa juga ikut menatap dirinya. 

"Bapak hanya ingin menyampaikan sebuah pesan dari Darma sebelum Ia meninggal. Sudah satu minggu Bapak menyimpan ini semua dan rasanya ini menjadi beban buat Bapak-"

"Dian, kamu tahu bukan Darma sangat cinta sekali kepadamu? Bahkan dirinya rela menjadi penerus perusahaan agar bisa menikah cepat denganmu. Bahkan tanpa Dian sadari, Darma sudah memindahkan nama rumah dan aset lainya atas nama Dian, Ia juga selalu curhat bahwa Ia sangat cinta sekali kepada Dian-" lanjut Bram dengan suara seraknya. Ia berusaha menahan tangis mengingat terakhir kali Bram datang keruanganya dan cerita kepada dirinya. 

Pria itu seakan-akan sudah sangat tahu bahwa waktunya tidak akan lama dan ajalnya sudah mendekat. Ia meninggalkan surat untuk Dian yang dibuka ketika dirinya sudah tidak ada. Bram juga bingung bagaimana Darma sudah menyiapkan ini semua? Apakah ini sebuah perencanaan atau melainkan sebuah firasat yang benar? Batin Bram. 

"Ia meinggalkan surat kepada Bapak, surat itu Ia minta buka saat sudah waktunya. Bapak suda membuka surat itu sesuai permintaan Bram, Ia menuliskan surat untuk Ibu dan Dian," lanjut Bram yang sontak membuat Raisa mendongakkan kepala saat mendengar anak kesayanganya membuat surat. 

"Termasuk juga dengan Rama. Satu surat yang Darma minta buka oleh Bapak berisi wasiat semua surat aset bernama Dian dan juga-- Darma meminta Dian untuk ikhlas melepaskannya. Ia melepaskan Dian dan meminta Dian untuk turun ranjang atau menikah dengan Rama. Karena Darma percaya Rama bisa menjaga Dian dan membuat Dian bahagia," ujar Bram dengan suara paraunya. Air matanya seketika jatuh saat mengatakan amanat itu semua. 

Trang

"Maksud Bapak apa? Dian itu cinta Darma bukan Rama. Ibu tidak percaya apa yang dikatakan Bapak, pasti ini semua rekayasa Bapak saja bukan supaya Rama menikah dengan cepat!! Karena tidak ada yang mau Rama karena dia anak --" 

"Stop Raisa!! Cukup! Aku tidak pernah merekayasa ini semua. Satu lagi berhenti menghina Rama bagaimanapun, bukankah kita sudah sepakat  bersama? Jangan pernah menghina Rama." Geram Bram kepada Raisa dengan wajah berangnya. 

Dian tersentak, dirinya terkejut melihat untuk pertama kalinya Bram terlihat marah seperti itu apalagi kepada Ibuk. Bagi Dian, bapak dan ibu adalah sepasang suami istri yang harmonis. 

"Ini suratnya! Cukup Raisa, Rama tidak pernah bersalah apapun," ujar Bram dengan nada mohonya. 

Bram memberikan satu persatu surat yang diberikan Darma. Pada sampul amplop tersebut bertuliskan nama untuk diberikan surat ini. 

"Aku tidak percaya apa yang Kamu katakan. Tidak mungkin Darma memberikan Dian kepada Rama. Kalaupun terjadi, Aku tidak setuju! Aku tidak mau Dian bersama anak pembawa sial" ujar Raisa dengan memburu. 

Dian tersentak pelan saat Raisa menunjuk marah ke arah pria yang bernama Rama itu. Pria itu tampak tenang bahkan dengan sabar mengambil surat yang diberikan Bapak dengan wajah tenangnya. Ia seolah tidak terusik bahkan sakit hati saat Ibu tampak marah kepada pria itu. 

"Raisa?!" geram Bram menahan amarah, dirinya masih sabar saat masih mengingat ada Dian di sini termasuk juga Rama di sampingnya. 

Rama walau terkesan diam tapi dirinya tahu anak itu sangat rapuh selama ini. Ia anak yang tidak pernah menuntut banyak dan selalu sabar. 

Rama merapikan makananya yang sudah habis, Ia berdiri dari kursi sontak membuat semua orang mengalihkan pandanganya menuju suara tersebut. 

Rama berdiri dari tempat duduknya dan mengambil tasnya kemudian merapikan kursi masuk ke dalam meja seperti sebelumnya. Ia tidak peduli dengan tatapan yang mengarahnya, pria itu terlalu fokus. 

"Rama harus pergi ke kampus dulu. Sudah cukup perdebatanya kasihan Istri Mas Darma yang tidak tahu apa-apa. Terimakasih Buk masakannya dan juga kata-katanya-" ujar Rama dengan raut yang tenang dan santai.

Pria itu tersenyum tipis ke arah Raisa dan menunduk pelan mengatakan "Rama izin pamit dulu" ujar Rama sebelum pergi keluar dari rumah. 

Semua fokus melihat punggung Rama yang perlahan menghilang dibalik pintu. 

"Kamu keterlaluan Raisa!" ujar Bram dengan wajah geramnya. Ia kemudian pergi meninggalkan meja makan dengan wajah tidak senang meninggalkan Dian dan Raisa yang menunduk memegang surat Darma yang belum dibuka.

Melihat Raisa yang sedih membuat Dian menatap Raisa dengan iba, Ia tidak tahu permasalahan di keluarga ini. Selama ini Ia tidak pernah dihadapkan dengan situasi seperti ini. Semenjak pria bernama Rama yang merupakan adik Mas Darma datang membuat dirinya bingung.

Ia tahu Mas Darma memiliki adik laki-laki yang berusia berbeda terpaut tiga tahun dengan Mas Darma. Mas Darma juga mengatakan bahwa adiknya sedang menampuh studi di luar negeri dan juga luar kota. Ia jarang pulang bahkan saat pernikahanya dengan Mas Darma pria itu datang namun hanya dua jam karena Ia harus kembali ke asrama dengan segera. 

Ia tidak terlalu memperhatikan Rama bagaimana. Dian terlalu fokus pada kesenangan pernikahannya pada saat itu. Ia menunduk pelan, menggenggam surat yang diberikan oleh Bapak kepada dirinya, surat ini akan Ia baca pada malam hari nanti. Ia butuh waktu mempersiapkanya. 

Kenapa semua terasa berat? Mas Darma, Dian butuh sandaran Mas, Batin Dian sembari memejamkan mata dengan pelan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!